Home / Romansa / Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan) / Bab 3: Gelora Cinta Sang Berondong

Share

Bab 3: Gelora Cinta Sang Berondong

Author: Bemine
last update Last Updated: 2024-05-16 17:58:31

Jadi Ini Orangnya?

“Selamat pagi, Bu Naila!” sapa Dian. 

Wanita berkacamata dengan penampilan rapi itu sudah berdiri tegak di atas heelsnya yang tumpul, menyambut atasannya yang baru saja datang dengan wajah kusut. Seakan sudah terbiasa, Dian segera menarik singgasana Naila dan mempersilahkan Naila duduk di sana. 

“Anda ingin kopi, Bu?”

Naila menggeleng tidak tertarik. Tatapannya malah terfokus pada figura minimalis di meja kerjanya. Figura manis yang membingkai selembar foto, yang mengisahkan kisah manis antara dirinya dan Rey dulu. 

“Anda ingin saya membuangnya?” Dian menebak. Berharap jika alasan dari wajah masam Naila hari ini disebabkan oleh berulangnya petaka yang sama. Naila putus cinta. 

“Bakar!” sahut Naila. Kedua mata Naila menyala marah.

“Ba-bakar?” Dian tergagap. Biasanya, Naila hanya meminta Dian untuk membuang foto-foto Naila dengan kekasihnya, tanpa memintanya membakar. Kali ini, sepertinya Naila menaruh dendam pada mantan kekasihnya yang satu ini, aktor tampan yang sedang naik daun itu. 

“Kamu tidak bisa mendengarku, Dian? Aku bilang, BAKAR!”

“Ba-baik, Bu Naila.” Dian segera meraih figura kecil itu, lalu membawanya serta dengan langkah setengah berlari.

Heelsnya yang mulai rusak bisa menimbulkan bebunyian jika Dian paksa berlari. Kehidupan Dian sebagai single parent dan baru bekerja selama satu bulan di bawah Naila membuat dirinya belum bisa bergonta-ganti barang mewah seperti sekretaris dari petinggi yang lain. 

Naila yang melihat gelagat dari Dian mengerutkan kening. Kedua netra Naila mengikuti pergerakan dari Dian hingga wanita itu menghilang dari ruangannya. 

Naila memutar kursi, menghadap dinding yang terbuat dari jendela kaca sembari mengatur nafas. Meski gadis itu terlihat sangat tenang, sejatinya kepala pintar Naila sedang sibuk merencanakan sesuatu. Sesekali gadis itu mengukir smirk, merasa puas dengan ide-ide yang terus bermunculan di kepalanya. 

Kkrreek!

Pintu ruang kantor Naila berderit. Naila berbalik demi melihat siapa yang baru saja bergabung dengannya di sana. “Kamu sudah kembali, Dian?”

“Benar, Bu. Saya sudah membakar figura tersebut sesuai dengan kemauan Ibu. Ada lagi yang Anda butuhkan?” tanya Dian sembari tersenyum. Tulunjuknya yang kurus membenarkan letak kacamata dengan frame hitam tebal di wajahnya. 

“Tentu saja! Ambil ini, dan beli beberapa potong baju dan sepatu. Pilih dari brand ternama dengan kualitas terbaik. Oh iya, harus desain terbaru!” lanjut Naila tanpa mengendurkan ekspresi arogannya. 

Dian mendekati meja Naila dengan ragu-ragu. Berusaha meraih kartu kredit berwarna emas yang diletakkan Naila di sana dan menggenggamnya erat-erat.

Benak Dian dipenuhi berbagai pertanyaan, entah apa yang merasuki Naila hingga meminta dirinya yang kuno dan kolot itu membeli pakaian untuk gadis se-fashionable Naila.

“Jalan, Dian! Jangan membuatku menunggu terlalu lama.” Lagi-lagi Naila berseru. Membuat Dian yang masih bingung tersentak kaget. 

“Ba-baik, Bu!”

Untuk kedua kalinya, dalam waktu kurang dari satu jam, Dian kembali berbalik dan bergegas meninggalkan ruang kantor Naila.

“Oh iya, beli beberapa riasan simpel juga. Beberapa makeupku mulai habis,” tambah Naila. Pandangan Naila masih terpaku pada meja kerjanya yang kosong. Tidak ada lagi figura yang selama ini menjadi mood-booster dari gadis itu. 

“Baik, Bu,” jawab Dian terakhir kalinya sebelum benar-benar keluar dari ruangan Naila. Tidak ada lagi pertanyaan lanjutan dari Dian, yang ada di benaknya hanyalah menyelesaikan tugas berat dari Naila dan kembali sebelum jam makan siang. 

--

“Apa kalian sudah berakhir?” Hill memulai percakapan dengan Rey begitu dirinya selesai take untuk scene hari ini. Hill bergabung bersama Rey, membawa dua kaleng soda dan mengambil tempat di sebelah Rey. 

“Maksudmu, Naila?” balas Rey. Satu tangan Rey menerima uluran soda dari Hill sembari menengadah membalas tatapan Hill padanya.

Hill mengangguk, lalu membuka kaleng soda miliknya. “Kamu ketahuan?” Hill terkekeh geli lalu meneguk soda di tangannya.

“Sialan, Hill. Siapa yang membocorkan informasi itu pada Naila, sih? Aku belum mendapat banyak keuntungan dari gadis itu.”

Hill mengangkat bahu, dirinya juga tidak bisa menebak siapa yang membuat Rey kehilangan mangsa besar seperti Naila.

“Lagipula, kamu juga tidak menyukainya, bukan?”

“Heh! Siapa juga yang akan menyukai gadis kasar seperti Naila? Jika bukan karena latar belakangnya yang menakjubkan itu, aku yakin tidak akan ada satu lelaki pun yang bersedia mendekati gadis itu. Naila itu gila, Hill! Kamu lihat sikapnya saat makan malam di pestaku kemarin?” Bahu Rey bergetar. Lelaki itu merinding saat mengingat kembali kenangan bersama Naila.

“Saat Naila menyiram Venhyta?” tebak Hill.

“Yap! Setelah kejadian itu, Venhyta bahkan tidak mau bertegur sapa denganku.”

“Rey, bukankah itu juga salahmu? Kamu menggoda Venhyta di saat ada Naila di sana. Sudah bagus hanya Venhyta yang disiram, bagaimana jika kamu juga dijambak oleh tuan putri itu? Bisa rontok rambutmu, Rey!” seru Hill. 

Diceramahi begitu, Rey memilih diam. Meski ucapan Hill terhadap dirinya itu ada benarnya, tetap saja Rey menolak membenarkan. 

Kehidupan Rey selama ini baik-baik saja, karirnya melejit, gadis-gadis berdatangan padanya. Tidak ada satu gadis pun yang berani menolak jika Rey yang meminta. Bahkan, gadis sekasar Naila bisa menjadi mainannya. 

Lama keduanya terdiam, meneguk habis soda hingga tersisa kaleng kosong. Rey meremas kaleng soda, lalu melempar asal kaleng tersebut ke meja di depannya. 

“Apa artis utamanya sudah datang?” Hill bertanya sembari menengadah. Suara riuh-rendah dari pintu masuk lokasi syuting menarik perhatian Hill.

Rey yang sedari tadi juga diam, ikut melongok mengikuti arah pandang Hill. Keningnya berkerut, sinar matahari membuat jarak pandangnya terbatas. Meski begitu, Rey bisa menebak jika gadis yang baru saja masuk dan membuat kehebohan itu merupakan gadis cantik.

“Mangsa baru ...,” ujar Rey dengan senyum iblis. 

“Rey, Hill, kemarilah! Kita punya sponsor baru. Kalian harus menyambutnya dan bersikap sopan padanya. Apa kamu tahu? Bahkan dana yang dia berikan untuk film ini mengalahkan dua sponsor utama lainnya. Astaga! Aku tidak percaya jika orang sehebat dirinya bisa datang langsung ke lokasi syuting.” Sutradara yang baru selesai mengatur scene menghampiri Rey dan Hill. Nafasnya terengah-engah, begitu sibuk mengumpulkan satu per satu artis dari filmnya agar ikut menyambut sponsor baru. 

Mendengar penjelasan tergesa-gesa dari sutradara, mata Rey yang merupakan playboy kelas teri itu berbinar. Bisa Rey tebak, jika gadis yang baru saja datang tadi adalah sponsor baru yang disebutkan oleh sutradara.

“Ayo, Hill! Kita temui calon pacarku!” Rey segera bangkit dari duduk dan membenarkan kostum syuting yang sedari tadi melekat di tubuhnya. Perannya sebagai pria keren di film tersebut membuatnya berpakaian elegan. 

Terpaksa, Hill mengikuti Rey dengan langkah malas. Hill bisa menebak, jika sebentar lagi Rey akan mengeluarkan jurus-jurus mautnya demi menaklukkan gadis pemberi sponsor baru tersebut. 

“Itu dia, bukan?” Rey menyikut Hill dengan pandangan tertuju pada gadis yang membelakangi keduanya. 

“Kenapa dia terlihat familiar?” monolog Rey setelah memperhatikan cukup lama. Meski gadis di depannya berpakaian normal khas kantoran, tetap saja punggung gadis itu terlihat familiar. 

Meski ragu-ragu, Rey tetap mendekati gadis berpunggung cantik yang sedang mengobrol dengan produser. Melihat kedatangan Rey, produser tersebut menunjuk ke arah Rey, meminta tamunya untuk ikut berbalik. 

“Ini aktor baru yang saya bicarakan, Nona Halim.” Produser tersenyum bangga. Sedang Rey yang melihat kehadiran Naila, berubah pucat. 

“Oh, ini orangnya?” tanya Naila. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   (TAMAT) Bab 48 : Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 47: Gelora Cinta Sang Berondong

    Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 46: Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 45: Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 44: Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus

  • Gelora Cinta Sang Berondong (Gadis Arogan)   Bab 43: Gelora Cinta Sang Berondong

    Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status