"Di mana ini?" Gadis itu bangun dari tidurnya, duduk di atas ranjang usang yang tak terawat.
Tenaganya lemah karena sejak kemarin belum makan. Dia ingat, terakhir Earl mengajaknya masuk ke mobil, kemudian dia pingsan akibat totokan tepat di leher kiri. Saat bangun, dia merintih dan perutnya terasa lapar. Terakhir kali ia mengisi perutnya adalah kemarin malam, saat Earl datang dan hanya menatapnya sinis.
"Apa aku pingsan?" Tangannya yang kecil memijit kepalanya dengan lembut, dan di dalam hatinya bertanya-tanya, "Tapi, sejak kapan?"
Audrey duduk di tepi ranjang besi. Jemarinya saling menggenggam di pangkuan, berusaha membuat tubuhnya berhenti gemetar.
Ia berdiri, mencoba gagang pintu.
Terkunci.
Tidak ada suara dari luar.
Tidak ada jam, tidak ada ponsel, tidak ada cara untuk menghitung waktu.
Ada kursi tua di sudut, ada meja kecil, ada gelas tanpa air.
Itu saja.
Pintu terbuka. Seorang pria masuk tanpa tergesa. Kemejanya rapi. Matanya masih merah di tepinya, tetapi tatapannya tenang di pusatnya.
“Akhirnya kau sadar,” ucapnya.
“Apa yang kau lakukan?!” Audrey mencoba berontak, tapi di hadapannya, Earl berdiri dengan dua bodyguard berbadan kekar. Sesaat, nyalinya menciut. Dia tidak berani menatap mata Earl.
Pria itu menarik kursi, meletakkannya di hadapan Audrey, lalu duduk.
“Kita ke kantor polisi,” ucapnya datar.
Audrey menelan ludah. Ia tahu menunda hanya akan membuatnya terlihat pengecut.
“Jangan,” katanya. “Tolong jangan. Penjara tidak akan mengembalikan apa pun. Tidak mengembalikan napas putrimu. Tidak menenangkan istrimu. Tidak membuatku lebih bertanggung jawab daripada sekarang. Penjara hanya memindahkan tubuhku, sementara salahku tetap ada.”
Audrey menarik nafas dalam, kemudian mengeluarkan kalimat terakhirnya, “Biarkan aku bertanggung jawab di sini!”
“Hmm?” Earl melirik kedua bodyguardnya, kemudian menatap Audrey lagi. “Apa yang bisa kau lakukan, dasar gadis ceroboh?!”
“Aku bisa bekerja. Aku bisa melakukan apa pun yang kamu minta, di mana pun kamu minta. Aku akan menyerahkan semua penghasilan. Aku akan tinggal di tempat yang kamu pilih. Aku akan mematuhi aturan yang kamu tulis. Aku tidak minta imbalan. Aku hanya minta satu hal. Jangan penjara.”
“Berapa lama?”
“Sampai kau merasa puas setelah menghukumku!”
Audrey sudah tidak peduli lagi dengan hidupnya. Dia merasa hancur. Saat melihat dinding kosong, bentuknya seolah berubah seperti kaca, menampilkan seberapa bodohnya dirinya ketika tidak sengaja menyenggol seorang wanita hamil.
Uang? Tidak ada.
Kehidupan? Dia sebatang kara.
Beban hidupnya sangat banyak, apalagi dia harus mencari ibunya yang hilang enam tahun lalu. Kalau dia dipenjara, lalu bagaimana dia berjuang menemukan ibunya?
“Kenapa kau tidak mau dipenjara?” Earl bertanya halus, tapi Audrey hanya diam saja.
Earl yang kesal, menyentuh dagu Audrey dan mendongakkannya ke atas. “Hei, jawab pertanyaanku! Kenapa kau menolak dipenjara?!”
“I-ibu,” lirih Audrey.
Earl bertanya-tanya. Ibu Audrey? Saat mencari tahu identitas Audrey kemarin, Earl dapat laporan kalau ibu gadis itu meninggal enam tahun lalu karena sebuah insiden. Ingin sekali dia mempertanyakan hal itu, tapi Audrey tiba-tiba mengajukan permintaan.
“Aku akan jadi pembantu di rumahmu. Apapun bisa kukerjakan, asal biarkan aku hidup di luar penjara.” Audrey mengatakan itu dengan tatapan nanar. Ia memohon pada Earl. Yang ada di pikirannya hanyalah tentang ibunya, tidak ada hal lain.
“Menarik,” kata Earl. “Kau adalah pembunuh dan pembunuh tidak memiliki hak untuk melakukan.”
“Aku bersedia!” Earl mendongakkan kepalanya. Air mata yang tadi turun, kini hilang total. Hanya tersisa sorot penuh kepercayaan bahwa dia harus bertanggung jawab dan tidak boleh membusuk di penjara.
“Kau tinggal di ruang yang semestinya menjadi milik putriku,” ucapnya. “Kau akan melihatnya setiap hari. Kau akan membersihkan raknya. Menata baju yang tidak akan dipakai. Mengatur botol yang tidak akan terisi. Yang terpenting, kau harus menganggapnya masih hidup. Paham?”
“Paham,” kata Audrey.
“Sekarang aturanmu!” Earl melanjutkan. “Tidak ada telepon tanpa izin. Tidak ada keluar masuk rumah tanpa sepengetahuanku. Tidak ada cerita tentang rumahku ke siapa pun. Kau bekerja ketika diperintah. Kau diam ketika diminta diam. Satu aturan kau langgar, aku langsung melaporkanmu ke penjara!”
“Aku mengerti,” sahut Audrey. “Aku setuju.”
Ia bangkit. Kursi bergeser sedikit. Audrey menahan diri untuk tidak bertanya apa pun, karena setiap pertanyaan bisa jadi alasan untuk mengakhiri kesempatannya.
Pintu ruangan pengap itu dibuka. Audrey segera mengangkat kakinya karena tenggorokannya benar-benar kering.
“Berhenti di situ,” katanya.
“Aku hanya butuh air,” jawab Audrey. “Aku tidak akan kabur. Aku bahkan tidak tahu ini di mana.”
“Duduk!” ucapnya lagi, tanpa menaikkan suara.
Earl membiarkan pintu itu dibuka, sengaja menguji seberapa taat Audrey dalam menjalankan aturan. Namun, sepuluh menit menunggu, Audrey tak kunjung bergerak. Ia tetap diam. Meski ada kesempatan, dia tak berusaha kabur sedikitpun.
Tiba-tiba Earl dikejutkan dengan kedatangan wanita cantik dengan kursi roda.
Audrey menatap ke pintu itu. Sekilas, siluet wanita itu terlihat, tapi dia tidak bisa melihat wajahnya. Bagian luar ruangan terlalu gelap. Tak lama, pintu terbuka lagi.
“Minum,” kata Earl.
Audrey mendekat. “Terima kasih.”
“Jangan cepat-cepat,” tambahnya.
“Besok pagi ada yang ingin bicara denganmu,” ucapnya.
“Siapa.”
Ia hendak berbalik, lalu menahan diri. “Satu lagi,” katanya. “Berhenti meminta maaf setiap lima menit. Maafmu bukan mata uang di rumahku. Kerjamu, patuhmu, itu yang dihitung.”
Audrey mengangguk. “Aku mengerti.”
Earl keluar. Pintu menutup.
Kunci berputar lagi.
Audrey duduk, memandangi gelas setengah penuh di tangannya. Ia meneguk sisanya perlahan.
Pintu kemudian berderit pelan.
Orang yang sama menampakkan diri di ambang. Bukan pria tadi. Seorang perempuan. Rambutnya disisir rapi. Wajahnya pucat. Mata bengkak. Kursi roda menahan tubuhnya.
“Aku ingin bicara,” katanya pelan, tetapi tidak rapuh. Audrey berdiri. Wanita itu tidak mendekat, hanya diam di ambang pintu. “Earl tidak akan memenjarakanmu, tapi sebagai gantinya, kau harus menikah dan mengandung anak Earl!?”
Melihat Audrey pingsan, Ayesha langsung memanggil dokter ke rumah. "Bagaimana, Dokter?" "Dia hanya kelelahan," jawab Dokter. "Biarkan dia istirahat. Dia akan sembuh satu atau dua hari." "Baiklah. Terima kasih, Dokter!" kata Ayesha. Sebelum pergi, dokter itu meninggalkan beberapa obat untuk Audrey. Ayesha yang tak memiliki waktu untuk menjaganya pun menyerahkan tugas itu kepada Rina. "Aku ada urusan di luar, baru pulang nanti malam. Kamu urus dan jaga dia!" "Baik, Nyonya!" jawab Rina. Kebetulan, Murphy masih ada di kamar itu. Dia membantu Rina mengangkat kepala Audrey agar Rina bisa memberi obat. "Coba periksa, badannya panas sekali, kan?" kata Murphy. Rina pun memeriksa kening Audrey, lalu mengambil baskom berisi air hangat. "Murphy, kamu boleh keluar. Aku akan mengompresnya sekarang." "Panggil aku kalau kamu butuh bantuanku!" Murphy pun meninggalkan kamar Audrey, sementara Rina mulai mengompresnya. Rina bahkan mengganti pakaian Audrey dengan baju tidur agar gadi
"Tidak mau!" Audrey beringsut mundur. "Aku tidak menginginkannya." "Benarkah?" Senyum tipis menghiasi bibir Earl. "Tapi kemarin kamu menginginkannya lagi dan lagi. Baru sehari, kamu sudah lupa?" Audrey tak tahu omong kosong yang sedang Earl katakan. Mereka tidak pernah melakukan apa-apa, tapi Audrey tidak memiliki waktu untuk bertanya. Earl sudah naik ke ranjangnya sekarang, mencegah pria itu menodainya adalah hal penting yang harus dia lakukan. "Jangan, Earl! Kumohon jangan mendekat!" Sayangnya Earl mengabaikan larangan itu. Tak hanya menindih, Earl bahkan menyusuri leher gadis itu dengan buas. Adegan seperti ini, Audrey baru pertama kali melakukannya. Itu membuatnya malu dan tak nyaman. "Earl, sadarlah!" Gadis itu mendorong tubuh suaminya. Bukannya menjauh, jaraknya malah semakin dekat karena perbedaan kekuatan yang terlalu besar. Audrey bahkan merasakan Earl mulai menghisap dan menggigit lehernya seperti vampir. "Earl, aku bilang henti,-" Teriakan Audrey terputus. Earl mem
"Ingat, kamu tak boleh ke mana-mana!" begitulah pesan yang Earl tinggalkan sebelum ia pergi. "Aku tahu!" kata Audrey. Karena Earl bekerja, Audrey tak perlu memasak. Dia pun berinisiatif membantu pelayan. Kebetulan mereka sedang mengganti bunga hidup yang mulai layu. "Nona Audrey, jangan!" Rina, kepala pelayan berusia 40-an melarang Audrey melakukan pekerjaan itu. "Kenapa?" Terbiasa bekerja, lalu tidak melakukan apa-apa membuat Audrey bosan. Makanya dia ingin membantu. Hanya merapikan bunga saja, Audrey bisa melakukan itu karena dia pernah bekerja part time di toko bunga saat kuliah. "Nanti Tuan Earl marah!" jawab Rina. "Dia?" Alisnya mengkerut. "Kenapa dia marah?" "Tuan sudah berpesan, tugas Nona hanya melayani Tuan Earl, Nona dilarang melakukan pekerjaan yang lain." "T-tapi?!" Ah, sudahlah. Pria arogan itu tak henti-hentinya membuat Audrey terkejut. Padahal, dia sudah membunuh putrinya, sudah mengirimnya ke rumah sakit, tapi kenapa dia masih begitu baik? Bahkan
"Aku sudah membuka bajuku, dan kamu masih bertanya nafkah apa yang kubicarakan. Kamu itu polos atau bagaimana?" Atasan piyama itu terlepas dari tubuh atletisnya dan Audrey melihat perutnya yang kotak-kotak. Pemandangan seperti ini, Audrey sudah sering melihatnya, namun rasanya berbeda saat Earl melakukannya. Ada perasaan ingin menyentuh, tapi tak berani. Ingin berpaling, tapi sayang jika dilewatkan. Kapan lagi ia bisa melihat pemandangan indah yang memanjakan mata seperti ini? "Cepatlah!" kata Earl. Akhirnya kata itu menyadarkan Audrey dari lamunan. Gadis itu mengambil piyama Earl dan melemparkannya ke pangkuan. "Kamu salah paham. Aku minta uang, bukan hal menjijikkan itu!" "Jadi kamu mau atau tidak?" "Tentu saja tidak!" Audrey berpaling, lalu melipat tangan. "Karena kamu sudah sehat, sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Aku juga ingin tidur di kasur!" "Aku masih sakit." Tanpa memakai piyamanya, Earl langsung merebakan dirinya ke ranjang. Menepuk-nepuk bantal di sebelahnya dan be
"Mencatat apa yang boleh dan tidak boleh kumakan." Audrey menurut. Gadis itu mengambil kertas dan pulpen, siap menulis. "Pertama, aku alergi jamur. Catat itu agar kamu tak lupa!" Audrey mulai menulis, namun dahinya mengkerut. 'Hanya alergi jamur saja apa perlu di catat? Aku bisa mengingatnya seumur hidup'. "Kedua, aku tidak makan kacang-kacangan yang di goreng. Aku hanya makan kacang yang proses masaknya direbus." "Apa bedanya?" Audrey mulai memprotes. Entah itu direbus, disangrai, atau digoreng, semuanya tetap kacang. "Kamu alergi juga?" Earl menggelengkan kepalanya. "Nggak. Cuma ngga suka aja!" "Lalu kenapa aku harus menulis ini?" Earl suka atau tidak, itu bukan urusan Audrey. Seharusnya pria itu cukup memberitahunya apa yang membuatnya alergi dan tidak boleh dimakan. Mereka tidak sedang melakukan pendekatan. 'Dia pikir siapa dirinya sampai aku harus mengingat makanan favoritnya?' Seolah tahu apa yang sedang Audrey pikirkan, Earl pun berkata, "Mulai hari ini tugasmu memasa
"Bagaimana, Dokter?" tanya Audrey ketika Dokter keluar dari ruang perawatan. "Sudah diberi obat, Earl boleh pulang setelah baikan." Dokter pun pergi dan Audrey menemui Earl yang belum siuman. Ada Edgar dan Murphy juga di sana. Berdiri di sebelah ranjang untuk melihat kondisi Earl. Diantara mereka, hanya Edgar yang penampilannya 'agak' pantas dilihat. Pria itu berbadan tinggi. Tubuhnya berotot juga, tapi tidak sebesar Murphy. Dia memakai piyama polos berwarna biru dongker, masih tampan meskipun rambutnya acak-acakan. Sedangkan Murphy memakai piyama berwarna cokelat. Sebenarnya cocok saja dengan warna kulitnya, tapi agak memalukan karena bermotif polkadot. Sangat tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang super besar dan kekar. Sementara Audrey memakai piyama warna hitam bermotif kotak-kotak. Dialah yang paling mencemaskan Earl. Sendalnya? Audrey lupa di mana ia meletakkannya. Dia telanjang kaki sekarang. "Earl alergi jamur, kamu tidak tahu itu?" Si perfeksionis Edgar menegur Aud