Home / Romansa / Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra / 4. Rumor buruk yang terbukti benar (21+)

Share

4. Rumor buruk yang terbukti benar (21+)

Author: Strrose
last update Last Updated: 2025-10-10 14:16:11

“Ahh terus....”

“Ya disana.. lebih dalam...”

Isla terbangun karena suara asing yang menusuk telinganya. Samar-samar, desahan perempuan terdengar memenuhi ruangan, bercampur dengan tawa rendah seorang pria. Ia membuka mata perlahan, kelopak berat karena lelah selama perjalanan dan tingkah kekanakan Kilan.

Suara desahan itu makin lama semakin terdengar jelas. Desahan bercampur tawa, dentingan gelas di meja, bahkan bunyi tumit stiletto yang bergesekan dengan lantai marmer kamar hotel.

Isla membuka mata dengan perlahan, mencoba menenangkan napasnya. Tapi ketika pandangannya jatuh ke sofa besar yang menghadap ranjang, semua rasa kantuknya lenyap seketika.

Kilan. Suaminya.

Tubuhnya setengah telanjang, bergumul dengan seorang perempuan asing berambut pirang. Gaun mini perempuan itu sudah terangkat nyaris ke pinggang, bibirnya menempel rakus di leher Kilan, sementara suara sensualnya memenuhi ruangan.

“Ahh… yaa… di sana… lebih dalam lagi…” suara perempuan pirang itu menggema, begitu jelas, begitu menusuk.

“Sial.. aku merindukanmu Jenifer” Racau Kilan

Islani terdiam beberapa detik, tubuhnya membeku. Jantungnya berdegup keras, bukan karena cemburu, tapi karena keterkejutan bercampur jijik. Ia tahu reputasi Kilan Dhirendra sangat buruk.

Namun, yang tak Islani sangka adalah reputasi itu ditunjukan langsung di hadapannya. Bahkan, selama tiga tahun menikah Isla hanya mendengarnya saja. Tetapi kini, sang suami terang-terangan membawa orang asing ke ranjang…bukan, ke sofa… di kamar yang sama.

Tidak ada rasa malu di wajah Kilan ketika ia sadar istrinya bangun. Justru, senyum congkak terlukis di bibirnya. Ia menoleh dengan tatapan penuh tantangan. “Oh, jadi kamu bangun juga, Isla?” katanya ringan, seolah sedang menyapa di meja makan, bukan sedang berbuat nista di depan istri sahnya.

Isla terdiam, hanya menatap dengan dingin. Ia tidak menjerit, tidak menangis. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia kunci rapat.

“Aku membawanya dari klub” Kilan terkekeh rendah, lalu menepuk bokong perempuan pirang di pangkuannya yang terus bergerak naik turun tepat di atas keperkasaannya “Kamu tahu kenapa dia ada di sini?” tanyanya, menunjuk pada si pirang dengan dagu. “Karena kamu.”

Isla tidak menjawab. Ia hanya menunggu kelanjutan dengan wajah tanpa ekspresi.

“Karena kamu tidur. Karena kamu bahkan nggak peduli jadi seorang istri yang kumau.” Kilan melanjutkan dengan nada menekan. “Aku ini lelaki, Isla. Aku butuh wanita. Tapi karena kamu sibuk memunggungiku, aku bungkus dia. Simple, kan?”

Perempuan pirang itu terkikik, membelai dada Kilan dengan manja. “Dia bahkan nggak marah” bisiknya nyaring, seakan menambah garam di luka Isla.

Isla tidak menjawab. Ia bangkit perlahan dari kasur, rambut sebahunya dirapikan dengan jemarinya. Tatapannya datar seolah tak peduli.

“Ahh… Kilan aku mau sampai...” suara perempuan pirang itu memecah udara kamar, menggema tanpa rasa malu. Gerakan tubuhnya kian kasar hingga menyebabkan sofa berderit pelan.

Isla berdiri tenang, seakan tak terguncang meski jantungnya menghantam dinding dada. Ia hanya melangkah maju, mengambil remote TV di meja samping, lalu menyalakan layar lebar.

Volumenya ia tinggikan hingga suara berita memenuhi ruangan, menenggelamkan desahan tadi. Tatapannya tetap lurus, ekspresi wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seorang istri yang baru saja dipermalukan oleh suaminya sendiri.

Setelahnya, Isla kembali naik ke ranjang. Ia membaringkan diri, memunggungi keduanya, seolah tak ingin lagi memberi energi untuk drama murahan itu.

Melihat reaksi Isla, perempuan pirang itu semakin berani, Ia menikmati keheningan dingin Islani. Jemarinya merayap ke tubuh Kilan, tawa kecilnya terdengar menusuk telinga. “Dia sungguh tak peduli, Kilan. Kau menikahi boneka tanpa jiwa. Astaga... bagaimana bisa dia memuaskanmu di ranjang selama tiga tahun kalian menikah” bisiknya, sengaja memanasi.

Kalimat itu seperti pemicu. Kilan tersenyum miring, lalu dengan sengaja mengangkat tubuh perempuan pirang itu dari sofa. Dengan gerakan penuh pamer, ia membawanya ke ranjang, tepat di samping Islani.

“Dia tak pernah melakukannya seperti kamu Jenifer”

PLUK. Kasur berguncang ketika tubuh keduanya jatuh di sisi ranjang. Kilan melirik istrinya yang masih terbaring dengan punggung menghadap, ekspresinya tetap tak terbaca. Senyum congkak muncul di wajahnya.

“Ahh, Kilan… pelan…” suara Jenifer menggema, dibuat-buat sensual. Ia sengaja membiarkan desahannya memenuhi kamar, seolah ingin menusuk telinga Isla. Jemarinya berlari di sepanjang tubuh Kilan, tawa kecilnya terdengar menusuk.

Kilan sengaja ikut bermain. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga istrinya, meski tubuhnya sibuk dengan perempuan lain.

“Kau dengar itu, Isla? Inilah suara wanita yang benar-benar hidup. Bukan istri kaku yang cuma bisa tidur membelakangi suaminya. Aku membawa dia agar kamu bisa belajar langsung bagaimana cara memuaskanku...”

Suara persetubuhan mereka begitu intens. Bunyi kecipak bercampur dengan desahan penuh rekayasa, sengaja diperdengarkan agar menusuk ke dalam kesabaran Islani. Setiap erangan yang meluncur terdengar seperti tamparan, seperti ejekan.

Perempuan itu menjerit manja, “Ahh, ya Tuhan, Kilan…”

Tak cukup sampai di sana, Kilan langsung menggunakan tangannya guna membalik tubuh Islani. Ia ingin benar-benar memastikan ejekannya masuk ke jantung istrinya, ingin melihat bagaimana wajah itu bereaksi.

Namun, betapa terkejutnya ia ketika mendapati wajah sang istri.

Air mata mengalir di pipinya, diam-diam, tanpa suara. Mata itu terbuka, menatap kosong ke arah langit-langit, seolah semua kekuatan untuk menahan sudah patah. Tangisannya bukan histeris, bukan pula marah, melainkan hening yang menghancurkan.

Senyum congkak di wajah Kilan nyaris goyah. Ada sesuatu di tatapan basah Isla yang membuat dadanya bergetar tak nyaman, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya. Ia malah mengencangkan genggamannya di pinggang perempuan pirang itu, mencoba kembali pada perannya sebagai penguasa di ranjang.

“Lihat Isla! Beginilah caramu memanjakanku!” geramnya, suaranya serak penuh ego, mencoba menegaskan dominasi yang mulai terasa rapuh

PLAK!

Tamparan mendarat keras di pipi Kilan. Suaranya nyaring, menusuk, memutus desahan pura-pura perempuan pirang yang langsung terdiam dengan mata terbelalak. Kilan terhuyung sedikit ke samping, wajahnya menegang, rasa panas menjalar cepat di kulit pipinya.

“Menjijikkan” ucap Isla penuh tekanan. Suaranya tak meninggi, tapi dingin hingga membuat udara kamar menusuk.

Isla segera beranjak dari ranjang. Mengenakan sendal hotel lalu meraih tas dan handphone dari meja, gerakannya tegas, penuh tekad. Ia tidak menoleh ke arah Kilan maupun perempuan pirang itu.

Langkah kakinya menuju pintu terasa mantap. Tangannya sudah meraih gagang pintu ketika suara Kilan menyusul, berat dan penuh amarah yang ditahan.

“Berhenti.”

Isla tak peduli. Ia memutar gagang pintu. Namun sebelum berhasil membukanya, pergelangan tangannya ditarik kasar dari belakang. Tubuhnya berbalik dengan hentakan, membuat tas hampir terlepas dari genggamannya.

Kilan berdiri di depannya dengan wajah memerah, bukan hanya karena tamparan tadi, melainkan karena campuran ego, amarah, dan… ketakutan yang tak ia akui.

“Kau pikir kau bisa keluar begitu saja hah?!!” suaranya rendah, geram, hampir bergetar.

PLAK!

Tamparan kedua Isla mendarat lebih keras dari yang pertama. Pipi Kilan terhempas ke samping, suara benturannya bergema di ruangan hotel yang mendadak senyap. Perempuan pirang menutup mulutnya, nyaris menjerit, tapi memilih tetap diam karena aura di antara pasangan itu jauh lebih menakutkan daripada skandal yang ia ikuti barusan.

“Sentuh aku sekali lagi dan aku pastikan tanganmu tak akan bisa menyentuh perempuan mana pun lagi” desis Isla, suaranya serupa bisikan neraka—pelan, tapi membakar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   17. Terjerat (21+)

    “Ahh, Kak Kilan… pelan…” bisik Ferania dengan suara gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup menahan intensitas dari sentuhan Kilan. Air matanya jatuh, namun bibirnya tetap melengkung samar, menutupi kepuasan licik yang ia rasakan.Kilan menggeram, menahan rahang hingga uratnya tampak menegang.“Ck… berhenti merintih, Ferania” desisnya kasar, jemarinya mencengkeram lengan halus gadis itu dengan kuat. “Kamu bahkan… nggak perawan.”Ferania terhenyak sepersekian detik, tubuhnya menegang, namun ia segera menutupinya dengan tangis kecil yang terdengar memilukan. Ia menatap Kilan dengan mata berkaca-kaca, membuat dirinya tampak rapuh, lemah, dan menyedihkan.“Jangan katakan begitu, Kak… kau menyakitiku…bagaimana bisa kakak mengatakannya saat kak Kilan adalah orang pertama yang menyentuhku” suaranya lirih, pecah seperti helaan napas yang patah. Tangannya menggenggam kemeja yang masih Kilan gunakan, menariknya lebih dekat, seolah mencari perlindungan. Padahal dalam hati, ia menyimpan senyum kemen

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   16. Godaan Adik Ipar

    Kilan menekan pedal gas lebih dalam. Suara mesin mobil sportnya meraung keras, menggema di sepanjang jalanan kota yang basah oleh gerimis sisa hujan. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan seperti serpihan cahaya yang menari cepat, tapi di matanya, semuanya kabur.Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Ferania.Nama itu bergema di kepalanya, mengalahkan dentuman musik dari radio yang belum sempat ia matikan. Ferania dengan suara bergetar, air mata yang bahkan lewat telepon terdengar tulus, dan cara dia menyebut “Kak Kilan…” dengan nada begitu lemah, seolah seluruh dunia sedang menindasnya.Tapi Kilan tahu wanita itu bukan tipe yang mudah hancur. Ia tahu persis bagaimana Ferania bisa memelintir emosi orang dengan ketepatan seperti senjata.Namun tetap saja, ada sesuatu di dirinya yang tidak bisa berpaling. Bukan hanya karena ia kasihan. Tapi karena setiap kali Ferania menangis, ada bagian dalam dirinya yang ingin menenangkan… dan bagian lain yang ingin menghancurkan.“Persetan…” guma

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   15. Fantasi yang hancur (21+)

    Kilan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, mesin meraung keras di jalanan yang masih ramai sore itu. Jemarinya mengetuk setir mengikuti irama lagu EDM yang diputar kencang, seolah mencoba menutupi kekacauan di dalam kepalanya.Bangunan kaca berlampu neon biru-ungu mulai terlihat di ujung jalan, klub miliknya, Euphoria. Dari luar tampak megah, papan nama besar menyala bahkan sebelum matahari benar-benar tenggelam. Orang-orang yang melintas di trotoar berhenti sejenak hanya untuk menatap, seolah tempat itu adalah magnet malam yang tak bisa diabaikan. Tapi hanya Kilan yang tahu, gemerlap lampu itu tidak sebanding dengan isi brankasnya yang makin menipis.Ia memarkir mobil sport-nya di area khusus VIP, lalu turun tanpa menunggu staf keamanan membukakan pintu. Sepatu hitam menginjak lantai marmer yang berkilau oleh pantulan cahaya. Musik dari dalam klub menggema samar, bercampur dengan suara tawa dan denting gelas.“Bos datang,” ucap salah satu pen

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   14. Cucu dari Isla?

    Setelah kematian ibunya, Isla tak pernah lagi mengharapkan kasih sayang. Ia sudah terbiasa menyimpan jarak, karena sadar ayahnya selalu menghabiskan perhatian dan kasih sayangnya untuk selingkuhan serta anak tirinya.Kenangan itu masih segar di pikirannya. Seminggu setelah ibunya dikebumikan, ayahnya menikah dengan Yuria dan membawa Ferania tinggal di rumah yang sama.Dunia Isla terasa hancur, tidak ada satu pun yang benar-benar peduli padanya. Ia belajar untuk menahan diri, menelan kecewa, dan menganggap cinta atau perhatian hanyalah sebuah ilusi.Namun, mendapat perlakuan yang luar biasa hangat dari mertuanya membuat Isla diam-diam terkejut. Setiap senyum, kata lembut, bahkan perhatian kecil seperti menanyakan preferensi pakaian, kebiasannya atau menyapanya dengan hangat, menembus tembok perlindungan yang selama ini ia bangun sendiri.Isla merasa bingung, antara ingin percaya dan takut akan kecewa lagi. Ada bagian dirinya yang ingin menolak, tapi ada juga bagian lain yang ingin memb

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   13. Jangan mau dicoblos, Isla

    Dirinya dijual.Sederhana. Kasar. Menyakitkan.Semua potongan hidupnya seakan berjatuhan di depan mata. Setiap tatapan dingin Adnan, setiap kalimat tajam yang ia lontarkan dulu, setiap sikap tak peduli pada luka-luka kecil yang Isla kumpulkan sejak kecil, semua akhirnya masuk akal. Ia bukan putri yang disayang. Ia hanyalah barang dagangan yang kebetulan lahir sebagai anak kandung Adnan.Napas Isla tercekat. Saat ia mencoba menarik udara, yang masuk ke paru-parunya hanyalah rasa getir dan pengkhianatan. Kata-kata Joseph masih menggaung di telinganya, bercampur dengan suara Adnan di masa lalu, suara ayah yang selama ini ia pikir hanya pilih kasih, ternyata juga tega menukarnya dengan angka, dengan mahar.Yang membuat Isla tak habis pikir adalah ucapan Adnan yang menekankan jika keluarga Dhirendralah yang memaksakan pernikahan ini tiga tahun lalu. Padahal ayahnya sendiri yang menjualnya.“Isla sayang...” suara lembut itu terdengar dari arah ruang tengah.Langkah Isla terhenti. Kepalanya

  • Gelora Hasrat Pewaris Takhta Dhirendra   12. Dia yang dijual

    Suasana di ruang kerja Joseph, sang kepala keluarga Dhirendra begitu hening. Hanya suara jam antik di dinding yang berdetak pelan serta aroma tembakau yang samar masih tertinggal di udara, menambah berat atmosfer perbincangan itu.Netra coklat Isla menatap lurus pada sang kepala keluarga Dhirendra, sorot matanya tetap tenang, meski dalam dirinya bergolak perasaan yang sulit dijelaskan, antara rasa hormat, takut, dan lelah.Pria itu duduk di balik meja kayu jati besar, tubuhnya tegap meski usianya sudah melewati setengah abad. Setiap gerakannya penuh wibawa, bahkan ketika hanya menyandarkan tubuh pada kursi kulit hitamnya.“Isla…” suaranya rendah, bukan lagi nada tegas penuh kuasa yang biasa ia lontarkan.Isla menatapnya lekat, menanti kalimat apa yang akan keluar dari bibir pria paruh baya yang adalah mertuanya itu.“Aku meminta maaf padamu.”Isla tertegun. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.Permintaan maaf itu terasa janggal, bukan karena ia tak menginginkannya,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status