เข้าสู่ระบบPukul tiga dini hari, Isla keluar dari hotel. Udara malam langsung menyergap tubuhnya. Dingin. Terlalu dingin untuk kain tipis piyama yang melekat di kulit. Kedua lengannya otomatis merangkul diri sendiri, berusaha menahan gigil. Sandal hotel yang ia kenakan tak banyak melindungi telapak kakinya dari lantai marmer yang dingin menusuk, lalu trotoar luar yang kasar.
Matanya berkeliling, mencari taksi atau kendaraan yang bisa membawanya pergi. Tapi jalanan depan hotel nyaris kosong. Kota memang tak pernah benar-benar tidur, tapi malam itu terasa terlalu sunyi, hanya angin yang berdesir dan suara jauh kendaraan yang melintas sesekali.
Isla merogoh tasnya dengan tergesa, mencari ponsel. Begitu layar menyala, hanya satu ikon yang muncul, baterai merah, lalu layar mati total.
“Tidak…” bisiknya pelan. Panik merambat di dadanya. Ia menekan tombol power berkali-kali, tapi sia-sia. Baterai sudah benar-benar habis.
Isla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Betapa sialnya hidupku..” gumamnya lirih, seperti mantra untuk menguatkan langkah. Ia menegakkan punggung, menatap lurus ke jalan yang membentang di depannya.
Hawa dingin menggigit tulangnya, membuat tubuhnya bergetar. Tapi tatapannya keras, berkilat tekad. Lebih baik berjalan kaki, berjuang di tengah malam, daripada kembali ke kamar itu, ke ranjang yang dipenuhi hinaan.
Baru sekitar lima menit dia berjalan, pandangannya disilaukan oleh cahaya dari lampu mobil yang melaju pelan dari arah berlawanan.
Isla menyipitkan mata, menunduk sedikit, berharap mobil itu sekadar lewat. Namun, suara klakson pendek menyusul, lalu kendaraan berhenti tepat di sisi trotoar.
Kaca jendela mobil perlahan turun. Dari dalam, wajah yang familiar muncul, berbeda aura dengan Kilan. Garis wajahnya lebih dewasa, sorot matanya lebih tajam tapi juga penuh kendali. Kavian Dhirendra. Kakak iparnya.
“Isla?” Suaranya datar, nyaris tak percaya melihat adik iparnya berdiri di pinggir jalan dengan piyama tipis dan sandal hotel. “Kapan kembali dari Malaysia?” tanyanya
Isla memejamkan mata sejenak, mencoba memastikan bahwa yang ia lihat bukan sekadar ilusi. Tapi suara berat itu nyata. Terlalu nyata. Saat ia membuka mata kembali, pandangannya bertemu langsung dengan sorot dingin dan tajam milik Kavian Dhirendra — pria yang selama ini hanya ia kenal sebagai sosok yang nyaris tak tersentuh, selalu tenang, selalu menjaga jarak.
Isla menegakkan tubuh, berusaha menyembunyikan gemetar yang merayap di sekujur badannya. “Aku baru tiba beberapa jam lalu kak” katanya tenang, walau bibirnya kaku
Kavian tidak langsung menjawab. Ia memandangnya lama hingga Isla merasa setiap lapisan harga dirinya dikupas habis oleh sorot mata itu. Pandangan pria itu sempat turun ke piyama tipis yang melekat di tubuhnya, lalu kembali naik menancap tepat ke wajah pucatnya.
“Mau kemana?” tanyanya akhirnya, tenang, tapi dingin.
“Oh... Aku cuma jalan-jalan kak, butuh udara segar, maklum lama tidak menghirup angin Indonesia”
Kavian tidak berkedip. Alisnya berkerut tipis, tatapannya tajam seolah bisa menembus semua pertahanan rapuh Isla. “Pukul tiga pagi? Dengan pakaian begitu?” Suaranya tidak meninggi, tapi mengandung nada menghukum yang membuat Isla ingin lari.
Isla mengangkat sudut bibir, senyum tipis yang tak sampai ke matanya. Ia menunduk, merapikan rambut sebahunya yang acak-acakan tertiup angin.
“Iya Kak. Udara subuh bagus buat tubuh” suaranya bergetar halus, tapi ia menekannya agar terdengar tenang. Ia menunduk sebentar, menatap trotoar di bawah kaki, berharap dengan sikapnya yang pasif ini, Kavian tidak akan menanyakan lebih jauh.
Kavian menghela napas pelan “Naiklah” katanya “Kamu tidak akan sampai manapun dengan berjalan kaki seperti ini.”
“Eh... tidak perlu kak. Aku akan kembali ke hotel, aku..-” Jawab Isla cepat
“Masuk ke mobil” katanya datar.
Isla menggeleng pelan. “Aku bisa sendiri, kak”
“Isla.” Suaranya berubah lebih dalam, nada perintah yang tegas namun tak meninggi. “Sekarang bukan waktunya untuk keras kepala. Masuk ke mobil sebelum saya benar-benar turun dan memaksamu.”
“Tapi kak-“
“Masuk, Isla.” Nada suaranya kini lebih rendah “Saya bisa mengantarmu ke mana pun kamu mau pergi” lanjutnya
Isla terpaku. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah pelan masuk ke dalam mobil.
Begitu pintu tertutup, suara lembut dari sistem AC otomatis memenuhi kabin, menyalurkan udara hangat yang langsung menyergap tubuh Isla. Ia memeluk dirinya, menggigil kecil, berusaha menenangkan diri. Aroma parfum Kavian, perpaduan kayu cendana dan cedar memenuhi ruang sempit itu, memaksanya sadar betapa dekatnya ia kini dengan pria itu.
Kavian menyalakan lampu sein, lalu melajukan mobil perlahan meninggalkan area hotel. Tak ada yang bicara untuk beberapa menit. Hanya suara mesin dan ritme napas yang bergantian mengisi keheningan.
“Pulang ke rumah orang tuamu, atau ke Dhirendra?” tanya Kavian akhirnya, suaranya tenang tapi membawa beban.
“Pulang saja, Kak…” Jawab Isla
Kavian menoleh sebentar, hanya sekilas, lalu kembali menatap jalan.
Jalanan dini hari itu sangat lengang, hanya sesekali terdengar deru motor melintas dari arah berlawanan. Mobil Kavian melaju stabil, tidak terburu-buru, seolah pria itu sengaja memperpanjang waktu yang mereka habiskan berdua dalam ruang sempit tersebut.
Isla merapatkan kedua tangannya ke tubuh, berusaha mengusir dingin yang masih melekat meski AC mobil sebenarnya hangat. Ia merasa terlalu sadar pada setiap detik yang berjalan, pada keheningan yang sesekali dipatahkan oleh desahan napas Kavian.
Lalu suara itu kembali terdengar. Berat, dalam, tapi kini lebih lembut.
“Orang tuamu tahu kamu sudah kembali ke Indonesia?”
Isla menoleh cepat “Aku sudah mengabari mereka semalam” jawabnya, pelan. Ia tak yakin apakah pesannya benar-benar dibaca, apalagi dibalas.
Kavian mengerling sekilas, bibirnya menekuk samar “Kilan juga di Indonesia?” tanyanya
“Iya kak" Isla mengangguk “Kami kembali bersama tadi” Jawab Isla, sengaja ia ucapkan dengan polos agar sang kakak ipar tidak curiga
“Benarkah?” tanyanya datar. Sorot matanya menelusuri wajah pucat Isla. Ada sesuatu yang bergetar halus di sana, ketidakjujuran yang terlalu jelas. Sudut bibirnya menekuk samar, dingin.
“Ya” Jawab Isla.
Kavian tak merespon lebih jauh. Tapi dari ekor matanya, Isla bisa melihat rahang pria itu mengeras. Tatapan lurus di depan, tangan yang menggenggam kemudi sedikit lebih kuat dari sebelumnya, tanda bahwa ia menahan sesuatu.
“Di depan belok kanan kak” ucap Isla
“Ya, saya tahu” Jawab Kavian
Isla menggenggam erat kain piyamanya, lalu dengan suara pelan yang hampir tenggelam oleh dengung mesin mobil, ia memberanikan diri bertanya
“Tadi.… kenapa kak Kavi bisa ada di dekat hotel?”
“Kebetulan saya ada urusan dekat sini” katanya akhirnya, nada suaranya datar, tapi ada sesuatu yang membuat Isla merasa kata-katanya tak sepenuhnya meyakinkan.
“Urusan apa, Kak?”
“Hal pribadi” jawab Kavian singkat.
Bersamaan dengan jawaban itu, Kavian mematikan mesin mobil begitu roda berhenti di halaman rumah dengan pagar bersi tinggi. Suara mesin yang lenyap membuat hening terasa lebih tebal, sampai-sampai Isla bisa mendengar degup jantungnya sendiri.
“Ah, begitu… ya sudah, kalau begitu. Terima kasih sudah menawari tumpangan, Kak.” Tapi sebelum Isla benar-benar turun, suara dalam dan tegas itu kembali menahannya.
“Isla.”
Tubuhnya menegang. Tangannya berhenti di gagang pintu, matanya bersitatap dengan sang kakak ipar. Tatapan pria itu menusuk, dalam, membuat napas Isla tercekat.
“Kalau suamimu tak bisa menghargaimu dengan baik, apa gunanya kamu tetap bertahan?” ucapnya datar, tapi sarat tekanan.
Isla terdiam, matanya menyipit singkat, sekedar memahami kalimat yang keluar dari bibir Kavian.
"Apa maksud kakak?" Tanya Isla
“Seorang wanita tak seharusnya menggigil di jalan dengan piyama tipis, terlebih pukul tiga pagi.” Pelan ia melanjutkan dengan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Isla “Itu bukan pertama kalinya Kilan memperlakukanmu dengan buruk, kan?” Sambungnya
Isla menatap pria itu sejenak. Setelah menikah dengan Kilan, baru kali ini dia mendengar Kavian berbicara cukup lama dan panjang. Nada bicaranya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk menembus lapisan pertahanannya yang sudah rapuh.
“Aku…” suara Isla pecah di awal, lalu terhenti. Isla menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa harga diri yang masih tersisa. “Aku nggak mau membicarakan hal itu, Kak” Jawab Isla
“Tidak ingin, atau tidak berani?” Kavian menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya tetap tak beranjak dari wajah Isla
“Kak maaf.. tapi aku nggak tertarik membicarakan hubungan rumah tanggaku dengan orang lain” Jawab Isla mencoba tenang dan menahan emosinya
Kavian tertawa pelan, tapi tawa itu sama sekali tidak hangat. Lebih terdengar seperti nada sinis yang terbungkus dalam keheningan malam. Ia menggeleng pelan, menatap Isla lama... terlalu lama, sampai gadis itu merasa seolah pandangan pria itu mampu menembus kulit dan melihat isi hatinya yang paling kacau.
“Isla” Panggilnya yang membuat Isla merinding. “Jika suamimu tak berguna, kenapa kamu tidak berpikir untuk menggantinya.” Kavian melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih rendah namun menggema di ruang mobil yang hening
"A-apa maksud kakak?" Mata Isla menatap lurus pada Kavian, menahan gejolak emosi yang tiba-tiba muncul.
"Entahlah, coba kamu pikirkan sendiri apa maksud ucapan saya" Ucap Kavian dengan senyum manis yang membuat jantung Isla berdebar tak karuan.
Gimana gimanaaa.... kalian suka karakter Kavian gaaa?????
“Ahh, Kak Kilan… pelan…” bisik Ferania dengan suara gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup menahan intensitas dari sentuhan Kilan. Air matanya jatuh, namun bibirnya tetap melengkung samar, menutupi kepuasan licik yang ia rasakan.Kilan menggeram, menahan rahang hingga uratnya tampak menegang.“Ck… berhenti merintih, Ferania” desisnya kasar, jemarinya mencengkeram lengan halus gadis itu dengan kuat. “Kamu bahkan… nggak perawan.”Ferania terhenyak sepersekian detik, tubuhnya menegang, namun ia segera menutupinya dengan tangis kecil yang terdengar memilukan. Ia menatap Kilan dengan mata berkaca-kaca, membuat dirinya tampak rapuh, lemah, dan menyedihkan.“Jangan katakan begitu, Kak… kau menyakitiku…bagaimana bisa kakak mengatakannya saat kak Kilan adalah orang pertama yang menyentuhku” suaranya lirih, pecah seperti helaan napas yang patah. Tangannya menggenggam kemeja yang masih Kilan gunakan, menariknya lebih dekat, seolah mencari perlindungan. Padahal dalam hati, ia menyimpan senyum kemen
Kilan menekan pedal gas lebih dalam. Suara mesin mobil sportnya meraung keras, menggema di sepanjang jalanan kota yang basah oleh gerimis sisa hujan. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan seperti serpihan cahaya yang menari cepat, tapi di matanya, semuanya kabur.Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Ferania.Nama itu bergema di kepalanya, mengalahkan dentuman musik dari radio yang belum sempat ia matikan. Ferania dengan suara bergetar, air mata yang bahkan lewat telepon terdengar tulus, dan cara dia menyebut “Kak Kilan…” dengan nada begitu lemah, seolah seluruh dunia sedang menindasnya.Tapi Kilan tahu wanita itu bukan tipe yang mudah hancur. Ia tahu persis bagaimana Ferania bisa memelintir emosi orang dengan ketepatan seperti senjata.Namun tetap saja, ada sesuatu di dirinya yang tidak bisa berpaling. Bukan hanya karena ia kasihan. Tapi karena setiap kali Ferania menangis, ada bagian dalam dirinya yang ingin menenangkan… dan bagian lain yang ingin menghancurkan.“Persetan…” guma
Kilan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, mesin meraung keras di jalanan yang masih ramai sore itu. Jemarinya mengetuk setir mengikuti irama lagu EDM yang diputar kencang, seolah mencoba menutupi kekacauan di dalam kepalanya.Bangunan kaca berlampu neon biru-ungu mulai terlihat di ujung jalan, klub miliknya, Euphoria. Dari luar tampak megah, papan nama besar menyala bahkan sebelum matahari benar-benar tenggelam. Orang-orang yang melintas di trotoar berhenti sejenak hanya untuk menatap, seolah tempat itu adalah magnet malam yang tak bisa diabaikan. Tapi hanya Kilan yang tahu, gemerlap lampu itu tidak sebanding dengan isi brankasnya yang makin menipis.Ia memarkir mobil sport-nya di area khusus VIP, lalu turun tanpa menunggu staf keamanan membukakan pintu. Sepatu hitam menginjak lantai marmer yang berkilau oleh pantulan cahaya. Musik dari dalam klub menggema samar, bercampur dengan suara tawa dan denting gelas.“Bos datang,” ucap salah satu pen
Setelah kematian ibunya, Isla tak pernah lagi mengharapkan kasih sayang. Ia sudah terbiasa menyimpan jarak, karena sadar ayahnya selalu menghabiskan perhatian dan kasih sayangnya untuk selingkuhan serta anak tirinya.Kenangan itu masih segar di pikirannya. Seminggu setelah ibunya dikebumikan, ayahnya menikah dengan Yuria dan membawa Ferania tinggal di rumah yang sama.Dunia Isla terasa hancur, tidak ada satu pun yang benar-benar peduli padanya. Ia belajar untuk menahan diri, menelan kecewa, dan menganggap cinta atau perhatian hanyalah sebuah ilusi.Namun, mendapat perlakuan yang luar biasa hangat dari mertuanya membuat Isla diam-diam terkejut. Setiap senyum, kata lembut, bahkan perhatian kecil seperti menanyakan preferensi pakaian, kebiasannya atau menyapanya dengan hangat, menembus tembok perlindungan yang selama ini ia bangun sendiri.Isla merasa bingung, antara ingin percaya dan takut akan kecewa lagi. Ada bagian dirinya yang ingin menolak, tapi ada juga bagian lain yang ingin memb
Dirinya dijual.Sederhana. Kasar. Menyakitkan.Semua potongan hidupnya seakan berjatuhan di depan mata. Setiap tatapan dingin Adnan, setiap kalimat tajam yang ia lontarkan dulu, setiap sikap tak peduli pada luka-luka kecil yang Isla kumpulkan sejak kecil, semua akhirnya masuk akal. Ia bukan putri yang disayang. Ia hanyalah barang dagangan yang kebetulan lahir sebagai anak kandung Adnan.Napas Isla tercekat. Saat ia mencoba menarik udara, yang masuk ke paru-parunya hanyalah rasa getir dan pengkhianatan. Kata-kata Joseph masih menggaung di telinganya, bercampur dengan suara Adnan di masa lalu, suara ayah yang selama ini ia pikir hanya pilih kasih, ternyata juga tega menukarnya dengan angka, dengan mahar.Yang membuat Isla tak habis pikir adalah ucapan Adnan yang menekankan jika keluarga Dhirendralah yang memaksakan pernikahan ini tiga tahun lalu. Padahal ayahnya sendiri yang menjualnya.“Isla sayang...” suara lembut itu terdengar dari arah ruang tengah.Langkah Isla terhenti. Kepalanya
Suasana di ruang kerja Joseph, sang kepala keluarga Dhirendra begitu hening. Hanya suara jam antik di dinding yang berdetak pelan serta aroma tembakau yang samar masih tertinggal di udara, menambah berat atmosfer perbincangan itu.Netra coklat Isla menatap lurus pada sang kepala keluarga Dhirendra, sorot matanya tetap tenang, meski dalam dirinya bergolak perasaan yang sulit dijelaskan, antara rasa hormat, takut, dan lelah.Pria itu duduk di balik meja kayu jati besar, tubuhnya tegap meski usianya sudah melewati setengah abad. Setiap gerakannya penuh wibawa, bahkan ketika hanya menyandarkan tubuh pada kursi kulit hitamnya.“Isla…” suaranya rendah, bukan lagi nada tegas penuh kuasa yang biasa ia lontarkan.Isla menatapnya lekat, menanti kalimat apa yang akan keluar dari bibir pria paruh baya yang adalah mertuanya itu.“Aku meminta maaf padamu.”Isla tertegun. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.Permintaan maaf itu terasa janggal, bukan karena ia tak menginginkannya,







