Share

Chapter 2 - Kesepakatan

Gaby bergelung dalam tidurnya, mengerang pelan lalu berbalik untuk mencari posisi nyaman. Ia melebarkan tangan untuk memeluk guling lebih erat.

'Hmm, kenapa bantal ini lebar sekali? Tunggu, apa ini? Keras …'

Gaby terus bergumam dalam pikirannya, untuk menjabarkan bentuk dari guling yang dipeluknya.

Udara hangat terasa menyentuh kulit disusul sentuhan lembut yang membelai bibirnya. Gaby tergoda untuk merengkuh sentuhan di bibirnya, mencicipi manis dan kehangatan yang ditawarkan.

"Morning kiss," ucap suara serak yang baru saja menyentuh bibir Gaby. "Aku suka dengan cara mu menyapa."

Mendengar suara yang tak asing di dekatnya membuat Gaby buru-buru membuka mata. Ia melotot dan bangkit dari posisi tidurnya. Matanya nyaris keluar saat menyadari tubuh polosnya terekspos bebas karena selimut yang menutupi jatuh bertumpuk di pinggang saat dia tiba-tiba bangun.

"Apa yang kamu lakukan disini?" Hardiknya marah sambil menarik selimut untuk menutupi sekaligus membungkus tubuhnya.

Mike terkekeh pelan. Melipat lengannya di bawah kepala. Matanya menikmati setiap perubahan ekspresi di wajah Gaby.

"Tentu saja tidur. Ini apartemen ku," balasnya santai.

"Apartemen?" Gumam Gaby panik. "Apa yang aku lakukan disini?"

"Entahlah." Mike beralih duduk lalu mengendikkan bahunya. "Semalam kamu datang dalam keadaan mabuk untuk menggodaku," ucapnya sambil mencium singkat pundak telanjang dari wanita pujaannya.

Gaby mendesis kesal. "Hentikan."

'Apa yang kulakukan disini?' Rutuknya marah atas kecerobohan yang dilakukan tanpa sadar.

Mike tak bereaksi akan protes Gaby. Tangannya menyusuri punggung terbuka dari wanita yang semalam menjerit puas di atas ranjangnya.

"Lalu, apa kita?" Gaby tak mampu mengutarakan apa yang ia pikirkan.

'Ini terlalu memalukan,' lirihnya dalam hati.

"Tidak perlu bertanya, tubuhmu bisa menjelaskan semuanya," balas Mike.

Gaby menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Sial!" Desisnya pelan.

"Apa sekarang kamu cukup sadar?"

Pertanyaan Mike membuat Gaby mengangkat kepalanya. "Sadar?"

"Ya. Karena kita harus membicaran apa yang telah terjadi."

"Beri aku beberapa menit. Aku ingin mandi dan berbenah," tahan Gaby.

Mike mengangguk paham. "Kalau begitu aku akan menunggumu di luar."

"Ya." Gaby tak berusaha untuk membantah. Bahkan dia tak berani mengangkat wajahnya untuk memandang saudara iparnya itu.

"Keluarlah setelah kamu siap," ujar Mike sambil menutup pintu kamar dan berlalu.

Gaby menjambak rambutnya gemas sambil berulang kali mengutuk diri.

"Apa yang kamu lakukan, Gaby. Kamu akan kembali mengundang malapetaka," desisnya. Dengan berat hati, tertatih ia beranjak dari atas ranjang menuju toilet.

Tak lama setelah berbenah diri, Gaby melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Kakinya bergerak ragu, memasuki area dapur dimana pria berbadan tegap yang tampak semakin tampan meski menggunakan apron, sibuk hilir mudik di antara dua meja yang membatasi dapur.

"Makanlah. Kamu pasti lapar 'kan?"

Mike meletakkan piring dan segelas susu hangat dihadapan Gaby. Ia sengaja menyiapkan brunch dengan porsi jumbo untuk mengganjal perut di pagi menjelang siang hari—eggs benny dengan muffin Inggris yang dibelah menjadi dua bagian lalu tambahan poached egg, ham, sosis dan siraman saus hollandaise.

Gaby meneguk ludah. Begitu melihat isi piring, perutnya langsung berontak meminta segera di isi.

"Ayo." Mike mendorong piring lebih dekat. "Kamu membutuhkan asupan makanan yang banyak setelah aktivitas panas kita pagi ini," godanya.

Gaby berdecak sebal. "Jangan ingatkan aku lagi."

"Kenapa? Kamu malu?" Kekeh Mike sambil menusuk potongan sosis di piringnya lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Rasa makanan hari ini jauh lebih nikmat hanya karena pemandangan indah dihadapannya. Ia tak pernah membayangkan bisa melihat Gaby dalam balutan kemeja putih yang nyaris menenggelamkan tubuh rampingnya.

"Gaby, kamu sangat seksi dengan penampilan seperti itu," puji Mike. "Lain kali kamu harus menggunakannya saat menginap disini."

"Hentikan." Sergah Gaby cepat. "Tidak akan ada lain kali."

Gaby menatap lekat wajah pria yang berhasil menjungkir balikkan logika dan hasratnya.

"Apa maksudmu?" Mike meletakkan garpunya dengan ekspresi serius.

"Mike, apa yang kita lakukan semalam adalah sebuah kesalahan dan kita tidak boleh mengulanginya lagi."

Mike membanting punggungnya ke sandaran kursi lalu melipat kedua lengannya di depan dada.

"Kesalahan?" Tukasnya sengit.

Gaby mengepalkan buku-buku jarinya. Sangat sulit bagi Gaby mengutarakan perasaan yang sebenarnya.

"Kamu benar. Meski mabuk, aku harus mengakui kalau apa yang terjadi semalam bukan karena paksaan."

"Tapi—"

"Kamu pria beristri, Mike dan sialnya lagi kita saudara ipar," lanjutnya lirih.

Mike mendesah dalam. "Mungkin kamu belum tahu tapi pernikahan ku di ambang perceraian. Kami sudah mendaftarkan berkas ke pengadilan."

"Tapi itu tidak akan mengubah apapun karena hubungan kita sudah selesai sejak lima tahun yang lalu."

"Kumohon, Mike. Biarkan semuanya berlalu dan kembali sebagaimana mestinya." Pinta Gaby.

"Baiklah." Putus Mike setelah lama terdiam. Ia memperhatikan lamat-lamat wajah yang berusaha keras untuk menghindari tatapannya.

"Kamu boleh saja menganggap apa yang kita lakukan tak pernah terjadi, tapi dengan satu syarat,"

"jangan pernah mencoba bahkan berpikir untuk melarikan diri lagi." Lanjut Mike.

"Apa?"

"Kamu harus tetap tinggal di negara ini dan kembali ke rumah Papa." Tegas Mike.

"I—itu tidak mungkin, Mike." Sergah Gaby cepat. "Aku punya pekerjaan di Amerika. Tidak mungkin aku tiba—"

"Aku tidak perduli dengan semua alasan mu, Gaby." Potong Mike.

Intonasi suaranya berubah dingin dan datar. Mike menatap tajam, menunggu jawaban dari wanita dihadapannya.

"Mike, a—aku …"

"Jawab 'lah, Gaby. Cukup katakan ya atau tidak. Pilihan mu akan menentukan keputusanku."

Gaby mengepalkan buku-buku tangannya resah. "Ya," cicitnya ragu.

Mike mengulas senyum datar. "Jangan pernah ingkari pilihan mu hari ini, Gaby," ucapnya sendu.

*****

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status