Gaby bergelung dalam tidurnya, mengerang pelan lalu berbalik untuk mencari posisi nyaman. Ia melebarkan tangan untuk memeluk guling lebih erat.
'Hmm, kenapa bantal ini lebar sekali? Tunggu, apa ini? Keras …'Gaby terus bergumam dalam pikirannya, untuk menjabarkan bentuk dari guling yang dipeluknya.Udara hangat terasa menyentuh kulit disusul sentuhan lembut yang membelai bibirnya. Gaby tergoda untuk merengkuh sentuhan di bibirnya, mencicipi manis dan kehangatan yang ditawarkan."Morning kiss," ucap suara serak yang baru saja menyentuh bibir Gaby. "Aku suka dengan cara mu menyapa."Mendengar suara yang tak asing di dekatnya membuat Gaby buru-buru membuka mata. Ia melotot dan bangkit dari posisi tidurnya. Matanya nyaris keluar saat menyadari tubuh polosnya terekspos bebas karena selimut yang menutupi jatuh bertumpuk di pinggang saat dia tiba-tiba bangun."Apa yang kamu lakukan disini?" Hardiknya marah sambil menarik selimut untuk menutupi sekaligus membungkus tubuhnya.Mike terkekeh pelan. Melipat lengannya di bawah kepala. Matanya menikmati setiap perubahan ekspresi di wajah Gaby."Tentu saja tidur. Ini apartemen ku," balasnya santai."Apartemen?" Gumam Gaby panik. "Apa yang aku lakukan disini?""Entahlah." Mike beralih duduk lalu mengendikkan bahunya. "Semalam kamu datang dalam keadaan mabuk untuk menggodaku," ucapnya sambil mencium singkat pundak telanjang dari wanita pujaannya.Gaby mendesis kesal. "Hentikan."'Apa yang kulakukan disini?' Rutuknya marah atas kecerobohan yang dilakukan tanpa sadar.Mike tak bereaksi akan protes Gaby. Tangannya menyusuri punggung terbuka dari wanita yang semalam menjerit puas di atas ranjangnya."Lalu, apa kita?" Gaby tak mampu mengutarakan apa yang ia pikirkan.'Ini terlalu memalukan,' lirihnya dalam hati."Tidak perlu bertanya, tubuhmu bisa menjelaskan semuanya," balas Mike.Gaby menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Sial!" Desisnya pelan."Apa sekarang kamu cukup sadar?"Pertanyaan Mike membuat Gaby mengangkat kepalanya. "Sadar?""Ya. Karena kita harus membicaran apa yang telah terjadi.""Beri aku beberapa menit. Aku ingin mandi dan berbenah," tahan Gaby.Mike mengangguk paham. "Kalau begitu aku akan menunggumu di luar.""Ya." Gaby tak berusaha untuk membantah. Bahkan dia tak berani mengangkat wajahnya untuk memandang saudara iparnya itu."Keluarlah setelah kamu siap," ujar Mike sambil menutup pintu kamar dan berlalu.Gaby menjambak rambutnya gemas sambil berulang kali mengutuk diri."Apa yang kamu lakukan, Gaby. Kamu akan kembali mengundang malapetaka," desisnya. Dengan berat hati, tertatih ia beranjak dari atas ranjang menuju toilet.Tak lama setelah berbenah diri, Gaby melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Kakinya bergerak ragu, memasuki area dapur dimana pria berbadan tegap yang tampak semakin tampan meski menggunakan apron, sibuk hilir mudik di antara dua meja yang membatasi dapur."Makanlah. Kamu pasti lapar 'kan?"Mike meletakkan piring dan segelas susu hangat dihadapan Gaby. Ia sengaja menyiapkan brunch dengan porsi jumbo untuk mengganjal perut di pagi menjelang siang hari—eggs benny dengan muffin Inggris yang dibelah menjadi dua bagian lalu tambahan poached egg, ham, sosis dan siraman saus hollandaise.Gaby meneguk ludah. Begitu melihat isi piring, perutnya langsung berontak meminta segera di isi."Ayo." Mike mendorong piring lebih dekat. "Kamu membutuhkan asupan makanan yang banyak setelah aktivitas panas kita pagi ini," godanya.Gaby berdecak sebal. "Jangan ingatkan aku lagi.""Kenapa? Kamu malu?" Kekeh Mike sambil menusuk potongan sosis di piringnya lalu memasukkannya ke dalam mulut.Rasa makanan hari ini jauh lebih nikmat hanya karena pemandangan indah dihadapannya. Ia tak pernah membayangkan bisa melihat Gaby dalam balutan kemeja putih yang nyaris menenggelamkan tubuh rampingnya."Gaby, kamu sangat seksi dengan penampilan seperti itu," puji Mike. "Lain kali kamu harus menggunakannya saat menginap disini.""Hentikan." Sergah Gaby cepat. "Tidak akan ada lain kali."Gaby menatap lekat wajah pria yang berhasil menjungkir balikkan logika dan hasratnya."Apa maksudmu?" Mike meletakkan garpunya dengan ekspresi serius."Mike, apa yang kita lakukan semalam adalah sebuah kesalahan dan kita tidak boleh mengulanginya lagi."Mike membanting punggungnya ke sandaran kursi lalu melipat kedua lengannya di depan dada."Kesalahan?" Tukasnya sengit.Gaby mengepalkan buku-buku jarinya. Sangat sulit bagi Gaby mengutarakan perasaan yang sebenarnya. "Kamu benar. Meski mabuk, aku harus mengakui kalau apa yang terjadi semalam bukan karena paksaan.""Tapi—""Kamu pria beristri, Mike dan sialnya lagi kita saudara ipar," lanjutnya lirih.Mike mendesah dalam. "Mungkin kamu belum tahu tapi pernikahan ku di ambang perceraian. Kami sudah mendaftarkan berkas ke pengadilan.""Tapi itu tidak akan mengubah apapun karena hubungan kita sudah selesai sejak lima tahun yang lalu.""Kumohon, Mike. Biarkan semuanya berlalu dan kembali sebagaimana mestinya." Pinta Gaby."Baiklah." Putus Mike setelah lama terdiam. Ia memperhatikan lamat-lamat wajah yang berusaha keras untuk menghindari tatapannya."Kamu boleh saja menganggap apa yang kita lakukan tak pernah terjadi, tapi dengan satu syarat,""jangan pernah mencoba bahkan berpikir untuk melarikan diri lagi." Lanjut Mike."Apa?""Kamu harus tetap tinggal di negara ini dan kembali ke rumah Papa." Tegas Mike."I—itu tidak mungkin, Mike." Sergah Gaby cepat. "Aku punya pekerjaan di Amerika. Tidak mungkin aku tiba—""Aku tidak perduli dengan semua alasan mu, Gaby." Potong Mike.Intonasi suaranya berubah dingin dan datar. Mike menatap tajam, menunggu jawaban dari wanita dihadapannya."Mike, a—aku …""Jawab 'lah, Gaby. Cukup katakan ya atau tidak. Pilihan mu akan menentukan keputusanku."Gaby mengepalkan buku-buku tangannya resah. "Ya," cicitnya ragu.Mike mengulas senyum datar. "Jangan pernah ingkari pilihan mu hari ini, Gaby," ucapnya sendu.*****"Kalian kenapa, sih? Lesu banget."Vania meletakkan dua cangkir teh yang mengepulkan aroma melati dihadapan kedua sahabatnya, Gaby dan Fey.Gaby mendengus pelan lalu menyesap teh hangat itu. Ia mengabaikan rasa ingin tahu Vania yang besar, terhadap kemunculannya tiba-tiba di depan pintu apartemen."Udah kayak ayam yang mau di potong besok aja," lanjut Vania meneruskan sindirannya.Fey mendesis pelan tapi, tidak berniat untuk membalas ejekan wanita itu. Dia masih berhutang penjelasan tentang apa yang terjadi semalam dan Fey yakin tidak akan bisa menjelaskan apapun untuk saat ini. Lebih baik menahan diri agar tidak memancing rasa penasaran Vania lebih jauh. Vania mengernyitkan keningnya, heran. Semalam ia sudah cukup dikagetkan dengan menghilangnya Gaby dan Fey secara tiba-tiba dan kini kedua wanita itu kompak muncul dengan wajah di tekuk tanpa mengeluarkan sepatah katapun sebagai penjelasan.Biasanya, mereka akan memborbardir ponsel Vania terlebih dulu sebelum benar-benar sampai di apa
"Kamu nggak jadi ikut?" Gaby melirik Vania yang baru saja menutup sambungan ponselnya.Vania menggeleng lemah. "Kamu tahu 'kan? Aku sangat ingin ikut tapi ada klien yang mendadak datang dan menunggu ku di kantor.""Oke." Gaby mengangguk paham lalu menepuk pundak sahabatnya. Ia membuka pintu dan melompat turun."Sampai nanti," pamit Vania sambil melambaikan tangan.Begitu mobil Vania meninggalkan area parkiran rumah keluarga Deuremham, sebuah sedan hitam bergerak masuk.Gaby terpaku sesaat sebelum akhirnya sadar dan mempercepat langkahnya melewati perkarangan rumah."Gaby." Panggil Mike yang turun dari dalam mobil. "Kamu baru pulang?"Langkah Gaby terhenti, ia meringis bingung. "Ya," sahutnya tanpa berbalik.Sebisa mungkin dia menghindar beradu pandang dengan Mike. Peristiwa semalam sayup-sayup terngiang kembali di ingatannya. Membuatnya kembali menyesali sembari mengutuk kebodohannya."Kamu harus lebih sering pulang ke rumah, Gaby," kata Mike. "Mama Natasha khawatir padamu.""Hmm," sah
Mike memasang raut serius di wajahnya, tangannya sibuk membolak balik laporan kerja yang dikumpulkan para mahasiswa. Perhatian Mike teralihkan kala terdengar suara ketukan di depan pintu ruang kerja, membuatnya mengangkat kepala dan segera bangkit untuk menyambut orang yang muncul dari balik pintu kaca."Paman Samuel, silahkan masuk," sambut Mike sembari menggeser pintu."Kamu sibuk?" Samuel menepuk pelan pundak dari salah satu anak didiknya.Mike menggeleng pelan. "Tidak. Hanya sedang memeriksa laporan mahasiswa.""Aku harap kehadiran ku tidak menganggu pekerjaan seorang Professor," ungkap Samuel setengah bercanda.Mike terkekeh pelan. "Rektor akan langsung mengirim surat SP, bila tahu aku merasa keberatan akan kehadiran almamater terbaik dari kampus ini," balasnya.Samuel mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Selalu menyenangkan bicara dengan mu, Mike.""Ayo, Paman." Mike mengajak Samuel duduk di satu-satunya sofa panjang yang ada di ruang kerjanya. "Paman ingin kopi atau teh?""Cu
Gaby menginjak pedal rem sedalam mungkin begitu mobil memasuki area lobi hotel Xavier.Disampingnya, Vania mencengkram tali seatbelt erat saat mobil berhenti tiba-tiba dengan suara decit yang bergema ke seantero lobi hingga memancing perhatian orang-orang yang ada disekitarnya."Hei, gila! Kamu mau mati muda ya," hardik Vania panik. "Emangnya kita mau kemana? Buru-buru banget." "Hotel Xavier." balas Gaby cuek. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menarik tuas pintu dan turun dari mobil. "Lah? Ngapain kesana?" Vania mengikuti langkah Gaby yang telah turun dari mobil dan memberikan kuncinya pada petugas valet.Gaby terkekeh pelan. "Tentu saja melakukan apa yang Paman Samuel inginkan?" balasnya bersama senyum misterius."Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Selidik Vania curiga. "Kamu mau menemui calon tunangan mu?" tanyanya ragu."Hmm … kurang lebih seperti itu." Kilah Gaby, masih berbalut sikap misterius. "Lalu, dimana Fey?" "Gaby, Vania!" Teriakan dari kejauhan membuat Vania batal untu
“Selamat siang, Tuan Xavier."Gaby dan kedua sahabatnya mendekati meja yang di huni tiga pria. Salah satunya berambut pirang sedangkan dua pria lainnya duduk menghadap jendela sehingga wajahnya tak terlihat dengan jelas."Ah, kamu," tunjuk pria pirang ke arah Fey.Gaby dan Vania kompak mengikuti arah telunjuk pria pirang."Kamu kenal?" tanya Vania tapi Fey menggeleng cepat sebagai jawaban.Tak lama, dua pria yang duduk membelakangi—bangkit dari kursinya dan berbalik untuk menyambut para tamu."Gaby, apa yang kamu lakukan disini?"'Mike!' Tubuh Gaby mendadak kaku begitu melihat pemilik suara yang mati-matian berusaha dihindarinya. "Feyleria?"Fey mengerutkan kening karena pria asing yang menyebut namanya, kini tengah menatapnya lekat. "Maaf, apa aku mengenal mu?" tanyanya ragu.Pria berambut pirang tergelak sembari menepuk pundak pria disampingnya. "Malangnya nasib mu Alex. Dia bahkan tak mengingat wajahmu," kekehnya mengejek.Pria yang dipanggil dengan nama Alex, mengeram dalam. "Diam
"Apa yang terjadi?"Gaby membuka jaket jeans yang dikenakan dan menyampirkannya pada lengan sofa."Eh, Gaby. Kamu sama siapa?" tanya Vania sambil celingukan mencari sosok lain disamping Gaby. "Sendiri?"Gaby mengangguk singkat. "Maaf ya. Aku nggak bisa jemput kamu dan ninggalin Fey sendirian kayak gini.""Santai aja." Gaby melambaikan tangannya lalu mengangkat botol untuk menuangkan cairan berwarna coklat keemasan di dalamnya—ke dalam gelas."Jadi, Ada apa dengan Fey?" Ulangnya sambil menatap prihatin pada sahabatnya yang bersimbah airmata. Dia menyesap pelan minuman dari bibir gelas.Vania mendesah pelan. "Seperti biasanya. Patah hati.""Lagi?" seru Gaby sambil mendelikkan matanya."Huaaaa.""Duh Fey, udah dong. Mau sampe kapan kamu nangis gini?" Vania menyodorkan lembaran tisu terakhir yang ditariknya dari dalam kotak. "Prooottt."Fey mengambilnya dan langsung meniup peluit panjang untuk membuang semua ingus yang menumpuk di hidungnya. Fey mengembalikan tisu bekas pakai itu kembali
"Kamu lagi ngeliatin apaan?" tanya Ben. Mengalihkan perhatian sepupunya yang sedari tadi hanya fokus pada satu titik."Menarik," gumam Alex sambil menarik seulas senyum misterius."Mau kemana?" Tahan Ben cepat saat Alex bangkit dari sofa.Keduanya baru saja menginjakkan kaki di tempat ini. Ben tidak ingin Alex tiba-tiba menghilang dengan berbagai alasan hanya untuk pulang ke rumah lebih awal."Toilet. Kenapa? Kamu mau ikut?" Goda Alex. "Asal nggak kabur aja.""Tenang. Aku cuma mau ke toilet." Alex berlalu pergi meninggalkan meja yang ditempatinya bersama Ben. Langkah Alex terhenti di lorong masuk yang memisahkan antara bathroom wanita dan pria.'Di mana dia?' batin Alex. Matanya tak lepas dari pintu masuk bathroom. Menunggu sosok yang telah lama menarik perhatiannya muncul dari balik pintu."Kamu baik-baik saja?" Sambut Alex begitu sosok yang di tunggu-tunggu muncul dengan langkah sempoyongan.Wanita itu mengangkat kepalanya untuk balas menatap Alex. "Sunny, kamu kemana aja?" racaun
"Harry." Gaby menghampiri pria yang duduk di pojok cafe hotel bertemankan sebuah laptop dan secangkir kopi."Hai, Baby." Harry bangkit untuk menyambut kedatangan wanita yang ditunggunya. Ia menarik tubuh yang mendekat kearahnya, ke dalam pelukan. "Apa kabarmu?" sapanya sembari mengecup kedua pipi putih itu bergantian. "Aku merindukanmu," imbuh Harry bersama senyum lebar di wajah tampannya, yang berhasil memancing rona merah di kedua pipi Gaby."Aku juga," balas Gaby malu-malu. "Bagaimana perjalanan mu? Apa kamu mengalami jetlag?"Harry menggeleng pelan. Ia menarik kursi disampingnya—mempersilahkan Gaby duduk lalu kembali mendorong hingga sang wanita duduk pada posisi nyaman lalu mengambil posisi lain disampingnya."Semuanya baik. Hanya ada beberapa menit delay, selebihnya berjalan lancar."Gaby mendesah lega. "Seharusnya kamu tidak usah merepotkan diri untuk datang. Aku yakin, kamu pasti lelah 'kan?""Justru seharusnya aku tiba lebih cepat. Seandainya saja pekerjaan tidak menahan, pas