Share

Chapter 3 - Petaka Minuman Terkutuk

"Kalian kenapa, sih? Lesu banget."

Vania meletakkan dua cangkir teh yang mengepulkan aroma melati dihadapan kedua sahabatnya, Gaby dan Fey.

Gaby mendengus pelan lalu menyesap teh hangat itu. Ia mengabaikan rasa ingin tahu Vania yang besar, terhadap kemunculannya tiba-tiba di depan pintu apartemen.

"Udah kayak ayam yang mau di potong besok aja," lanjut Vania meneruskan sindirannya.

Fey mendesis pelan tapi, tidak berniat untuk membalas ejekan wanita itu. Dia masih berhutang penjelasan tentang apa yang terjadi semalam dan Fey yakin tidak akan bisa menjelaskan apapun untuk saat ini. Lebih baik menahan diri agar tidak memancing rasa penasaran Vania lebih jauh.

Vania mengernyitkan keningnya, heran. Semalam ia sudah cukup dikagetkan dengan menghilangnya Gaby dan Fey secara tiba-tiba dan kini kedua wanita itu kompak muncul dengan wajah di tekuk tanpa mengeluarkan sepatah katapun sebagai penjelasan.

Biasanya, mereka akan memborbardir ponsel Vania terlebih dulu sebelum benar-benar sampai di apartemen ini. Tapi kali ini Fey muncul dengan wajah panik dan penampilan acak-acakan. Semuanya serba kusut, mulai dari baju hingga rambutnya. Sedangkan Gaby datang setelahnya, berpenampilan yang tak jauh berbeda.

"Katakan. Kalian sama siapa semalam?" Tuding Vania.

"Hmm." Gaby bergumam malas. "Aku pulang dan tidur."

"Aku juga." Fey menarik naik syal yang digunakannya untuk menutupi leher dan setengah wajahnya.

Vania melengos malas. Dia sudah hafal kelakuan aneh Fey dan Gaby setiap kali mereka berbohong.

"Gaby, apa ini American style?" Selidik Vania. Ia menunjuk kemeja putih yang tampak kebesaran di tubuh Gaby.

Wanita itu hanya membalas dengan cengiran konyol.

"Dan ini," alih Vania pada Fey. "Apa kamu kehabisan baju sampai harus memakai baju yang sama dengan semalam?"

"Ah. I—itu …"

"Jadi … ngaku aja deh. Semalam kalian ONS 'kan?"

Panik, Fey cegukan dan menutup bibirnya dengan kedua telapak tangan.

Gerakan itu seolah membenarkan tebakan Vania. Membuat wanita itu melebarkan senyum di bibirnya, bahkan kini sudutnya terangkat.

Vania melirik wanita lainnya yang tengah duduk santai di atas sofa dimana kedua tersangka duduk untuk di sidang. "Kamu juga 'kan?" Tudingnya ke arah Gaby.

Gaby mengerjabkan matanya, bersikap seakan tidak mengerti apa yang di maksud oleh sahabatnya.

"Aku? Kenapa?"

Vania berdecak sebal. "Nggak usah pura-pura bego deh," sergahnya.

"Semalam kamu menghilang tanpa kabar. Aku mencari mu ke setiap sudut bar tapi tak menemukan jejak apapun."

"Kamu pergi sama siapa? Jangan-jangan ONS juga?" Tebak Vania sambil berpura-pura syok. Ia membelalakkan mata dan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

Gaby berdecih muak melihat gaya Vania. "Bukan ONS," aku-nya.

Fey dan Vania segera bertukar pandangan dengan senyum culas. Keduanya segera mendekat, mengurung Gaby di tengah.

"Sama siapa?" Buru Fey antusias.

Vania mengangguk cepat bak boneka di dasboard mobil.

Gaby melengos malas. "Mike."

"Hah?"

"Apa?"

Kali ini Vania tak sekedar berpura-pura karena dia benar-benar syok.

"Gimana? Enak nggak?" Goda Fey.

"Kamu sendiri, gimana? Enak nggak?" Balas Gaby.

Fey mendesah kecewa. "Nggak tahu. Alkohol terkutuk itu membuatku tak mengingat apapun."

"Hmm." Gaby bergumam singkat. Mengingat kembali apa yang terjadi semalam, membuat pipinya seketika kembali bersemu merah.

"Eeeee … kamu ingat 'kan?" Tuding Fey cepat.

Gaby terkekeh pelan. "Yah, sedikit," ucapnya sembari mengangkat dua jarinya, membentuk rentangan dengan cekung sempit.

"Gimana, gimana?" Buru Fey semangat. "Aku selalu penasaran karena—"

Fey menjerit nyaring, terlalu malu untuk mengungkapkan apa yang ia pikirkan.

"Tunggu," tahan Vania. Ia masih saja tak percaya dengan apa yang dilakukan Gaby.

"Kamu dan Mike? Bukankah …"

"Hhh …" desah Gaby. "Entahlah. Alkohol membuatku hilang kendali. Tiba-tiba saja aku sudah mengetuk pintu apartemen dan menggodanya."

Vania tergelak. "Jadi ini yang disebut benci jadi cinta?"

Dia sengaja mengolok-olok tindakan Gaby. Sebelumnya wanita itu dengan frontal menolak meski Vania dan Fey membujuknya dengan alasan perceraian Mike akan segera ketuk palu.

"Apa Mike benar-benar akan bercerai?" tanya Gaby lirih.

Vania mengangguk cepat. "Bahkan, aku secara pribadi turun tangan mendampinginya."

"Tumben kamu turun tangan langsung. Mike pasti membayar mahal?"

"Well, cukup untuk melebarkan lagi satu gedung firma." Aku Vania sambil cengengesan.

Fey berdecak kagum. "Sudah ku duga. Nggak mungkin mata duitan kayak kamu mau melewatkan klien daging se-empuk Mike."

"Lalu, apa rencana kalian ke depannya?" Alih Fey pada wanita disampingnya.

Gaby meluruskan punggungnya di sandaran sofa dan menyangga tekuk di puncaknya. Matanya menerawang jauh, serasa menembuh plafon menuju angkasa.

"Nggak ada."

"Eh? Apa maksudnya?" Tuntut Vania.

"Semuanya sudah berakhir sampai malam itu saja. Kami setuju untuk menganggapnya tak pernah terjadi."

"Loh, kenapa seperti itu?"

Gaby mengangkat kepala demi melihat wajah kedua sahabatnya.

"Nggak ada gunanya meneruskan hubungan ini. Mike sudah berkeluarga—"

"Tapi dia mau bercerai, Gaby." Potong Vania.

Gaby menggelengkan kepalanya. "Tidak akan ada yang berubah, Vania. Dia tetap punya keluarga, apalagi diantara mereka ada Miguel. Aku tidak bisa tiba-tiba masuk dan menjadi penyebab rusaknya hubungan mereka."

"Lagipula kisah kami sudah berakhir sejak Mike dan Erika menikah," putus Gaby.

"Sepertinya, kamu hanya mencari-cari alasan saja," cela Fey.

"Aku setuju." Timpal Vania. "Jangan-jangan kamu sudah memiliki pengganti Mike?"

Bersamaan dengan pertanyaan Vania. Getar ponsel yang diletakkan di atas meja berhasil mengusik konsentrasi mereka.

"Harry," eja Vania—membaca nama di layar ponsel Gaby.

Vania dan Fey seketika memicingkan mata curiga karena Gaby merebut ponselnya dan buru-buru menjauh.

Keduanya menatap Gaby lekat, curiga dengan gerak tubuh sahabatnya yang sengaja menjauh saat menerima telpon dari seseorang yang tak pernah dibahas sebelumnya.

"Siapa Harry?" buru Vania begitu Gaby kembali.

Gaby mengaruk tekuknya. "Teman," sahutnya singkat.

"Teman?" Fey memainkan dua jarinya di udara, memetik makna teman yang disebut Gaby.

"Teman main atau teman tidur?" Selidik Vania tanpa basa-basi.

Gaby terkikik geli lalu kembali duduk di posisi semula. "Penyakit kepo kalian semakin parah."

"Bukan tanpa alasan yang jelas," elak Vania. "Jangan membuat kami semakin penasaran, Gaby."

Gaby mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Aku mengaku."

Fey menyibak gerai rambut yang menutupi telinganya. Menunjukkan gestur seolah dia ingin mendengar dengan lebih jelas.

"Ayo, katakan."

"Teman," ucap Gaby. "Lebih tepatnya partner kerja."

"Jangan terus berkelit Gaby. Kami tahu, kamu tidak memberikan nomor ponsel pribadi pada partner kerja," tuntut Vania. Ia mengeram gemas karena Gaby terus berusaha mengelak untuk mengatakan yang sejujurnya.

"Aku tidak bohong Vania. Kami hanya sekedar partner kerja sekaligus friends with benefit."

"Friends with benefit?" Ulang Fey bingung. "Kalau begitu kalian sering bercinta, dong?"

Gaby mengaruk kepalanya. "Yah, bisa di bilang begitu."

"Kenapa kamu nggak pernah cerita, Gaby?"

"Buat apa?" Gaby mengendikkan bahunya menanggapi pertanyaan Fey. "Hubungan kami sebatas partner, tidak punya masa depan," urainya santai.

"Lalu, bagaimana dengan Mike? Apa dia tujuan di masa depanmu?" Pancing Vania.

"Berhentilah memberondong ku dengan pertanyaan yang sama, Vania. Tidak ada yang bakal berubah."

Vania mendesah pasrah. Misinya sebagai Mak comblang gagal total.

"Lalu, apa rencana mu selanjutnya? Apa kamu akan menetap permanen? Aku sangat berharap kamu tetap tinggal disini dan berkumpul bersama lagi seperti dulu," pinta Fey.

"Ah, masalah itu aku belum memikirkannya. Yang pasti aku masih punya segudang pekerjaan yang belum terselesaikan di Amerika."

Gaby mengangkat ponselnya yang kembali bergetar. Ia langsung menggeser tombol hijau di layar begitu melihat nama Paman Samuel.

"Halo, Paman. Sekarang? Baiklah," putusnya setelah mendengar beberapa patah kata dari pengacara sekaligus sahabat almarhum Papa.

"Kenapa?" tanya Vania cemas.

"Paman Samuel memintaku untuk pulang sekarang juga."

"Bolehkah aku ikut?" Pinta Vania.

Fey langsung merentangkan tangannya untuk menghalau keinginan sahabatnya yang menggebu. "Vania, bukankah kamu sudah bertekad untuk move on?" Sindirnya.

Fey dan Gaby memamerkan senyum licik untuk menggoda sang pengacara.

"Aku 'kan cuma mau ketemu senior aja. Mungkin nantinya aku bisa memberikan beberapa masukan seputar hukum padamu," kilah Vania beralasan.

"Aku tak masalah," balas Gaby santai. "Ikut aja. Kamu juga Fey, lagian apa sih yang mau dibahas Paman Samuel selain harta warisan Papa."

"Aku nggak deh," tolak Fey.

"Kenapa? Kamu nggak enak badan?" Vania meletakkan telapak tangan di kening Fey untuk mengukur suhu tubuhnya.

"Nggak. Cuma capek aja. Aku pengen berendam air hangat dan tidur."

"Ah … capek setelah semalaman di gempur," goda Vania. "Kamu gimana, Gaby? Mau berendam juga?"

Gaby mengangkat jari tengahnya ke udara untuk membalas godaan Vania. "Cukup berikan aku baju ganti. Aku tidak mungkin menemui Paman Samuel dengan kemeja kedodoran ini."

"Pak tua itu bisa kena serangan jantung," kekehnya.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status