MasukUdara pagi masih menyisakan embun yang menempel pada dedaunan. Jalan setapak di tepi pemukiman masih tampak lenggang, hanya sesekali terdengar kicau burung dan roda sepeda yang melintas. Tidak banyak memang. Jiyya menarik napas dalam-dalam merasakan segarnya udara menelusup ke dalam paru-paru. Rambutnya terikat ekor kuda bergoyang mengikuti setiap langkahnya yang ringan. Cuma di moment inilah dirinya merasa sedikit lebih hidup dan keluar dari rutinitas membosankan. Jogging pagi menelusuri semua tempat, membuatnya merasa begitu bebas dan seolah pagi ini hanyalah miliknya, tanpa gangguan dari siapapun.
Namun diantara bunyi langkahnya sendiri, Jiyya bisa mendengar ada suara ritme lain. Langkah kaki yang terdengar mengikuti di belakang. Agak aneh, lantaran setahunya hanya dia yang punya rutinitas seperti ini di sekitar kediamannya. Jadi pada akhirnya, Jiyya putuskan untuk melirik dan sekali lagi kedua matanya dibuat terkejut atas siapa yang sedang membuntutinya sekarang. “Sir Joan?” Senyum di wajah pria itu langsung merekah, dan dia pun mempercepat langkahnya sehingga kini mereka dalam posisi yang sejajar. “Ketahuan ya? kupikir kau tidak akan peduli sekitarmu soalnya kau tampak menikmati sekali. Oh, dan sudah aku bilang tolong jangan panggil aku dengan sebutan ‘Sir’ lagi Jiyya. Itu membuatku terdengar tua.” Kali ini tidak seperti sebelumnya, Jiyya tidak terlalu terganggu dengan permintaan pria itu. “Memang sudah tua juga kan?” “Kau selalu saja membahas umur.” “Kan kau yang duluan membahas. Lagipula kenapa sih kau selalu muncul tiba-tiba? Mengagetkan saja.” “Supaya seru,” jawabnya sambil terkekeh. “Lagipula walau mengagetkan, lari pagi tanpaku pasti terasa sepi, kan?” Jiyya memutar bola matanya, seolah mengatakan pada Joan bahwa sifatnya yang tukang menggoda tak juga kunjung hilang. “Kenapa orang sibuk sepertimu ada disini?” Joan hanya mengangkat bahu, meski mereka mengobrol tapi ritme langkah mereka masih terbilang teratur. “Memangnya orang sibuk tidak boleh olahraga? Lagipula kalau setiap hari bekerja bosan juga.” “Alasan yang bagus,” sahut Jiyya. “Kalau begitu mulai darisini aku akan lari sendiri. Silahkan cari rute lain.” Tapi Joan seperti biasa mengabaikannya. “Kenapa harus lari sendiri kalau ada aku? Bagaimana kalau kita tanding saja?” Jiyya menatapnya tak percaya. Pria ini bahkan setelah puluhan tahun berlalu dia masih saja seperti pemuda kemarin sore yang kekanakan. “Tingkahmu sekarang seperti bocah dengan tubuh manula.” Sudut mulut Jona yang tertutup terangkat membentuk seringai menantang. “Takut kalah dengan manula?” ejeknya. Jiyya langsung melotot. “Baiklah, kau berhasil, Kakek tua.” Sebelum Joan bisa menjawab, wanita itu sudah duluan tancap gas. Joan menyeringai nakal ketika dia pun mulai mencoba mengejar ketertinggalan. “Tidak baik loh, curi start begitu,” tuding Joan sambil mencoba mengerjai Jiyya sesekali yang dibalas delikan sebal. “Kalau tidak begitu kau pasti akan mencurangimu duluan,” sahutnya. “Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Jiyya,” suara Joan terdengar lembut ketika tiba-tiba saja dia mencondongkan kepalanya untuk berbisik di telinga Jiyya yang membuat Jiyya sempat oleng dan kehilangan keseimbangan yang untungnya dia tidak terjatuh. Joan berdiri sedikit lebih di depan Jiyya, dan dia menatap akibat dari ulah jahilnya. Sekarang wanita itu menutup wajahnya dan Joan bisa melihat ada semburat merah di telinga. Joan jadi tidak bisa menyembunyikan senyumannya… dia benar-benar terhibur. Tapi itu cuma sebentar sebelum akhirnya Jiyya langsung berlari menyusulnya dengan kecepatan penuh. Seharusnya Jiyya tahu lebih baik, bahwa dia bahkan bukan remaja lagi. Dia adalah seorang ibu beranak satu dan sudah menikah. Apa wajar baginya untuk merasa malu karena sesuatu yang sederhana begitu? Lagipula dari dulu Joan memang tipikal orang yang usil. Sekarang bukan masalah siapa yang menang dan kalah. Jiyya hanya ingin berlari dan kabur dari situasi seperti tadi lagi. Itu memalukan. Dia bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Tapi sialnya, kecepatan Joan melebihi kapasitasnya sehingga dia bisa menyusul Jiyya lagi dan kali ini pria itu bahkan memegang tangannya. Membuat Jiyya berbalik dan tubuhnya menghantam dada Joan yang keras. “Baiklah, kurasa pertandingan ini tidak berhasil. Aku bisa merasakan kalau kau berusaha kabur dariku. Jadi aku bisa menyebutnya seri,” kata Joan tanpa melepaskan cengkramannya sedikit pun. “Kurasa kau masih dalam kondisi yang cukup baik untuk ukuran seorang pria lanjut usia,” kata Jiyya sambil mencoba melepaskan cengkraman tangan Joan dari pergelangan tangannya. Joan yang menyadari hal itu langsung melepaskan tangannya dan mengangkat kedua tangan ke udara seolah dia baru saja kedapatan menjadi seorang tersangka. “Ah, sorry,” ujarnya puas, sembari memberi senyum setengah menggoda. *** “Apa kau merindukannya?” Joan berkata sambil mengulurkan sebotol air mineral untuk Jiyya. Mereka kini sudah duduk di kursi taman untuk beristirahat. Bagi Jiyya itu pertanyaan yang sedikit ambigu. Tapi pertanyaan itu justru membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang telah lama terkubur. “Iya, terkadang.” Jiyya tidak mengatakan apa-apa setelahnya, seolah dia mencoba untuk memberi jeda dan mengatakan sesuatu pada moment yang tepat. “Kalau kau sendiri?” Jiyya menambahkan seraya melirik dengan ujung mata dan terkejut ketika dia mendapati pria itu sedang menatapnya terang-terangan yang membuat Jiyya langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain yang mengundang kekehan dari sang pria. “Tentu saja aku selalu merindukannya, bahkan aku merasa bahwa sepuluh tahun yang telah berjalan ini aku lalui dengan kekosongan. Aku seolah tetap berada di usia 32.” Sesaat dada Jiyya terasa dihimpit sesuatu. Dia tidak ingin bertanya atas dasar apa, tetapi sialnya bibirnya justru berkhianat sekarang. “Kenapa?” “Karena setelah itu kau tidak ada disana, Jiyya.” Jeda waktu berlalu begitu saja tanpa jawaban. Terus terang, Jiyya bahkan kini tidak tahu harus menanggapi dengan cara apa. Jiyya merasa dirinya kini berada dalam pusaran yang berbahaya. Meski hatinya terasa menghangat, tetapi disisi lain dia teringat akan realita yang ada serta waktu yang telah dia habiskan untuk menjalani sisa hidupnya. Karena itu meski hatinya terasa tak nyaman dengan godaan yang dilontarkan Joan, Jiyya mencoba sebisa mungkin menanggapi. Wanita itu menghela napas, sebelum akhirnya dia buka suara. “Kau masih saja seperti itu ya, kupikir satu dekade cukup untuk mengubahnya.” “Jadi maksudmu kau tidak merasakan hal yang sama?” “Aku suka hidupku sekarang. Aku sibuk dengan segala hal yang bisa aku lakukan sebagai ibu rumah tangga dan mengurus putriku. Membanjirinya dengan cinta, dan kasih sayang. Aku suka menjalaninya…,” sahut Jiyya yang anehnya semakin dia bicara semakin suaranya mengecil. “Tapi?” tekan Joan seolah dia bisa menyelami isi hatinya, dan itulah yang Jiyya benci dari sosok mantan dosennya ini. “Aku tidak tahu,” timpal Jiyya lalu mencoba menyusun satu persatu kepingan yang ada di dalam dirinya. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan apa yang dia rasakan. Seolah dia telah lama meninggalkan rasa dibelakang dan menetapkan tanggung jawab serta kewajiban sebagai skala prioritas. “Aku tidak yakin aku bisa benar-benar puas hanya dengan itu. Kadang meski aku sibuk aku merasa kosong, aku merasa kehilangan diriku sendiri,” katanya sembari menarik napas. Dia tahu bahwa sekarang pria itu sedang menatapnya, tetapi Jiyya memilih tidak mengalihkan pandangannya dari langit. “Kau tahu, kau masih sangat muda dan bisa melakukan apapun yang kau sukai.” “Aku tidak bisa…” kata-kata Jiyya nyaris tidak terdengar, tetapi Joan masih bisa mendengar seruan itu dengan mudah. Dengan sedikit geraman, pria itu tiba-tiba saja berdiri dan kemudian mengulurkan tangan ke depannya. Ketika Jiyya menyambut uluran tangan itu, Jiyya bisa merasakan sentuhan ringan pada tangannya dengan jemari Joan ketika dia memandangnya tepat dimata. “Kau bisa, Jiyya. Aku bertaruh kalau apa yang menghambatmu hanyalah rasa tanggung jawab dan kewajibanmu menjalankan peran. Kau menyabotase dirimu sendiri. Selebihnya kurasa kau pun sudah tahu bahwa sikap suamimu sangatlah tidak adil padamu.” “Apa maksudmu?”Saat Jiyya tiba di rumah malam itu, ia melihat Luna menyambutnya dengan ekspresi muka merajuk. Tanpa perlu bertanya, Jiyya tahu darimana asal air muka itu tercipta. Terutama ketika ia mendengar suara dari arah dapur dan juga aroma masakan yang baru matang.“Apa yang terjadi selagi aku pergi?” tanya Jiyya kemudian, mengesampingkan kesimpulannya sendiri sembari menghampiri putrinya yang duduk di sofa dengan muka makin ditekuk.“Om Joan bilang Mama mungkin pulang terlambat karena pertemuan dengan editor, jadi dia yang akan menyiapkan makan malam agar Mama tidak perlu kerepotan begitu pulang,” lapor Luna masih dengan wkspresi cemberut dan nada bicara yang terdengar sangat kesal. “Selain itu dia juga bilang merasa agak bersalah karena telah menyuruhku push-up lima belas kali, tapi aku tidak percaya yang satu itu.”Mengabaikan rasa geli yang menerpa atas laporan dari putrinya karena Luna tampak sudah sangat mengenal Joan dengan baik, juga fakta bahwa pria itu kini sedang memasak didapurnya
“Ma?”Jiyya mendongak tatkala suara lembut putrinya memanggil ketika ia sedang sibuk dengan sayuran yang tengah ia potong. “Apa sayang?” sahutnya kemudian dengan senyum secerah matahari yang bahkan tidak ia sadari.Luna mengernyitkan alis, penuh dengan rasa keingintahuan tatkala mendapati sang mama bertingkah tidak seperti biasanya. “Apa ada sesuatu yang bagus, Ma?” tanyanya, lalu seolah menimbang sesuatu ia kembali melanjutkan. “Mama terlihat… bahagia.”Tanpa diminta, segera seluruh kenangan bersama dengan Joan segera terlintas begitu saja dibenak. Tak bisa dipungkiri, ia tersipu malu. Wanita itu sebisa mungkin mencoba untuk terlihat normal dan menyembunyikan apa yang ia rasa dengan mengalihkan perhatian. “Biasa saja, kok,” jawabnya acuh tak acuh. “Oh… dan Sir Joan bilang padaku untuk mengingatkanmu kalau dia akan menunggu di tempat biasa pukul delapan besok pagi.”“Ya, aku ingat kok, Ma. Malah dia yang seharusnya diingatkan karena selalu terlambat saat bertemu denganku,” timpal Luna
Jiyya tahu pasti akan hal itu, tapi berharap juga bahwa langkah selanjutnya yang ia ambil tidak semata-mata karena keputusannya sendiri. Ia pernah salah mengambil langkah dulu, jadi untuk beberapa alasan Jiyya sedikit takut mengambil keputusan lagi. Ia takut menyakiti siapa pun. Tentang bayangan yang dirasakan oleh Bestian jika ia meninggalkannya terasa menyakitkan. Tetapi pemikiran soal tentang apa yang dirasakan Joan jika ia mengakhiri hubungan terlarang yang ia jalin pun jua menyakitinya dengan cara yang luar biasa menyakitkan dan Jiyya juga tahu bahwa itu pun tidak hanya menyakitinya sendiri, Joan pun akan ikut merasakannya.Joan jelas pria yang membuatnya bahagia, Jiyya tak bisa menyangkalnya. Dan Joan juga telah membuat Jiyya menyadari sendiri betapa bahagianya bila mereka bisa bersama. Ia tak pernah tahu (atau memang sengaja menutup kemungkinan dan enggan mengakui) tentang seberapa tak bahagianya ia dengan rumah tangga yang sedang ia jalani sampai Joan datang dan memberinya war
Tanpa sadar, kedua mata Jiyya mulai berkaca-kaca. Joan begitu rela berkorban, dan selama ini ia begitu perhatian demi memastikan Jiyya baik-baik saja. Hatinya hancur memikirkan rasa kesepian yang Joan rasakan, sementara Jiyya masih saja berputar-putar tak bisa ambil keputusan.“Joan…,” panggilnya lesu, suaranya berat karena air mata yang berusaha sekuat tenaga ia tahan.Joan mengusap pipinya dengan lembut, memberikan ketenangan yang Jiyya butuhkan sebelum melanjutkan. “Tapi seiring waktu dan tak ada perubahan berarti bahkan suamimu tak pernah kunjung kembali. Aku tidak tahan lagi untuk menjadi sang pengamat. Itu sebabnya aku putuskan untuk maju dan merebutmu kembali dari pria yang tak becus menjagamu. Tak peduli meski orang lihat hubungan kita terlarang.”Saat kedua mata mereka bertemu, tatapan mata Joan tampak begitu serius dan sarat akan emosi yang membuat Jiyya ingin memeluknya dengan erat, air mata yang ia tahan pun mulai tumpah.“Kau berhak bahagia, Jiyya,” katanya sebagai kalima
Joan mengalihkan pandang untuk bisa menatap Jiyya dengan lekat. Cara pandang yang bukan sekadar melihat ke mata tetapi merasuk hingga ke dalam jiwa. Anehnya Jiyya tidak lagi ragu, meski masih sedikit malu karena terekspos bebas oleh pria itu. Malah kini pandangan yang dahulu terasa mengintimidasi kini berubah memberikan rasa aman dan juga dicintai. Sebab jika pria itu bisa melihatnya sedalam itu, tetapi ia tetap menginginkannya seperti ini maka…Merasa kewalahan menatap Joan seperti itu, Jiyya mencoba mengalihkan pandang untuk menutupi diri. Joan sendiri tampak tak keberatan, malah dia memberikan Jyya lebih banyak hal untuk didengar. “Aku tahu bahwa suamimu pergi dan jarang hadir di keluarga kecilmu karena pekerjaan, tapi aku tidak mengerti kenapa dia seolah menelantarkan kalian dengan sering berkunjung atau sesekali menghubungi. Aku memang merasa aneh sejak semula tahu akan hal itu, tapi aku tidak bisa mengintervensimu lebih jauh karena itu bukan urusanku. Karena kulihat kau tampakny
“Lima belas tahun lalu,” gumam Joan, bibir sang pria dan napasnya menerpa kulit Jiyya yang tak tertutup apa-apa. Kendati demikian wanita itu lekas menarik pakaian untuk menutupi kulitnya yang terbuka dan terkena udara.Jiyya sendiri berada dalam kondisi membelakangi Joan ketika dirinya berbaring di atas ranjang, memberi sedikit jarak sembari memeluk bantal yang mudah ia jangkau. Diam-diam wanita itu menarik napas mendalam, membaui bantal yang ia peluk lantaran beraroma seperti sang pemilik. Kalau saja Joan tidak ada, mungkin Jiyya akan bertindak bodoh dengan membenamkan wajahnya pada bantal tersebut seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.Namun pria itu jelas ada disana, mengawasi di belakangnya. Ia pun bisa merasakan jemari sang pria merayap pada permukaan kulitnya dibawah pakaian yang Jiyya gunakan untuk menutupi tubuhnya yang polos. Seakan tak rela Jiyya menutupi visualisasi sang pria, sebab di detik berikutnya yang Jiyya rasakan adalah lembutnya bibir Joan yang mengecup







