แชร์

Menyelami Isi Hati

ผู้เขียน: Rucaramia
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-08 10:42:43

Udara pagi masih menyisakan embun yang menempel pada dedaunan. Jalan setapak di tepi pemukiman masih tampak lenggang, hanya sesekali terdengar kicau burung dan roda sepeda yang melintas. Tidak banyak memang. Jiyya menarik napas dalam-dalam merasakan segarnya udara menelusup ke dalam paru-paru. Rambutnya terikat ekor kuda bergoyang mengikuti setiap langkahnya yang ringan. Cuma di moment inilah dirinya merasa sedikit lebih hidup dan keluar dari rutinitas membosankan. Jogging pagi menelusuri semua tempat, membuatnya merasa begitu bebas dan seolah pagi ini hanyalah miliknya, tanpa gangguan dari siapapun.

Namun diantara bunyi langkahnya sendiri, Jiyya bisa mendengar ada suara ritme lain. Langkah kaki yang terdengar mengikuti di belakang. Agak aneh, lantaran setahunya hanya dia yang punya rutinitas seperti ini di sekitar kediamannya. Jadi pada akhirnya, Jiyya putuskan untuk melirik dan sekali lagi kedua matanya dibuat terkejut atas siapa yang sedang membuntutinya sekarang.

“Sir Joan?”

Senyum di wajah pria itu langsung merekah, dan dia pun mempercepat langkahnya sehingga kini mereka dalam posisi yang sejajar. “Ketahuan ya? kupikir kau tidak akan peduli sekitarmu soalnya kau tampak menikmati sekali. Oh, dan sudah aku bilang tolong jangan panggil aku dengan sebutan ‘Sir’ lagi Jiyya. Itu membuatku terdengar tua.”

Kali ini tidak seperti sebelumnya, Jiyya tidak terlalu terganggu dengan permintaan pria itu. “Memang sudah tua juga kan?”

“Kau selalu saja membahas umur.”

“Kan kau yang duluan membahas. Lagipula kenapa sih kau selalu muncul tiba-tiba? Mengagetkan saja.”

“Supaya seru,” jawabnya sambil terkekeh. “Lagipula walau mengagetkan, lari pagi tanpaku pasti terasa sepi, kan?”

Jiyya memutar bola matanya, seolah mengatakan pada Joan bahwa sifatnya yang tukang menggoda tak juga kunjung hilang. “Kenapa orang sibuk sepertimu ada disini?”

Joan hanya mengangkat bahu, meski mereka mengobrol tapi ritme langkah mereka masih terbilang teratur. “Memangnya orang sibuk tidak boleh olahraga? Lagipula kalau setiap hari bekerja bosan juga.”

“Alasan yang bagus,” sahut Jiyya. “Kalau begitu mulai darisini aku akan lari sendiri. Silahkan cari rute lain.”

Tapi Joan seperti biasa mengabaikannya. “Kenapa harus lari sendiri kalau ada aku? Bagaimana kalau kita tanding saja?”

Jiyya menatapnya tak percaya. Pria ini bahkan setelah puluhan tahun berlalu dia masih saja seperti pemuda kemarin sore yang kekanakan. “Tingkahmu sekarang seperti bocah dengan tubuh manula.”

Sudut mulut Jona yang tertutup terangkat membentuk seringai menantang. “Takut kalah dengan manula?” ejeknya.

Jiyya langsung melotot. “Baiklah, kau berhasil, Kakek tua.”

Sebelum Joan bisa menjawab, wanita itu sudah duluan tancap gas. Joan menyeringai nakal ketika dia pun mulai mencoba mengejar ketertinggalan.

“Tidak baik loh, curi start begitu,” tuding Joan sambil mencoba mengerjai Jiyya sesekali yang dibalas delikan sebal.

“Kalau tidak begitu kau pasti akan mencurangimu duluan,” sahutnya.

“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Jiyya,” suara Joan terdengar lembut ketika tiba-tiba saja dia mencondongkan kepalanya untuk berbisik di telinga Jiyya yang membuat Jiyya sempat oleng dan kehilangan keseimbangan yang untungnya dia tidak terjatuh.

Joan berdiri sedikit lebih di depan Jiyya, dan dia menatap akibat dari ulah jahilnya. Sekarang wanita itu menutup wajahnya dan Joan bisa melihat ada semburat merah di telinga. Joan jadi tidak bisa menyembunyikan senyumannya… dia benar-benar terhibur. Tapi itu cuma sebentar sebelum akhirnya Jiyya langsung berlari menyusulnya dengan kecepatan penuh.

Seharusnya Jiyya tahu lebih baik, bahwa dia bahkan bukan remaja lagi. Dia adalah seorang ibu beranak satu dan sudah menikah. Apa wajar baginya untuk merasa malu karena sesuatu yang sederhana begitu? Lagipula dari dulu Joan memang tipikal orang yang usil. Sekarang bukan masalah siapa yang menang dan kalah. Jiyya hanya ingin berlari dan kabur dari situasi seperti tadi lagi. Itu memalukan. Dia bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Tapi sialnya, kecepatan Joan melebihi kapasitasnya sehingga dia bisa menyusul Jiyya lagi dan kali ini pria itu bahkan memegang tangannya. Membuat Jiyya berbalik dan tubuhnya menghantam dada Joan yang keras.

“Baiklah, kurasa pertandingan ini tidak berhasil. Aku bisa merasakan kalau kau berusaha kabur dariku. Jadi aku bisa menyebutnya seri,” kata Joan tanpa melepaskan cengkramannya sedikit pun.

“Kurasa kau masih dalam kondisi yang cukup baik untuk ukuran seorang pria lanjut usia,” kata Jiyya sambil mencoba melepaskan cengkraman tangan Joan dari pergelangan tangannya.

Joan yang menyadari hal itu langsung melepaskan tangannya dan mengangkat kedua tangan ke udara seolah dia baru saja kedapatan menjadi seorang tersangka. “Ah, sorry,” ujarnya puas, sembari memberi senyum setengah menggoda.

***

“Apa kau merindukannya?” Joan berkata sambil mengulurkan sebotol air mineral untuk Jiyya. Mereka kini sudah duduk di kursi taman untuk beristirahat.

Bagi Jiyya itu pertanyaan yang sedikit ambigu. Tapi pertanyaan itu justru membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang telah lama terkubur. “Iya, terkadang.” Jiyya tidak mengatakan apa-apa setelahnya, seolah dia mencoba untuk memberi jeda dan mengatakan sesuatu pada moment yang tepat. “Kalau kau sendiri?” Jiyya menambahkan seraya melirik dengan ujung mata dan terkejut ketika dia mendapati pria itu sedang menatapnya terang-terangan yang membuat Jiyya langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain yang mengundang kekehan dari sang pria.

“Tentu saja aku selalu merindukannya, bahkan aku merasa bahwa sepuluh tahun yang telah berjalan ini aku lalui dengan kekosongan. Aku seolah tetap berada di usia 32.”

Sesaat dada Jiyya terasa dihimpit sesuatu. Dia tidak ingin bertanya atas dasar apa, tetapi sialnya bibirnya justru berkhianat sekarang. “Kenapa?”

“Karena setelah itu kau tidak ada disana, Jiyya.”

Jeda waktu berlalu begitu saja tanpa jawaban. Terus terang, Jiyya bahkan kini tidak tahu harus menanggapi dengan cara apa. Jiyya merasa dirinya kini berada dalam pusaran yang berbahaya. Meski hatinya terasa menghangat, tetapi disisi lain dia teringat akan realita yang ada serta waktu yang telah dia habiskan untuk menjalani sisa hidupnya. Karena itu meski hatinya terasa tak nyaman dengan godaan yang dilontarkan Joan, Jiyya mencoba sebisa mungkin menanggapi.

Wanita itu menghela napas, sebelum akhirnya dia buka suara. “Kau masih saja seperti itu ya, kupikir satu dekade cukup untuk mengubahnya.”

“Jadi maksudmu kau tidak merasakan hal yang sama?”

“Aku suka hidupku sekarang. Aku sibuk dengan segala hal yang bisa aku lakukan sebagai ibu rumah tangga dan mengurus putriku. Membanjirinya dengan cinta, dan kasih sayang. Aku suka menjalaninya…,” sahut Jiyya yang anehnya semakin dia bicara semakin suaranya mengecil.

“Tapi?” tekan Joan seolah dia bisa menyelami isi hatinya, dan itulah yang Jiyya benci dari sosok mantan dosennya ini.

“Aku tidak tahu,” timpal Jiyya lalu mencoba menyusun satu persatu kepingan yang ada di dalam dirinya. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan apa yang dia rasakan. Seolah dia telah lama meninggalkan rasa dibelakang dan menetapkan tanggung jawab serta kewajiban sebagai skala prioritas. “Aku tidak yakin aku bisa benar-benar puas hanya dengan itu. Kadang meski aku sibuk aku merasa kosong, aku merasa kehilangan diriku sendiri,” katanya sembari menarik napas. Dia tahu bahwa sekarang pria itu sedang menatapnya, tetapi Jiyya memilih tidak mengalihkan pandangannya dari langit.

“Kau tahu, kau masih sangat muda dan bisa melakukan apapun yang kau sukai.”

“Aku tidak bisa…” kata-kata Jiyya nyaris tidak terdengar, tetapi Joan masih bisa mendengar seruan itu dengan mudah.

Dengan sedikit geraman, pria itu tiba-tiba saja berdiri dan kemudian mengulurkan tangan ke depannya. Ketika Jiyya menyambut uluran tangan itu, Jiyya bisa merasakan sentuhan ringan pada tangannya dengan jemari Joan ketika dia memandangnya tepat dimata. “Kau bisa, Jiyya. Aku bertaruh kalau apa yang menghambatmu hanyalah rasa tanggung jawab dan kewajibanmu menjalankan peran. Kau menyabotase dirimu sendiri. Selebihnya kurasa kau pun sudah tahu bahwa sikap suamimu sangatlah tidak adil padamu.”

“Apa maksudmu?”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Gelora Hasrat Terlarang   Pendekatan

    Luna telah pergi ke kamarnya, dan melihat dari gerak-gerik gadis cilik itu tampaknya dia akan menyiapkan beberapa materi yang belum dia mengerti untuk diberikan kepada Joan keesokan harinya. Jiyya berdiri di wastafel untuk mencuci piring sementara Joan yang merapikan meja makan.Jiyya bisa mendengar ketika Joan meletakan tumpukan yang tersisa dari meja makan di sebelah kanannya. Namun sebelum sempat menoleh, sebuah tangan menyentuh pinggangnya cukup ringan namun tetap lembut dan tentu saja cukup nyata untuk membuat tubuh Jiyya menegang seketika. Hangatnya dada lelaki itu menyentuh punggungnya, disusul dengan lengan lain yang melingkar dari sisi satunya. Sentuhan yang begitu familiar dahulu yang membuat napas Jiyya langsung tertahan.Pegangan pada pinggangnya sedikit mengencang, seolah memberi jeda sebelum pria itu bersuara. Hembusan napasnya menyentuh pipi Jiyya tatkala dia bicara, “Biar kubantu,” kata Joan dengan suaranya yang dalam tetapi terdengar begitu lembut.Bibirnya menyentuh

  • Gelora Hasrat Terlarang   Dinner Bareng

    Kurang tidur dan overthingking adalah dua hal yang merupakan sebuah serangan paling mematikan. Tetapi Jiyya sedikit banyak bisa tetap bertahan dan menjalani harinya. Namun sialnya, dia sempat kena serangan jantung gara-gara mengira bahwa pria yang berdiri di sisi gedung sebagai Joan padahal bukan. Tidak heran, semua orang yang mengenalnya jadi khawatir dan menanyakan keadaannya. Jiyya mengabaikan kekhawatiran mereka dengan menunjukan bahwa dia sangat sehat dan baik-baik saja. Setidaknya bila diluar begini Jiyya punya kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran.Untungnya setelah beberapa lama, dia betulan merasa jauh lebih baik dari pada saat pagi hari tadi. Ketika sudah menunjukan pukul empat sore, Jiyya memutuskan untuk segera pulang. Mengingat putrinya pun pastinya sudah pulang les sekarang dan Jiyya harus sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Dia tidak sabar mendengarkan celotehan putrinya tentang apa saja yang dia pelajari hari ini, dan mulai membayangkan beragam masakan yang per

  • Gelora Hasrat Terlarang   Midlife Crisis

    Jiyya tidak menyangka bahwa semua orang menyisakan satu kursi tepat disebelah Silvana, yang tampaknya punya tujuan supaya dirinya merasa lebih nyaman berada dalam lingkup pertemuan setelah sekian lama. Dan begitu Jiyya tiba, sahabatnya itu langsung menghambur memeluknya, lalu menarik dirinya untuk ikut duduk bersama.“Jiyya, aku benar-benar rindu padamu. Sudah lama aku tidak melihatmu!” katanya dengan dramatis yang khas. Tipikal Silvana, seperti biasa.“Yang benar saja, kau melihatku dua hari yang lalu saat sedang belanja, Silvana,” jawab Jiyya dengan suara yang terkesan datar.Silvana hanya terkekeh garing mendengar ucapan sahabatnya. “Ah? Hahaha… kau ini, tidak mengerti kodenya ya?” ujar Silvana dengan menurunkan nada suara pada kalimat terakhir setelah tawa garingnya.Jiyya menggelengkan kepala dan kemudian dia pun mulai mengedarkan pandangan ke seluruh meja yang telah terisi untuk menyapa semua orang dengan sopan. Ada Leon dan Dean yang memberinya senyum lima jari, dan tak lupa J

  • Gelora Hasrat Terlarang   Masa Lalu yang Terbongkar

    “Kenapa malah balik bertanya?” Meski jawaban yang dia dapatkan berupa tanya balik dari Jiyya, Joan justru menatap wanita itu dengan sorot menggoda yang kembali hadir pada kedua matanya. Sambil menyeringai, dia kembali menggoda Jiyya dengan sangat entang. “Kau tahu, aku tidak bisa melupakan moment panas kita. Moment dimana aku mengambil keperawananmu, Jiyya.” “A—apa—” Jiyya mendadak tergagap, rona merah mewarnai pipinya. Dan disaat itu pula dia sadar bahwa Joan hanya sedang mengolok-ngolok dirinya. “Kau tahu kalau itu bukan topik yang sedang kita bicarakan disini!” Jiyya menyentakan lengannya dari meja dan berbalik menghadap pria itu sambil mendengus. Melihat seberapa ekspresifnya Jiyya, Joan malah terkekeh tulus. Tawa langka yang jujur saja selalu menular padanya. “Kau sekarang mirip sekali dengan Luna tadi,” ujarnya sambil tertawa pelan, ekspresi geli terpancar di wajah si pria. Jiyya melirik sedikit, berusaha mempertahankan ekspresi kesalnya tetapi tawa Joan justru malah menular

  • Gelora Hasrat Terlarang   Sebatas Itukah yang Kau Tahu?

    Jiyya tidak bertemu dengan Joan lagi selama beberapa hari setelah kejadian lari pagi waktu itu. Dia bisa saja bilang kalau alasan mengapa mereka tidak bersua adalah karena dirinya sibuk dirumah, tapi itu hanya argumentasi yang setengahnya benar saja.Bagian lainnya adalah Jiyya memang sengaja menghindari lelaki itu sebisa mungkin.Kata-kata yang Joan ucapkan agak melukai dirinya terlalu dalam lantaran kata-kata itu terlalu dekat dengan apa yang memang Jiyya pikirkan jauh di lubuk hatinya. Dan pria itu berhasil menyuarakannya keras-keras hingga Jiyya tidak sanggup mendengarnya sendiri. Dia tahu bahwa pertemuannya dengan Joan akan sedikit menyulitkan Jiyya untuk kembali menutup diri. Jadi Jiyya sebisa mungkin menjauhi tempat-tempat potensial pertemuan mereka saat keluar rumah, meskipun itu berarti dia harus melalui jalan yang memutar. Jiyya hanya merasa butuh waktu untuk mengingatkan pada dirinya sendiri tentang mengapa hidup yang telah dia pilih adalah opsi terbaik.Tapi sialnya jelas

  • Gelora Hasrat Terlarang   Menyelami Isi Hati

    Udara pagi masih menyisakan embun yang menempel pada dedaunan. Jalan setapak di tepi pemukiman masih tampak lenggang, hanya sesekali terdengar kicau burung dan roda sepeda yang melintas. Tidak banyak memang. Jiyya menarik napas dalam-dalam merasakan segarnya udara menelusup ke dalam paru-paru. Rambutnya terikat ekor kuda bergoyang mengikuti setiap langkahnya yang ringan. Cuma di moment inilah dirinya merasa sedikit lebih hidup dan keluar dari rutinitas membosankan. Jogging pagi menelusuri semua tempat, membuatnya merasa begitu bebas dan seolah pagi ini hanyalah miliknya, tanpa gangguan dari siapapun.Namun diantara bunyi langkahnya sendiri, Jiyya bisa mendengar ada suara ritme lain. Langkah kaki yang terdengar mengikuti di belakang. Agak aneh, lantaran setahunya hanya dia yang punya rutinitas seperti ini di sekitar kediamannya. Jadi pada akhirnya, Jiyya putuskan untuk melirik dan sekali lagi kedua matanya dibuat terkejut atas siapa yang sedang membuntutinya sekarang.“Sir Joan?”Senyu

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status