Home / Romansa / Gelora Hati Yang Terbakar / Bab 2. Fakta Yang Mengejutkan

Share

Bab 2. Fakta Yang Mengejutkan

last update Huling Na-update: 2025-06-18 03:51:11

Mata Alana mulai terbuka perlahan, lalu dia mengerjap beberapa kali. Rintihan pelan mulai terdengar, di kala dirinya merasakan sakit di area kewanitaannya. Tidak hanya merasakan perih di area kewanitaannya saja, tetapi dia juga merasakan tubuhnya benar-benar remuk—seperti baru saja melakukan kegiatan berat.

“Ah, sakit sekali,” rintih Alana pelan, dan matanya mulai mengendar ke sekitar—menatap dirinya berada di sebuah hotel.

Raut wajah Alana berubah menunjukkan jelas keterkejutannya. Wanita cantik itu langsung melebarkan mata, menyadari bahwa dirinya hanya sendiri di kamar hotel. Namun, tunggu! Kenapa dia bisa berada di kamar hotel seorang diri? Bukankah tadi malam dia berada di kelab malam?

Alana terdiam mencoba menggali ingatan yang ada. Dalam beberapa detik dia masih belum berkata apa pun. Masih tetap diam. Akan tetapi, di kala kepingan puzzle mulai tersusun rapi di otaknya—membuat raut wajahnya berubah menunjukkan jelas keterkejutan.

“Ya Tuhan! Apa yang kau lakukan, Alana!” Alana menutup wajahnya dengan telapak tangan, dan kini menjambak rambutnya di kala mengingat kejadian gila tadi malam.

Napas Alana memburu, bersamaan dengan debar jantung yang berdebar tak karuan. Dia benar-benar merasa bodoh sampai menghabiskan malam bersama dengan pria asing. Tujuannya mendatangi kelab malam, karena rasa frustari yang menggerogotinya.

Alana adalah seorang pengacara yang baru saja mengundurkan diri dari salah satu firma hukum cukup di kenal di London. Wanita cantik berambut pirang berusia 25 tahun itu datang ke kelab malam, karena putus asa tak kunjung mendapatan pekerjaan.

Alana berkali-kali mendapatkan penolakan, padahal sebelumnya dia memiliki karier yang baik. Bahkan dia berhasil memecahkan beberapa kasus yang rumit. Namun, entah kenapa sekarang ini kesialan benar-benar menghampirinya—seakan semesta sedang menguji kehidupannya.

Alana bukan wanita bebas yang selalu one night stand dengan pria asing. Dia bahkan masih perawan. Dia menyerahkan keperawanannya tadi malam dengan pria yang sama sekali tidak dia kenali. Ya, ini memang sudah gila. Itu kenapa dia tak henti meloloskan umpatan kasar.

“Ah, Sialan! Kenapa harus berakhir seperti ini! Alana Vance, kau tidak menggunakan otakmu dengan baik!” geram Alana yang kesal pada kebodohannya sendiri.

Alana mencoba mengatur napasnya berusaha untuk tenang. Tadi malam dia memang sangat putus asa, jadi wajar jika sampai dia melakukan tindakan bodoh. Tentu dia sangat menyesal sampai harus menyerahkan keperawanannya pada pria yang tidak dia kenali.  

Akan tetapi, Alana sadar bahwa berteriak, bahkan menjerit menangis kencang pun seakan percuma. Dia bahkan sekarang ditinggal sendirian di kamar hotel, yang menandakan bahwa pria asing tadi malam, hanya mengincar seks semata.

Alana mengembuskan napas kasar, dia menyibak selimut, dan berhati-hati untuk turun, tetapi seketika geraknya terhenti di kala ada notifikasi di ponselnya. Buru-buru, dia meraih ponselnya itu, dan menatap ada email masuk.

Debar jantung Alana berdebar membaca email masuk dari sebuah perusahaan. Dia segera membuka email itu dengan tak sabar, dan lagi raut wajah wanitanya berubah, menunjukkan keterkejutan di kala ada email masuk—di mana ada undangan interview.

“Undangan interview? Benarkah ini?” Alana menatap email itu lagi dengan seksama. Sungguh, meski kesialan tadi malam menghancurkannya, tetapi paling tidak dia mendapatkan keajaiban di pagi hari.

Alana tak bisa menutupi kelegaan dalam dirinya. Dia sangat senang mendapatkan interview. Namun, seketika dia ingat sesuatu. Dia segera melihat email terkirim—dan ternyata benar. Panggilan interview berasal dari Blackwell & Blackwell Company—yang di mana dia tak pernah mengirikan CV ke sana.

“Kenapa bisa Blackwell & Blackwell Company memanggilku?” gumam Alana lagi, menunjukkan jelas kebingungannya.

Alana berpikir sejenak, tetapi dengan cepat dia menepis pikirannya. Hal yang paling utama adalah dirinya mendapatkan panggilan kerja. Itu sudah yang paling penting. Tentu dia berharap, tidak lagi mendapatkan penolakan.

“Aku tidak boleh banyak berpikir. Aku harus bergegas sekarang,” ucap Alana lagi tegas pada diri sendiri.

Tanpa berpikir panjang, Alana langsung masuk ke kamar mandi, menahan rasa sakit di area kewanitaannya. Ditinggal seorang diri di kamar hotel setelah tadi malam berhungan seks, membuatnya benar-benar kesal—seakan dirinya ini hanya seorang pelacur.

Namun, Alana sadar jika dia terbangun dalam keadaan ada pria asing di sampingnya, dia mungkin tidak tahu bagaimana harus bersikap. Apalagi kejadian tadi malam hanya sekadar one night stand semata.

***

Alana kini telah berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit megah yang menjulang gagah di jantung kota London. Dinding kaca berkilau, memantulkan langit biru dan awan-awan tipis di atasnya. Di puncaknya, terpampang logo yang elegan: Blackwell & Blackwell Company.

Jantung Alana berdebar lebih cepat dari biasanya. Tangan kirinya mencengkram map kulit berisi salinan CV dan dokumen penting lainnya, sedangkan tangan kanannya berusaha menata anak rambutnya yang memberontak karena tiupan angin musim semi. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

Alana merasa beruntung dia berhasil mengatur waktu dengan baik. Dari hotel, dia mampu kembali ke apartemennya dengan cepat, lalu mengganti pakaian formal, dan mempersiapkan segala dokumen yang dibutuhkan.

Hal yang paling Alana benci adalah sampai sekarang dia masih harus merasakan nyeri di area kewanitaannya. Andai saja pria tadi malam ada di depannya, sudah pasti dia akan melayangkan tamparan. Ah, tapi dia sadar bahwa pria tampan itu tidak sepenuhnya salah. Dia juga bersalah, karena terpesona dengan ketampanan pria tadi malam.  

Ting!

Pintu lift terbuka.

Seorang pria muda menyambutnya di depan pintu, mengenakan setelan navy rapi dan membawa iPad. Wajahnya serius, tapi penuh rasa sopan. “Selamat datang, Nona Alana Vance. Saya Trevor, asisten pribadi Tuan Arnold Blackwell. Tuan Arnold Blackwell akan segera menemui Anda. Silakan masuk ke ruang pertemuan.”

Alana mengerutkan keningnya, menatap Trevor bingung. “Hm? Kau sudah mengenaliku?” tanyanya yang tak mengerti.

Trevor tersenyum sopan. “Saya mengenali Anda, karena Anda melampirkan wajah di CV Anda.”

“Ah, iya kau benar. Aku meletakan fotoku di CV-ku,” ucap Alana sambil meringis, merasa malu.

Trevor kembali tersenyum. “Kalau begitu mari ikut saya ke ruang pertemuan, Nona.”

Alana mengangguk, lalu dia melangkah menuju ruang pertemuan bersama dengan Trevor. Tampak jelas raut wajahnya menunjukkan kegugupan. Blackwell & Blackwell Company merupakan firma hukum besar. Dia kerap mendengar tidak mudah orang bisa masuk di firma hukum bergengsi itu.

Alana kini mengikuti Trevor ke dalam ruang pertemuan berkonsep modern. Dinding kaca menyuguhkan pemandangan menakjubkan ke arah Sungai Thames. Furnitur bergaya minimalis dengan kursi kulit abu-abu dan meja kayu walnut tampak bersih dan profesional. Dia duduk perlahan di salah satu kursi, sambil mengatur napas dan mencoba membuang rasa gugup yang kini mulai menekan dadanya.

“Nona, mohon tunggu sebentar. Tuan Blacwell akan segera datang menemui Anda,” ucap Trevor sopan.

Alana mengangguk pelan. “Terima kasih, Trevor.”

Trevor tersenyum, lalu pamit undur diri dari hadapan Alana.

Alana merasa benar-benar tegang dan gugup. Dia duduk berusaha untuk tenang. Beberapa kali dia mengatur napas, tetap saja tidak mudah. Jemarinya saling menaut, dan meremas pelan—menunjukkan bahwa kegugupan memang melanda wanita itu.

Beberapa menit Alana menunggu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Detik itu juga, Alan mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan seketika dia terdiam. Seorang pria tampan—tinggi, tegap, dan gagah mengenakan jas abu-abu gelap dan kemeja putih yang disetrika sempurna—melangkah masuk dengan tenang. Wajah pria itu bersih, tajam, dan ada aura kendali dalam setiap geraknya.

Namun yang membuat napas Alana tercekat bukanlah penampilan pria itu. Melainkan wajah sang pria tampan itu. Sorot mata, bahkan tatapan pria tampan itu telah dia kenali. Tubuh Alana langsung membeku. Mata wanita itu membesar. Pun bersamaan dengan bibir terbuka tanpa suara.

‘Ya Tuhan! Bukankah pria itu …,’ batin Alana menjerit akibat terkejut.

Alana tak bisa menyelesaikan pikirannya. Guncangan di dadanya terlalu besar seakan mengoyakan diri. Itu dia—pria yang menghabiskan malam dengannya, dan meninggalkannya di hotel seakan dirinya ini seorang pelacur.

Kini, pria tampan itu berdiri di depan Alana. Tenang. Profesional. Tidak seperti malam itu—atau justru persis seperti malam itu? Pria itu duduk perlahan di ujung meja. Pandangannya tak berubah. Tetap tenang, tetap dingin, tetapi menyimpan sesuatu yang tak kasat mata.

Alana mencoba membuka suara, tapi tenggorokannya kering. Wanita itu tidak terlalu mabuk malam itu. Dia mengingat segalanya. Dia mengingat bagaimana pria itu mencumbunya. Sekarang—pria itu di sini. Duduk di depannya. Dalam pertemuan kerja? Dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya.

Pria tampan itu menatap Alana seolah tak pernah mengenalnya. “Jadi, begini pertemuan pertamamu dengan user? Bukankah paling tidak kau harus memperkenalkan diri, Nona Vance?” ucapnya dengan nada tenang.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 12. Kau Hanya Teman Tidur

    Arnold meletakan tubuh Alana ke kursi mobilnya. Pria tampan itu menatap Alana dengan wajah yang menggigit pucat, dan diselimuti rasa ketakutan yang mendalam. Ada sesuatu di dalam dirinya, yang merasakan tak nyaman melihat itu semua.“Kau sudah aman,” ucap Arnold hangat, menengakan Alana dari rasa takut yang mendera wanita itu.Alana memeluk tubuhnya, dengan mata yang berkaca-kaca. “A-aku takut tenggelam. A-aku pikir aku akan mati, Arnold.”Arnold tersenyum samar. “Kolam renang itu tinggi, tapi selama kau di dekatku, aku tidak akan mungkin membiarkanmu mati.”Alana terdiam, dan seketika hanyut akan kata-kata menenangkan pria tampan itu. “Dulu aku suka sekali berenang, tapi aku trauma karena pernah tenggelam. Dan trauma yang aku miliki, membuatku takut untuk berenang lagi. Aku tidak tahu bagaimana nasibku, kalau kau tidak menyelamatkanku, Arnold. Terima kasih banyak,” ucapnya pelan, memberi tahu.Arnold tak langsung menjawab ucapan terima kasih Alana. Pria tampan itu terdiam sejenak, me

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 11. Tindakan Sigap Arnold

    “Kenapa kau lama sekali? Apa yang kau lakukan di luar, Alana?” tanya Arnold dengan nada tenang, ketika melihat Alana yang baru tiba di dalam dan kini duduk di hadapannya. Pria tampan itu sudah lebih dulu masuk ke dalam restoran, tetapi Alana sejak tadi tak kunjung muncul.“Oh, maaf sudah membuatmu menunggu. Di luar ada seorang nenek tua dan aku memberinya sedikit uang untuk dia beli makan,” ujar Alana menjelaskan alasan dirinya yang baru masuk ke restoran.Arnold mengalihkan pandangannya ke luar restoran. “Di mana nenek tua itu?” tanyanya di kala tak melihat siapa pun di luar.“Nenek tua itu sudah pergi setelah aku menberikan uang,” jawab Alana memberi tahu. Namun, dia memilih untuk tak menceritakan pada Arnold tentang ucapan nenek itu. Sebab, dia berpikir bahwa ucapan nenek tua itu hanya candaan saja.Arnold mengangguk. “Aku sudah memesan beberapa makanan. Kalau ada yang kau inginkan, kau bisa pilih lagi.”“Aku rasa cukup. Aku selama ini tidak pemilih dalam hal makanan,” jawab Alana

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 10. Ada Orang yang Dendam Padamu!

    Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Alana menutup MacBook-nya, dan menghela napas berat. Ruangan kerja perlahan sepi, hanya menyisakan suara detik jam dan pendingin ruangan yang berdesis pelan. Pikirannya sekarang masih dilingkupi rasa kesal, yang membentang di dalam diri. Arnold dan Megan yang sedang makan siang, tapi belum juga kembali.“Ah, biarkan saja!” Alana menggelengkan kepalanya, tidak mau memikirkan Arnold yang belum kembali padahal sudah lebih dari lima jam pria itu keluar dari kantor.Alana memilih menenangkan pikiran dengan logikanya. Dia tak memiliki hak di hidup Arnold. Jadi, apa pun yang dilakukan Arnold itu harusnya bukan menjadi urusannya. Pria itu bisa melakukan apa pun yang diinginkan.Alana memasukan ponsel dan dompetnya yang ada di atas meja, ke dalam tasnya. Lantas, dia hendak pergi dari sana, tetapi geraknya terhenti melihat Caroline Weir—salah satu staff muda di Blackwell & Blackwell Company, melangkah menghampirinya.“Alana, maaf mengganggumu. Apa kau su

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 9. Rasa Penasaran yang Tak Terkendali

    Alana menatap cermin, melihat matanya sedikit sebab. Wanita cantik itu sudah mengompres matanya menggunakan es batu, agar tidak terlalu bengkak. Namun, tetap saja sembab masih terlihat. Beruntung, tadi di kala meeting berlangsung, dia bisa menutupi sembab dengan riasan wajah.“Siapa tadi yang menarik tanganku? Apa aku tadi bermimpi?” gumam Alana sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.Tadi, Arnold sudah meminta klien menyelidiki apakah ada orang asing masuk ke ruang rapat atau tidak, tetapi ternyata hasil yang didapat adalah tidak ada siapa pun yang naik ke ruang rapat itu. Meski Alana yakin ada orang asing datang, tetapi wanita itu tak ingin bersikeras.Alana mengerti akan kode etik. Apalagi perusahaan kliennya itu bukan perusahaan kecil. Dia merasa apa yang terjadi padanya begitu nyata. Rasa takut menggerogoti di dalam dirinya. Namun, di kala lampu menyala tadi, semua hilang seakan—dirinya ada di dalam dunia mimpi.“Sepertinya, aku kelelahan sampai banyak berkhayal sembarangan,” gu

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 8. Rasa Mencekam yang Membuat Alana Takut

    Pagi menyapa, Alana sudah tiba di kantornya. Wanita cantik itu datang lebih cepat ke kantor, berusaha mengubur semua mimpi buruk yang menghantuinya semalam. Kini dia berada di toilet, dia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya dengan saksama—berusaha memastikan riasannya tampak profesional: tidak terlalu mencolok, tapi cukup menutupi kelelahan di balik mata yang sembab.Tangan kirin Alana merapikan helaian rambut yang membandel, sedangkan tangan kanan menggenggam kecil botol parfum yang sempat dia semprotkan ke pergelangan tangan. Dia menarik napas panjang, menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.Pikiran Alana berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, ada satu hal yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, satu sosok: Arnold—pria itu bukan hanya bosnya, melainkan badai tenang yang mampu mengguncang isi kepala dan hatinya dalam diam. Setiap berada di dekat Arnold selalu menyisakan getaran samar di dadanya, getaran yang seringkali sulit dia kendalikan.Alana kini melangkah

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 7. Rencana yang Sudah Disusun Lama

    “Oh, Tuhan! Kenapa dia mengungkit lagi?” Alana menjatuhkan tubuh di sofa, merunduk, dan tangannya meremas lengan dengan gemetar. Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela besar lalu mengembungkan pipinya dengan napas pelan.Malam panas yang terjadi beberapa hari lalu itu seharusnya terkubur bersama waktu—di sudut tergelap dari ingatannya. Alana tidak ingin lagi mengingat bagaimana tubuhnya dan tubuh Arnold menyatu dalam gejolak yang memabukkan. Namun tadi, dengan nada santainya, Arnold kembali mengungkit. Senyuman tipis pria itu menusuk seperti pisau. Pria itu sekana menusuk bukan hanya hatinya, tapi harga dirinya.“Aku tidak mau mengingatnya lagi ...,” desis Alana sambil berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Dia membuka keran bathtub dan membiarkan air hangat mengisi ruang itu dengan uap pelan-pelan. Uap mulai memenuhi kaca dan ubin.Setelah air cukup penuh, Alana menanggalkan pakaiannya dengan gerakan lambat, nyaris ragu. Wanita itu kini menatap bayangannya di cermin, tubuh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status