Aroma alkohol bercampur dengan tembakau. Musik berdentum memekak telinga. Tampak banyak orang menari di lantai dansa—mengekspresikan diri mereka. Tawa terdengar mengiringi musik yang sejak tadi menyelimuti salah satu kelab malam mewah di London.
Namun, saat semua orang tertawa bahagia menari di lantai dansa, ada seorang wanita cantik berambut pirang, duduk di depan bartender dengan raut wajah yang menunjukkan jelas putus asa. Pun bahkan wanita itu tak henti menenggak minuman beralkohol yang diberikan bartender.
“Berikan aku minuman lagi!” seru Alana, wanita cantik berambut pirang, meminta bartender memberikan minuman lagi. Entah sudah berapa gelas dia tenggak. Rasa frustrasi yang menjalar di dalam dirinya, membuatnya tak henti untuk meminum. Alkohol sepertinya mampu menjadi obat untuknya yang sedang kacau.
“Nona, Anda sudah minum terlalu banyak. Apa Anda datang ke sini bersama tema atau mungkin pasangan?” tanya sang bartender sopan.
Alana tampak putus asa. “Aku tidak punya siapa pun! Aku ini hanya sendiri! Tidak punya pekerjaan yang jelas. Kau tahu? Aku ini adalah orang gagal!”
“Nona, tidak ada orang yang gagal. Semua orang di dunia ini pasti memiliki takdir kehidupan sendiri. Hanya saja Anda harus bisa lebih bersabar. Biasanya orang sukses akan selalu menghadapi rintangan yang lebih berat, tapi jika Anda berhasil melewati pasti kesuksesan akan ada di tangan Anda,” ujar sang bartender mengingatkan.
Alana mendengkus kasar, tak memedulikan ucapan bartender itu. Sebab menurutnya itu terdengar sangat omong kosong. “Cepat berikan aku minuman lagi!” serunya memberi perintah tegas.
Sang bartender tidak bisa menolak, akhirnya dia kembali memberikan minuman untuk Alana.
Alana meraih gelas yang diberikan sang bartender, dan menenggak minumannya hingga tandas. Dia tak peduli meski dirinya nyaris mabuk. Hal yang ingin dia lakukan adalah ingin melepaskan penat di kepalanya.
“Minuman ini terasa pahit. Tapi, lebih pahit nasib hidupku,” gumam Alana pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah dentuman bass dan suara tawa orang-orang yang sedang bersenang-senang.
Tiba-tiba, suara hangat, berat, dan seksi jelas terdengar di telinganya.
“Kau terlihat melewati hari berat,” ucap seorang pria tampan, tak lepas menatap Alana.
Alana mengalihkan pandangannya, pada suara berat itu. Tampak keningnya mengerut, melihat penampilan pria di sampingnya begitu gagah—berjas gelap yang pas di tubuh, jam tangan mahal melingkar di pergelangan kirinya, dan aroma parfum elegan yang langsung tercium begitu mendekat. Oh satu hal yang penting! Dia dapat melihat jelas wajah tampan pria itu. Rahangnya tegas, matanya tajam tapi tenang—ada kesan misterius dan menenangkan sekaligus dari cara dia menatap.
Pria tampan itu berdeham sebentar, di kala Alana menatapnya tanpa henti.
Alana langsung tersadar di kala pria itu berdeham. “Ah, ya, aku datang ke sini karena pikiranku kacau. Tapi, sekarang sudah lebih baik,” katanya melontarkan dusta. Tak ada yang lebih baik, karena baginya hidupnya benar-bena rumit. Namun, dia tak mungkin mengatakan itu pada orang yang baru saja dia kenal.
Pria tampan itu tersenyum, kali ini lebih lebar, tapi tetap penuh rahasia. “Well, pikiranku juga sedikit kacau. Jadi, aku datang ke sini.”
Alana menyipitkan mata, mencoba mengamati sosok di sampingnya yang tampak terlalu tenang untuk seorang asing di kelab malam. “Jika pikiranmu kacau, kenapa kau tidak ke lantai dansa menari dengan wanita cantik? Kau tampan. Pasti banyak yang mengincarmu.”
Pria tampan itu tertawa pelan. “Secara terang-terangan kau sudah memuji fisikku. Tapi, aku berterima kasih atas pujianmu,” jawabnya dengan tatapan tak lepas menatap mata abu-abu Alana. “Dan aku tidak tertarik dansa bersama dengan wanita lain di lantai dansa. Aku lebih nyaman duduk di sini menemanimu,” lanjutnya dengan suara serak, tetapi penuh misterius.
Alana terdiam sedikit merasa salah tingkah. Wanita cantik itu merasa kelepasan bicara. Dia tak bermaksud memuji, tetapi … ah, dia hanya mengatakan sebuah fakta di mana pria yang ada di dekatnya ini memiliki paras yang tampan.
“Dari wajahmu, kau terlihat kesepian. Keberatan aku menemanimu sebentar?” bisik pria itu serak.
Alana kembali terdiam sejenak. Entah dia merasa bahwa pria di dekatnya itu seakan mengenalnya. Padahal ini pertemuan pertama. Meski sudah minum alkohol cukup banyak, tapi beruntung tubuhnya tidak langsung tumbang. Jadi, dia masih bisa melihat jelas sosok yang mendekat padanya.
Alana kini memilih untuk mengangguk lemah. “Jika kau ingin menemaniku boleh saja. Aku tidak keberatan,” jawabnya yang memilih untuk menerima.
Pria tampan itu menyeringai akan jawaban Alana. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Alana, mengikis jarak, dan sontak membuat Alana tampak sangat gugup. Dia bisa melihat jelas kegugupan di wajah Alana.
“K-kau—”
“Kau memiliki bibir yang indah,” bisik pria tampan itu.
Alana sedikit tersipu. “Benarkah? B-belum pernah ada pria yang memuji bibirku,” jawabnya secara spontan.
Pria tampan itu tampak menikmati pemandangan wajah Alana. “Harusnya pria yang berciuman denganmu memujimi.”
Alana menggelengkan kepala pelan. “Aku belum pernah berciuman.”
“Ah, really?” Pria tampan itu melukiskan senyuman, mendengar ucapan Alana.
Alana mengangguk. “Ya, aku belum pernah berciuman.”
Pria tampan itu membawa tangan kokohnya, membelai bibir ranum Alana. “Aku bisa memberikan pengalaman ciuman pertamamu yang luar biasa, Alana,” bisiknya serak, mendominiasi.
Alana mengerjapkan mata beberapa kali. “Kau tahu namaku? Apa tadi aku sudah menyebutkan namaku?” tanyanya pelan.
“Sudah, kau sudah menyebut namamu,” dusta pria tampan itu, dengan seringai di wajahnya.
Alana mengangguk, tak ingat. Namun, karena pria itu sudah mengenali namanya, jadi dia rasa tak perlu dipertanyakan lagi. Mungkin benar, tadi dirinya sudah menyebutkan nama.
Pria tampan itu menarik dagu Alana, dan membelai sedikit kasar bibir wanita itu. “Aku berani menjamin bibirmu sangat manis.”
Alana merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Aroma parfum mahal pria tampan itu begitu menyeruak ke indra penciumannya—seakan melumpuhkan seluruh organ sarafnya. Dia benar-benar tak mampu berkutik sama sekali.
“A-aku—”
“Can I kiss you, Alana?” bisik pria itu serak.
Alana lemah, dia tak sanggup menahan godaan pria tampan itu. Detik itu juga dia mengangguk, dan respons Alana langsung membuat sang pria tampan melumat bibirnya penuh dengan kelembutan serta gairah yang berkorbar.
Ciuman itu memabukan. Awalnya lembut, ragu-ragu, tetapi kemudian berubah menjadi hangat, penuh rasa haus yang terpendam. Napas mereka memburu, menciptakan gelembung waktu yang menggantung di udara kelab malam yang dipenuhi cahaya merah kebiruan dan dentuman musik yang mendadak terasa jauh.
Alana membiarkan dirinya larut, seolah berharap dari kedalaman ciuman itu ada sesuatu yang bisa menyelamatkannya—entah pelarian, pengakuan, atau sekadar rasa bahwa dirinya masih diinginkan. Tangan lentiknya menarik pelan dasi sang pria tampan, lalu perlahan tangannya mulai menyentuh pipi pria itu, meraba kulit hangat yang kontras dengan dinginnya dunia di luar.
“Apa kau bersedia menghabiskan malam bersama denganku?” bisik pria tampan itu serak.
Alana menatap pria itu bingung. Kepalanya masih berat, napasnya tersengal. “M-menghabiskan malam bersama? Apa maksudmu?” gumamnya dengan nada setengah sadar.
Pria tampan itu mengecupi leher jenjang Alana, dan berbisik serak dan seksi, “Menghabiskan malam bersama … di ranjang. Aku pastikan cara ini akan mengusir rasa frustrasimu, Alana.”
Alana menelan salivanya susah payah. Wanita cantik itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya tiba-tiba kelu—di kala mendapatkan ciuman dahsyat. Tidak hanya sebuah ciuman, tapi tangan pria itu dengan bebasnya menyentuh payudaranya, dan memberikan remasan lembut.
Tubuh Alana meremang merasakan embusan napas pria tampan itu menyentuh permukaan kulitnya. Aroma parfum pria itu membuat hasrat di dalam dirinya semakin menggelora. Harusnya dia menolak sentuhan pria asing, tapi sialnya kewarasannya tidak benar-benar terjaga.
Alana masih sadar, tetapi alkohol cukup membuat otaknya lemah. Dia akhirnya mengangguk, menanggapi ucapan pria tampan yang menciumnya itu. Ya, dia akui dirinya memang sudah gila, menerima tawaran sang pria tampan itu.
Tampak seringai di wajah sang pria tampan terlukis. Detik di mana Alana menerima tawarannya, dia langsung membawa Alana pergi meninggalkan kelab malam—menuju hotel terdekat.
***
Alana terdorong masuk ke dalam kamar hotel, dengan bibir yang masih saling menaut dengan sang pria tampan. Dia mengerang pelan, di kala ciuman itu semakin hebat. Tak hanya sebuah ciuman saja dia dapat, tetapi tangan kokoh sang pria tampan mulai melucuti dress yang malam itu dia kenakan.
Dalam sekejap, dress yang ada di tubuh Alana terjatuh ke lantai, lalu sang pria tampan mendorong tubuhnya, dan lagi helaian terakhir yaitu bra dan celana dalam berenda milik Alana sudah dilucuti, dan dilempar ke sembarangan arah.
Pria tampan itu menyeringai melihat tubuh telanjang Alana yang indah di depan matanya. “Tubuhmu … mulus, Alana,” bisiknya serak.
Alana tersipu, matanya masih sayu akibat alkohol yang semakin meronta. Entah dari mana keberanian muncul, dia kini membantu pria tampan itu melucuti pakaian. Tangannya lincah—dan seakan tak sabar dengan permainan ini.
Tubuh sang pria tampan itu kini sudah polos. Dia sama-sama telanjang seperti Alana. Tampak mereka saling menatap satu sama lain. Lantas, secara perlahan pria tampan itu memulai aksinya menyentuh setiap inci tubuh indah Alana.
Sentuhan-sentuhan yang diberikan sang pria tampan membuat Alana tak tahan untuk tak mendesah. Wanita cantik berambut pirang itu pasrah sembari meloloskan desahan yang terdengar merdu.
Sang pria tampan itu tak bisa menahan diri. Apalagi kejantanannya sudah berdiri tegak—seakan memberi tahu bahwa siap untuk memasuki liang sempit. Detik itu juga, dia membuka lembar kedua paha Alana—dan dengan satu kali hentakan keras—dia mencoba menerobos.
“Ahhhhh …” Alana menjerit kesakitan di kala pria tampan itu memaksa untuk masuk.
“Kau … masih perawan?” bisik pria tampan itu, dengan senyuman misterius.
Alana merintih, tetapi dia tak ingin untuk berhenti. “Cepat masuki aku. Jangan berhenti,” pintanya merengek untuk pria itu memasukinya.
Pria tampan itu menyeringai mendapatkan perintah dari Alana. “Aku akan melakukan dengan pelan. Lebarkan kedua pahamu, kau akan merasakan kenikmatan yang belum pernah kau rasakan,” bisiknya serak, memberikan perintah sekaligus janji.
Alana menuruti pria tampan itu, dia membuka lebar kedua pahanya, membiarkan sang pria tampan memasukinya dengan pelan, lalu berakhir dengan hentakkan kencang. Teriakan Alana terdengar, tetapi teriakan itu bercampur dengan desahan merdu.
Malam itu menjadi malam yang panjang. Alana datang ke kelab malam, karena rasa frustrasi. Namun, tiba-tiba ada sang pria tampan menerbos merusak segalanya. Termasuk … kewarasan seorang Alana Vance.
Pria tampan itu dengan sengaja menyemburkan lahar panasnya ke dalam rahim Alana. Dia tampak tersenyum puas penuh kemenangan di kala berahasil meniduri wanita yang selama ini dia incar.
Alana terkulai lemah, dia langsung tertidur di kala permainan berakhir. Namun, tidak dengan sang pria tampan yang langsung memakai kembali pakaiannya. Pria itu seakan sedang menjalani misi khusus.
“Aku sudah menjalankan rencanaku. Lanjutkan tugasmu,” ucap pria tampan itu, menghubungi seseorang.
Pagi menyapa, Alana sudah tiba di kantornya. Wanita cantik itu datang lebih cepat ke kantor, berusaha mengubur semua mimpi buruk yang menghantuinya semalam. Kini dia berada di toilet, dia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya dengan saksama—berusaha memastikan riasannya tampak profesional: tidak terlalu mencolok, tapi cukup menutupi kelelahan di balik mata yang sembab.Tangan kirin Alana merapikan helaian rambut yang membandel, sedangkan tangan kanan menggenggam kecil botol parfum yang sempat dia semprotkan ke pergelangan tangan. Dia menarik napas panjang, menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.Pikiran Alana berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, ada satu hal yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, satu sosok: Arnold—pria itu bukan hanya bosnya, melainkan badai tenang yang mampu mengguncang isi kepala dan hatinya dalam diam. Setiap berada di dekat Arnold selalu menyisakan getaran samar di dadanya, getaran yang seringkali sulit dia kendalikan.Alana kini melangkah
“Oh, Tuhan! Kenapa dia mengungkit lagi?” Alana menjatuhkan tubuh di sofa, merunduk, dan tangannya meremas lengan dengan gemetar. Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela besar lalu mengembungkan pipinya dengan napas pelan.Malam panas yang terjadi beberapa hari lalu itu seharusnya terkubur bersama waktu—di sudut tergelap dari ingatannya. Alana tidak ingin lagi mengingat bagaimana tubuhnya dan tubuh Arnold menyatu dalam gejolak yang memabukkan. Namun tadi, dengan nada santainya, Arnold kembali mengungkit. Senyuman tipis pria itu menusuk seperti pisau. Pria itu sekana menusuk bukan hanya hatinya, tapi harga dirinya.“Aku tidak mau mengingatnya lagi ...,” desis Alana sambil berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Dia membuka keran bathtub dan membiarkan air hangat mengisi ruang itu dengan uap pelan-pelan. Uap mulai memenuhi kaca dan ubin.Setelah air cukup penuh, Alana menanggalkan pakaiannya dengan gerakan lambat, nyaris ragu. Wanita itu kini menatap bayangannya di cermin, tubuh
Jam dinding antik di sudut ruang kerja berdentang pelan, menunjukkan pukul tujuh malam. Hujan mengguyur kota London tanpa jeda sejak sore, menciptakan suara gemuruh lembut di balik kaca-kaca tinggi gedung Blackwell & Blackwell Company. Mayoritas karyawan telah meninggalkan kantor, dan menyisakan hanya beberapa staff yang masih menyelesaikan laporan dan aktivitas lainnya.Alana duduk di kursi kerjanya, memandangi layar MacBook yang sebenarnya telah dia matikan sejak lima belas menit lalu. Jari-jari lentik wanita itu saling menggenggam di pangkuan, dan tatapannya kosong. Bukan karena pekerjaan. Bukan karena huja, tapi karena pikirannya belum tenang sejak kejadian pagi—di mana wanita bernama Megan menuduhnya dengan keji.Alana menarik napas panjang, mencoba melepaskan beban yang mengendap di dalam dadanya. Dia segera menepis pikiran yang mengusiknya, tak ingin lagi berpikir tidak-tidak. Detik selanjutnya, dia berdiri dengan gerakan pelan dan memakai coat tebal berwarna cokelat gelap.Saa
Alana sontak tersentak melihat seorang wanita melayangkan tatapan tajam padanya. Dia segera melepaskan diri dari pelukan itu, langkah kaki mundur dua tapak tanpa suara, berusaha menjaga postur tetap tegak meski jantungnya berdegup kacau. Tangannya meremas ujung coat, mencoba meredakan kegugupan yang mendadak membuncah.Langkah sepatu hak tinggi terdengar bergema, cepat dan mantap. Seorang wanita cantik dan seksi berjalan dengan aura dominan yang begitu terlihat. Wajah wanita itu tegas, mata menyipit tajam, dan tubuh dibalut gaun ketat berwarna merah maroon yang kontras dengan suasana kantor. Gaun itu memeluk sempurna tubuhnya dengan percaya diri. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Arnold, dengan wajah yang memancarkan kemarahan yang ditekan, tapi nyaris meledak.“Siapa wanita ini? Dan apa yang kau lakukan dengan wanita ini?” tanya wanita seksi itu, dengan nada penuh tuntutan. Tampak dia melirik sinis ke arah Alana, seakan melihat ancaman yang harus disingkirkan.Arnold tidak bergera
“Alana! Kau sudah kehilangan akal sehatmu!” Alana menghempaskan tubuhnya ke ranjang, lalu dia memeluk bantal seraya mengumpati kebodohan yang dia lakukan. Sungguh, dia tak mengerti kenapa dia menerima tawaran Blackwell & Blackwell Company? Alana merasa seperti terjebak di dalam lingkaran api, hingga membuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Dia tadi antara sadar dan tidak sadar menandatangani kontrak itu. Rasa putus asa sulit mendapatkan pekerjaan, membuat otaknya memang tidak bisa berpikir dengan baik.Alana baru menyadari bahwa jika dirinya di hadapkan banyak kerumitan, maka otaknya tidak berfungsi dengan baik. Pertama dia putus asa datang ke kelab malam, dan berakhir di ranjang dengan pria asing. Kedua, ketika fakta membawanya pada pria asing itu adalah pemilik perusahaan besar, dia malah bekerja di perusahaan pria yang menjadi cinta satu malamnya.“Alana kau benar-benar bodoh!” Alana menepuk keningnya. Namun, seketika dia terdiam sebentar. Jika tadi dia tidak menerima tawaran
Alana tersentak dengan ucapan pria tampan itu. Buru-buru, dia megendalikan diri, berupaya untuk tenang, meski itu sama sekali tidak mudah untuknya. “K-kau … b-bagaimana bisa kau—” Sialnya, lidahnya kelu, di kala ingin mengatakan sesuatu pada sosok pria tampan di depannya.“Arnold. Panggil aku cukup nama depan saja,” jawab pria tampan bernama Arnold Blackwell itu, dan dia tampak tersenyum puas melihat keterkejutan di wajah Alana.Alana menelan salivanya susah payah, merasa dilanda kebingungan yang hebat. Sungguh, dia tak tahu bagaimana harus bersikap seperti apa. Bisa saja dia mengamuk memaki pria di depannya ini, tapi dia sadar bahwa pria di depannya ini tak sepenuhnya bersalah.Tadi malam, Alana tampak frustrasi. Arnold menghampirinya, mengajaknya menghabiskan malam bersama. Pun dengan sadar, Alana menerima tawaran Arnold—meski pada saat itu dia tak tahu siapa Arnold. Esok harinya, dia di hadapkan dengan kenyataan, di mana Arnold pergi begitu saja meninggalkannya bahkan tanpa ada cat