Alana menatap cermin, melihat matanya sedikit sebab. Wanita cantik itu sudah mengompres matanya menggunakan es batu, agar tidak terlalu bengkak. Namun, tetap saja sembab masih terlihat. Beruntung, tadi di kala meeting berlangsung, dia bisa menutupi sembab dengan riasan wajah.“Siapa tadi yang menarik tanganku? Apa aku tadi bermimpi?” gumam Alana sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.Tadi, Arnold sudah meminta klien menyelidiki apakah ada orang asing masuk ke ruang rapat atau tidak, tetapi ternyata hasil yang didapat adalah tidak ada siapa pun yang naik ke ruang rapat itu. Meski Alana yakin ada orang asing datang, tetapi wanita itu tak ingin bersikeras.Alana mengerti akan kode etik. Apalagi perusahaan kliennya itu bukan perusahaan kecil. Dia merasa apa yang terjadi padanya begitu nyata. Rasa takut menggerogoti di dalam dirinya. Namun, di kala lampu menyala tadi, semua hilang seakan—dirinya ada di dalam dunia mimpi.“Sepertinya, aku kelelahan sampai banyak berkhayal sembarangan,” gu
Pagi menyapa, Alana sudah tiba di kantornya. Wanita cantik itu datang lebih cepat ke kantor, berusaha mengubur semua mimpi buruk yang menghantuinya semalam. Kini dia berada di toilet, dia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya dengan saksama—berusaha memastikan riasannya tampak profesional: tidak terlalu mencolok, tapi cukup menutupi kelelahan di balik mata yang sembab.Tangan kirin Alana merapikan helaian rambut yang membandel, sedangkan tangan kanan menggenggam kecil botol parfum yang sempat dia semprotkan ke pergelangan tangan. Dia menarik napas panjang, menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.Pikiran Alana berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, ada satu hal yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, satu sosok: Arnold—pria itu bukan hanya bosnya, melainkan badai tenang yang mampu mengguncang isi kepala dan hatinya dalam diam. Setiap berada di dekat Arnold selalu menyisakan getaran samar di dadanya, getaran yang seringkali sulit dia kendalikan.Alana kini melangkah
“Oh, Tuhan! Kenapa dia mengungkit lagi?” Alana menjatuhkan tubuh di sofa, merunduk, dan tangannya meremas lengan dengan gemetar. Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela besar lalu mengembungkan pipinya dengan napas pelan.Malam panas yang terjadi beberapa hari lalu itu seharusnya terkubur bersama waktu—di sudut tergelap dari ingatannya. Alana tidak ingin lagi mengingat bagaimana tubuhnya dan tubuh Arnold menyatu dalam gejolak yang memabukkan. Namun tadi, dengan nada santainya, Arnold kembali mengungkit. Senyuman tipis pria itu menusuk seperti pisau. Pria itu sekana menusuk bukan hanya hatinya, tapi harga dirinya.“Aku tidak mau mengingatnya lagi ...,” desis Alana sambil berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Dia membuka keran bathtub dan membiarkan air hangat mengisi ruang itu dengan uap pelan-pelan. Uap mulai memenuhi kaca dan ubin.Setelah air cukup penuh, Alana menanggalkan pakaiannya dengan gerakan lambat, nyaris ragu. Wanita itu kini menatap bayangannya di cermin, tubuh
Jam dinding antik di sudut ruang kerja berdentang pelan, menunjukkan pukul tujuh malam. Hujan mengguyur kota London tanpa jeda sejak sore, menciptakan suara gemuruh lembut di balik kaca-kaca tinggi gedung Blackwell & Blackwell Company. Mayoritas karyawan telah meninggalkan kantor, dan menyisakan hanya beberapa staff yang masih menyelesaikan laporan dan aktivitas lainnya.Alana duduk di kursi kerjanya, memandangi layar MacBook yang sebenarnya telah dia matikan sejak lima belas menit lalu. Jari-jari lentik wanita itu saling menggenggam di pangkuan, dan tatapannya kosong. Bukan karena pekerjaan. Bukan karena huja, tapi karena pikirannya belum tenang sejak kejadian pagi—di mana wanita bernama Megan menuduhnya dengan keji.Alana menarik napas panjang, mencoba melepaskan beban yang mengendap di dalam dadanya. Dia segera menepis pikiran yang mengusiknya, tak ingin lagi berpikir tidak-tidak. Detik selanjutnya, dia berdiri dengan gerakan pelan dan memakai coat tebal berwarna cokelat gelap.Saa
Alana sontak tersentak melihat seorang wanita melayangkan tatapan tajam padanya. Dia segera melepaskan diri dari pelukan itu, langkah kaki mundur dua tapak tanpa suara, berusaha menjaga postur tetap tegak meski jantungnya berdegup kacau. Tangannya meremas ujung coat, mencoba meredakan kegugupan yang mendadak membuncah.Langkah sepatu hak tinggi terdengar bergema, cepat dan mantap. Seorang wanita cantik dan seksi berjalan dengan aura dominan yang begitu terlihat. Wajah wanita itu tegas, mata menyipit tajam, dan tubuh dibalut gaun ketat berwarna merah maroon yang kontras dengan suasana kantor. Gaun itu memeluk sempurna tubuhnya dengan percaya diri. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Arnold, dengan wajah yang memancarkan kemarahan yang ditekan, tapi nyaris meledak.“Siapa wanita ini? Dan apa yang kau lakukan dengan wanita ini?” tanya wanita seksi itu, dengan nada penuh tuntutan. Tampak dia melirik sinis ke arah Alana, seakan melihat ancaman yang harus disingkirkan.Arnold tidak bergera
“Alana! Kau sudah kehilangan akal sehatmu!” Alana menghempaskan tubuhnya ke ranjang, lalu dia memeluk bantal seraya mengumpati kebodohan yang dia lakukan. Sungguh, dia tak mengerti kenapa dia menerima tawaran Blackwell & Blackwell Company? Alana merasa seperti terjebak di dalam lingkaran api, hingga membuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Dia tadi antara sadar dan tidak sadar menandatangani kontrak itu. Rasa putus asa sulit mendapatkan pekerjaan, membuat otaknya memang tidak bisa berpikir dengan baik.Alana baru menyadari bahwa jika dirinya di hadapkan banyak kerumitan, maka otaknya tidak berfungsi dengan baik. Pertama dia putus asa datang ke kelab malam, dan berakhir di ranjang dengan pria asing. Kedua, ketika fakta membawanya pada pria asing itu adalah pemilik perusahaan besar, dia malah bekerja di perusahaan pria yang menjadi cinta satu malamnya.“Alana kau benar-benar bodoh!” Alana menepuk keningnya. Namun, seketika dia terdiam sebentar. Jika tadi dia tidak menerima tawaran