Home / Romansa / Gelora Hati Yang Terbakar / Bab 3. Tak Memiliki Pilihan Lain

Share

Bab 3. Tak Memiliki Pilihan Lain

last update Last Updated: 2025-06-18 22:01:28

Alana tersentak dengan ucapan pria tampan itu. Buru-buru, dia megendalikan diri, berupaya untuk tenang, meski itu sama sekali tidak mudah untuknya. “K-kau … b-bagaimana bisa kau—” Sialnya, lidahnya kelu, di kala ingin mengatakan sesuatu pada sosok pria tampan di depannya.

“Arnold. Panggil aku cukup nama depan saja,” jawab pria tampan bernama Arnold Blackwell itu, dan dia tampak tersenyum puas melihat keterkejutan di wajah Alana.

Alana menelan salivanya susah payah, merasa dilanda kebingungan yang hebat. Sungguh, dia tak tahu bagaimana harus bersikap seperti apa. Bisa saja dia mengamuk memaki pria di depannya ini, tapi dia sadar bahwa pria di depannya ini tak sepenuhnya bersalah.

Tadi malam, Alana tampak frustrasi. Arnold menghampirinya, mengajaknya menghabiskan malam bersama. Pun dengan sadar, Alana menerima tawaran Arnold—meski pada saat itu dia tak tahu siapa Arnold. Esok harinya, dia di hadapkan dengan kenyataan, di mana Arnold pergi begitu saja meninggalkannya bahkan tanpa ada catatan sedikit pun.

Alana kesal, merasa dirinya seperti seorang pelacur. Namun, di sisi lain dia sadar bahwa Arnold tidak berjanji apa pun padanya. Jadi, kalau Arnold pergi itu tidak bisa dikatakan sebuah kesalahan. One night stand sudah menjadi sebuah trend orang-orang yang datang ke kelab malam.

“Perkenalkan aku Alana Vance. Suatu kerhormatan untukku bisa diundang di perusahaanmu. Terima kasih, kau telah meluangkan waktu untukku,” ucap Alana pada akhirnya, memilih untuk memperkenalkan diri.

“Kau pasti kaget tiba-tiba mendapatkan undangan interview dari Blackwell & Blackwell Company,” ujar Arnold dengan nada tenang.

Alana mencoba menelan rasa gugupnya. Dia menarik napas perlahan, menegakkan punggung, dan membentuk senyum sopan. “Benar. Aku cukup terkejut mendapatkan undangan itu. Jujur, aku merasa tidak pernah mengirim email ke perusahaanmu, tapi saat aku mendapatkan undangan, benar-benar membuatku tersanjung. Terima kasih atas undanganmu.”

Arnold hanya tersenyum kecil. Pria tampan itu membuka map berisi CV Alana yang terletak di depannya. Dia melirik cepat halaman pertama—lalu menutupnya kembali. Tidak ada komentar. Tidak ada catatan. Seolah CV itu hanyalah formalitas belaka.

Alana merasa semakin canggung, dan gugup. Namun, dia menahan diri sekuat mungkin. Dia ingin terlihat profesional, bahkan jika pikirannya masih berputar tentunya dia bertanya-tanya kenapa bisa firma hukum besar seperti Blackwell & Blackwell Company malah mengundangnya.

Arnold bersandar santai ke sandaran kursinya, jemari-jemarinya bertaut di atas meja. “Aku tahu kau tidak pernah melamar di perusahaanku,” ucapnya tiba-tiba, menanggapi pernyataan Alana sebelumnya. “Tapi, aku yang meminta agar kau diundang untuk interview.”

Jantung Alana berdetak lebih kencang. Kerongkongannya mendadak kering. Dia fokus pada pria di hadapannya. Mata pria itu yang gelap, ekspresi tenang, dan nada bicara yang nyaris terlalu terkendali—membuat jujur bulu kuduk Alana merinding.

“Boleh aku tahu kenapa kau mengundangku?” tanya Alana, mencoba tetap tenang. “Apa karena kita pernah bertemu sebelumnya? Di kelab malam? Kemarin malam?” tanyanya lagi merasa penasaran.

Alana sengaja menyebutkan pertemuan itu, meski tidak detail. Tentu dia sangat malu jika terang-terangan membahas one night stand. Jadi, lebih baik pertanyaannya hanya sekilas, tanpa harus lengkap. Pun dia ingin tahu reaksi Arnold. Namun, tunggu! Ternyata pria tampan itu tidak menunjukkan ekspresi terkejut, apalagi malu. Pria itu malah menatapnya dengan arti khusus—seakan ada sesuatu hal penting yang akan diucapkan.

“Aku rasa kita tidak perlu melanjutkan sesi wawancara ini,” ucap Arnold tiba-tiba yang sontak membuat Alana terkejut.

Alana menegakkan bahunya. Ada dorongan tak nyaman di dadanya. “Apa maksudmu? Kau ingin mempermainkanku?” tanyanya pelan, berusaha untuk tenang.

Arnold tidak menjawab secara langsung. Pria tanpan itu langsung membuka laci di sisi mejanya, mengambil sebuah dokumen, lalu menyerahkannya ke hadapan Alana.

“Bacalah,” ucap Arnold dingin.

Alana mengambil dokumen itu dengan tangan gemetar, dan membaca cepat. Namun, seketika matanya melebar melihat ternyata dokumen yang disodorkan adalah surat penawaran kerja.

“I-ini—” Alana nyaris kehilangan kata-kata, tak menyangka Arnold langsung memberikan penawaran kerja padanya.

“Kesempatan tidak datang dua kali. Kau ingin menerima atau tidak?” tanya Arnold dengan nada dingin.

Alana terdiam beberapa detik. Dia menelan salivanya susah payah. mencoba memproses semuanya, tapi semakin dia mencoba mencerna, semakin pikirannya dipenuhi tanda tanya. Dia merasa ini semua benar-benar aneh.

“K-kau menerimaku tanpa melakukan sesi pertanyaan?” tanya Alana yang dibuat bingung.

“Aku sudah melihat CV-mu. Aku juga sudah membaca kasus apa saja yang pernah kau tangani. Jadi, aku rasa tidak perlu lagi banyak mengajukan pertanyaan. Ah, harus kau tahu aku tidak suka banyak berbasa-basi dalam urusan pekerjaan,” ucap Arnold dengan senyuman misterius di wajahnya.

“T-tapi, firma hukummu itu bukan firma hukum sembarangan. Sebelum aku datang ke sini, aku sudah membaca detail dari internet prestasi luar biasa perusahaanmu. A-apa kau yakin akan benar-benar menerimaku?” tanya Alana lagi, merasa dilanda kebingungan.

Tanpa langsung menjawab pertanyaan dari Alana, Arnold berdiri. Pria tampan itu berjalan perlahan menuju jendela besar di sisi ruangan, memandangi panorama kota London yang terbentang luas.

“Cukup kau tentukan pilihanmu. Gaji yang aku tawaran dan bonus yang aku tawarkan sangat fantastis. Jika kau terlalu banyak berpikir, maka kau akan kehilangan kesempatan emas ini,” ucap Arnold dengan senyuman misterius di wajahnya.

Alana memegang surat penawaran dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang membentang. Dia jelas sadar bahwa ini adalah kesempatan yang tidak akan mungkin datang kedua kali.

“Tentang tadi malam—” Alana menggantungkan ucapannya, merasa bingung dengan semua yang terjadi di hidupnya. Dia ingat jelas menghabiskan malam dengan seorang pria tampan, dan fakta terkuak pria tampan itu adalah seorang yang berkuasa.

“Hari sudah berganti. Harusnya kau tidak perlu membahas lengkap tentang apa yang terjadi di hari yang sudah lewat,” ucap Arnold tenang.

Jantung Alana merasakan seperti ditancap oleh sebilah pisau. Kata-kata Arnold begitu tajam dan menusuk. Dia merasa dipermainkan, tetapi dia langsung tersadar bahwa memang cinta satu malam seharusnya dilupakan.

Alana mendongak, memberanikan diri menatap Arnold. “Aku tidak tahu bagaimana bisa kau mengenalku, Tuan Blackwell. Mungkin saja kau kebetulan melihatku di internet, karena statusku sedang mencari pekerjaan. Tapi, ada benarnya akan apa yang kau katakan. Apa yang terjadi tadi malam seharusnya tidak perlu diingat lagi. Hari sudah berganti, dan waktunya untuk melihat ke depan, bukan ke belakang. Benar, kan?”

Arnold membalas tatapan Alana, dan mengangguk. “Kau benar. Jadi, kau menerima tawaranku, Nona Vancer?” tanyanya, dengan senyuman misterius di wajahnya.

Alana mengatur napasnya, mencoba menjernihkan pikiran. Tidak mudah berada di posisinya. Andai saja mencari pekerjaan itu mudah, maka dia akan angkat kaki. Namun, keadaan benar-benar membuatnya terdesak. Dia sudah belasan kali melamar pekerjaan, tetapi belum ada panggilan. Sekalipun ada, yang dia dapatkan adalah penolakan.

Alana tidak mengerti ada apa dengan nasibnya. Sekarang dia di hadapkan dengan pria yang menghabiskan malam dengannya ternyata pemilik perusahaan firma hukum besar di London. Benar-benar sangat konyol.

Ada hal penting lain yang menjadi pertimbangan Alana, yaitu gaji dan bonus yang ditawarkan berkali-kali lipat dari yang dia dapat sebelumnya. Terdengar mustahil, tetapi fakta yang ada demikian.

Fine, aku menerima,” jawab Alana yakin, dan langsung membubuhkan tanda tangan ke surat penawaran itu.

Arnold menyeringai penuh arti di kala Alana menerima tawarannya. Pria tampan itu mengalihkan pandangan, menatap Alana dengan tatapan penuh arti khusus—dan menunjukkan jelas banyak rencana terselubung.

“Pilihan yang bagus. Welcome to Blackwell & Blackweel Company, Alana Vance.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 8. Rasa Mencekam yang Membuat Alana Takut

    Pagi menyapa, Alana sudah tiba di kantornya. Wanita cantik itu datang lebih cepat ke kantor, berusaha mengubur semua mimpi buruk yang menghantuinya semalam. Kini dia berada di toilet, dia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya dengan saksama—berusaha memastikan riasannya tampak profesional: tidak terlalu mencolok, tapi cukup menutupi kelelahan di balik mata yang sembab.Tangan kirin Alana merapikan helaian rambut yang membandel, sedangkan tangan kanan menggenggam kecil botol parfum yang sempat dia semprotkan ke pergelangan tangan. Dia menarik napas panjang, menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.Pikiran Alana berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, ada satu hal yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, satu sosok: Arnold—pria itu bukan hanya bosnya, melainkan badai tenang yang mampu mengguncang isi kepala dan hatinya dalam diam. Setiap berada di dekat Arnold selalu menyisakan getaran samar di dadanya, getaran yang seringkali sulit dia kendalikan.Alana kini melangkah

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 7. Rencana yang Sudah Disusun Lama

    “Oh, Tuhan! Kenapa dia mengungkit lagi?” Alana menjatuhkan tubuh di sofa, merunduk, dan tangannya meremas lengan dengan gemetar. Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela besar lalu mengembungkan pipinya dengan napas pelan.Malam panas yang terjadi beberapa hari lalu itu seharusnya terkubur bersama waktu—di sudut tergelap dari ingatannya. Alana tidak ingin lagi mengingat bagaimana tubuhnya dan tubuh Arnold menyatu dalam gejolak yang memabukkan. Namun tadi, dengan nada santainya, Arnold kembali mengungkit. Senyuman tipis pria itu menusuk seperti pisau. Pria itu sekana menusuk bukan hanya hatinya, tapi harga dirinya.“Aku tidak mau mengingatnya lagi ...,” desis Alana sambil berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Dia membuka keran bathtub dan membiarkan air hangat mengisi ruang itu dengan uap pelan-pelan. Uap mulai memenuhi kaca dan ubin.Setelah air cukup penuh, Alana menanggalkan pakaiannya dengan gerakan lambat, nyaris ragu. Wanita itu kini menatap bayangannya di cermin, tubuh

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 6. Tak Pernah Menyesal Menyentuhmu

    Jam dinding antik di sudut ruang kerja berdentang pelan, menunjukkan pukul tujuh malam. Hujan mengguyur kota London tanpa jeda sejak sore, menciptakan suara gemuruh lembut di balik kaca-kaca tinggi gedung Blackwell & Blackwell Company. Mayoritas karyawan telah meninggalkan kantor, dan menyisakan hanya beberapa staff yang masih menyelesaikan laporan dan aktivitas lainnya.Alana duduk di kursi kerjanya, memandangi layar MacBook yang sebenarnya telah dia matikan sejak lima belas menit lalu. Jari-jari lentik wanita itu saling menggenggam di pangkuan, dan tatapannya kosong. Bukan karena pekerjaan. Bukan karena huja, tapi karena pikirannya belum tenang sejak kejadian pagi—di mana wanita bernama Megan menuduhnya dengan keji.Alana menarik napas panjang, mencoba melepaskan beban yang mengendap di dalam dadanya. Dia segera menepis pikiran yang mengusiknya, tak ingin lagi berpikir tidak-tidak. Detik selanjutnya, dia berdiri dengan gerakan pelan dan memakai coat tebal berwarna cokelat gelap.Saa

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 5. Arnold Adalah Milikku!

    Alana sontak tersentak melihat seorang wanita melayangkan tatapan tajam padanya. Dia segera melepaskan diri dari pelukan itu, langkah kaki mundur dua tapak tanpa suara, berusaha menjaga postur tetap tegak meski jantungnya berdegup kacau. Tangannya meremas ujung coat, mencoba meredakan kegugupan yang mendadak membuncah.Langkah sepatu hak tinggi terdengar bergema, cepat dan mantap. Seorang wanita cantik dan seksi berjalan dengan aura dominan yang begitu terlihat. Wajah wanita itu tegas, mata menyipit tajam, dan tubuh dibalut gaun ketat berwarna merah maroon yang kontras dengan suasana kantor. Gaun itu memeluk sempurna tubuhnya dengan percaya diri. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Arnold, dengan wajah yang memancarkan kemarahan yang ditekan, tapi nyaris meledak.“Siapa wanita ini? Dan apa yang kau lakukan dengan wanita ini?” tanya wanita seksi itu, dengan nada penuh tuntutan. Tampak dia melirik sinis ke arah Alana, seakan melihat ancaman yang harus disingkirkan.Arnold tidak bergera

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 4. Telah Terperangkap

    “Alana! Kau sudah kehilangan akal sehatmu!” Alana menghempaskan tubuhnya ke ranjang, lalu dia memeluk bantal seraya mengumpati kebodohan yang dia lakukan. Sungguh, dia tak mengerti kenapa dia menerima tawaran Blackwell & Blackwell Company? Alana merasa seperti terjebak di dalam lingkaran api, hingga membuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Dia tadi antara sadar dan tidak sadar menandatangani kontrak itu. Rasa putus asa sulit mendapatkan pekerjaan, membuat otaknya memang tidak bisa berpikir dengan baik.Alana baru menyadari bahwa jika dirinya di hadapkan banyak kerumitan, maka otaknya tidak berfungsi dengan baik. Pertama dia putus asa datang ke kelab malam, dan berakhir di ranjang dengan pria asing. Kedua, ketika fakta membawanya pada pria asing itu adalah pemilik perusahaan besar, dia malah bekerja di perusahaan pria yang menjadi cinta satu malamnya.“Alana kau benar-benar bodoh!” Alana menepuk keningnya. Namun, seketika dia terdiam sebentar. Jika tadi dia tidak menerima tawaran

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 3. Tak Memiliki Pilihan Lain

    Alana tersentak dengan ucapan pria tampan itu. Buru-buru, dia megendalikan diri, berupaya untuk tenang, meski itu sama sekali tidak mudah untuknya. “K-kau … b-bagaimana bisa kau—” Sialnya, lidahnya kelu, di kala ingin mengatakan sesuatu pada sosok pria tampan di depannya.“Arnold. Panggil aku cukup nama depan saja,” jawab pria tampan bernama Arnold Blackwell itu, dan dia tampak tersenyum puas melihat keterkejutan di wajah Alana.Alana menelan salivanya susah payah, merasa dilanda kebingungan yang hebat. Sungguh, dia tak tahu bagaimana harus bersikap seperti apa. Bisa saja dia mengamuk memaki pria di depannya ini, tapi dia sadar bahwa pria di depannya ini tak sepenuhnya bersalah.Tadi malam, Alana tampak frustrasi. Arnold menghampirinya, mengajaknya menghabiskan malam bersama. Pun dengan sadar, Alana menerima tawaran Arnold—meski pada saat itu dia tak tahu siapa Arnold. Esok harinya, dia di hadapkan dengan kenyataan, di mana Arnold pergi begitu saja meninggalkannya bahkan tanpa ada cat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status