Alana tersentak dengan ucapan pria tampan itu. Buru-buru, dia megendalikan diri, berupaya untuk tenang, meski itu sama sekali tidak mudah untuknya. “K-kau … b-bagaimana bisa kau—” Sialnya, lidahnya kelu, di kala ingin mengatakan sesuatu pada sosok pria tampan di depannya.
“Arnold. Panggil aku cukup nama depan saja,” jawab pria tampan bernama Arnold Blackwell itu, dan dia tampak tersenyum puas melihat keterkejutan di wajah Alana.
Alana menelan salivanya susah payah, merasa dilanda kebingungan yang hebat. Sungguh, dia tak tahu bagaimana harus bersikap seperti apa. Bisa saja dia mengamuk memaki pria di depannya ini, tapi dia sadar bahwa pria di depannya ini tak sepenuhnya bersalah.
Tadi malam, Alana tampak frustrasi. Arnold menghampirinya, mengajaknya menghabiskan malam bersama. Pun dengan sadar, Alana menerima tawaran Arnold—meski pada saat itu dia tak tahu siapa Arnold. Esok harinya, dia di hadapkan dengan kenyataan, di mana Arnold pergi begitu saja meninggalkannya bahkan tanpa ada catatan sedikit pun.
Alana kesal, merasa dirinya seperti seorang pelacur. Namun, di sisi lain dia sadar bahwa Arnold tidak berjanji apa pun padanya. Jadi, kalau Arnold pergi itu tidak bisa dikatakan sebuah kesalahan. One night stand sudah menjadi sebuah trend orang-orang yang datang ke kelab malam.
“Perkenalkan aku Alana Vance. Suatu kerhormatan untukku bisa diundang di perusahaanmu. Terima kasih, kau telah meluangkan waktu untukku,” ucap Alana pada akhirnya, memilih untuk memperkenalkan diri.
“Kau pasti kaget tiba-tiba mendapatkan undangan interview dari Blackwell & Blackwell Company,” ujar Arnold dengan nada tenang.
Alana mencoba menelan rasa gugupnya. Dia menarik napas perlahan, menegakkan punggung, dan membentuk senyum sopan. “Benar. Aku cukup terkejut mendapatkan undangan itu. Jujur, aku merasa tidak pernah mengirim email ke perusahaanmu, tapi saat aku mendapatkan undangan, benar-benar membuatku tersanjung. Terima kasih atas undanganmu.”
Arnold hanya tersenyum kecil. Pria tampan itu membuka map berisi CV Alana yang terletak di depannya. Dia melirik cepat halaman pertama—lalu menutupnya kembali. Tidak ada komentar. Tidak ada catatan. Seolah CV itu hanyalah formalitas belaka.
Alana merasa semakin canggung, dan gugup. Namun, dia menahan diri sekuat mungkin. Dia ingin terlihat profesional, bahkan jika pikirannya masih berputar tentunya dia bertanya-tanya kenapa bisa firma hukum besar seperti Blackwell & Blackwell Company malah mengundangnya.
Arnold bersandar santai ke sandaran kursinya, jemari-jemarinya bertaut di atas meja. “Aku tahu kau tidak pernah melamar di perusahaanku,” ucapnya tiba-tiba, menanggapi pernyataan Alana sebelumnya. “Tapi, aku yang meminta agar kau diundang untuk interview.”
Jantung Alana berdetak lebih kencang. Kerongkongannya mendadak kering. Dia fokus pada pria di hadapannya. Mata pria itu yang gelap, ekspresi tenang, dan nada bicara yang nyaris terlalu terkendali—membuat jujur bulu kuduk Alana merinding.
“Boleh aku tahu kenapa kau mengundangku?” tanya Alana, mencoba tetap tenang. “Apa karena kita pernah bertemu sebelumnya? Di kelab malam? Kemarin malam?” tanyanya lagi merasa penasaran.
Alana sengaja menyebutkan pertemuan itu, meski tidak detail. Tentu dia sangat malu jika terang-terangan membahas one night stand. Jadi, lebih baik pertanyaannya hanya sekilas, tanpa harus lengkap. Pun dia ingin tahu reaksi Arnold. Namun, tunggu! Ternyata pria tampan itu tidak menunjukkan ekspresi terkejut, apalagi malu. Pria itu malah menatapnya dengan arti khusus—seakan ada sesuatu hal penting yang akan diucapkan.
“Aku rasa kita tidak perlu melanjutkan sesi wawancara ini,” ucap Arnold tiba-tiba yang sontak membuat Alana terkejut.
Alana menegakkan bahunya. Ada dorongan tak nyaman di dadanya. “Apa maksudmu? Kau ingin mempermainkanku?” tanyanya pelan, berusaha untuk tenang.
Arnold tidak menjawab secara langsung. Pria tanpan itu langsung membuka laci di sisi mejanya, mengambil sebuah dokumen, lalu menyerahkannya ke hadapan Alana.
“Bacalah,” ucap Arnold dingin.
Alana mengambil dokumen itu dengan tangan gemetar, dan membaca cepat. Namun, seketika matanya melebar melihat ternyata dokumen yang disodorkan adalah surat penawaran kerja.
“I-ini—” Alana nyaris kehilangan kata-kata, tak menyangka Arnold langsung memberikan penawaran kerja padanya.
“Kesempatan tidak datang dua kali. Kau ingin menerima atau tidak?” tanya Arnold dengan nada dingin.
Alana terdiam beberapa detik. Dia menelan salivanya susah payah. mencoba memproses semuanya, tapi semakin dia mencoba mencerna, semakin pikirannya dipenuhi tanda tanya. Dia merasa ini semua benar-benar aneh.
“K-kau menerimaku tanpa melakukan sesi pertanyaan?” tanya Alana yang dibuat bingung.
“Aku sudah melihat CV-mu. Aku juga sudah membaca kasus apa saja yang pernah kau tangani. Jadi, aku rasa tidak perlu lagi banyak mengajukan pertanyaan. Ah, harus kau tahu aku tidak suka banyak berbasa-basi dalam urusan pekerjaan,” ucap Arnold dengan senyuman misterius di wajahnya.
“T-tapi, firma hukummu itu bukan firma hukum sembarangan. Sebelum aku datang ke sini, aku sudah membaca detail dari internet prestasi luar biasa perusahaanmu. A-apa kau yakin akan benar-benar menerimaku?” tanya Alana lagi, merasa dilanda kebingungan.
Tanpa langsung menjawab pertanyaan dari Alana, Arnold berdiri. Pria tampan itu berjalan perlahan menuju jendela besar di sisi ruangan, memandangi panorama kota London yang terbentang luas.
“Cukup kau tentukan pilihanmu. Gaji yang aku tawaran dan bonus yang aku tawarkan sangat fantastis. Jika kau terlalu banyak berpikir, maka kau akan kehilangan kesempatan emas ini,” ucap Arnold dengan senyuman misterius di wajahnya.
Alana memegang surat penawaran dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang membentang. Dia jelas sadar bahwa ini adalah kesempatan yang tidak akan mungkin datang kedua kali.
“Tentang tadi malam—” Alana menggantungkan ucapannya, merasa bingung dengan semua yang terjadi di hidupnya. Dia ingat jelas menghabiskan malam dengan seorang pria tampan, dan fakta terkuak pria tampan itu adalah seorang yang berkuasa.
“Hari sudah berganti. Harusnya kau tidak perlu membahas lengkap tentang apa yang terjadi di hari yang sudah lewat,” ucap Arnold tenang.
Jantung Alana merasakan seperti ditancap oleh sebilah pisau. Kata-kata Arnold begitu tajam dan menusuk. Dia merasa dipermainkan, tetapi dia langsung tersadar bahwa memang cinta satu malam seharusnya dilupakan.
Alana mendongak, memberanikan diri menatap Arnold. “Aku tidak tahu bagaimana bisa kau mengenalku, Tuan Blackwell. Mungkin saja kau kebetulan melihatku di internet, karena statusku sedang mencari pekerjaan. Tapi, ada benarnya akan apa yang kau katakan. Apa yang terjadi tadi malam seharusnya tidak perlu diingat lagi. Hari sudah berganti, dan waktunya untuk melihat ke depan, bukan ke belakang. Benar, kan?”
Arnold membalas tatapan Alana, dan mengangguk. “Kau benar. Jadi, kau menerima tawaranku, Nona Vancer?” tanyanya, dengan senyuman misterius di wajahnya.
Alana mengatur napasnya, mencoba menjernihkan pikiran. Tidak mudah berada di posisinya. Andai saja mencari pekerjaan itu mudah, maka dia akan angkat kaki. Namun, keadaan benar-benar membuatnya terdesak. Dia sudah belasan kali melamar pekerjaan, tetapi belum ada panggilan. Sekalipun ada, yang dia dapatkan adalah penolakan.
Alana tidak mengerti ada apa dengan nasibnya. Sekarang dia di hadapkan dengan pria yang menghabiskan malam dengannya ternyata pemilik perusahaan firma hukum besar di London. Benar-benar sangat konyol.
Ada hal penting lain yang menjadi pertimbangan Alana, yaitu gaji dan bonus yang ditawarkan berkali-kali lipat dari yang dia dapat sebelumnya. Terdengar mustahil, tetapi fakta yang ada demikian.
“Fine, aku menerima,” jawab Alana yakin, dan langsung membubuhkan tanda tangan ke surat penawaran itu.
Arnold menyeringai penuh arti di kala Alana menerima tawarannya. Pria tampan itu mengalihkan pandangan, menatap Alana dengan tatapan penuh arti khusus—dan menunjukkan jelas banyak rencana terselubung.
“Pilihan yang bagus. Welcome to Blackwell & Blackweel Company, Alana Vance.”
Arnold meletakan tubuh Alana ke kursi mobilnya. Pria tampan itu menatap Alana dengan wajah yang menggigit pucat, dan diselimuti rasa ketakutan yang mendalam. Ada sesuatu di dalam dirinya, yang merasakan tak nyaman melihat itu semua.“Kau sudah aman,” ucap Arnold hangat, menengakan Alana dari rasa takut yang mendera wanita itu.Alana memeluk tubuhnya, dengan mata yang berkaca-kaca. “A-aku takut tenggelam. A-aku pikir aku akan mati, Arnold.”Arnold tersenyum samar. “Kolam renang itu tinggi, tapi selama kau di dekatku, aku tidak akan mungkin membiarkanmu mati.”Alana terdiam, dan seketika hanyut akan kata-kata menenangkan pria tampan itu. “Dulu aku suka sekali berenang, tapi aku trauma karena pernah tenggelam. Dan trauma yang aku miliki, membuatku takut untuk berenang lagi. Aku tidak tahu bagaimana nasibku, kalau kau tidak menyelamatkanku, Arnold. Terima kasih banyak,” ucapnya pelan, memberi tahu.Arnold tak langsung menjawab ucapan terima kasih Alana. Pria tampan itu terdiam sejenak, me
“Kenapa kau lama sekali? Apa yang kau lakukan di luar, Alana?” tanya Arnold dengan nada tenang, ketika melihat Alana yang baru tiba di dalam dan kini duduk di hadapannya. Pria tampan itu sudah lebih dulu masuk ke dalam restoran, tetapi Alana sejak tadi tak kunjung muncul.“Oh, maaf sudah membuatmu menunggu. Di luar ada seorang nenek tua dan aku memberinya sedikit uang untuk dia beli makan,” ujar Alana menjelaskan alasan dirinya yang baru masuk ke restoran.Arnold mengalihkan pandangannya ke luar restoran. “Di mana nenek tua itu?” tanyanya di kala tak melihat siapa pun di luar.“Nenek tua itu sudah pergi setelah aku menberikan uang,” jawab Alana memberi tahu. Namun, dia memilih untuk tak menceritakan pada Arnold tentang ucapan nenek itu. Sebab, dia berpikir bahwa ucapan nenek tua itu hanya candaan saja.Arnold mengangguk. “Aku sudah memesan beberapa makanan. Kalau ada yang kau inginkan, kau bisa pilih lagi.”“Aku rasa cukup. Aku selama ini tidak pemilih dalam hal makanan,” jawab Alana
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Alana menutup MacBook-nya, dan menghela napas berat. Ruangan kerja perlahan sepi, hanya menyisakan suara detik jam dan pendingin ruangan yang berdesis pelan. Pikirannya sekarang masih dilingkupi rasa kesal, yang membentang di dalam diri. Arnold dan Megan yang sedang makan siang, tapi belum juga kembali.“Ah, biarkan saja!” Alana menggelengkan kepalanya, tidak mau memikirkan Arnold yang belum kembali padahal sudah lebih dari lima jam pria itu keluar dari kantor.Alana memilih menenangkan pikiran dengan logikanya. Dia tak memiliki hak di hidup Arnold. Jadi, apa pun yang dilakukan Arnold itu harusnya bukan menjadi urusannya. Pria itu bisa melakukan apa pun yang diinginkan.Alana memasukan ponsel dan dompetnya yang ada di atas meja, ke dalam tasnya. Lantas, dia hendak pergi dari sana, tetapi geraknya terhenti melihat Caroline Weir—salah satu staff muda di Blackwell & Blackwell Company, melangkah menghampirinya.“Alana, maaf mengganggumu. Apa kau su
Alana menatap cermin, melihat matanya sedikit sebab. Wanita cantik itu sudah mengompres matanya menggunakan es batu, agar tidak terlalu bengkak. Namun, tetap saja sembab masih terlihat. Beruntung, tadi di kala meeting berlangsung, dia bisa menutupi sembab dengan riasan wajah.“Siapa tadi yang menarik tanganku? Apa aku tadi bermimpi?” gumam Alana sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.Tadi, Arnold sudah meminta klien menyelidiki apakah ada orang asing masuk ke ruang rapat atau tidak, tetapi ternyata hasil yang didapat adalah tidak ada siapa pun yang naik ke ruang rapat itu. Meski Alana yakin ada orang asing datang, tetapi wanita itu tak ingin bersikeras.Alana mengerti akan kode etik. Apalagi perusahaan kliennya itu bukan perusahaan kecil. Dia merasa apa yang terjadi padanya begitu nyata. Rasa takut menggerogoti di dalam dirinya. Namun, di kala lampu menyala tadi, semua hilang seakan—dirinya ada di dalam dunia mimpi.“Sepertinya, aku kelelahan sampai banyak berkhayal sembarangan,” gu
Pagi menyapa, Alana sudah tiba di kantornya. Wanita cantik itu datang lebih cepat ke kantor, berusaha mengubur semua mimpi buruk yang menghantuinya semalam. Kini dia berada di toilet, dia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya dengan saksama—berusaha memastikan riasannya tampak profesional: tidak terlalu mencolok, tapi cukup menutupi kelelahan di balik mata yang sembab.Tangan kirin Alana merapikan helaian rambut yang membandel, sedangkan tangan kanan menggenggam kecil botol parfum yang sempat dia semprotkan ke pergelangan tangan. Dia menarik napas panjang, menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.Pikiran Alana berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, ada satu hal yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, satu sosok: Arnold—pria itu bukan hanya bosnya, melainkan badai tenang yang mampu mengguncang isi kepala dan hatinya dalam diam. Setiap berada di dekat Arnold selalu menyisakan getaran samar di dadanya, getaran yang seringkali sulit dia kendalikan.Alana kini melangkah
“Oh, Tuhan! Kenapa dia mengungkit lagi?” Alana menjatuhkan tubuh di sofa, merunduk, dan tangannya meremas lengan dengan gemetar. Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela besar lalu mengembungkan pipinya dengan napas pelan.Malam panas yang terjadi beberapa hari lalu itu seharusnya terkubur bersama waktu—di sudut tergelap dari ingatannya. Alana tidak ingin lagi mengingat bagaimana tubuhnya dan tubuh Arnold menyatu dalam gejolak yang memabukkan. Namun tadi, dengan nada santainya, Arnold kembali mengungkit. Senyuman tipis pria itu menusuk seperti pisau. Pria itu sekana menusuk bukan hanya hatinya, tapi harga dirinya.“Aku tidak mau mengingatnya lagi ...,” desis Alana sambil berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Dia membuka keran bathtub dan membiarkan air hangat mengisi ruang itu dengan uap pelan-pelan. Uap mulai memenuhi kaca dan ubin.Setelah air cukup penuh, Alana menanggalkan pakaiannya dengan gerakan lambat, nyaris ragu. Wanita itu kini menatap bayangannya di cermin, tubuh