Home / Romansa / Gelora Hati Yang Terbakar / Bab 4. Telah Terperangkap

Share

Bab 4. Telah Terperangkap

last update Last Updated: 2025-06-18 23:03:51

“Alana! Kau sudah kehilangan akal sehatmu!” Alana menghempaskan tubuhnya ke ranjang, lalu dia memeluk bantal seraya mengumpati kebodohan yang dia lakukan. Sungguh, dia tak mengerti kenapa dia menerima tawaran Blackwell & Blackwell Company?  

Alana merasa seperti terjebak di dalam lingkaran api, hingga membuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Dia tadi antara sadar dan tidak sadar menandatangani kontrak itu. Rasa putus asa sulit mendapatkan pekerjaan, membuat otaknya memang tidak bisa berpikir dengan baik.

Alana baru menyadari bahwa jika dirinya di hadapkan banyak kerumitan, maka otaknya tidak berfungsi dengan baik. Pertama dia putus asa datang ke kelab malam, dan berakhir di ranjang dengan pria asing. Kedua, ketika fakta membawanya pada pria asing itu adalah pemilik perusahaan besar, dia malah bekerja di perusahaan pria yang menjadi cinta satu malamnya.

“Alana kau benar-benar bodoh!” Alana menepuk keningnya. Namun, seketika dia terdiam sebentar. Jika tadi dia tidak menerima tawaran Arnold Blackwell, bagaimana dia bisa membayar sewa apartemennya? Sementara London terkenal dengan kota mahal. Tabungannya sudah sangat menipis, sedangkan dirinya masih belum mendapatkan pekerjaan.

Alana memejamkan mata lelah, lalu dia mendengar dari ponselnya ada notifikasi. Buru-buru, dia meraih ponselnya itu, dan melihat ada salinan surat penawaran kerja yang dikirimkan ke email-nya. Detik itu, dia membuka, dan dia memutuskan membaca sekali lagi. Sebab tadi, surat penawaran kerjanya tidak terlalu dia perhatikan dengan detail.

Tiba-tiba, mata Alana melebar terkejut melihat ada point di surat penawaran kerja yang tadi tidak dia baca. Dia memperbesar layar, guna memastikan apa yang dia lihat itu salah atau benar. Namun, seketika raut wajahnya memucat—di kala melihat sebuah kalimat yang menerangkan jika dirinya mengundurkan diri sebelum dua tahun, maka dirinya harus membayar dendam sebesar lima ratus ribu pound sterling.

“What the hell?! Ini serius?” seru Alana yang tampak panik.

Alana membaca ulang lagi setiap point yang tertulis di surat penawaran kerja itu. Namun, sialnya benar. Ada point yang menyatakan bahwa jika dirinya mengundurkan diri sebelum dua tahun, maka harus membayar denda sebanyak lima ratus ribu pound sterling.

“Astaga, Alana Vance! Kenapa kau tadi tidak membaca detail! Pengacara macam apa kau ini!” Alana menepuk keningnya, merasa dirinya benar-benar bodoh. 

Alana kini melempar ponselnya ke samping, dan memilih untuk memejamkan mata. Dia tidak tahu diterima bekerjadi Blackwell & Blackwell Company, membawa keuntungan atau malah kesialan. Entah, dia memilih untuk pasrah pada keadaan.

***

Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Alana berdiri di halte bus dekat South Bank, mengenakan coat krem panjang yang membingkai tubuhnya anggun. Sepatu hak rendahnya berkilau bersih. Di tangan kirinya, sebuah tas kerja kulit cokelat tergenggam erat—hadiah kecil untuk dirinya sendiri atas pencapaian yang tak terduga. Dia menarik napas panjang. Aroma udara pagi bercampur dengan sisa aroma kopi dari kedai terdekat.

Tadi malam, Alana hampir tak bisa tidur. Bukan hanya karena euforia diterima bekerja di salah satu firma hukum paling bergengsi di London, tapi juga banyak hal yang terjadi di hidupnya. Sungguh, dia tak tahu harus apa, mungkin lebih baik dirinya fokus pada karier. Hanya itu.

Sesampai Alana di kantor, gedung Blackwell & Blackwell menjulang megah seperti menara kaca yang menyentuh langit. Interior lobi dipenuhi kesibukan yang profesional: suara sepatu hak tinggi, bisik-bisik staf, denting lift terbuka dan tertutup.

Tampak Trevor kemudian menghampirin Alana “Selamat pagi, Nona Vance. Selamat bergabung di Blackwell & Blackwell Company. Mari ikut saya, Nona. Saya antara Anda menemui Tuan Arnold. Beliau tadi berpesan jika Anda sudah tiba, Anda harus menemui beliau di ruangan.”

“Selamat pagi, Trevor. Terima kasih.” Alana menyembunyikan ketegangan yang kembali merayapi tengkuknya.

Saat tiba di depan pintu besar berpanel kaca buram, Trevor menekan tombol kecil. Pun pintu terbuka otomatis dengan desis lembut, kemudian Alana dipersilakan untuk masuk lebih dahulu.

Alana kini menatap ruang kerja Arnold yang luas dan minimalis. Dinding sebelah kanan tergantung sebuah peta arsitektural kota London. Di depannya sudah berdiri sosok pria itu—punggungnya membelakangi pintu, tangan bersilang di belakang, sedang menatap peta itu seolah sedang membaca sejarah masa depan.

Arnold mengenakan setelan biru gelap dengan dasi arang, dan jam tangan perak yang mencolok di pergelangan tangan kirinya. Dalam diam, pria tampan itu terlihat lebih muda dari yang Alana perkirakan, tapi aura yang terpancar dari tubuhnya sungguh tak bisa disangkal: pemimpin.

“Mendekatlah, Alana,” ucap Arnold dingin.

Alana menedekat dengan langkah pelan. “Selamat pagi, Tuan Blackwell,” sapanya, berusaha menjaga nada formal meski tenggorokannya sedikit mengering.

Baru saat itu Arnold berbalik. Tatapannya dan Alana bertemu. Mata pria tampan itu—masih dengan kilau yang sama seperti malam itu—tajam, menghanyutkan, tetapi penuh perhitungan. Tampak Alana buru-buru menunduk, takut terlihat terlalu terpengaruh.

“Bagaimana? Tidurmu menyenyak, Alana?” tanya Arnold dingin.

Alana mengadahkan kepalanya dengan pelan lalu mengangguk. “Ya. Sangat nyenyak. Ini semua berkatmu … karena sudah menerimaku.”

Arnold mengangguk pelan, lalu berjalan ke sisi meja dan duduk. Pria tampan itu menunjuk kursi di depannya. “Duduklah. Kita mulai dari sini.”

Alana duduk, membetulkan posisi duduknya dengan gugup.

Arnold kemudian menyodorkan sebuah folder hitam. “Sebagai permulaan,” katanya, dengan nada tenang tetapi misterius. “Kau akan menangani dua klien kelas atas. Baca profil mereka dengan baik, pelajari kasus mereka, dan hadir dalam rapat strategi lusa bersama tim legal senior. Aku ingin dengar langsung opinimu saat itu.”

Alana membuka folder itu dengan cepat—dan langsung terperangah, melihat nama perusahaan besar tercetak jelas. Satu adalah perusahaan energi yang baru saja melakukan ekspansi ke Afrika, dan yang satunya lagi adalah raksasa teknologi AI yang sedang menghadapi investigasi hukum di Uni Eropa. Dua sektor yang selama ini sangat diminatinya. Dua jenis kasus yang selama ini hanya dia baca dalam jurnal hukum.

“Ini … luar biasa,” gumam Alana, nyaris tak percaya.

Arnold menatap Alana tajam, lalu berkata pelan tetapi begitu tegas, “Aku percaya pada kapasitasmu, Alana. Tidak banyak orang yang bisa langsung aku beri tanggung jawab sebesar ini.”

Alana menelan ludah, kali ini bukan karena gugup, tapi karena rasa kagum. Tak hanya pada kesempatan besar ini—tapi pada pria di hadapannya yang mampu membaca dirinya lebih dari yang dia kira.

Arnold Blackwell bukan sekadar pemilik perusahaan. Pria itu bagi Alana adalah teka-teki yang rumit—dan Alana sadar, ini sepertinya baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Alana menyimak dengan penuh perhatian saat Arnold mulai menjelaskan struktur internal tim hukum Blackwell & Blackwell. Suara pria itu rendah dan mantap, mengalun pelan seperti simfoni yang dirancang untuk membuat siapa pun mendengarkan.

Arnold kini berbicara tentang visi jangka panjang perusahaan. Bukan hanya menjadi firma hukum terbesar di Eropa, tapi menjadi firma yang mengubah cara dunia memandang hukum. Inovasi, transparansi, dan integritas adalah fondasi mereka.

Alana merasa seperti sedang duduk di hadapan seorang dosen hukum paling brilian yang pernah dia temui—tetapi dengan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dia bukan hanya terpukau oleh isi kepala Arnold, tapi juga oleh sosok fisiknya yang tak bisa disangkal: bahu yang lebar seolah mampu menanggung dunia, rahang tegas yang bergerak hanya saat diperlukan, dan suara dalam yang nyaris seperti bisikan dari bawah tanah—tenang, tetapi tak terbantahkan.

Setiap kata yang diucapkan Arnold memiliki bobot. Tidak ada basa-basi. Tidak ada kalimat berlebihan. Pria tampan itu bicara dengan tujuan. Dari sorot matanya, Alana bisa melihat: pria ini bukan hanya bos. Pria itu juga seorang pemimpin, yang mampu memiliki inovasi kuat.

Saat penjelasan selesai, Arnold bangkit dari kursinya dan berjalan ke sisi ruangan yang menghadap langsung ke hamparan kota London.

“London kadang terlihat tenang dari sini,” kata Arnold dengan tangan bersilang di dadanya. “Padahal di bawah sana, semuanya bergerak cepat. Dunia hukum juga begitu. Kita harus waspada setiap saat. Satu kelengahan, dan kita bisa tergilas,” lanjutnya mengingatkan dengan nada serius.

Alana mengangguk, pikirannya ikut melayang membayangkan hiruk-pikuk dunia yang bergerak di bawah sana. Dia berdiri perlahan dari kursinya, berniat bergabung melihat pemandangan kota dari sudut ruangan. Namun ketika dia melangkah maju, sepatu hak rendahnya—yang biasanya nyaman—terpeleset sedikit di atas permukaan karpet wol tipis. Ujung haknya tersangkut serat halus karpet. Dalam sekejap, tubuhnya miring ke depan.

“Astaga—” Napas Alana tercekat. Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dia bisa merasakan dadanya terhuyung, lututnya lepas kendali. Namun, sebelum tubuhnya mencium lantai, lengan kokoh menangkapnya dengan cepat dan presisi. Tangan kokoh itu mendarat di bahunya. Pinggangnya tertahan dalam genggaman yang kuat. Dalam detik itu, tubuhnya menyatu erat di dada seseorang.

Arnold … pria tampan itu yang kini memeluk Alana, dan sukses membuatnya kini membeku tak berkutik. Terlihat mata mereka bertemu, dan dunia seolah mengerut jadi hanya satu ruangan itu. Napas mereka begitu dekat hingga nyaris bertukar udara. Wajah Arnold hanya beberapa inci dari wajah Alana. Pun Alana bisa melihat garis rahang pria itu dari dekat, pori-pori yang nyaris sempurna, dan sorot mata yang tidak panik—hanya penuh perhatian.

Akan tetapi, tiba-tiba …

“Arnold!”

Suara itu cukup keras menggema dari arah pintu.

Alana dan Arnold menoleh bersamaan—dan seketika, dunia yang sempat memudar kembali terasa berat. Tampak dari ambang pintu, berdiri sosok wanita bergaun merah darah, dengan tatapan yang menusuk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 12. Kau Hanya Teman Tidur

    Arnold meletakan tubuh Alana ke kursi mobilnya. Pria tampan itu menatap Alana dengan wajah yang menggigit pucat, dan diselimuti rasa ketakutan yang mendalam. Ada sesuatu di dalam dirinya, yang merasakan tak nyaman melihat itu semua.“Kau sudah aman,” ucap Arnold hangat, menengakan Alana dari rasa takut yang mendera wanita itu.Alana memeluk tubuhnya, dengan mata yang berkaca-kaca. “A-aku takut tenggelam. A-aku pikir aku akan mati, Arnold.”Arnold tersenyum samar. “Kolam renang itu tinggi, tapi selama kau di dekatku, aku tidak akan mungkin membiarkanmu mati.”Alana terdiam, dan seketika hanyut akan kata-kata menenangkan pria tampan itu. “Dulu aku suka sekali berenang, tapi aku trauma karena pernah tenggelam. Dan trauma yang aku miliki, membuatku takut untuk berenang lagi. Aku tidak tahu bagaimana nasibku, kalau kau tidak menyelamatkanku, Arnold. Terima kasih banyak,” ucapnya pelan, memberi tahu.Arnold tak langsung menjawab ucapan terima kasih Alana. Pria tampan itu terdiam sejenak, me

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 11. Tindakan Sigap Arnold

    “Kenapa kau lama sekali? Apa yang kau lakukan di luar, Alana?” tanya Arnold dengan nada tenang, ketika melihat Alana yang baru tiba di dalam dan kini duduk di hadapannya. Pria tampan itu sudah lebih dulu masuk ke dalam restoran, tetapi Alana sejak tadi tak kunjung muncul.“Oh, maaf sudah membuatmu menunggu. Di luar ada seorang nenek tua dan aku memberinya sedikit uang untuk dia beli makan,” ujar Alana menjelaskan alasan dirinya yang baru masuk ke restoran.Arnold mengalihkan pandangannya ke luar restoran. “Di mana nenek tua itu?” tanyanya di kala tak melihat siapa pun di luar.“Nenek tua itu sudah pergi setelah aku menberikan uang,” jawab Alana memberi tahu. Namun, dia memilih untuk tak menceritakan pada Arnold tentang ucapan nenek itu. Sebab, dia berpikir bahwa ucapan nenek tua itu hanya candaan saja.Arnold mengangguk. “Aku sudah memesan beberapa makanan. Kalau ada yang kau inginkan, kau bisa pilih lagi.”“Aku rasa cukup. Aku selama ini tidak pemilih dalam hal makanan,” jawab Alana

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 10. Ada Orang yang Dendam Padamu!

    Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Alana menutup MacBook-nya, dan menghela napas berat. Ruangan kerja perlahan sepi, hanya menyisakan suara detik jam dan pendingin ruangan yang berdesis pelan. Pikirannya sekarang masih dilingkupi rasa kesal, yang membentang di dalam diri. Arnold dan Megan yang sedang makan siang, tapi belum juga kembali.“Ah, biarkan saja!” Alana menggelengkan kepalanya, tidak mau memikirkan Arnold yang belum kembali padahal sudah lebih dari lima jam pria itu keluar dari kantor.Alana memilih menenangkan pikiran dengan logikanya. Dia tak memiliki hak di hidup Arnold. Jadi, apa pun yang dilakukan Arnold itu harusnya bukan menjadi urusannya. Pria itu bisa melakukan apa pun yang diinginkan.Alana memasukan ponsel dan dompetnya yang ada di atas meja, ke dalam tasnya. Lantas, dia hendak pergi dari sana, tetapi geraknya terhenti melihat Caroline Weir—salah satu staff muda di Blackwell & Blackwell Company, melangkah menghampirinya.“Alana, maaf mengganggumu. Apa kau su

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 9. Rasa Penasaran yang Tak Terkendali

    Alana menatap cermin, melihat matanya sedikit sebab. Wanita cantik itu sudah mengompres matanya menggunakan es batu, agar tidak terlalu bengkak. Namun, tetap saja sembab masih terlihat. Beruntung, tadi di kala meeting berlangsung, dia bisa menutupi sembab dengan riasan wajah.“Siapa tadi yang menarik tanganku? Apa aku tadi bermimpi?” gumam Alana sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.Tadi, Arnold sudah meminta klien menyelidiki apakah ada orang asing masuk ke ruang rapat atau tidak, tetapi ternyata hasil yang didapat adalah tidak ada siapa pun yang naik ke ruang rapat itu. Meski Alana yakin ada orang asing datang, tetapi wanita itu tak ingin bersikeras.Alana mengerti akan kode etik. Apalagi perusahaan kliennya itu bukan perusahaan kecil. Dia merasa apa yang terjadi padanya begitu nyata. Rasa takut menggerogoti di dalam dirinya. Namun, di kala lampu menyala tadi, semua hilang seakan—dirinya ada di dalam dunia mimpi.“Sepertinya, aku kelelahan sampai banyak berkhayal sembarangan,” gu

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 8. Rasa Mencekam yang Membuat Alana Takut

    Pagi menyapa, Alana sudah tiba di kantornya. Wanita cantik itu datang lebih cepat ke kantor, berusaha mengubur semua mimpi buruk yang menghantuinya semalam. Kini dia berada di toilet, dia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya dengan saksama—berusaha memastikan riasannya tampak profesional: tidak terlalu mencolok, tapi cukup menutupi kelelahan di balik mata yang sembab.Tangan kirin Alana merapikan helaian rambut yang membandel, sedangkan tangan kanan menggenggam kecil botol parfum yang sempat dia semprotkan ke pergelangan tangan. Dia menarik napas panjang, menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.Pikiran Alana berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, ada satu hal yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, satu sosok: Arnold—pria itu bukan hanya bosnya, melainkan badai tenang yang mampu mengguncang isi kepala dan hatinya dalam diam. Setiap berada di dekat Arnold selalu menyisakan getaran samar di dadanya, getaran yang seringkali sulit dia kendalikan.Alana kini melangkah

  • Gelora Hati Yang Terbakar   Bab 7. Rencana yang Sudah Disusun Lama

    “Oh, Tuhan! Kenapa dia mengungkit lagi?” Alana menjatuhkan tubuh di sofa, merunduk, dan tangannya meremas lengan dengan gemetar. Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela besar lalu mengembungkan pipinya dengan napas pelan.Malam panas yang terjadi beberapa hari lalu itu seharusnya terkubur bersama waktu—di sudut tergelap dari ingatannya. Alana tidak ingin lagi mengingat bagaimana tubuhnya dan tubuh Arnold menyatu dalam gejolak yang memabukkan. Namun tadi, dengan nada santainya, Arnold kembali mengungkit. Senyuman tipis pria itu menusuk seperti pisau. Pria itu sekana menusuk bukan hanya hatinya, tapi harga dirinya.“Aku tidak mau mengingatnya lagi ...,” desis Alana sambil berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Dia membuka keran bathtub dan membiarkan air hangat mengisi ruang itu dengan uap pelan-pelan. Uap mulai memenuhi kaca dan ubin.Setelah air cukup penuh, Alana menanggalkan pakaiannya dengan gerakan lambat, nyaris ragu. Wanita itu kini menatap bayangannya di cermin, tubuh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status