Alana sontak tersentak melihat seorang wanita melayangkan tatapan tajam padanya. Dia segera melepaskan diri dari pelukan itu, langkah kaki mundur dua tapak tanpa suara, berusaha menjaga postur tetap tegak meski jantungnya berdegup kacau. Tangannya meremas ujung coat, mencoba meredakan kegugupan yang mendadak membuncah.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar bergema, cepat dan mantap. Seorang wanita cantik dan seksi berjalan dengan aura dominan yang begitu terlihat. Wajah wanita itu tegas, mata menyipit tajam, dan tubuh dibalut gaun ketat berwarna merah maroon yang kontras dengan suasana kantor. Gaun itu memeluk sempurna tubuhnya dengan percaya diri. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Arnold, dengan wajah yang memancarkan kemarahan yang ditekan, tapi nyaris meledak.
“Siapa wanita ini? Dan apa yang kau lakukan dengan wanita ini?” tanya wanita seksi itu, dengan nada penuh tuntutan. Tampak dia melirik sinis ke arah Alana, seakan melihat ancaman yang harus disingkirkan.
Arnold tidak bergerak, tetapi wajah tampannya tetap datar, dan sorot mata begitu dingin. Tidak ada ketegangan di rahangnya. Hanya ketenangan nyaris menyeramkan. Aura wajahnya terpancar jelas tak suka dinterogasi seakan dirinya melakukan sebuah dosa besar.
“Jawab aku, Arnold!” Wanita itu melangkah lebih dekat, mencoba menyentuh lengan Arnold. Namun, sayang pria tampan itu dengan tenang dan halus menepis, tanpa kekerasan, tapi cukup jelas menolak.
Alana berdiri kaku, masih terpaku pada situasi yang sangat canggung dan tidak profesional ini. Ini ruang kerja, dan berada di lantai eksekutif. Namun, apa yang terjadi di hadapannya terasa sangat pribadi—dan terlalu intens.
Sorot mata wanita seksi itu beralih pada Alana, kali ini jauh lebih menusuk, menunjukkan kebencian mendalam. Seakan Alana seperti sedang melakukan kesalahan. Tentu Alana tetap memasang wajah tenang, tidak ingin menunjukkan rasa takut.
“Siapa kau?!” tanya wanita seksi itu, dengan nada ketus.
“Aku Alana Vance, pengacara yang baru saja bergabung di Blackwell & Blackwell Company,” jawab Alana sopan, memperkenalkan diri.
Mata wanita seksi tampak tak suka dengan Alana. “Kau itu hanya karyawan tapi berani mencoba menggoda priaku! Tidak tahu malu!”
Alana mengerutkan kenin, bingung akan ucapan wanita di depannya itu. Ada rasa kesal membentang, karena dituduh sembarangan. Namun, dia memilih untuk berusaha menahan diri, menjaga wibawa tetap utuh meski ingin sekali menjauh dari pertikaian absurd ini.
“Maaf, aku rasa kau salah paham. Aku bukan siapa-siapa dalam urusan pribadi kalian,” jawab Alana tegas.
Wanita seksi itu mendengkus tajam, sambil melipat tangan di dada, alisnya terangkat dengan penuh ejekan. “Salah paham? Aku melihat kalian berpelukan dengan mata kepala sendiri! Jangan pura-pura polos. Aku tahu tipe wanita sepertimu. Diam-diam kau bermaksud menggoda bosmu demi uang, kan?”
Alana mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, tapi sebelum dia sempat menanggapi, suara Arnold memotong tegas.
“Megan. Cukup!” Arnold yang sejak tadi diam, memutuskan menyela percakapan itu.
Wanita seksi bernama Megan itu, menoleh cepat menatap Arnold dengan tatapan sedikit kesal. “Kau benar-benar tidak punya hati, Arnold. Aku datang karena aku merindukanmu. Aku pikir kita akan bicara tentang masa depan kita. Tapi kau malah—”
“Masa depan apa?” potong Arnold dengan nada yang cukup tinggi. “Kau tahu hubungan kita seperti apa. Jangan membangun harapan dari sesuatu yang tidak pernah kujanjikan,” lanjutnya menegaskan.
Megan terdiam dengan raut wajah yang semula penuh emosi tiba-tiba memucat. Sesaat, dia tampak seperti seseorang yang baru saja ditampar kenyataan. Namun tak butuh lama, kemarahan kembali membuncah di matanya. Dia mendekatkan wajahnya ke Arnold, nadanya nyaris berbisik, tapi tajam seperti pisau.
“Kau pikir aku ini apa?!” suara Megan menggema di dalam ruangan, penuh amarah dan kepedihan yang nyaris meledak. Matanya membelalak, napasnya memburu, dan ekspresinya seperti seseorang yang merasa dikhianati begitu dalam.
“Selama ini aku menuruti semua kemauanmu, Arnold! Aku menunggumu bahkan saat kau tidak menjawab teleponku. Aku selalu ada saat kau butuh—setiap kali!” suara Megan kembali meninggi menatap nyalang wajah Arnold. “Tapi sekarang? Sekarang kau mempermalukanku di depan wanita ini?” Dia menunjuk ke arah Alana dengan tatapan menyala.
Arnold masih berdiri membelakangi mereka. Tidak ada satu kata pun keluar dari bibirnya. Dia hanya menoleh sedikit, menatap Megan sekilas dengan pandangan yang tidak bisa ditebak: dingin tapi tidak kejam, jernih tapi tidak simpatik. Seolah-olah perasaannya sudah mati untuk situasi ini.
Lantas, tanpa berkata apa pun, Arnold memutar tubuhnya dan mulai melangkah meninggalkan ruangan. Pria tanpan itu seperti enggan untuk menanggapi ucapan Megan yang menurutnya tak penting.
“Arnold! Jangan pergi!” teriak Megan panik melihat Arnold pergi begitu saja. Dia hampir berlari mengejar, tapi hanya sampai di tengah ruangan. “Arnold! Tunggu! Aku belum selesai!” teriaknya lagi, tapi Arnold tidak menoleh. Priaitu tetap berjalan dengan langkah tegas menuju pintu, melewati ambang batas ruangan, dan menghilang di baliknya.
Alana masih berdiri di tempat yang sama. Mata wanita cantik itu mengikuti punggung Arnold yang perlahan menjauh. Dia ingin menyusul, ingin bertanya, tapi keberadaannya di ruangan bersama Megan membuatnya ragu. Situasinya rumit. Tidak professional, dan sungguh tak nyaman.
Saat Alana hendak melangkah, suara Megan kembali terdengar …
“Kau … karyawan biasa! Aku peringatkan kau untuk tidak lagi mencoba dekat dengan Arnold! Jaga batasanmu! Aku tidak suka Arnold terlalu dekat wanita lain! Arnold adalah milikku, dan kami akan segera menikah!” tunjuk Megan, ke wajah Alana, dengan tatapan dingin serta tajam.
Pernyataan itu seperti pukulan tak terlihat yang menghantam dada Alana. Dia terdiam sejenak mencoba menenangkan diri. Entah kenapa, bagian dalam dirinya seperti diaduk, getir dan bingung bercampur jadi satu. Namun ekspresinya tetap tenang meski dia sangat terkejut.
“Jangan khawatir, Nona. Aku hanya pekerja di sini. Tidak lebih,” jawab Alana tenang.
“Tapi kau jelas mencoba sesuatu!” desak Megan dengan suara tinggi.
Alana menahan napas merasa Megan ini terlalu berlebihan. Perlahan, dia mengembuskan, berusaha menjaga dirinya tetap waras di tengah drama yang terasa seperti adegan telenovela murahan.
“Dengarkan aku baik-baik, Nona … aku tidak tertarik ikut dalam drama siapa pun,” kata Alana lagi tegas. “Kalau kau merasa terusik, itu bukan urusanku. Aku tidak akan menurunkan diriku ke levelmu, Nona.”
Megan menegang mendengar jawaban Alana begitu berani. Tampa kraut wajahnya berubah merah padam mendengar apa yang dikatakan oleh Alana. Matanya kini menyipit, dan rahang mengeras. Namun, sebelum dia sempat membalas, Alana sudah berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah pasti.
Lorong kantor yang panjang dan sunyi menyambut Alana seperti pelarian yang dingin. Dinding kaca di sisi kiri memantulkan bayangan dirinya yang berjalan cepat. Pikiran wanita itu benar-benar berkecamuk. Apa yang barusan terjadi? Apakah benar Arnold memiliki hubungan dengan wanita seperti itu?
Alana mencoba mengatur napas, menenangkan gejolak yang masih mengguncang. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul seperti riak di permukaan air yang tak kunjung tenang.
Dari ujung lorong, Alana melihat Trevor berdiri rapi di depan ruang pertemuan. “Trevor?” panggilnya kemudian. “Tuan Blackwell ada di mana?” tanyanya penasaran ingin tahu.
Trevor menoleh dan tersenyum sopan. “Tuan Blacwell baru saja masuk ke ruang meeting bertemu dengan klien. Mungkin akan memakan waktu sekitar lima belas menit, Nona.”
Alana mengangguk kecil. “Baik. Terima kasih,” jawabnya yang memilih menunggu sambil menenangkan diri. Namun tak sampai satu menit kemudian, pintu ruang meeting sudah terbuka.
Arnold keluar lebih cepat dari apa yang dikatakan oleh Trevor. Tampak Alana ragu sejenak, tapi akhirnya dia melangkah menyusul menemui Arnold yang juga menatap dirinya.
Alana berdiri di ambang pintu. Bibirnya sempat terbuka, tapi tak satu kata pun keluar. Dia tahu persis apa yang ingin dia katakan, yaitu tentang yang diucapan oleh Megan tadi. Ini sudah gila. Rasa kesal dalam dirinya, membuatnya benar-benar lepas kendali.
“Tuan Blackwell, mohon katakan pada calon istrimu untuk bisa mengendalikan kecemburuannya. Aku di sini hanya murni bekerja, dan mohon jangan menuduhku buruk,” ucap Alana dengan berani, karena sudah merasa muak dengan Megan.
Arnold terdiam, seraya menaikan alisnya mendengar ucapan Alana. “Jadi, Megan bilang dia adalah calon istriku?” tanyanya dingin.
Alana mengangguk. “Ya, Megan mengatakan seperti itu. Dia juga menuduhku menggodamu. Jujur, aku merasa terganggu dengan tuduhan itu. Aku di sini hanya ingin fokus bekerja.”
Arnold tersenyum samar melihat wajah kesal Alana. Pria tampan itu dengan tenang, mendekatkan bibirnya ke telinga Alana, sambil berbisik serak, dengan nada rendah yang seksi dan mampu memikat kaum hawa.
“Easy, kau tidak perlu marah. Jika tujuanmu bukan ingin menggodaku, maka abaikan ucapan Megan. Lagipula, aku tidak pernah mengatakan bahwa Megan adalah calon istriku, Nona Vance.”
Arnold menjauh, dan kembali melukiskan senyuman. Pria tampan itu meninggalkan Alana yang bergeming di tempatnya. Pun Trevor berjalan cepat mengikuti langkah Arnold yang sudah melangkah menuju lift.
Alana menelan salivanya susah payah, merasakan bulu kuduknya merinding di kala embusan napas Arnold menyentuh kulitnya. Sialnya, suara pria itu membuat dirinya seakan meronta-ronta. Arnold berbisik dengan nada rendah—yang terdengar seksi. Detik itu ingatannya berputar tentang kejadian di kelan malam, dan berakhir di ranjang panas.
“Ah, Sialan! Alana kau sudah tidak waras!” Alana mengumpat kesal, dan menepuk keningnya, merasa dirinya benar-benar bodoh, karena kembali mengingat malam panasnya dengan bosnya sendiri.
Alana menatap cermin, melihat matanya sedikit sebab. Wanita cantik itu sudah mengompres matanya menggunakan es batu, agar tidak terlalu bengkak. Namun, tetap saja sembab masih terlihat. Beruntung, tadi di kala meeting berlangsung, dia bisa menutupi sembab dengan riasan wajah.“Siapa tadi yang menarik tanganku? Apa aku tadi bermimpi?” gumam Alana sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.Tadi, Arnold sudah meminta klien menyelidiki apakah ada orang asing masuk ke ruang rapat atau tidak, tetapi ternyata hasil yang didapat adalah tidak ada siapa pun yang naik ke ruang rapat itu. Meski Alana yakin ada orang asing datang, tetapi wanita itu tak ingin bersikeras.Alana mengerti akan kode etik. Apalagi perusahaan kliennya itu bukan perusahaan kecil. Dia merasa apa yang terjadi padanya begitu nyata. Rasa takut menggerogoti di dalam dirinya. Namun, di kala lampu menyala tadi, semua hilang seakan—dirinya ada di dalam dunia mimpi.“Sepertinya, aku kelelahan sampai banyak berkhayal sembarangan,” gu
Pagi menyapa, Alana sudah tiba di kantornya. Wanita cantik itu datang lebih cepat ke kantor, berusaha mengubur semua mimpi buruk yang menghantuinya semalam. Kini dia berada di toilet, dia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya dengan saksama—berusaha memastikan riasannya tampak profesional: tidak terlalu mencolok, tapi cukup menutupi kelelahan di balik mata yang sembab.Tangan kirin Alana merapikan helaian rambut yang membandel, sedangkan tangan kanan menggenggam kecil botol parfum yang sempat dia semprotkan ke pergelangan tangan. Dia menarik napas panjang, menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.Pikiran Alana berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, ada satu hal yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, satu sosok: Arnold—pria itu bukan hanya bosnya, melainkan badai tenang yang mampu mengguncang isi kepala dan hatinya dalam diam. Setiap berada di dekat Arnold selalu menyisakan getaran samar di dadanya, getaran yang seringkali sulit dia kendalikan.Alana kini melangkah
“Oh, Tuhan! Kenapa dia mengungkit lagi?” Alana menjatuhkan tubuh di sofa, merunduk, dan tangannya meremas lengan dengan gemetar. Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela besar lalu mengembungkan pipinya dengan napas pelan.Malam panas yang terjadi beberapa hari lalu itu seharusnya terkubur bersama waktu—di sudut tergelap dari ingatannya. Alana tidak ingin lagi mengingat bagaimana tubuhnya dan tubuh Arnold menyatu dalam gejolak yang memabukkan. Namun tadi, dengan nada santainya, Arnold kembali mengungkit. Senyuman tipis pria itu menusuk seperti pisau. Pria itu sekana menusuk bukan hanya hatinya, tapi harga dirinya.“Aku tidak mau mengingatnya lagi ...,” desis Alana sambil berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Dia membuka keran bathtub dan membiarkan air hangat mengisi ruang itu dengan uap pelan-pelan. Uap mulai memenuhi kaca dan ubin.Setelah air cukup penuh, Alana menanggalkan pakaiannya dengan gerakan lambat, nyaris ragu. Wanita itu kini menatap bayangannya di cermin, tubuh
Jam dinding antik di sudut ruang kerja berdentang pelan, menunjukkan pukul tujuh malam. Hujan mengguyur kota London tanpa jeda sejak sore, menciptakan suara gemuruh lembut di balik kaca-kaca tinggi gedung Blackwell & Blackwell Company. Mayoritas karyawan telah meninggalkan kantor, dan menyisakan hanya beberapa staff yang masih menyelesaikan laporan dan aktivitas lainnya.Alana duduk di kursi kerjanya, memandangi layar MacBook yang sebenarnya telah dia matikan sejak lima belas menit lalu. Jari-jari lentik wanita itu saling menggenggam di pangkuan, dan tatapannya kosong. Bukan karena pekerjaan. Bukan karena huja, tapi karena pikirannya belum tenang sejak kejadian pagi—di mana wanita bernama Megan menuduhnya dengan keji.Alana menarik napas panjang, mencoba melepaskan beban yang mengendap di dalam dadanya. Dia segera menepis pikiran yang mengusiknya, tak ingin lagi berpikir tidak-tidak. Detik selanjutnya, dia berdiri dengan gerakan pelan dan memakai coat tebal berwarna cokelat gelap.Saa
Alana sontak tersentak melihat seorang wanita melayangkan tatapan tajam padanya. Dia segera melepaskan diri dari pelukan itu, langkah kaki mundur dua tapak tanpa suara, berusaha menjaga postur tetap tegak meski jantungnya berdegup kacau. Tangannya meremas ujung coat, mencoba meredakan kegugupan yang mendadak membuncah.Langkah sepatu hak tinggi terdengar bergema, cepat dan mantap. Seorang wanita cantik dan seksi berjalan dengan aura dominan yang begitu terlihat. Wajah wanita itu tegas, mata menyipit tajam, dan tubuh dibalut gaun ketat berwarna merah maroon yang kontras dengan suasana kantor. Gaun itu memeluk sempurna tubuhnya dengan percaya diri. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Arnold, dengan wajah yang memancarkan kemarahan yang ditekan, tapi nyaris meledak.“Siapa wanita ini? Dan apa yang kau lakukan dengan wanita ini?” tanya wanita seksi itu, dengan nada penuh tuntutan. Tampak dia melirik sinis ke arah Alana, seakan melihat ancaman yang harus disingkirkan.Arnold tidak bergera
“Alana! Kau sudah kehilangan akal sehatmu!” Alana menghempaskan tubuhnya ke ranjang, lalu dia memeluk bantal seraya mengumpati kebodohan yang dia lakukan. Sungguh, dia tak mengerti kenapa dia menerima tawaran Blackwell & Blackwell Company? Alana merasa seperti terjebak di dalam lingkaran api, hingga membuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Dia tadi antara sadar dan tidak sadar menandatangani kontrak itu. Rasa putus asa sulit mendapatkan pekerjaan, membuat otaknya memang tidak bisa berpikir dengan baik.Alana baru menyadari bahwa jika dirinya di hadapkan banyak kerumitan, maka otaknya tidak berfungsi dengan baik. Pertama dia putus asa datang ke kelab malam, dan berakhir di ranjang dengan pria asing. Kedua, ketika fakta membawanya pada pria asing itu adalah pemilik perusahaan besar, dia malah bekerja di perusahaan pria yang menjadi cinta satu malamnya.“Alana kau benar-benar bodoh!” Alana menepuk keningnya. Namun, seketika dia terdiam sebentar. Jika tadi dia tidak menerima tawaran