Jam dinding antik di sudut ruang kerja berdentang pelan, menunjukkan pukul tujuh malam. Hujan mengguyur kota London tanpa jeda sejak sore, menciptakan suara gemuruh lembut di balik kaca-kaca tinggi gedung Blackwell & Blackwell Company. Mayoritas karyawan telah meninggalkan kantor, dan menyisakan hanya beberapa staff yang masih menyelesaikan laporan dan aktivitas lainnya.
Alana duduk di kursi kerjanya, memandangi layar MacBook yang sebenarnya telah dia matikan sejak lima belas menit lalu. Jari-jari lentik wanita itu saling menggenggam di pangkuan, dan tatapannya kosong. Bukan karena pekerjaan. Bukan karena huja, tapi karena pikirannya belum tenang sejak kejadian pagi—di mana wanita bernama Megan menuduhnya dengan keji.
Alana menarik napas panjang, mencoba melepaskan beban yang mengendap di dalam dadanya. Dia segera menepis pikiran yang mengusiknya, tak ingin lagi berpikir tidak-tidak. Detik selanjutnya, dia berdiri dengan gerakan pelan dan memakai coat tebal berwarna cokelat gelap.
Saat tiba di lobi, Alana melihat hujan turun begitu deras. Besar kemungkinan sepertinya akan reda lama. Jadi dia memutuskan untuk menerobos hujan. Dia ingin segera tiba di apartemennya. Tidak masalah jika tubuhnya basah, nanti dia bisa mandi ketika sudah tiba di apartemen.
Bau hujan, beton basah, dan sedikit aroma minyak dari jalanan menyeruak ke dalam hidung Alana. Wanita cantik itu sedikit menggigil, karena dingin yang membentang. Dia merapatkan coat, dan mulai berjalan menuju halte bus di seberang jalan, yang letaknya tepat di depan taman kecil yang kini tampak sepi.
“Jam segini ... mungkin bus berikutnya baru datang setengah jam lagi,” gumam Alana pelan, lalu bergeser sedikit agar tidak terkena cipratan air dari mobil yang lewat sesekali.
Tiba-tiba di saat Alana menunggu, wanita itu melihat mobil sport hitam berhenti tepat di depannya. Raut wajahnya langsung berubah, dia terpaku melihat sosok yang ada di dalam mobil kini membuka kaca.
Arnold. Pria tampan itu yang ada di dalam mobil sport, berhenti tempat di depan Alana. Ya, tindakannya itu membuat Alana benar-benar dibuat bingung, sekaligus terkejut.
“Masuk,” titah Arnold tegas.
Alana tersentak, mendengar perintah Arnold. “T-tuan, tapi—”
“Ini perintah. Tidak bisa dibantah. Cepat masuk,” potong Arnold tegas.
Alana mendesah pelan, mengumpati keadaan yang membuatnya tidak nyaman. Detik itu, dia masuk ke dalam mobil, dan tak lama Arnold langsung melajukan mobil meninggalkan tempat itu.
“Tuan Blackwell, harusnya kau tidak usah repot-repot memberikanku tumpangan. Aku bisa menunggu bus,” ucap Alana dengan tenang.
“Kebetulan aku ingin melewati jalanan apartemenmu,” balas Arnold dingin.
Alana menatap Arnold yang fokus melajukan mobil. “Hm? Kau tahu alamat rumahku?” tanyanya bingung.
“CV-mu tertera jelas alamatmu, Nona Vance. Aku yakin kau tidak lupa ingatan,” jawab Arnold tenang.
“Ah, iya. Kau benar. Maaf, aku sampai lupa.” Alana menepuk keningnya, merasa bahwa pertanyaannya itu bodoh. “Tapi, aku berterima kasih kau mau memberikan tumpangan, Tuan.”
“Arnold. Kita sedang berada di luar kantor. Panggil aku Arnold,” jawab Arnold datar.
Alana terdiam mendengar ucapan Arnold. Jujur, meski Arnold sudah memintanya memanggil nama, tetap saja dia merasa tak nyaman. Namun, dia juga tidak bisa membantah. Dia memutuskan untuk mengangguk menanggapi sopan ucapan Arnold.
Tatapan Alana kini menoleh ke jendela, memperhatikan tetesan air hujan yang membentuk pola abstrak di kaca. Namun sesekali, dari sudut matanya, dia mencuri pandang ke arah Arnold. Tampak jelas garis rahang pria tampan itu yang tegas. Tangan kokoh yang memegang kemudi. Tatapan mata yang tenang dan fokus. Serta cara pria itu mengemudi, seolah tak ada yang bisa mengguncangnya.
Ada sesuatu dalam ketenangan Arnold yang membungkus rasa aman sekaligus membuat jantung Alana berdetak sedikit lebih cepat. Ini memang sudah gila. Buru-buru, Alana mengalihkan pandangan cepat-cepat, seolah takut ketahuan oleh pikirannya sendiri. Dia tidak ingin mengakui kekaguman itu.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti perlahan di tepi jalan yang basah oleh hujan. Gedung apartemen bergaya klasik berdiri kokoh dalam gelap, hanya diterangi beberapa lampu lorong dari jendela lantai atas. Rintik hujan membasahi kaca depan, menciptakan pola acak yang berkilau tertimpa cahaya jalanan.
“Terima kasih sudah mengantar,” ucap Alana seraya membuka pintu penumpang.
Namun sebelum Alana sempat melangkah keluar, suara Arnold tiba-tiba saja terdengar tegas dan tak terbantahkan. “Tunggu!”
Alana menoleh pelan, menatap Arnold dengan tatapan bingung. “Iya? Ada apa?” tanyanya pelan, dan sopan.
“Bisa kau ajak aku masuk ke dalam apartemenmu?” pinta Arnold yang sontak membuat Alana melebarkan mata terkejut.
“Kau ingin masuk ke apartemenku?” ulang Alana memastikan.
Arnold mengangguk. “Ya, dan aku harap kau mengizinkan. Aku sudah memberikanmu tumpangan. Paling tidak kau menyuguhkanku secangkir teh atau kopi.”
Kalimat itu mengambang, membuat Alana terpaku dalam kebingungan yang bercampur rasa terkejut. Wanita cantik itu menunduk sejenak, bingung harus seperti apa. Dia ingin menolak, tetapi dia tidak enak. Apalagi Arnold sudah memberikan tumpangan padanya.
Hening beberapa detik, masih belum ada jawaban dari Alana. Hanya suara hujan yang mengisi ruang di dalam mobil. Namun, kini wanita itu menatap Arnold yang sejak tadi menatap dirinya.
“Boleh,” jawab Alana, dan direspons senyuman khusus di wajah Arnold.
Alana bersama dengan Arnold kini turun dari mobil, mereka masuk ke dalam lobi, dan segera menuju lift. Kembali keheningan membentang di kala Alana dan Arnold berada di dalam lift.
“Kau tinggal sendiri?” tanya Arnold sambil menoleh menatap Alana.
Alana mengangguk. “Ya, aku tinggal sendiri.”
Ting!
Pintu Apartemen terbuka. Arnold lebih dulu keluar dari lift, dan disusul oleh Alana. Tepat di kala sudah keluar dari lift, Alana menekan password apartemennya, dan langsung mempersilakan Arnold untuk masuk.Arnold melangkah masuk ke dalam apartemen Alana. Tatapannya mengamati sekeliling, dengan sorot mata penuh arti khusus. Apartemen Alana sederhana, tapi sangat tertata rapi dan tenang—menunjukkan wanita itu cukup pandai dalam menata tempat tinggal.
Arnold menatap dinding berwarna krem pucat itu memantulkan cahaya temaram dari lampu meja. Rak buku kecil berisi beberapa novel dan map kerja, dan di atas sofa abu-abu tergantung sebuah lukisan besar bergaya abstrak-modern—warna biru tua dan emas berpadu dalam pusaran emosi yang sulit dijelaskan.
“Duduklah,” ujar Alana sambil melepas sepatu dan menggantung coat-nya, sambil berjalan menuju dapur kecil. “Kau ingin teh atau kopi?” tanyanya.
“Kopi,” jawab Arnold sambil melepaskan jasnya menggulung lengan kemejanya hingga siku, lalu duduk di dekat jendela. Pria tampan itu tak sengaja melihat foto-foto yang ada di apartemen Alana. Tampak senyumannya terlukis—memancarkan dirinya seakan memiliki rencana.
“Kopi sudah jadi.” Alana menghampiri Arnold, dan menyuguhkan kopi panas ke hadapan Arnold.
“Thanks.” Armold meraih cangkir itu, dan menyesap perlahan.
“Apa kau suka ramen? Biasa kalau hujan seperti ini, aku suka membuat ramen.”
“Nope, kopi sudah lebih dari cukup. Aku tidak lapar.”
Alana mengangguk, menanggapi ucapan Arnold.
“Kau sudah lama tinggal di sini, Alana?” tanya Arnold tiba-tiba.
“Hm sudah sekitar tiga tahun. Sebelumnya aku berpindah-pindah, karena mencari sewa apartemen yang jauh lebih murah,” jawab Alana tenang.
Arnold menatap salah satu bingkai foto Alana masih kecil. “Ini … kau foto bersama orang tuamu?” tanyanya dengan nada misterius.
Alana menatap fotonya yang dipegang Arnold. “Ah, ya. Itu fotoku saat usiaku masih 3 tahun. Sekarang orang tuaku sudah tidak ada. Aku anak tunggal. Aku terbiasa hidup sendiri.”
Arnold terdiam sebentar, dengan aura wajah yang memancarkan jelas keseriusan. “Kedua orang tuamu sudah meninggal?” tanyanya sedikit mendesak Alana untuk menjawab.
Alana mengangguk. “Ya, kedua orang tuaku sudah meninggal. Ibuku seorang dokter bedah yang hebat pada masanya, lalu ayahku seorang pengacara. Aku memutuskan untuk menjadi seorang pengacara seperti ayahku. Sayang, mereka tidak memiliki umur panjang. Padahal aku berharap, mereka bisa melihat prosesku meraih impianku.”
Arnold terdiam, mendengar apa yang dikatakan oleh Alana. Pria tampan itu menunjukkan jelas menyimak dengan baik. Apalagi di kala pembahasan orang tua Alana, membuatnya benar-benar langsung mengingat sesuatu.
“Ah, maafkan aku. Aku jadi malah bercerita.” Alana merasa tidak enak, karena kelepasan bicara. Dia kini menyesap teh yang dia buat untuknya. Aroma teh melati memenuhi udara, berpadu dengan suara hujan yang mengetuk lembut kaca jendela.
“Tidak masalah. Aku adalah pendengar yang baik,” jawab Arnold tenang. “Well, aku rasa aku harus pergi. Terima kasih sudah mengizinkanku bertamu di apartemenmu.”
“Aku yang berterima kasih, karena kau sudah mengantarku,” jawab Alana sopan.
Arnold meletakan bekas cangkir kopinya di atas meja, lalu dia bangkit berdiri bersamaan dengan Alana. Dia melangkah keluar, dan Alana menemani. Namun, tiba-tiba dia mengingat sesuatu hal. Dia mengalihkan pandangannya, menatap manik mata abu-abu Alana.
“Ah, ya, aku ingin kau tahu satu hal, Alana,” ucap Arnold dengan nada dingin.
Alana membalas tatapan Arnold, menunggu pria itu menyelesaikan ucapannya. “
Arnold tersenyum misterius, dan terus menatap dalam mata Alana yang tengah menunggunya melanjutkan ucapannya. “Aku ingin kau tahu bahwa, aku tidak pernah menyesali malam ketika aku menyentuhmu.”
Raut wajah Alana menegang, terkejut di kala Arnold mengingat kejadian malam panas mereka. Lidahnya mendadak kelu, tak mampu berkata-kata. Bahkan di kala pria itu sudah pergi, dia tetap mematung menunjukkan keterkejutannya, tak menyangka Arnold akan mengatakan demikian.
Alana menatap cermin, melihat matanya sedikit sebab. Wanita cantik itu sudah mengompres matanya menggunakan es batu, agar tidak terlalu bengkak. Namun, tetap saja sembab masih terlihat. Beruntung, tadi di kala meeting berlangsung, dia bisa menutupi sembab dengan riasan wajah.“Siapa tadi yang menarik tanganku? Apa aku tadi bermimpi?” gumam Alana sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.Tadi, Arnold sudah meminta klien menyelidiki apakah ada orang asing masuk ke ruang rapat atau tidak, tetapi ternyata hasil yang didapat adalah tidak ada siapa pun yang naik ke ruang rapat itu. Meski Alana yakin ada orang asing datang, tetapi wanita itu tak ingin bersikeras.Alana mengerti akan kode etik. Apalagi perusahaan kliennya itu bukan perusahaan kecil. Dia merasa apa yang terjadi padanya begitu nyata. Rasa takut menggerogoti di dalam dirinya. Namun, di kala lampu menyala tadi, semua hilang seakan—dirinya ada di dalam dunia mimpi.“Sepertinya, aku kelelahan sampai banyak berkhayal sembarangan,” gu
Pagi menyapa, Alana sudah tiba di kantornya. Wanita cantik itu datang lebih cepat ke kantor, berusaha mengubur semua mimpi buruk yang menghantuinya semalam. Kini dia berada di toilet, dia berdiri lama di depan cermin, memandangi wajahnya dengan saksama—berusaha memastikan riasannya tampak profesional: tidak terlalu mencolok, tapi cukup menutupi kelelahan di balik mata yang sembab.Tangan kirin Alana merapikan helaian rambut yang membandel, sedangkan tangan kanan menggenggam kecil botol parfum yang sempat dia semprotkan ke pergelangan tangan. Dia menarik napas panjang, menenangkan degup jantung yang mulai tak karuan.Pikiran Alana berusaha fokus pada pekerjaan. Namun, ada satu hal yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, satu sosok: Arnold—pria itu bukan hanya bosnya, melainkan badai tenang yang mampu mengguncang isi kepala dan hatinya dalam diam. Setiap berada di dekat Arnold selalu menyisakan getaran samar di dadanya, getaran yang seringkali sulit dia kendalikan.Alana kini melangkah
“Oh, Tuhan! Kenapa dia mengungkit lagi?” Alana menjatuhkan tubuh di sofa, merunduk, dan tangannya meremas lengan dengan gemetar. Mata wanita itu menatap kosong ke arah jendela besar lalu mengembungkan pipinya dengan napas pelan.Malam panas yang terjadi beberapa hari lalu itu seharusnya terkubur bersama waktu—di sudut tergelap dari ingatannya. Alana tidak ingin lagi mengingat bagaimana tubuhnya dan tubuh Arnold menyatu dalam gejolak yang memabukkan. Namun tadi, dengan nada santainya, Arnold kembali mengungkit. Senyuman tipis pria itu menusuk seperti pisau. Pria itu sekana menusuk bukan hanya hatinya, tapi harga dirinya.“Aku tidak mau mengingatnya lagi ...,” desis Alana sambil berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Dia membuka keran bathtub dan membiarkan air hangat mengisi ruang itu dengan uap pelan-pelan. Uap mulai memenuhi kaca dan ubin.Setelah air cukup penuh, Alana menanggalkan pakaiannya dengan gerakan lambat, nyaris ragu. Wanita itu kini menatap bayangannya di cermin, tubuh
Jam dinding antik di sudut ruang kerja berdentang pelan, menunjukkan pukul tujuh malam. Hujan mengguyur kota London tanpa jeda sejak sore, menciptakan suara gemuruh lembut di balik kaca-kaca tinggi gedung Blackwell & Blackwell Company. Mayoritas karyawan telah meninggalkan kantor, dan menyisakan hanya beberapa staff yang masih menyelesaikan laporan dan aktivitas lainnya.Alana duduk di kursi kerjanya, memandangi layar MacBook yang sebenarnya telah dia matikan sejak lima belas menit lalu. Jari-jari lentik wanita itu saling menggenggam di pangkuan, dan tatapannya kosong. Bukan karena pekerjaan. Bukan karena huja, tapi karena pikirannya belum tenang sejak kejadian pagi—di mana wanita bernama Megan menuduhnya dengan keji.Alana menarik napas panjang, mencoba melepaskan beban yang mengendap di dalam dadanya. Dia segera menepis pikiran yang mengusiknya, tak ingin lagi berpikir tidak-tidak. Detik selanjutnya, dia berdiri dengan gerakan pelan dan memakai coat tebal berwarna cokelat gelap.Saa
Alana sontak tersentak melihat seorang wanita melayangkan tatapan tajam padanya. Dia segera melepaskan diri dari pelukan itu, langkah kaki mundur dua tapak tanpa suara, berusaha menjaga postur tetap tegak meski jantungnya berdegup kacau. Tangannya meremas ujung coat, mencoba meredakan kegugupan yang mendadak membuncah.Langkah sepatu hak tinggi terdengar bergema, cepat dan mantap. Seorang wanita cantik dan seksi berjalan dengan aura dominan yang begitu terlihat. Wajah wanita itu tegas, mata menyipit tajam, dan tubuh dibalut gaun ketat berwarna merah maroon yang kontras dengan suasana kantor. Gaun itu memeluk sempurna tubuhnya dengan percaya diri. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Arnold, dengan wajah yang memancarkan kemarahan yang ditekan, tapi nyaris meledak.“Siapa wanita ini? Dan apa yang kau lakukan dengan wanita ini?” tanya wanita seksi itu, dengan nada penuh tuntutan. Tampak dia melirik sinis ke arah Alana, seakan melihat ancaman yang harus disingkirkan.Arnold tidak bergera
“Alana! Kau sudah kehilangan akal sehatmu!” Alana menghempaskan tubuhnya ke ranjang, lalu dia memeluk bantal seraya mengumpati kebodohan yang dia lakukan. Sungguh, dia tak mengerti kenapa dia menerima tawaran Blackwell & Blackwell Company? Alana merasa seperti terjebak di dalam lingkaran api, hingga membuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Dia tadi antara sadar dan tidak sadar menandatangani kontrak itu. Rasa putus asa sulit mendapatkan pekerjaan, membuat otaknya memang tidak bisa berpikir dengan baik.Alana baru menyadari bahwa jika dirinya di hadapkan banyak kerumitan, maka otaknya tidak berfungsi dengan baik. Pertama dia putus asa datang ke kelab malam, dan berakhir di ranjang dengan pria asing. Kedua, ketika fakta membawanya pada pria asing itu adalah pemilik perusahaan besar, dia malah bekerja di perusahaan pria yang menjadi cinta satu malamnya.“Alana kau benar-benar bodoh!” Alana menepuk keningnya. Namun, seketika dia terdiam sebentar. Jika tadi dia tidak menerima tawaran