Tamparan keras itu mendarat di pipi kanan Dania, membuat kepala wanita itu terhuyung ke samping. Bunyi tepukannya terdengar jelas di ruangan sempit itu, menyisakan panas yang menjalar di kulit pipinya.
Sakitnya seperti terbakar, tapi yang jauh lebih perih adalah rasa sesak di hati. Air mata langsung menggenang di sudut matanya, namun ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. Tangannya refleks menekan perutnya yang membuncit, seolah ingin melindungi janin yang tengah ia kandung. Nafasnya berat, bibirnya bergetar. “Dasar wanita tak tahu diuntung! Bersyukur aku masih mau menampungmu di sini,” bentak Reno dengan mata menyala, nafasnya terengah akibat emosi yang memuncak. Dania hanya menunduk. Lidahnya kelu, tenggorokannya terasa kering. Semua yang dia lakukan tadi hanyalah meminta buah-buahan saja, keinginan sederhana yang muncul karena rasa ngidamnya. Tetapi di rumah ini, bahkan permintaan sekecil itu bisa menjadi alasan baginya untuk menerima kekerasan. “Aku cuma mau buah, Ren. Selama hamil … kamu tak pernah memenuhi ngidamku sekalipun,” ucapnya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, seakan takut bahwa nada yang sedikit lebih tinggi akan memancing amarah yang lebih besar. Ia mencoba bangkit, menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang sedikit gemetar. Reno mendengus kasar. “Minta saja sana ke kakakmu! Mereka kan yang menjerumuskan kita ke jurang kemiskinan ini!” Dania terperangah. “Kenapa kamu jadi berubah seperti ini? Bukannya dulu kamu sangat mencintaiku?” Pertanyaan itu membuat Reno terdiam. Tatapannya beralih dari wajah istrinya ke dinding, seolah menghindar dari kontak mata. Rahangnya mengeras, namun ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya hening yang menggantung di antara mereka, sampai akhirnya Reno memilih berbalik, melangkah pergi sambil membanting pintu kamar dengan keras. Keheningan yang tersisa terasa mencekik. Dania menatap pintu yang baru saja tertutup itu dengan mata berkaca-kaca. Nafasnya berat, pikirannya melayang pada masa-masa awal mereka bertemu. Kehidupan Dania Isabella Hartono pernah dipenuhi kemewahan. Sebagai bungsu dari keluarga Hartono, keluarga konglomerat yang menguasai banyak bisnis, ia tak pernah tahu rasanya kekurangan. Semua kebutuhannya terpenuhi, semua keinginannya dipenuhi, hingga satu hari takdir mempertemukannya dengan seorang pria sederhana yang mengubah segalanya. Hari itu hujan deras mengguyur pusat kota. Mobil yang ia kendarai mogok di tengah jalan, dan semua orang hanya berlalu begitu saja. Reno, pria yang kala itu sedang mengamen di pinggir jalan, tiba-tiba datang menolong tanpa diminta. Meski pakaiannya basah kuyup, ia tetap berusaha memperbaiki mobilnya. Dari situlah kedekatan mereka berawal. Reno tampak tulus, hangat, dan penuh perhatian. Semua hal yang membuat hati Dania luluh. Namun, dunia yang penuh warna itu mulai memudar setelah pernikahan. Reno mengetahui bahwa Dania telah dicoret dari daftar ahli waris karena memilih menikah dengannya. Keputusan keras keluarganya itu membuat Dania benar-benar terlepas dari harta dan pengaruh keluarga Hartono. Tidak ada uang, tidak ada rumah, tidak ada kemewahan, hanya Reno yang kini menjadi sandarannya. Awalnya, Dania berpikir mereka bisa memulai hidup sederhana dengan cinta. Tetapi kenyataan jauh lebih kejam. Reno berubah. Ia tak pernah mengembangkan senyumannya lagi, kata-katanya menjadi tajam, dan tangan yang dulu selalu menggenggam penuh kehangatan kini kerap melayang keras pada dirinya. Ironisnya, ketika Dania berjuang menyesuaikan diri dengan kehidupan yang jauh dari kata layak, Reno justru mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan besar, pekerjaan yang ia peroleh berkat koneksi terakhir Dania sebelum semua pintu tertutup untuknya. Bukannya membuat keadaan lebih baik, Reno justru semakin merendahkan istrinya. Siang itu, setelah Reno meninggalkan rumah, Dania duduk di tepi ranjang dengan mata kosong. Suara hujan rintik di luar jendela membuat suasana semakin muram. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar pintu. Tok! Tok! Tok! Dania mengerjap. Perlahan ia berdiri dan membuka pintu. Seorang pria yang belum pernah ia lihat sebelumnya berdiri di depan, membawa dua kantong besar di tangannya. Salah satunya berisi buah-buahan segar yang masih mengembun, dan satunya lagi berisi makanan hangat yang aromanya langsung memenuhi udara. “Mbak Dania, ya?” tanya pria itu sopan. Dania mengangguk ragu. “Iya, saya.” “Paket makanan buat Mbak.” Ia menyerahkan kedua kantong itu dengan hati-hati. Dania menerima keduanya, masih bingung. “Dari siapa, Mas?” Pria itu mengangkat bahu. “Kurang tahu, Mbak.” Kening Dania berkerut. “Loh, gimana sih, Mas. Pengirimnya lelaki, bukan?” Pria itu mengangguk cepat, lalu tersenyum canggung. “Iya, Mbak. Tinggi, tampan, dan … bau uang.” Ucapannya terhenti, seolah sadar ia telah berbicara terlalu jauh, dan refleks menutup mulutnya sendiri. Senyum tipis muncul di wajah Dania. “Terima kasih, Mas.” Pintu tertutup kembali, meninggalkan Dania yang kini menatap kedua kantong di tangannya. Aroma buah itu begitu menggoda, dan rasanya seperti mimpi bisa mendapatkan apa yang diidamkan. Dalam hati, ia berpikir hanya ada dua kemungkinan, Axel atau Davin, dua kakak lelakinya yang mungkin diam-diam mengawasinya meski hubungan mereka renggang. Namun, dugaannya meleset. Bukan Axel, bukan Davin. Pengirim itu adalah seseorang yang tak pernah ia bayangkan, seseorang yang tanpa sadar akan membuka lembar baru dalam hidup Dania. Dania duduk di lantai ruang tengah, membuka kantong buah itu satu per satu. Tangannya sedikit bergetar, bukan hanya karena lapar atau ngidam, tapi karena rasa penasaran yang menggerogoti pikirannya. Siapa yang peduli padanya disaat semua orang menjauh? Ia memotong sepotong mangga, menggigitnya perlahan. Rasa manis asam itu meledak di lidahnya, dan air mata kembali mengalir, bukan hanya karena rasa syukur, tapi juga karena teringat betapa sederhananya kebahagiaan yang kini ia rasakan. Namun, rasa itu tak bertahan lama. Pintu rumah kembali terbuka, kali ini tanpa ketukan. Reno berdiri di ambang pintu, wajahnya keras, matanya langsung menatap kantong buah di meja. “Apa itu?” suaranya datar, namun penuh kecurigaan. Dania menelan ludah. “Ada orang yang mengirim ini untukku.” Reno berjalan masuk, langkahnya berat. “Siapa?” “Aku … nggak tahu. Kurirnya juga nggak bilang jelas.” Reno mendekat, meraih kantong buah itu, dan memeriksanya seperti sedang mencari sesuatu yang tersembunyi. “Lelaki?” tanyanya tajam. Dania terdiam, tak ingin memancing masalah lagi. Reno menatapnya lama, lalu meletakkan kantong itu dengan kasar di meja. “Mulai sekarang, kalau ada orang asing kirim sesuatu, jangan diterima.” Dania hanya mengangguk pelan, menyembunyikan perasaan tertekan yang semakin menghimpit dadanya. Reno lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya, ia mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian lain. Terlihat rapi, wangi, sesekali ia tersenyum menatap pemandangan dirinya di depan cermin. Dania menyadari hal itu, ia beranjak dari kursi, lalu mendekati suaminya yang sudah bersiap lagi entah akan pergi kemana. “Mau ke mana lagi?” tanya Dania. Reno menghela nafas panjang, bola matanya berputar malas. “Ada makan malam sama klien penting malam ini. Mungkin akan pulang larut. Kamu tak perlu menunggu.” “Aku boleh ikut?” lanjut Dania bertanya, membuat amarah Reno nyaris meledak kembali. “Dengan keadaanmu yang seperti ini? Aku hanya akan menahan malu. Diam saja di rumah!” tegasnya. Reno tidak mengatakan apa-apa lagi setelah kata-kata tajamnya tadi. Ia hanya mengambil kunci mobil di meja dan melangkah menuju pintu. “Jangan ke mana-mana malam ini. Kamu sedang hamil, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa dan malah bikin aku repot,” ucapnya singkat sebelum pintu tertutup di belakangnya. Dania berdiri mematung di ruang tengah. Kata-kata itu terdengar seperti perhatian, tetapi nada suaranya penuh sindiran. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, namun rasa penasaran mulai menguasai pikirannya. Reno terlalu rapi malam ini, terlalu wangi, dan terlalu santai untuk sekadar makan malam dengan klien. Senja mulai merayap di langit, meninggalkan semburat jingga di balik jendela. Hatinya berdebat keras, haruskah ia tetap di rumah seperti yang diminta Reno, atau mengikuti nalurinya yang mengatakan ada sesuatu yang tidak beres? Pada akhirnya, rasa penasaran menang. Dania mengambil tas kecilnya, mengenakan cardigan tipis, lalu keluar dengan langkah perlahan, memastikan tidak ada tetangga yang memperhatikan. Reno sudah jauh dengan mobil kantor berwarna hitam mengkilap. Dania tidak memiliki kendaraan lagi sejak mobilnya dijual untuk menutup kebutuhan rumah tangga. Maka ia memutuskan naik kendaraan umum, matanya tak lepas dari pantulan lampu belakang mobil Reno di kejauhan. Setiap kali mobil itu berhenti di lampu merah, ia bergegas memastikan jarak mereka tidak terlalu jauh. Perjalanan terasa panjang, bukan hanya karena lalu lintas sore yang padat, tetapi karena dadanya yang berdegup kencang. Dalam benaknya, berbagai kemungkinan berkecamuk, mungkin Reno benar-benar bertemu klien, atau sesuatu yang jauh lebih buruk. Akhirnya, mobil Reno berbelok ke sebuah kawasan elit di pusat kota. Dania turun dari kendaraan umum beberapa meter sebelum tujuan Reno, memilih berjalan kaki agar tak mencolok. Langkah Dania terhenti di depan bangunan itu. Ia melihat Reno keluar dari mobil, wajahnya memancarkan senyum yang jarang ia lihat belakangan ini. Dari arah pintu restoran, seorang wanita melangkah keluar. Gaun hitamnya jatuh anggun hingga mata kaki, rambutnya terurai sempurna, dan di tangannya tergantung sebuah tas bermerk yang harganya cukup untuk membayar kontrakan Dania setahun. Namun yang membuat napas Dania tercekat bukanlah kemewahan itu, melainkan wajah wanita tersebut, ia mengenalnya. Wajah itu, Dania sempat mengenal wanita itu sebagai anak dari musuh bisnis keluarganya. Dania bersembunyi di balik pilar dekat parkiran, matanya tak lepas dari pemandangan itu. Reno meraih tangan wanita itu dengan santai, lalu menuntunnya masuk ke dalam restoran. Dadanya terasa sesak, bukan hanya karena rasa cemburu, tetapi juga karena sebuah firasat buruk mulai menggerogoti pikirannya, firasat bahwa semua yang ia curigai tentang Reno mungkin benar adanya.Setelah kepergian Dania, kehidupan Reno berubah drastis. Bukan berubah menjadu lebih baik, melainkan semakin terjerumus dalam kesombongan yang tak terkendali. Rumah kontrakan sederhana yang dulu ia tinggali bersama Dania kini sudah ia tinggalkan. Barang-barang lamanya pun tak lagi ia pedulikan, sebagian ia jual, sebagian lagi ia tinggalkan begitu saja. Reno merasa kehidupannya sudah naik kelas. Ia kini tinggal di sebuah apartemen mewah di pusat kota, dengan pemandangan indah pusat kota yang bisa ia lihat dari atas. Pagi itu, Reno melangkah dengan penuh percaya diri menuju gedung perusahaan tempat ia bekerja. Setelan jas hitamnya tampak mengilap, dasinya berwarna merah menyala, dan sepatunya mengkilap. Sesekali ia membalas sapaan karyawan dengan mengangkat sebelah tangan.Di dalam hatinya, Reno merasa dunia kini berada dalam genggamannya. Jabatan baru yang ia peroleh setelah beberapa bulan bekerja membuatnya semakin congkak. Ia yakin, semua orang di perusahaan itu harus menaruh ho
Langkah Dania berhenti di depan gerbang besi besar yang menjulang tinggi, menghalangi pandangan langsung ke arah rumah megah di dalamnya. Gerbang itu berdiri kokoh, dicat hitam mengkilap, dengan ukiran-ukiran klasik yang menambah kesan mewahnya. Dari balik sela-sela, Dania bisa melihat sekilas betapa mewahnya rumah yang berdiri cukup jauh dari gerbang. Pandangannya langsung tertuju pada balkon kamar di lantai dua. Balkon indah yang dulu bisa ia nikmati pemandangannya di setiap pagi.Napasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang, seakan hendak meledak keluar. Malam itu udara dingin menusuk, tapi telapak tangannya justru berkeringat dingin. Ia berdiri lama, memeluk perutnya yang mulai membesar, matanya menelisik dari balik gerbang. Ada harapan yang tumbuh di sana, harapannya untuk melihat dua wajah yang paling ia rindukan, kedua kakaknya, Axel dan Davin.Namun sebelum sempat melangkah lebih jauh, salah satu satpam yang berjaga di pos dekat gerbang menoleh. Pria paruh baya itu tampak
Seorang pria berpakaian rapi turun dari mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumah sederhana itu. Jas hitam yang ia kenakan tampak pas membalut tubuh tegapnya, sepatu kulitnya berkilat, dan wajahnya dihiasi senyum ramah. Tatapannya berwibawa, namun tetap mengundang rasa percaya.Dania, yang baru saja keluar rumah karena penasaran dengan suara mobil mewah itu, tertegun sejenak. Rumah sederhananya nyaris tak pernah disinggahi tamu, apalagi tamu berpenampilan sekelas pria ini. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat.“Nona Dania?” sapa pria itu sopan, membungkukkan sedikit tubuhnya.Dania mengangguk ragu. “Ya, dengan saya sendiri.”“Saya datang untuk menjemput Non Dania. Ada undangan sarapan dari seseorang.”Alis Dania berkerut. “Dari siapa, Pak?”Pria itu hanya tersenyum, tidak menjawab dengan jelas. “Nanti, Non Dania akan tahu.”Dania terdiam. Hatinya menimbang-nimbang. Sempat muncul rasa takut, tetapi keanggunan sikap pria itu menepis sebagian kegelisahannya. Ia berpikir, mungk
Dania pulang ke rumah kontrakannya dengan langkah tertatih. Matanya sembab, sudah terlalu lama menangis hingga air matanya kini kering. Wajahnya pucat pasi, sementara kedua tangannya tak pernah lepas dari perutnya yang mulai membesar. Perjalanan menuju kontrakan kecil itu terasa begitu panjang. Satu harapan dalam hatinya, ia hanya ingin anak dalam kandungannya tetap aman dan selamat di tengah badai yang sedang menerpa hidupnya.“Tolong kuat, Nak … Mama janji akan terus berjuang,” bisiknya, suaranya bergetar di tengah udara malam yang menusuk.Sesampainya di rumah, kontrakan sederhana itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram di dapur hanya memantulkan bayangan tubuhnya yang kurus. Ia duduk di kursi reyot sambil menatap kosong meja makan yang kosong. Perutnya kembali berteriak lapar, meski ia mencoba mengabaikannya.Ia berjalan gontai ke arah tempat sampah dapur. Tangannya gemetar ketika ia meraih bungkusan makanan yang siang tadi sempat ia makan dan dibuang suaminya.Bau a
Dania duduk terpaku di sudut ruangan restoran itu sejak setengah jam lalu. Perutnya keroncongan, tetapi ia tak punya nafsu makan. Sejak siang tadi, ia belum menyentuh sesuap nasi pun. Lapar memang menggerogoti tubuhnya, tapi ada yang jauh lebih perih, hatinya yang retak berkeping-keping.Tatapannya yang kosong berubah menjadi kilatan amarah ketika matanya menangkap sosok yang selama ini ia kenal sebagai suaminya, Reno. Pria yang dulu begitu ia percayai, pria yang dahulu rela berlutut memohon restu keluarganya, kini duduk manis bersama seorang wanita lain. Seorang wanita bernama Maria, cantik, anggun, dan jelas bukan dirinya.Yang membuat darah Dania benar-benar mendidih adalah cara Reno memperlakukan wanita itu. Senyum hangat, tatapan lembut, jemari yang nyaris bersentuhan di atas meja bundar. Hal-hal kecil yang sudah lama tak pernah ia rasakan lagi. Reno yang bersamanya hanya tahu cara membentak, mencaci, bahkan mencederai harga dirinya.Langkah Dania semakin cepat. Degup jantungnya
Tamparan keras itu mendarat di pipi kanan Dania, membuat kepala wanita itu terhuyung ke samping. Bunyi tepukannya terdengar jelas di ruangan sempit itu, menyisakan panas yang menjalar di kulit pipinya. Sakitnya seperti terbakar, tapi yang jauh lebih perih adalah rasa sesak di hati. Air mata langsung menggenang di sudut matanya, namun ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. Tangannya refleks menekan perutnya yang membuncit, seolah ingin melindungi janin yang tengah ia kandung. Nafasnya berat, bibirnya bergetar.“Dasar wanita tak tahu diuntung! Bersyukur aku masih mau menampungmu di sini,” bentak Reno dengan mata menyala, nafasnya terengah akibat emosi yang memuncak.Dania hanya menunduk. Lidahnya kelu, tenggorokannya terasa kering. Semua yang dia lakukan tadi hanyalah meminta buah-buahan saja, keinginan sederhana yang muncul karena rasa ngidamnya. Tetapi di rumah ini, bahkan permintaan sekecil itu bisa menjadi alasan baginya untuk menerima kekerasan.“Aku cuma