Share

Bab 2

last update Last Updated: 2025-09-02 11:38:52

Dania duduk terpaku di sudut ruangan restoran itu sejak setengah jam lalu. Perutnya keroncongan, tetapi ia tak punya nafsu makan. Sejak siang tadi, ia belum menyentuh sesuap nasi pun. Lapar memang menggerogoti tubuhnya, tapi ada yang jauh lebih perih, hatinya yang retak berkeping-keping.

Tatapannya yang kosong berubah menjadi kilatan amarah ketika matanya menangkap sosok yang selama ini ia kenal sebagai suaminya, Reno. Pria yang dulu begitu ia percayai, pria yang dahulu rela berlutut memohon restu keluarganya, kini duduk manis bersama seorang wanita lain. Seorang wanita bernama Maria, cantik, anggun, dan jelas bukan dirinya.

Yang membuat darah Dania benar-benar mendidih adalah cara Reno memperlakukan wanita itu. Senyum hangat, tatapan lembut, jemari yang nyaris bersentuhan di atas meja bundar. Hal-hal kecil yang sudah lama tak pernah ia rasakan lagi. Reno yang bersamanya hanya tahu cara membentak, mencaci, bahkan mencederai harga dirinya.

Langkah Dania semakin cepat. Degup jantungnya berpacu dengan amarah yang membara. Ia tahu ia tak bisa lagi duduk diam menjadi penonton.

“Ngapain kamu di sini?” serunya lantang. Suaranya melengking, memecah keheningan restoran yang sebelumnya hanya diisi musik pelan dan percakapan lirih antar meja.

Semua kepala serentak menoleh. Tatapan kaget, penasaran, bahkan sinis, kini tertuju pada dirinya.

Reno mendadak terperanjat. Wajahnya merah padam, bukan karena malu atas perbuatannya, melainkan marah karena keberanian istrinya muncul di hadapan Maria. Dengan cepat ia bangkit berdiri, tubuhnya menjulang di hadapan Dania. Tatapannya tajam, penuh kemarahan yang ditahan-tahan.

“Aku yang seharusnya bertanya! Ngapain kamu di sini?” bentaknya, lalu tangannya mencengkram lengan Dania kasar, seolah ia bukan istrinya, melainkan orang asing yang hendak mengacau.

“Aww… sakit, Ren!” pekik Dania. Wajahnya menahan perih, air matanya hampir tumpah.

Namun Reno tak peduli. Ia justru semakin menguatkan genggamannya, menunduk ke telinga istrinya dengan suara mengancam.

“Jangan buat aku malu, Dania. Pergi, atau kuseret kau keluar secara paksa dari sini.”

Seisi restoran terdiam, namun hanya sejenak. Tak lama, deretan ponsel diangkat, kamera menyala, merekam setiap detik pertengkaran itu.

Orang-orang tak ingin kehilangan momen ketika seorang wanita yang dikenal publik sebagai bungsu keluarga Hartono, keluarga konglomerat yang kaya raya, diperlakukan bak sampah oleh suaminya sendiri.

Semua tahu, Dania sudah tak lagi menjadi bagian keluarga Hartono. Ia dicoret dari daftar pewaris sejak memilih Reno, pria yang dianggap tak sepadan. Dan kini, ironisnya, pria itu sendiri yang mempermalukan dirinya di hadapan banyak orang.

“Pulang, Ren! Kenapa kamu lakukan ini padaku?” suara Dania pecah, tangisnya jatuh tanpa bisa ditahan.

Reno menatapnya dingin. Lalu dengan nada penuh tekanan, ia melontarkan kalimat yang menorehkan luka paling dalam.

“Kenapa aku lakukan ini padamu? Karena kau … kau bukan lagi yang kuinginkan saat ini.”

Dunia Dania seakan runtuh. Ia ingin percaya itu hanya kata-kata kasar yang meluncur karena amarah, tetapi tatapan Reno berkata lain. Tatapan itu penuh keyakinan.

Dania sengaja menaikkan nada suaranya, meski tangis kian deras. Ia tahu kamera-kamera ponsel masih menyorot, ia tahu wajahnya yang berantakan akan tersebar luas. Tetapi biarlah. Kalau Reno ingin mempermalukannya, maka ia pun akan memastikan semua orang tahu siapa sebenarnya Reno.

Sayang, kenyataan lebih kejam dari harapannya. Reno tidak bergeming. Ia benar-benar menyeret tubuh istrinya keluar dari restoran itu, tak peduli meski Dania berteriak-teriak memohon. Maria mengikuti di belakang, dengan langkah anggun namun penuh kemenangan.

Beberapa orang yang merekam bahkan berdesakan keluar, ingin mengabadikan drama sampai akhir.

Di halaman depan restoran, tubuh Dania didorong Reno hingga terjatuh keras ke tanah. Rasa sakit menyergap perutnya, membuatnya meringkuk sambil memegangi bagian itu. Tubuhnya lemah, tetapi hatinya lebih lemah lagi.

“Tega kamu, Ren! Kupastikan, kamu akan menyesal karena telah melakukan ini padaku!” serunya dengan suara parau.

Namun Reno hanya tertawa. Tawa yang dingin, penuh penghinaan.

“Apa yang membuatku menyesal? Mau minta tolong pada siapa kau setelah jatuh miskin?”

Maria tertawa menyambung, suaranya melengking, seakan menampar harga diri Dania. Keduanya tampak serasi, serasi dalam menginjak-injak martabatnya.

Amarah Dania mendidih. Seluruh tubuhnya bergetar menahan ledakan yang hampir pecah. Tetapi tangannya yang menggenggam erat perutnya membuatnya teringat: ia tidak boleh kalah, ia tidak boleh runtuh sepenuhnya.

Langit malam tampak kelam, seakan turut bersedih menyaksikan drama itu. Jalanan di depan restoran masih ramai, lampu-lampu kendaraan melintas cepat, tetapi bagi Dania, dunia seolah berhenti.

Ia teringat pada rumah besar keluarganya, yang pernah begitu hangat meski penuh aturan. Ia teringat kedua kakaknya yang menentang habis-habisan pernikahan ini.

Air mata mengalir lagi.

“Kenapa harus aku, Tuhan … kenapa harus begini?” bisiknya lirih.

Beberapa orang yang masih merekam mulai berbisik. Ada yang berkata kasihan, ada yang menyalahkan, bahkan ada yang tertawa kecil. Dania ingin menutup telinganya, tetapi suara-suara itu menusuk masuk, merobek sisa-sisa harga dirinya.

Sementara itu, Reno melingkarkan lengannya ke pinggang Maria, menuntunnya kembali masuk ke restoran. “Ayo, sayang. Biar binatang liar itu mengais nasibnya sendiri,” katanya keras, sengaja agar Dania mendengar.

Tawa mereka kembali pecah, meninggalkan Dania sendirian di tanah yang dingin.

Dengan susah payah, Dania bangkit. Lututnya lecet, tangannya gemetar, wajahnya basah oleh air mata. Perutnya masih nyeri, tapi ia mencoba melangkah. Setiap langkah seperti ditusuk ribuan pisau tajam, namun ia tahu ia tak boleh tergeletak lebih lama di sana.

Ia berjalan gontai meninggalkan keramaian. Ponsel-ponsel masih menyorot, kilatan kamera masih berusaha menangkap gambarnya, tapi ia sudah tak peduli. Ia hanya ingin menjauh.

“Reno …” bisiknya lirih, “kau akan menyesal. Aku bersumpah, kau akan menyesal.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gemerlap Dendam Sang Pewaris   Bab 6

    Setelah kepergian Dania, kehidupan Reno berubah drastis. Bukan berubah menjadu lebih baik, melainkan semakin terjerumus dalam kesombongan yang tak terkendali. Rumah kontrakan sederhana yang dulu ia tinggali bersama Dania kini sudah ia tinggalkan. Barang-barang lamanya pun tak lagi ia pedulikan, sebagian ia jual, sebagian lagi ia tinggalkan begitu saja. Reno merasa kehidupannya sudah naik kelas. Ia kini tinggal di sebuah apartemen mewah di pusat kota, dengan pemandangan indah pusat kota yang bisa ia lihat dari atas. Pagi itu, Reno melangkah dengan penuh percaya diri menuju gedung perusahaan tempat ia bekerja. Setelan jas hitamnya tampak mengilap, dasinya berwarna merah menyala, dan sepatunya mengkilap. Sesekali ia membalas sapaan karyawan dengan mengangkat sebelah tangan.Di dalam hatinya, Reno merasa dunia kini berada dalam genggamannya. Jabatan baru yang ia peroleh setelah beberapa bulan bekerja membuatnya semakin congkak. Ia yakin, semua orang di perusahaan itu harus menaruh ho

  • Gemerlap Dendam Sang Pewaris   Bab 5

    Langkah Dania berhenti di depan gerbang besi besar yang menjulang tinggi, menghalangi pandangan langsung ke arah rumah megah di dalamnya. Gerbang itu berdiri kokoh, dicat hitam mengkilap, dengan ukiran-ukiran klasik yang menambah kesan mewahnya. Dari balik sela-sela, Dania bisa melihat sekilas betapa mewahnya rumah yang berdiri cukup jauh dari gerbang. Pandangannya langsung tertuju pada balkon kamar di lantai dua. Balkon indah yang dulu bisa ia nikmati pemandangannya di setiap pagi.Napasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang, seakan hendak meledak keluar. Malam itu udara dingin menusuk, tapi telapak tangannya justru berkeringat dingin. Ia berdiri lama, memeluk perutnya yang mulai membesar, matanya menelisik dari balik gerbang. Ada harapan yang tumbuh di sana, harapannya untuk melihat dua wajah yang paling ia rindukan, kedua kakaknya, Axel dan Davin.Namun sebelum sempat melangkah lebih jauh, salah satu satpam yang berjaga di pos dekat gerbang menoleh. Pria paruh baya itu tampak

  • Gemerlap Dendam Sang Pewaris   Bab 4

    Seorang pria berpakaian rapi turun dari mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumah sederhana itu. Jas hitam yang ia kenakan tampak pas membalut tubuh tegapnya, sepatu kulitnya berkilat, dan wajahnya dihiasi senyum ramah. Tatapannya berwibawa, namun tetap mengundang rasa percaya.Dania, yang baru saja keluar rumah karena penasaran dengan suara mobil mewah itu, tertegun sejenak. Rumah sederhananya nyaris tak pernah disinggahi tamu, apalagi tamu berpenampilan sekelas pria ini. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat.“Nona Dania?” sapa pria itu sopan, membungkukkan sedikit tubuhnya.Dania mengangguk ragu. “Ya, dengan saya sendiri.”“Saya datang untuk menjemput Non Dania. Ada undangan sarapan dari seseorang.”Alis Dania berkerut. “Dari siapa, Pak?”Pria itu hanya tersenyum, tidak menjawab dengan jelas. “Nanti, Non Dania akan tahu.”Dania terdiam. Hatinya menimbang-nimbang. Sempat muncul rasa takut, tetapi keanggunan sikap pria itu menepis sebagian kegelisahannya. Ia berpikir, mungk

  • Gemerlap Dendam Sang Pewaris   Bab 3

    Dania pulang ke rumah kontrakannya dengan langkah tertatih. Matanya sembab, sudah terlalu lama menangis hingga air matanya kini kering. Wajahnya pucat pasi, sementara kedua tangannya tak pernah lepas dari perutnya yang mulai membesar. Perjalanan menuju kontrakan kecil itu terasa begitu panjang. Satu harapan dalam hatinya, ia hanya ingin anak dalam kandungannya tetap aman dan selamat di tengah badai yang sedang menerpa hidupnya.“Tolong kuat, Nak … Mama janji akan terus berjuang,” bisiknya, suaranya bergetar di tengah udara malam yang menusuk.Sesampainya di rumah, kontrakan sederhana itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram di dapur hanya memantulkan bayangan tubuhnya yang kurus. Ia duduk di kursi reyot sambil menatap kosong meja makan yang kosong. Perutnya kembali berteriak lapar, meski ia mencoba mengabaikannya.Ia berjalan gontai ke arah tempat sampah dapur. Tangannya gemetar ketika ia meraih bungkusan makanan yang siang tadi sempat ia makan dan dibuang suaminya.Bau a

  • Gemerlap Dendam Sang Pewaris   Bab 2

    Dania duduk terpaku di sudut ruangan restoran itu sejak setengah jam lalu. Perutnya keroncongan, tetapi ia tak punya nafsu makan. Sejak siang tadi, ia belum menyentuh sesuap nasi pun. Lapar memang menggerogoti tubuhnya, tapi ada yang jauh lebih perih, hatinya yang retak berkeping-keping.Tatapannya yang kosong berubah menjadi kilatan amarah ketika matanya menangkap sosok yang selama ini ia kenal sebagai suaminya, Reno. Pria yang dulu begitu ia percayai, pria yang dahulu rela berlutut memohon restu keluarganya, kini duduk manis bersama seorang wanita lain. Seorang wanita bernama Maria, cantik, anggun, dan jelas bukan dirinya.Yang membuat darah Dania benar-benar mendidih adalah cara Reno memperlakukan wanita itu. Senyum hangat, tatapan lembut, jemari yang nyaris bersentuhan di atas meja bundar. Hal-hal kecil yang sudah lama tak pernah ia rasakan lagi. Reno yang bersamanya hanya tahu cara membentak, mencaci, bahkan mencederai harga dirinya.Langkah Dania semakin cepat. Degup jantungnya

  • Gemerlap Dendam Sang Pewaris   Bab 1

    Tamparan keras itu mendarat di pipi kanan Dania, membuat kepala wanita itu terhuyung ke samping. Bunyi tepukannya terdengar jelas di ruangan sempit itu, menyisakan panas yang menjalar di kulit pipinya. Sakitnya seperti terbakar, tapi yang jauh lebih perih adalah rasa sesak di hati. Air mata langsung menggenang di sudut matanya, namun ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. Tangannya refleks menekan perutnya yang membuncit, seolah ingin melindungi janin yang tengah ia kandung. Nafasnya berat, bibirnya bergetar.“Dasar wanita tak tahu diuntung! Bersyukur aku masih mau menampungmu di sini,” bentak Reno dengan mata menyala, nafasnya terengah akibat emosi yang memuncak.Dania hanya menunduk. Lidahnya kelu, tenggorokannya terasa kering. Semua yang dia lakukan tadi hanyalah meminta buah-buahan saja, keinginan sederhana yang muncul karena rasa ngidamnya. Tetapi di rumah ini, bahkan permintaan sekecil itu bisa menjadi alasan baginya untuk menerima kekerasan.“Aku cuma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status