LOGINDania duduk terpaku di sudut ruangan restoran itu sejak setengah jam lalu. Perutnya keroncongan, tetapi ia tak punya nafsu makan. Sejak siang tadi, ia belum menyentuh sesuap nasi pun. Lapar memang menggerogoti tubuhnya, tapi ada yang jauh lebih perih, hatinya yang retak berkeping-keping.
Tatapannya yang kosong berubah menjadi kilatan amarah ketika matanya menangkap sosok yang selama ini ia kenal sebagai suaminya, Reno. Pria yang dulu begitu ia percayai, pria yang dahulu rela berlutut memohon restu keluarganya, kini duduk manis bersama seorang wanita lain. Seorang wanita bernama Maria, cantik, anggun, dan jelas bukan dirinya. Yang membuat darah Dania benar-benar mendidih adalah cara Reno memperlakukan wanita itu. Senyum hangat, tatapan lembut, jemari yang nyaris bersentuhan di atas meja bundar. Hal-hal kecil yang sudah lama tak pernah ia rasakan lagi. Reno yang bersamanya hanya tahu cara membentak, mencaci, bahkan mencederai harga dirinya. Langkah Dania semakin cepat. Degup jantungnya berpacu dengan amarah yang membara. Ia tahu ia tak bisa lagi duduk diam menjadi penonton. “Ngapain kamu di sini?” serunya lantang. Suaranya melengking, memecah keheningan restoran yang sebelumnya hanya diisi musik pelan dan percakapan lirih antar meja. Semua kepala serentak menoleh. Tatapan kaget, penasaran, bahkan sinis, kini tertuju pada dirinya. Reno mendadak terperanjat. Wajahnya merah padam, bukan karena malu atas perbuatannya, melainkan marah karena keberanian istrinya muncul di hadapan Maria. Dengan cepat ia bangkit berdiri, tubuhnya menjulang di hadapan Dania. Tatapannya tajam, penuh kemarahan yang ditahan-tahan. “Aku yang seharusnya bertanya! Ngapain kamu di sini?” bentaknya, lalu tangannya mencengkram lengan Dania kasar, seolah ia bukan istrinya, melainkan orang asing yang hendak mengacau. “Aww… sakit, Ren!” pekik Dania. Wajahnya menahan perih, air matanya hampir tumpah. Namun Reno tak peduli. Ia justru semakin menguatkan genggamannya, menunduk ke telinga istrinya dengan suara mengancam. “Jangan buat aku malu, Dania. Pergi, atau kuseret kau keluar secara paksa dari sini.” Seisi restoran terdiam, namun hanya sejenak. Tak lama, deretan ponsel diangkat, kamera menyala, merekam setiap detik pertengkaran itu. Orang-orang tak ingin kehilangan momen ketika seorang wanita yang dikenal publik sebagai bungsu keluarga Hartono, keluarga konglomerat yang kaya raya, diperlakukan bak sampah oleh suaminya sendiri. Semua tahu, Dania sudah tak lagi menjadi bagian keluarga Hartono. Ia dicoret dari daftar pewaris sejak memilih Reno, pria yang dianggap tak sepadan. Dan kini, ironisnya, pria itu sendiri yang mempermalukan dirinya di hadapan banyak orang. “Pulang, Ren! Kenapa kamu lakukan ini padaku?” suara Dania pecah, tangisnya jatuh tanpa bisa ditahan. Reno menatapnya dingin. Lalu dengan nada penuh tekanan, ia melontarkan kalimat yang menorehkan luka paling dalam. “Kenapa aku lakukan ini padamu? Karena kau … kau bukan lagi yang kuinginkan saat ini.” Dunia Dania seakan runtuh. Ia ingin percaya itu hanya kata-kata kasar yang meluncur karena amarah, tetapi tatapan Reno berkata lain. Tatapan itu penuh keyakinan. Dania sengaja menaikkan nada suaranya, meski tangis kian deras. Ia tahu kamera-kamera ponsel masih menyorot, ia tahu wajahnya yang berantakan akan tersebar luas. Tetapi biarlah. Kalau Reno ingin mempermalukannya, maka ia pun akan memastikan semua orang tahu siapa sebenarnya Reno. Sayang, kenyataan lebih kejam dari harapannya. Reno tidak bergeming. Ia benar-benar menyeret tubuh istrinya keluar dari restoran itu, tak peduli meski Dania berteriak-teriak memohon. Maria mengikuti di belakang, dengan langkah anggun namun penuh kemenangan. Beberapa orang yang merekam bahkan berdesakan keluar, ingin mengabadikan drama sampai akhir. Di halaman depan restoran, tubuh Dania didorong Reno hingga terjatuh keras ke tanah. Rasa sakit menyergap perutnya, membuatnya meringkuk sambil memegangi bagian itu. Tubuhnya lemah, tetapi hatinya lebih lemah lagi. “Tega kamu, Ren! Kupastikan, kamu akan menyesal karena telah melakukan ini padaku!” serunya dengan suara parau. Namun Reno hanya tertawa. Tawa yang dingin, penuh penghinaan. “Apa yang membuatku menyesal? Mau minta tolong pada siapa kau setelah jatuh miskin?” Maria tertawa menyambung, suaranya melengking, seakan menampar harga diri Dania. Keduanya tampak serasi, serasi dalam menginjak-injak martabatnya. Amarah Dania mendidih. Seluruh tubuhnya bergetar menahan ledakan yang hampir pecah. Tetapi tangannya yang menggenggam erat perutnya membuatnya teringat: ia tidak boleh kalah, ia tidak boleh runtuh sepenuhnya. Langit malam tampak kelam, seakan turut bersedih menyaksikan drama itu. Jalanan di depan restoran masih ramai, lampu-lampu kendaraan melintas cepat, tetapi bagi Dania, dunia seolah berhenti. Ia teringat pada rumah besar keluarganya, yang pernah begitu hangat meski penuh aturan. Ia teringat kedua kakaknya yang menentang habis-habisan pernikahan ini. Air mata mengalir lagi. “Kenapa harus aku, Tuhan … kenapa harus begini?” bisiknya lirih. Beberapa orang yang masih merekam mulai berbisik. Ada yang berkata kasihan, ada yang menyalahkan, bahkan ada yang tertawa kecil. Dania ingin menutup telinganya, tetapi suara-suara itu menusuk masuk, merobek sisa-sisa harga dirinya. Sementara itu, Reno melingkarkan lengannya ke pinggang Maria, menuntunnya kembali masuk ke restoran. “Ayo, sayang. Biar binatang liar itu mengais nasibnya sendiri,” katanya keras, sengaja agar Dania mendengar. Tawa mereka kembali pecah, meninggalkan Dania sendirian di tanah yang dingin. Dengan susah payah, Dania bangkit. Lututnya lecet, tangannya gemetar, wajahnya basah oleh air mata. Perutnya masih nyeri, tapi ia mencoba melangkah. Setiap langkah seperti ditusuk ribuan pisau tajam, namun ia tahu ia tak boleh tergeletak lebih lama di sana. Ia berjalan gontai meninggalkan keramaian. Ponsel-ponsel masih menyorot, kilatan kamera masih berusaha menangkap gambarnya, tapi ia sudah tak peduli. Ia hanya ingin menjauh. “Reno …” bisiknya lirih, “kau akan menyesal. Aku bersumpah, kau akan menyesal.”Langit sore itu mulai berwarna keperakan, menandakan hujan sebentar lagi akan turun. Di dalam ruangan mewah bernuansa krem dan abu, tiga orang duduk berhadapan di meja bundar besar. Di tengahnya, segelas anggur merah belum tersentuh. Suara pendingin ruangan terdengar samar, menciptakan suasana yang terasa terlalu sunyi untuk sebuah pertemuan bisnis.Julian bersandar santai di kursinya, tangan kanannya memainkan sendok perak di atas meja. Sesekali, pandangannya bergeser pada Samudra yang duduk di sisi kiri Dania. Tatapan mereka bertemu, dingin, keras, penuh penilaian. Tak ada kata sapaan, hanya udara tegang yang seolah bisa dipotong dengan pisau.“Reno sudah datang padaku malam tadi,” ucap Julian tiba-tiba, nadanya datar namun mengandung sesuatu yang disembunyikan.Dania langsung menegakkan badan. “Lalu, apa yang kau tawarkan padanya?” tanyanya cepat.Julian tersenyum samar. “Orang seperti Reno tak punya pendirian. Sama halnya dengan Maria. Mereka terlalu gila akan uang. Jadi apalagi y
Maria duduk di depan layar laptopnya, jemari lentiknya mengetuk pelan meja kerja dari kayu mahoni itu. Di layar, sebuah video berdurasi beberapa menit memutar berulang, menampilkan Reno tengah menyerahkan setumpuk uang pada Yuda. Ekspresi puas di wajah Reno tampak jelas, sementara Yuda menerimanya dengan tangan bergetar. Maria menekan tombol pause, lalu tersenyum kecil, senyum yang dingin dan beracun. Tangannya memutar kursi perlahan menghadap ke jendela besar di belakangnya. Langit sore mulai temaram, dan sinar jingga menyapu wajahnya yang pucat. “Orang-orang bodoh,” gumamnya lirih, matanya menatap pantulan dirinya di kaca. “Kau pikir, uang bisa membeli segalanya, Reno? Termasuk kebodohan orang yang kau sogok? Sayang sekali, justru dari situlah kau akan jatuh.” Ia membuka laci meja, mengambil sebatang rokok, menyalakannya perlahan, lalu menghembuskan asapnya dengan santai. “Mau saja kau bekerja sama dengan Reno,” katanya lagi dengan nada rendah namun penuh taring. “Uang tak sebera
Julian mengejutkan Maria dengan sentuhan halus di pipi, jari-jarinya dingin namun gerakannya begitu lembut seolah ingin menempelkan kenyataan yang harus sudah Maria pegang. “Masih mau berpikir? Aku bisa lempar tawaran ini ke asisten pribadiku,” ucap Julian datar, nadanya tipis seperti bilah kaca yang menggores keheningan. Maria menutup matanya sejenak, merasakan tekanan yang berat di dadanya, tawaran itu kepemilikan hak atas seluruh aset Julian jika Maria mau memegang kendali dua bulan, bukan sekadar uang atau jabatan, itu adalah kunci untuk membuka pintu yang selama ini tertutup rapat pada dunianya. Ia mengerutkan kening. "Jika kamu menolak tawarannya, aku akan mengangkat asisten pribadiku untuk mengurus seluruh kekayaanku."Kening Maria seketika berkerut. “Kenapa begitu?” tanyanya, berusaha menahan agar nada suaranya tidak memperlihatkan kebingungan sebenarnya.Julian menghela napas panjang, matanya menatap langit-langit seolah sedang menghitung kepingan waktu yang tersisa. “Ras
Davin masih tampak celingukan, matanya berpindah dari Dania ke Axel beberapa kali. Bukan karena ia tidak cerdas, hanya saja otaknya selalu butuh waktu lebih lama untuk menangkap maksud dari percakapan yang rumit. Ia menggaruk kepala, wajahnya bingung.“Jadi intinya apa, sih?” tanyanya akhirnya, membuat Axel yang tadinya sudah tersenyum lebar kini terdiam.Dania tak bisa menahan tawa kecilnya. “Intinya,” ujarnya pelan, “kita tidak perlu mengotori tangan kita untuk membalas dendam. Kita tetap bisa balas tanpa terlihat terlibat langsung. Dan yang paling penting, kita akan tetap berada di lingkaran aman.”Axel menghela napas lega, seolah beban besar baru saja lepas dari dadanya. “Akhirnya kau mulai berpikir seperti dulu lagi,” katanya sambil menatap adik bungsunya itu dengan bangga. “Aku senang kau bisa seperti ini, Dania.”Dania tersenyum, lembut tapi dalam. Ia meraih tangan Axel dan menggenggamnya erat. “Aku juga senang bisa kumpul lagi sama kalian. Sudah lama rasanya aku tidak merasa s
Julian menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Reno dengan pandangan tenang tapi menusuk.“Berapa uang yang kau inginkan dariku?” tanyanya datar, namun cukup membuat wajah Reno berseri seketika.Reno mencondongkan tubuhnya, bibirnya menyeringai. “Kenapa ada tawaran semudah ini? Buat aku senang saja sudah cukup,” ucapnya, tawa kecil lolos dari mulutnya. Dari cara bicara itu saja, Julian sudah bisa menilai, pria di depannya tidak begitu cerdas, tapi cukup nekat untuk dimanfaatkan.Julian menghela napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Simpan nomor teleponku,” katanya pelan tapi tegas. “Nanti, setelah kau melangkah lebih jauh, baru tentukan berapa yang kau mau.”Reno menatap ponsel itu dengan mata berbinar, lalu mengambilnya cepat seolah takut tawaran itu berubah pikiran. “Baiklah, tawaran yang cukup menarik,,” katanya, mencoba sopan tapi tetap dengan nada licik yang kentara. “Lalu ... mulai dari mana dulu, nih?”Julian menatap kosong ke arah taman yang terlihat dari balik kaca be
Pedagang nasi goreng itu mengangguk dengan senyuman hangat, seolah ikut merasakan kebahagiaan yang kini terpancar dari wajah Dania. Asap dari wajan masih menari di udara, bercampur dengan aroma kecap manis dan sambal yang mulai menggoda indera penciuman. “Terima kasih ya, Pak. Nasi gorengnya masih seenak dulu,” ucap Dania sembari menatap piringnya yang sudah hampir kosong. “Kalau Neng yang bilang enak, saya senang sekali. Sudah lama gak datang ke sini. Ehh sekalinya datang, buat saya terkejut.” Samudra hanya menatap diam, sesekali memperhatikan ekspresi Dania yang tampak begitu hidup malam itu. Ketika pedagang itu berlalu, Dania menyeka bibirnya pelan, lalu menatap Samudra. “Kenapa raut wajahnya masih seperti itu? Masih marah?" Samudra mendengus. “Aku tidak marah. Aku cuma … tidak suka orang bicara tentang masa lalumu seolah mereka tahu segalanya.” Dania tersenyum samar. “Itu masa lalu, Sam. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya menangis karena lapar.” Samudra menatapn







