LOGINDania pulang ke rumah kontrakannya dengan langkah tertatih. Matanya sembab, sudah terlalu lama menangis hingga air matanya kini kering. Wajahnya pucat pasi, sementara kedua tangannya tak pernah lepas dari perutnya yang mulai membesar.
Perjalanan menuju kontrakan kecil itu terasa begitu panjang. Satu harapan dalam hatinya, ia hanya ingin anak dalam kandungannya tetap aman dan selamat di tengah badai yang sedang menerpa hidupnya. “Tolong kuat, Nak … Mama janji akan terus berjuang,” bisiknya, suaranya bergetar di tengah udara malam yang menusuk. Sesampainya di rumah, kontrakan sederhana itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram di dapur hanya memantulkan bayangan tubuhnya yang kurus. Ia duduk di kursi reyot sambil menatap kosong meja makan yang kosong. Perutnya kembali berteriak lapar, meski ia mencoba mengabaikannya. Ia berjalan gontai ke arah tempat sampah dapur. Tangannya gemetar ketika ia meraih bungkusan makanan yang siang tadi sempat ia makan dan dibuang suaminya. Bau anyir mulai tercium, membuat Dania mual, namun ia tak punya pilihan. Ia membuka bungkus itu, menghela nafas panjang, lalu memutuskan untuk memakan sisa makanan tersebut. “Maaf ya, Nak. Mama hanya bisa kasih makan kamu seadanya,” ucapnya dengan suara lirih. Air mata yang tadi sudah kering kini pecah kembali. Seumur hidup, inilah pertama kalinya Dania memakan makanan yang sudah tak layak, bahkan sudah dikerubungi lalat di tong sampah. **** Keesokan harinya, video saat Reno membela habis-habisan selingkuhannya mendadak viral di media sosial. Semua orang membicarakannya. Ketika Davin dan Axel baru saja sampai di kantor pagi itu, berita itu menyebar dengan cepat. Namun tak seorang pun berani menghadap langsung pada Axel atau Davin untuk menyampaikan kabar itu. Meski begitu, mereka tetap mengetahuinya. Davin, yang lebih emosional, langsung murka. Ia merasa darahnya mendidih begitu mengetahui adiknya diperlakukan sekejam itu. “Aku harus balas perlakuannya sekarang juga!” gumam Davin dengan nada tajam. Tangannya mengepal kuat, matanya penuh api amarah. Namun Axel yang duduk di sampingnya segera mengangkat tangan sebagai isyarat agar adiknya menahan diri. Tatapan Axel tetap dingin dan tenang. “Kenapa kau terus halangi aku?! Tak kasihan kah kau pada Dania?!” Davin membentak, napasnya memburu. Axel hanya tersenyum miring, meski di balik senyum itu ada luka yang tak kalah dalam. “Semua ada waktunya, Davin. Jangan bertindak bodoh di hadapan gembel itu,” jawabnya dingin. Belum sempat Davin kembali menimpali, pintu ruangan terbuka. Seorang pria berpakaian rapi melangkah masuk dengan penuh wibawa. Wajahnya tampan, namun sorot matanya dingin dan tajam. Dia adalah Samudra, sosok yang selalu peduli dengan kehidupan Dania. Kehadirannya membuat ruangan itu seakan menegang seketika. Axel dan Davin segera bangkit dari kursi mereka, memberi penghormatan kecil secara tak langsung. “Sudah lihat video itu?” tanya Samudra dengan suara datar. “Tentu saja,” jawab Axel singkat. “Apa yang akan kau lakukan untuk Dania?” lanjut Davin bertanya. Samudra tersenyum miring, seolah menikmati gejolak yang sedang melanda keduanya. “Akan kunaikan jabatannya supaya lebih tinggi di dunia bisnis.” Axel dan Davin saling berpandangan, kening mereka berkerut bingung. Ada tanda tanya besar yang menggantung di kepala keduanya. “Siapa yang kau maksud akan naik jabatan?” tanya Axel, akhirnya membuka suara. Samudra membenahi dasinya, lalu dengan santai duduk di salah satu kursi. Ia menyilangkan kaki, tubuhnya bersandar santai namun penuh wibawa. “Tentu saja Reno. Dia ternyata bekerja di salah satu perusahaan cabang Angkara Mitra Group. Dan tentu saja dia tak kenal padaku. Itu poin pentingnya,” jawabnya tenang. Davin spontan melotot, “Apa kau sudah gila? Dia sudah mempermalukan Dania! Dan kau malah ….” Samudra mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Davin. “Kalian harus belajar melihat lebih jauh. Akan kubuat dia melayang tinggi dengan jabatan baru itu. Semakin dia melambung, semakin besar pula tekanan yang akan menghantamnya. Dan ketika itu terjadi, Dania akan semakin tak kuat dengan posisinya. Pada akhirnya, dia akan kembali … ke rumah kalian.” Kalimat itu membuat Axel mengangguk perlahan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ia memahami strategi besar yang dimainkan Samudra. Sementara itu, Davin masih menahan amarah, meski perlahan ia pun menyadari ada logika di balik langkah itu. Membiarkan Reno naik, berarti membiarkannya jatuh dari ketinggian suatu saat nanti. Dan di saat itulah, mereka akan berada di sisi Dania untuk menopangnya kembali. Ruangan itu dipenuhi keheningan. Hanya ada suara detak jam yang terasa begitu jelas. Axel dan Davin menatap Samudra dengan perasaan campur aduk, antara bangga sekaligus kagum. **** Pagi itu, seperti biasa, Dania mengawali harinya bukan dengan sesuatu yang menenangkan, melainkan dengan amarah Reno yang meledak-ledak. Lelaki itu berjalan mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya kusut, sementara Dania yang masih pucat berusaha menyiapkan sarapan sederhana. Aroma nasi hangat dan sayur bening semestinya cukup menenangkan, namun tidak untuk Reno yang selalu merasa tidak puas. “Kenapa cuma ini yang kau masak? Aku ingin sarapan roti dengan susu, bukannya makanan kampung begini!” bentaknya lantang, membuat tubuh Dania sedikit gemetar. Dania menunduk, mencoba bersuara tenang. “Maaf, Ren. Aku tidak punya uang lebih untuk membeli semua yang kau inginkan. Lagi pula, makanan ini sehat untukmu.” Namun ucapan itu justru menyulut bara di dalam dada Reno. Ia melangkah cepat, lalu dengan kasar menjambak rambut istrinya. Rambut hitam Dania terulur kasar di genggamannya, membuat wanita itu meringis kesakitan. “Lepas, Ren … sakit …,” lirih Dania, tangannya berusaha melepaskan cengkraman itu. Namun Reno jauh lebih kuat, sementara tubuh Dania semakin rapuh karena kelelahan dan kandungan yang kian besar. Tatapan Reno penuh amarah, nafasnya memburu. “Aku sudah muak dengan dirimu, Dania. Tapi … masih kubutuhkan namamu supaya aku bisa sukses di dunia bisnis.” Ucapan itu menusuk hati Dania lebih dalam daripada cengkeraman kasar di rambutnya. Air matanya kembali luruh. “Jahat kamu, Ren! Setelah semuanya kukorbankan untukmu, ini yang kudapat?” suaranya pecah, serak, penuh luka. Reno mendengus, menolak rasa bersalah sedikit pun. Justru kalimat itu membuat amarahnya semakin meluap. Tangannya hampir terangkat hendak menampar, ketika tiba-tiba ponselnya berdering nyaring di meja ruang tamu. Reno melepaskan rambut Dania dengan kasar, mendorong tubuh wanita itu hingga terhuyung ke lantai. Dengan gerakan tergesa, Reno meraih ponsel itu. Wajahnya yang tadinya garang seketika berubah, matanya berbinar saat mendengar suara di seberang. “Ya, saya segera ke kantor!” jawabnya cepat, nada suaranya kini penuh antusias. Reno menutup telepon itu, lalu menoleh sekilas pada Dania yang masih terduduk di lantai sambil memegangi perutnya. Senyum puas tersungging di bibirnya. “Hari ini adalah hari besar bagiku. Aku akan dilantik, naik jabatan! Kau dengar itu, Dania? Aku berhasil!” Tanpa menunggu jawaban, Reno meraih jasnya dan melangkah keluar rumah dengan langkah penuh kebanggaan. Pintu kontrakan dibanting keras hingga meninggalkan gema panjang. Keheningan menyelimuti ruangan. Dania masih terduduk di lantai, tubuhnya lemas. Tangannya mengusap perutnya perlahan, seolah menenangkan bayi dalam kandungannya. “Sabar ya, Nak … sabar. Semua ini pasti akan berlalu,” ucapnya lirih. Saat ia mencoba bangkit, suara deru mesin mobil terdengar di luar kontrakan. Dania menoleh heran. Dari jendela kecil, ia melihat sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan rumahnya.Langit sore itu mulai berwarna keperakan, menandakan hujan sebentar lagi akan turun. Di dalam ruangan mewah bernuansa krem dan abu, tiga orang duduk berhadapan di meja bundar besar. Di tengahnya, segelas anggur merah belum tersentuh. Suara pendingin ruangan terdengar samar, menciptakan suasana yang terasa terlalu sunyi untuk sebuah pertemuan bisnis.Julian bersandar santai di kursinya, tangan kanannya memainkan sendok perak di atas meja. Sesekali, pandangannya bergeser pada Samudra yang duduk di sisi kiri Dania. Tatapan mereka bertemu, dingin, keras, penuh penilaian. Tak ada kata sapaan, hanya udara tegang yang seolah bisa dipotong dengan pisau.“Reno sudah datang padaku malam tadi,” ucap Julian tiba-tiba, nadanya datar namun mengandung sesuatu yang disembunyikan.Dania langsung menegakkan badan. “Lalu, apa yang kau tawarkan padanya?” tanyanya cepat.Julian tersenyum samar. “Orang seperti Reno tak punya pendirian. Sama halnya dengan Maria. Mereka terlalu gila akan uang. Jadi apalagi y
Maria duduk di depan layar laptopnya, jemari lentiknya mengetuk pelan meja kerja dari kayu mahoni itu. Di layar, sebuah video berdurasi beberapa menit memutar berulang, menampilkan Reno tengah menyerahkan setumpuk uang pada Yuda. Ekspresi puas di wajah Reno tampak jelas, sementara Yuda menerimanya dengan tangan bergetar. Maria menekan tombol pause, lalu tersenyum kecil, senyum yang dingin dan beracun. Tangannya memutar kursi perlahan menghadap ke jendela besar di belakangnya. Langit sore mulai temaram, dan sinar jingga menyapu wajahnya yang pucat. “Orang-orang bodoh,” gumamnya lirih, matanya menatap pantulan dirinya di kaca. “Kau pikir, uang bisa membeli segalanya, Reno? Termasuk kebodohan orang yang kau sogok? Sayang sekali, justru dari situlah kau akan jatuh.” Ia membuka laci meja, mengambil sebatang rokok, menyalakannya perlahan, lalu menghembuskan asapnya dengan santai. “Mau saja kau bekerja sama dengan Reno,” katanya lagi dengan nada rendah namun penuh taring. “Uang tak sebera
Julian mengejutkan Maria dengan sentuhan halus di pipi, jari-jarinya dingin namun gerakannya begitu lembut seolah ingin menempelkan kenyataan yang harus sudah Maria pegang. “Masih mau berpikir? Aku bisa lempar tawaran ini ke asisten pribadiku,” ucap Julian datar, nadanya tipis seperti bilah kaca yang menggores keheningan. Maria menutup matanya sejenak, merasakan tekanan yang berat di dadanya, tawaran itu kepemilikan hak atas seluruh aset Julian jika Maria mau memegang kendali dua bulan, bukan sekadar uang atau jabatan, itu adalah kunci untuk membuka pintu yang selama ini tertutup rapat pada dunianya. Ia mengerutkan kening. "Jika kamu menolak tawarannya, aku akan mengangkat asisten pribadiku untuk mengurus seluruh kekayaanku."Kening Maria seketika berkerut. “Kenapa begitu?” tanyanya, berusaha menahan agar nada suaranya tidak memperlihatkan kebingungan sebenarnya.Julian menghela napas panjang, matanya menatap langit-langit seolah sedang menghitung kepingan waktu yang tersisa. “Ras
Davin masih tampak celingukan, matanya berpindah dari Dania ke Axel beberapa kali. Bukan karena ia tidak cerdas, hanya saja otaknya selalu butuh waktu lebih lama untuk menangkap maksud dari percakapan yang rumit. Ia menggaruk kepala, wajahnya bingung.“Jadi intinya apa, sih?” tanyanya akhirnya, membuat Axel yang tadinya sudah tersenyum lebar kini terdiam.Dania tak bisa menahan tawa kecilnya. “Intinya,” ujarnya pelan, “kita tidak perlu mengotori tangan kita untuk membalas dendam. Kita tetap bisa balas tanpa terlihat terlibat langsung. Dan yang paling penting, kita akan tetap berada di lingkaran aman.”Axel menghela napas lega, seolah beban besar baru saja lepas dari dadanya. “Akhirnya kau mulai berpikir seperti dulu lagi,” katanya sambil menatap adik bungsunya itu dengan bangga. “Aku senang kau bisa seperti ini, Dania.”Dania tersenyum, lembut tapi dalam. Ia meraih tangan Axel dan menggenggamnya erat. “Aku juga senang bisa kumpul lagi sama kalian. Sudah lama rasanya aku tidak merasa s
Julian menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Reno dengan pandangan tenang tapi menusuk.“Berapa uang yang kau inginkan dariku?” tanyanya datar, namun cukup membuat wajah Reno berseri seketika.Reno mencondongkan tubuhnya, bibirnya menyeringai. “Kenapa ada tawaran semudah ini? Buat aku senang saja sudah cukup,” ucapnya, tawa kecil lolos dari mulutnya. Dari cara bicara itu saja, Julian sudah bisa menilai, pria di depannya tidak begitu cerdas, tapi cukup nekat untuk dimanfaatkan.Julian menghela napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Simpan nomor teleponku,” katanya pelan tapi tegas. “Nanti, setelah kau melangkah lebih jauh, baru tentukan berapa yang kau mau.”Reno menatap ponsel itu dengan mata berbinar, lalu mengambilnya cepat seolah takut tawaran itu berubah pikiran. “Baiklah, tawaran yang cukup menarik,,” katanya, mencoba sopan tapi tetap dengan nada licik yang kentara. “Lalu ... mulai dari mana dulu, nih?”Julian menatap kosong ke arah taman yang terlihat dari balik kaca be
Pedagang nasi goreng itu mengangguk dengan senyuman hangat, seolah ikut merasakan kebahagiaan yang kini terpancar dari wajah Dania. Asap dari wajan masih menari di udara, bercampur dengan aroma kecap manis dan sambal yang mulai menggoda indera penciuman. “Terima kasih ya, Pak. Nasi gorengnya masih seenak dulu,” ucap Dania sembari menatap piringnya yang sudah hampir kosong. “Kalau Neng yang bilang enak, saya senang sekali. Sudah lama gak datang ke sini. Ehh sekalinya datang, buat saya terkejut.” Samudra hanya menatap diam, sesekali memperhatikan ekspresi Dania yang tampak begitu hidup malam itu. Ketika pedagang itu berlalu, Dania menyeka bibirnya pelan, lalu menatap Samudra. “Kenapa raut wajahnya masih seperti itu? Masih marah?" Samudra mendengus. “Aku tidak marah. Aku cuma … tidak suka orang bicara tentang masa lalumu seolah mereka tahu segalanya.” Dania tersenyum samar. “Itu masa lalu, Sam. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya menangis karena lapar.” Samudra menatapn







