Seorang pria berpakaian rapi turun dari mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumah sederhana itu. Jas hitam yang ia kenakan tampak pas membalut tubuh tegapnya, sepatu kulitnya berkilat, dan wajahnya dihiasi senyum ramah. Tatapannya berwibawa, namun tetap mengundang rasa percaya.
Dania, yang baru saja keluar rumah karena penasaran dengan suara mobil mewah itu, tertegun sejenak. Rumah sederhananya nyaris tak pernah disinggahi tamu, apalagi tamu berpenampilan sekelas pria ini. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat. “Nona Dania?” sapa pria itu sopan, membungkukkan sedikit tubuhnya. Dania mengangguk ragu. “Ya, dengan saya sendiri.” “Saya datang untuk menjemput Non Dania. Ada undangan sarapan dari seseorang.” Alis Dania berkerut. “Dari siapa, Pak?” Pria itu hanya tersenyum, tidak menjawab dengan jelas. “Nanti, Non Dania akan tahu.” Dania terdiam. Hatinya menimbang-nimbang. Sempat muncul rasa takut, tetapi keanggunan sikap pria itu menepis sebagian kegelisahannya. Ia berpikir, mungkinkah kedua kakaknya yang mengundang? Axel atau Davin. Meski hubungannya renggang dengan mereka, kemungkinan itu membuat hatinya sedikit hangat. Akhirnya Dania menurut. Ia menaiki mobil mewah itu, merasa tubuhnya seakan ditarik kembali pada kehidupan yang dulu sempat ia rasakan, nyaman, aman, dan penuh kemewahan. Sepanjang perjalanan, ia duduk tenang sambil memandang keluar jendela. Kota terasa berbeda dari balik kaca mobil itu, lebih indah, lebih lapang walaupun kemacetan selalu menjadi pemandangan setiap kali Dania berkeliling dengan mobil mewahnya dulu. Tanpa terasa, mobil berhenti di halaman sebuah restoran mewah. Bangunan tinggi itu tampak elegan dengan kaca-kaca besar yang berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Jantung Dania berdegup lebih cepat. Dengan sopan, pria itu membukakan pintu. “Silahkan, Nona.” Dania melangkah turun, menahan rasa kagum yang tumbuh di dadanya. Aroma kopi dan roti panggang tercium samar dari dalam restoran. Pria pengantar itu mengawalnya masuk, menyusuri lorong yang tenang hingga mereka berhenti di depan sebuah pintu ruangan VIP. “Ini … ruangan makannya?” tanya Dania memastikan. “Tentu saja, Nona. Tuan sudah menunggu di dalam.” Dania menahan napas. Axel dan Davin memang selalu langganan sarapan di tempat mewah seperti ini, menambah keyakinan dalam hatinya bahwa yang menunggunya di dalam sana ialah kedua kakaknya. Di dalam, seorang pria tampak duduk membelakangi pintu. Postur tubuhnya tegap, rambutnya rapi di bagian belakang namun sedikit acak di bagian depan. Dari punggungnya saja, Dania yakin itu Axel. Senyum mulai merekah di bibirnya. Namun, saat pria itu beranjak berdiri dan berbalik, senyum Dania langsung lenyap. “Samudra …?” gumamnya tak percaya. Pria itu tersenyum tipis, matanya tajam namun hangat. “Selamat pagi, Nona manis. Duduklah.” Ia menarik salah satu kursi untuk Dania. Dengan ragu, Dania menuruti. “Aku ….” ia hendak bicara, tapi Samudra mengangkat tangannya. “Jangan dulu. Kamu dan calon anakmu pasti lapar. Makanlah dulu. Semua makanan ini sudah kupesan untukmu.” Dania menunduk, jantungnya tak karuan. Namun aroma makanan yang memenuhi ruangan membuat perutnya meronta. Ia menatap meja, ada sup hangat, roti lembut, hingga daging panggang. Semua tampak lezat, berbeda jauh dari lauk seadanya yang biasa ia makan di rumah. Pelan-pelan, Dania mulai menikmati suapan pertamanya. Rasa hangat menjalar ke tubuhnya, seakan menenangkan jiwanya yang lelah karena menangis semalaman. Di sisi lain, Samudra hanya menatapnya dengan senyum tipis. “Kenapa tidak makan?” tanya Dania setelah beberapa suap. “Sudah kenyang. Kamu habiskan saja kalau mau.” Dania mengangguk, tak melanjutkan pertanyaan. Baginya, kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan. Ia makan dengan lahap, mencoba tak banyak bertanya pada pria yang sempat ia tolak cintanya sebelum pernikahannya dan Reno terjadi. Namun, tak lama setelah itu Samudra angkat bicara. “Kapan kamu akan kembali pada Axel dan Davin?” Dania sontak berhenti menyuap. Pandangannya membeku. “Kenapa bertanya seperti itu?” suaranya pelan, nyaris tak terdengar. “Jangan egois, Dania. Mau sampai kapan kamu mempertahankan pernikahanmu hanya karena kamu sedang hamil? Justru karena kamu hamil, kamu harus hidup bahagia. Kau berhak berkecukupan, bukan menderita seperti sekarang.” Kata-kata itu menusuk hati Dania. Ia meneguk air, menelan salivanya dengan susah payah. Ada yang ingin ia bantah, tapi bibirnya kaku. Ia tak ingin perasaan campur aduknya semakin kacau. Akhirnya, ia bangkit. “Terima kasih untuk makanannya. Aku harus segera pulang.” Samudra hanya menatapnya, tidak berniat menahan. Tatapannya dingin, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik matanya, tekad yang tak akan pernah pudar walaupun Dania terus menghindar. **** Saat Dania sampai di rumah, suasana jauh berbeda dari kehangatan restoran tadi. Rumah sederhana itu penuh dengan aroma alkohol dan asap rokok. Reno sudah ada di sana, dengan langkah gontai dan mata merah. Yang lebih mengejutkan, Maria ada bersamanya. Tanpa malu, mereka bercumbu di ruang tengah, tepat di hadapan Dania. “Reno!” suara Dania tercekat, matanya panas oleh rasa marah dan sakit hati. Reno hanya melirik malas. “Kau diam saja, Dania. Aku sedang bersenang-senang.” Maria tersenyum sinis, menatap Dania dengan tatapan puas. “Reno dan aku sedang merayakan jabatan barunya. Kami hanya bertingkah … sedikit panas karena alkohol yang baru saja kami nikmati.” “Dasar perempuan tak tahu malu!” Dania bergetar, menahan air matanya. Maria tertawa. “Kalau aku tak tahu malu, kau yang terlalu bodoh bertahan dengannya.” Perdebatan pun pecah. Kata-kata tajam meluncur, menyayat hati. Reno yang mabuk tak tahan mendengar suara Dania meninggi. Tangannya melayang, menampar wajah istrinya keras-keras. “Diam kau, Dania! Jangan kurang ajar!” Dania terjatuh, perih merambat di pipinya. Maria hanya berdiri sambil tersenyum puas. Setelah puas melihat penderitaan Dania, Maria akhirnya pamit. “Aku pulang dulu, Ren. Sampai jumpa nanti malam.” Reno terhuyung lalu duduk di kursi ruang tengah, kepalanya berat, napasnya terengah. Tak lama, ia terlelap di sana, tak berdaya. Dania menatapnya dari ambang pintu kamar. Kali ini, ia memilih tak peduli. Luka di wajahnya masih perih, hatinya robek, namun ucapan Samudra kini bergema di kepalanya. Benar. Ia terlalu egois, terlalu cinta dan terlalu membiarkan dirinya terjebak dalam penderitaan. Dengan langkah berat, Dania masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, menatap perutnya yang mulai membesar. Air mata menetes, bercampur dengan rasa takut dan rindu pada dunia yang dulu selalu berpihak baik padanya. Malam semakin larut. Reno masih terlelap di kursi panjang dengan suara dengkuran halus. Kesempatan itu akhirnya dimanfaatkan Dania. Perlahan, ia mengemasi beberapa helai pakaian ke dalam tas kecil. Tangannya gemetar, tapi tekadnya bulat. Dengan uang recehan yang ia simpan, ia akan pergi malam itu juga. Dania melangkah pelan melewati ruang tengah. Sesaat setelah berhasil keluar dari rumah itu, ia berjalan sedikit cepat. Hanya satu tujuan dalam kepalanya, kembali pada Axel dan Davin, walaupun entah mereka akan menerimanya dengan baik seperti dulu lagi atau tidak. “Selamat tinggal, Reno. Kita selesai sampai di sini,” gumam Dania. Raut wajahnya terlihat dingin, penuh tekad.Setelah kepergian Dania, kehidupan Reno berubah drastis. Bukan berubah menjadu lebih baik, melainkan semakin terjerumus dalam kesombongan yang tak terkendali. Rumah kontrakan sederhana yang dulu ia tinggali bersama Dania kini sudah ia tinggalkan. Barang-barang lamanya pun tak lagi ia pedulikan, sebagian ia jual, sebagian lagi ia tinggalkan begitu saja. Reno merasa kehidupannya sudah naik kelas. Ia kini tinggal di sebuah apartemen mewah di pusat kota, dengan pemandangan indah pusat kota yang bisa ia lihat dari atas. Pagi itu, Reno melangkah dengan penuh percaya diri menuju gedung perusahaan tempat ia bekerja. Setelan jas hitamnya tampak mengilap, dasinya berwarna merah menyala, dan sepatunya mengkilap. Sesekali ia membalas sapaan karyawan dengan mengangkat sebelah tangan.Di dalam hatinya, Reno merasa dunia kini berada dalam genggamannya. Jabatan baru yang ia peroleh setelah beberapa bulan bekerja membuatnya semakin congkak. Ia yakin, semua orang di perusahaan itu harus menaruh ho
Langkah Dania berhenti di depan gerbang besi besar yang menjulang tinggi, menghalangi pandangan langsung ke arah rumah megah di dalamnya. Gerbang itu berdiri kokoh, dicat hitam mengkilap, dengan ukiran-ukiran klasik yang menambah kesan mewahnya. Dari balik sela-sela, Dania bisa melihat sekilas betapa mewahnya rumah yang berdiri cukup jauh dari gerbang. Pandangannya langsung tertuju pada balkon kamar di lantai dua. Balkon indah yang dulu bisa ia nikmati pemandangannya di setiap pagi.Napasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang, seakan hendak meledak keluar. Malam itu udara dingin menusuk, tapi telapak tangannya justru berkeringat dingin. Ia berdiri lama, memeluk perutnya yang mulai membesar, matanya menelisik dari balik gerbang. Ada harapan yang tumbuh di sana, harapannya untuk melihat dua wajah yang paling ia rindukan, kedua kakaknya, Axel dan Davin.Namun sebelum sempat melangkah lebih jauh, salah satu satpam yang berjaga di pos dekat gerbang menoleh. Pria paruh baya itu tampak
Seorang pria berpakaian rapi turun dari mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumah sederhana itu. Jas hitam yang ia kenakan tampak pas membalut tubuh tegapnya, sepatu kulitnya berkilat, dan wajahnya dihiasi senyum ramah. Tatapannya berwibawa, namun tetap mengundang rasa percaya.Dania, yang baru saja keluar rumah karena penasaran dengan suara mobil mewah itu, tertegun sejenak. Rumah sederhananya nyaris tak pernah disinggahi tamu, apalagi tamu berpenampilan sekelas pria ini. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat.“Nona Dania?” sapa pria itu sopan, membungkukkan sedikit tubuhnya.Dania mengangguk ragu. “Ya, dengan saya sendiri.”“Saya datang untuk menjemput Non Dania. Ada undangan sarapan dari seseorang.”Alis Dania berkerut. “Dari siapa, Pak?”Pria itu hanya tersenyum, tidak menjawab dengan jelas. “Nanti, Non Dania akan tahu.”Dania terdiam. Hatinya menimbang-nimbang. Sempat muncul rasa takut, tetapi keanggunan sikap pria itu menepis sebagian kegelisahannya. Ia berpikir, mungk
Dania pulang ke rumah kontrakannya dengan langkah tertatih. Matanya sembab, sudah terlalu lama menangis hingga air matanya kini kering. Wajahnya pucat pasi, sementara kedua tangannya tak pernah lepas dari perutnya yang mulai membesar. Perjalanan menuju kontrakan kecil itu terasa begitu panjang. Satu harapan dalam hatinya, ia hanya ingin anak dalam kandungannya tetap aman dan selamat di tengah badai yang sedang menerpa hidupnya.“Tolong kuat, Nak … Mama janji akan terus berjuang,” bisiknya, suaranya bergetar di tengah udara malam yang menusuk.Sesampainya di rumah, kontrakan sederhana itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram di dapur hanya memantulkan bayangan tubuhnya yang kurus. Ia duduk di kursi reyot sambil menatap kosong meja makan yang kosong. Perutnya kembali berteriak lapar, meski ia mencoba mengabaikannya.Ia berjalan gontai ke arah tempat sampah dapur. Tangannya gemetar ketika ia meraih bungkusan makanan yang siang tadi sempat ia makan dan dibuang suaminya.Bau a
Dania duduk terpaku di sudut ruangan restoran itu sejak setengah jam lalu. Perutnya keroncongan, tetapi ia tak punya nafsu makan. Sejak siang tadi, ia belum menyentuh sesuap nasi pun. Lapar memang menggerogoti tubuhnya, tapi ada yang jauh lebih perih, hatinya yang retak berkeping-keping.Tatapannya yang kosong berubah menjadi kilatan amarah ketika matanya menangkap sosok yang selama ini ia kenal sebagai suaminya, Reno. Pria yang dulu begitu ia percayai, pria yang dahulu rela berlutut memohon restu keluarganya, kini duduk manis bersama seorang wanita lain. Seorang wanita bernama Maria, cantik, anggun, dan jelas bukan dirinya.Yang membuat darah Dania benar-benar mendidih adalah cara Reno memperlakukan wanita itu. Senyum hangat, tatapan lembut, jemari yang nyaris bersentuhan di atas meja bundar. Hal-hal kecil yang sudah lama tak pernah ia rasakan lagi. Reno yang bersamanya hanya tahu cara membentak, mencaci, bahkan mencederai harga dirinya.Langkah Dania semakin cepat. Degup jantungnya
Tamparan keras itu mendarat di pipi kanan Dania, membuat kepala wanita itu terhuyung ke samping. Bunyi tepukannya terdengar jelas di ruangan sempit itu, menyisakan panas yang menjalar di kulit pipinya. Sakitnya seperti terbakar, tapi yang jauh lebih perih adalah rasa sesak di hati. Air mata langsung menggenang di sudut matanya, namun ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. Tangannya refleks menekan perutnya yang membuncit, seolah ingin melindungi janin yang tengah ia kandung. Nafasnya berat, bibirnya bergetar.“Dasar wanita tak tahu diuntung! Bersyukur aku masih mau menampungmu di sini,” bentak Reno dengan mata menyala, nafasnya terengah akibat emosi yang memuncak.Dania hanya menunduk. Lidahnya kelu, tenggorokannya terasa kering. Semua yang dia lakukan tadi hanyalah meminta buah-buahan saja, keinginan sederhana yang muncul karena rasa ngidamnya. Tetapi di rumah ini, bahkan permintaan sekecil itu bisa menjadi alasan baginya untuk menerima kekerasan.“Aku cuma