Share

Bab 5. pelampiasan

Mobil Faris berhenti di depan pagar rumah mewah yang menjulang tinggi, membuat siapapun yang melihatnya akan terpukau dengan kemewahannya. Nayyara memperhatikan dengan seksama seakan-akan dia baru melihat rumah sebegitu mewahnya.

“Ini rumah Kak Faris?” tanya Nayyara dengan wajah polosnya.

“Iya ini rumah aku, tidak lucu dong aku mengundang kamu makan malam dengan menumpang di rumah orang lain,” jawab Faris tersenyum geli melihat wajah lucu Nayyara.

"Yaudah, yuk, masuk." Nayyara mengikuti Faris memasuki rumah mewah tersebut, di dalam sana Nayyara disambut oleh Delia dan juga Frans yang sudah menunggu di meja makan dengan tersenyum ramah ke arah Nayyara.

“Malam, Om, Tante,” sapa Nayyara ramah sembari mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan sopan.

“Malam, Sayang. Ayo silahkan duduk Tante tidak tahu makanan kesukaan kamu apa. Jadi, Tante persiapkan saja segala jenis makanan yang mungkin salah satunya ada yang kamu sukai,” ujar Delia mempersilahkan Nayyara untuk duduk.

"Terima kasih, Tante," ucap Nayyara sedikit tidak enak karena sudah merepotkan. Nayyara pun duduk pada salah satu kursi yang berada di sana.

Nayyara terdiam melihat berbagai makanan yang tertata rapi di atas meja. Dia hanya dapat menelan ludah melihat makanan mewah yang jarang sekali ditemuinya meski hidup berkecukupan.

“Jangan hanya dilihat-lihat saja, Nay. Ayo makan. Keburu habis ini makan masuk ke perut aku semua,” ucap Faris pada Nayyara yang hanya berdiam diri di sebelahnya.

“Bunda kamu tuh, ya, padahal sekarang anaknya bukan kamu saja, tapi sulit sekali meminta ijin untuk bisa mengundang kamu makan malam di rumah Tante. Jadi mau tidak mau, Tante sendiri yang memutuskan supaya Faris menjemput kamu meskipun Fania bersikeras tidak mengijinkan kamu,” ujar Dalia di sela-sela makan mereka seketika membuat perasaan Nayyara dirundung rasa khawatir.

Walaupun dalam perasaan yang tidak enak Nayyara tetap terlihat ceria di hadapan mereka semua. Senyumnya selalu menghiasi wajahnya, entah bagaimana nanti ketika Nayyara sampai di rumah karena Bundanya itu benar-benar tidak mengijinkannya untuk makan malam bersama keluarga Faris.

Selesai makan bersama, Nayyara langsung berpamitan untuk pulang karena dia begitu takut jika sampai orang rumah akan kembali merundungnya dan memarahinya.

Nayyara memasuki rumah dengan sangat hati-hati, sungguh saat ini dia seperti seorang pencuri di rumahnya sendiri. Nayyara berjalan mengendap-endap, berharap dia tidak akan bertemu dengan Bunda ataupun Ayahnya karena sudah pasti dia akan kena marah mereka.

“Dari mana saja kamu?”

Suara keras yang beberapa hari ini tidak terdengar di telinga Nayyara membuat langkahnya terhenti. Ada rasa takut dan juga gugup menyelimuti hatinya. Nayyara menengok ke arah suara dengan tatapan penuh ketakutan.

“Aku bertanya dari mana saja kamu, Anak Sialan?!” Intonasi suara itu kian meninggi membuat Nayyara semakin ketakutan bahkan untuk mengeluarkan suara saja dia sudah tidak mampu, kakinya seolah lemas seketika.

“Na ... Nayya—" Ucapannya terpotong saat Yacob tiba-tiba menarik rambut panjangnya dengan sangat kuat membuat tubuh Nayyara limbung dan terjatuh di lantai.

“Dasar anak tidak tahu diuntung, gara-gara kamu anak saya sakit. Sialan! Kamu enak-enakan makan di luar sana, sedangkan Rania menahan lapar di sini. Apa kamu lupa bahwa Rania memiliki masalah pada lambungnya?” ucap Yacob dengan tatapan penuh amarah. Dia menarik tali pinggang yang dipakainya, kemudian melayangkan cambukan ke tubuh Nayyara dengan bringasnya.

“Ampun, Ayah. Maafkan Nayya. Sungguh Nayya tidak tahu kalau Rania tinggal sendiri di rumah,” lirih Nayyara memohon ampun dengan rasa sakit dan perih yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Sementara di atas sana Rania keluar dari dalam kamarnya dan melihat pertunjukan itu dengan tersenyum puas. Tidak sia-sia usahanya meskipun rasa sakit itu memang benar-benar dirasakan. Akan tetapi, semua terobati saat melihat Ayahnya sudah dikuasai emosi karena ulah Nayyara.

Sedangkan Fania hanya diam melihat suaminya yang sudah melayangkan cambukan ke tubuh Nayyara dengan membabi buta. Ada sedikit rasa kasihan di hati kecilnya. Namun, saat mengingat penyakit Rania kambuh disebabkan Nayyara membuat dirinya seketika kembali tidur tanpa melerai suaminya.

Setelah merasa puas, Yacob pergi meninggalkan Nayyara yang terbaring lemas di lantai. Dia melenggang pergi tanpa memperdulikan ringisan putri sulungnya yang dulu sangat disayanginya itu.

Nayyara berusaha untuk duduk meskipun kesusahan. Dia menyandarkan kepalanya di atas sofa sejenak sebelum dia menuju kamarnya. Rasa sakit pada tubuhnya benar-benar tidak bisa ditahan, sepertinya luka kali ini lebih parah dan banyak karena tadi Yacob sangat kencang sekali melayangkan cambukan pada tubuh Nayyara.

“Bagaimana hadiahnya, Kakak Sayang? Kamu suka?” ucap Rania yang sengaja menunggu Nayyara di depan pintu kamarnya, tersenyum puas melihat keadaan Nayyara saat ini.

Nayyara hanya tersenyum melihat wajah bahagia sang adik. Dia tidak punya tenaga untuk meladeni Rania yang ujungnya hanya akan menambah penderitaannya. Biarlah ... biarlah mereka semua bahagia meski dengan menyiksa dirinya, Nayyara benar-benar sudah muak.

Rasa sakit dan juga perih yang dirasakannya saat ini tidaklah sebanding dengan sakit hatinya. Luka di tubuhnya akan hilang dalam beberapa hari ke depan, tetapi luka di hatinya belum tentu hilang begitu saja, Nayyara mengusap air mata yang terus mengalir membasahi pipinya, sekuat apapun dia menahan air mata tersebut agar tidak terjatuh tetap saja kelopak matanya tidak mampu membendung air mata tersebut.

“Jangan menangis Nayya, mau sebanyak apapun air mata yang kamu tumpahkan tidak akan ada yang memperdulikan kamu.” Nayyara menundukkan kepalanya melihat semua bekas luka cambukan dari sang Ayah.

Suara pintu kamar Nayyara terbuka menampilkan sosok Fania yang menatap dirinya dengan tatapan dingin.

Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi mulusnya, Nayyara mendongak melihat Fania dengan tatapan memelas luka di tubuhnya bahkan belum kering, tetapi kini dia kembali merasakan sakit dari orang yang sama-sama berarti dalam hidupnya.

“Dasar anak tidak tahu diri, aku menyesal sudah mengadopsimu sebagai anakku saat itu. Dan mulai sekarang kamu bukan lagi putriku. Sialan!” ucap Fania berlalu begitu saja setelah puas melukai hati Nayyara kembali.

Sialan ... sialan!

Kata-kata itu yang terus terngiang di kepala Nayyara. Dunianya runtuh seketika, benar adanya bahwa kebahagiaan itu memang enggan mendatangi dirinya sama seperti yang diucapkan Rania tempo hari. Sakit rasanya ketika mendapatkan luka yang begitu dalam dari orang terdekatnya, walaupun mereka bukanlah orang tua kandung Nayyara, tetapi Nayyara benar-benar menyayangi mereka seperti orang tua kandungnya sendiri karena berkat mereka juga dia bisa tumbuh hingga saat ini.

“Terima kasih Bunda, Ayah. Terima kasih selama 23 tahun ini sudah mau merawat Nayya. Nayyara sayang kalian berdua.” Nayyara tersenyum tulus diiringi dengan air mata yang terus membasahi kedua pipinya, tangisnya terus terdengar, rasa sakit pada dadanya dan juga sekujur tubuhnya hanya bisa dirasakan, Nayyara hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri.

***

Hari-hari berlalu begitu saja, tidak ada yang berubah pada kehidupan Nayyara kekerasan masih setia menemaninya. Hanya saja sekarang ini Nayyara seperti sudah kebal diperlakukan seperti itu baik dari kedua orang tuanya ataupun Rania adiknya. Dia tidak bisa melawan atau lebih tepatnya tidak mungkin, Nayyara seakan menyerahkan tubuhnya sebagai pelampiasan orang-orang rumah meskipun banyak luka di tubuhnya akan tetapi lebih sakit lagi luka di hatinya.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Akan tetapi, Nayyara masih disibukkan dengan pekerjaannya yang semakin banyak. Dengan kerja kerasnya akhirnya impian Nayyara untuk merenovasi toko miliknya sedikit demi sedikit mulai terwujud meskipun belum seluruhnya dan pastinya itu semua dia dapatkan berkat bantuan dan juga dukungan dari Salwa, Zahira, dan Keisha sahabat yang selalu setia mendampinginya.

Tidak ada kata lelah untuk Nayyara meskipun sepulang bekerja dia harus dihadapkan dengan pekerjaan rumah yang hanya dikerjakan olehnya seorang diri tanpa bantuan dari Bundanya ataupun pekerja yang baru saja dipekerjakan oleh Fania baru-baru ini, itupun hanya mengisi kekosongan Nayyara saat dirinya bekerja.

“Ayo, pulang bareng,” kata seseorang yang berdiri tepat di belakang Nayyara.

Nayyara menoleh dan tersenyum manis pada Faris yang seakan tidak pernah lelah menemui dirinya.

“Kak, tidak perlu seperti ini, Nayya bisa naik motor sendiri. Nayya tidak enak merepotkan kak Faris terus menerus,” tolak Nayyara dengan lembut.

“Kalau kamu merasa sungkan, makanya jangan lagi menolak tawaran aku kali ini. Please, Nayya, izinkan kali ini aku mengantar kamu pulang, ya?” pinta Faris memelas agar Nayya mau menerima ajakannya.

Nayyara yang semakin merasa tidak enak hati terpaksa mengiyakan meskipun saat tiba nanti dia akan berhadapan dengan Rania yang ternyata juga menyukai Faris. Lalu Zio? Entahlah sudah beberapa waktu ini Nayyara tidak pernah lagi melihat Rania pergi bersama Zio.

“Baiklah, tapi kali ini saja, ya Kak,” ujar Nayya menaiki mobil Faris dengan berat hati.

“Oke!” sahut Faris tersenyum senang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status