Hari kedua dari tujuh hari pembisuan.
Langit Tunggala tidak lagi sebiru luka, melainkan hijau kelam seperti nanah yang menetes dari langit. Bau amis bercampur dengan aroma anyir kayu lapuk dan daging basah, mengendap di udara seperti kutukan yang tak bisa diusir. Tak seorang pun berani membuka mulut. Genta sunyi masih tergantung di tengah desa, berayun lembut tanpa angin, dan setiap dentingnya menggema langsung ke dalam tulang, bukan ke telinga. Para penduduk beraktivitas seperti bayangan. Tak ada suara, hanya gerakan pelan, mata yang berkedip tak yakin, dan tangan yang terus menggenggam benda apapun demi menjaga kewarasan. Raka berdiri di depan rumahnya, memperhatikan sekeliling dengan mata letih. Di sisi lain, Lusi menggigil, berdiri di dekat sumur tua yang kini dikelilingi tali bambu dan jimat kering. Surya telah menulis tiga kali di papan kayu: “Kita tidak sendiri.” Tapi tak seorang pun tahu… bagaimanaLangit di atas Sekolah Cahaya Bumi memutih bukan terang, tapi seperti kabut kering yang menggantung tanpa asal. Angin tak lagi terasa seperti angin. Ia diam… menekan. Arkana dan Ilham berdiri di depan dinding batu tempat Gerbang Kelima terbuka. Tapi kini, gerbang itu menghilang, menyatu sempurna kembali dengan batu. Tak ada retakan, tak ada cahaya tersisa. Namun di tengah lantai ruangan itu, terukir lambang baru bintang bersudut enam. Setiap sudutnya bersambung dengan garis-garis berdenyut merah samar, seolah darah mengalir di dalam ukiran batu. “Ini bukan bagian dari lima gerbang,” gumam Arkana, menelusuri simbol itu dengan jari. Ilham menatapnya dalam-dalam. “Aku melihatnya… di langit Ruang Tanpa Nama. Tapi kenapa sekarang muncul di sini?” Sebelum Arkana menjawab, getaran halus menjalar ke seluruh dinding. Batu berderak, seolah sesuatu bergerak… di balik permukaan dunia. --- Malam itu, Revana terbangun dengan peluh dingin membasahi tubuhnya. Ia menjerit, jatuh dari tempat tid
Langkah pertama Ilham di dalam Gerbang Kelima terasa seperti menjejak air tapi bukan air biasa. Lantai tempat ia berdiri seperti permukaan cermin cair, yang mengalir perlahan di bawah kakinya, memantulkan langit yang tidak pernah ada. Arkana di sisinya tampak lebih pucat. Matanya terus bergerak, menelusuri sesuatu yang tidak bisa dilihat orang biasa. “Di sini tidak ada waktu,” katanya pelan. “Apa yang terjadi… sudah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Semua sekaligus.” Ilham mengangguk, walau otaknya berusaha keras memahami. Suasana di ruang ini seperti berada di dalam mimpi yang sadar logika hanya berfungsi sebagian, dan sisanya ditentukan oleh emosi. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Tapi tidak bergema. Tidak pula mendekat. Seolah ruang itu mempermainkan jarak. Kemudian… ia melihatnya. Seorang wanita berdiri dengan punggung menghadap mereka. Rambutnya panjang, mengenakan gaun putih yang basah seperti direndam dalam air mata. Ia berdiri di tengah pusaran cermi
Langkah Ilham terhenti di depan cermin terpecah itu. Di dalam pantulan retaknya, ia melihat ulang momen yang selama ini ia hindari. Suara jerit terbakar. Bau rambut hangus. Dan tatapan Saskia… yang tak pernah bisa ia lupakan. Arkana menunduk. “Kau tak bisa membuka Gerbang Kelima tanpa menyatu dengan kenangan. Tapi hati-hati, Ilham… kenangan bukanlah tempat yang diam. Ada sesuatu di sana yang menunggunya. Dan ia… tahu kau akan datang.” Ilham menarik napas. Udara terasa seperti kaca yang dihirup tajam dan kering. Saskia berdiri di sisi lain pantulan. “Masuklah, Ilham. Temui aku. Bukan seperti dulu… tapi seperti sekarang.” Tanpa sadar, Ilham mengulurkan tangan. Saat jari-jarinya menyentuh cermin, retakan bergerak… dan dunia di sekelilingnya runtuh. --- Ia jatuh ke lantai kayu rumah tua bangunan tempat dulu mereka semua bersembunyi saat kabut hitam melanda desa. Dindingnya masih sama: penuh cap tangan arang, dan satu foto tua bergantung terbalik di paku berkarat. Saskia duduk di p
Langkah kaki Arkana nyaris tak bersuara saat ia memimpin Ilham menuju lorong terdalam sekolah, yang hanya bisa dibuka dengan sidik jari kepala sekolah pertama dan Arkana memilikinya. Lorong itu bernama Koridor Bisik, karena siapa pun yang melaluinya akan mendengar bisikan kenangan yang ingin mereka lupakan. “Ini tempatnya,” kata Arkana pelan, berhenti di depan dinding batu besar tanpa celah, tanpa pintu. “Tidak ada apa-apa,” gumam Ilham. Arkana membuka telapak tangannya. Sebuah gumpalan cahaya kelabu muncul, seperti asap yang membeku. “Kenangan bukan sesuatu yang bisa kau pegang… tapi bisa kau serahkan.” Ia menempelkan tangannya ke dinding, dan seketika, batu itu menguap seperti kabut terbakar. Di baliknya, ada tangga menurun, licin dan mengilap seperti dipoles oleh waktu itu sendiri. “Gerbang Kelima bukan berada di dunia ini, Ilham,” ujar Arkana. “Ia berada di antara… kenangan dan lupa.” Ilham menelan ludah. “Lalu siapa pewaris kedua yang kau maksud?” Arkana menoleh padanya,
Pagi itu, langit Sekolah Cahaya Bumi tak seperti biasanya. Kabut turun terlalu cepat, dan sinar matahari menembusnya seperti sembilu tajam dan menyesakkan. Ilham terbangun dari tidur dengan tengkuk basah, seolah baru bermimpi dikejar sesuatu yang tak punya bentuk. Tapi ia tidak ingat mimpinya. Hanya satu benda tertinggal di atas mejanya: sebuah payung hitam kecil, yang basah meski malam tadi tidak hujan. Revana dan Davin sudah menunggunya di ruang perpustakaan bawah tanah. Di sana, Saras membuka satu buku tua bersampul kulit menghitam. Di bagian depannya tertulis dengan tinta merah: Catatan Kepala Sekolah Pertama Darussalam Lestari, 1886 Ilham menatap Saras. “Apa hubungannya dengan Arkana?” Saras menunjuk satu halaman yang usangnya nyaris rapuh. Di sana tertera foto lama: seorang anak laki-laki berdiri di tengah lima sosok berjubah hitam. Wajahnya samar, tapi posturnya, rambutnya, dan payung hitam di tangannya tak salah lagi. Itu Arkana. “Ini mustahil…” bisik Davin. Revana me
Sejak kembali dari batinnya sendiri, Ilham tidak lagi merasa seperti satu orang. Di pagi hari, ia bisa merasakan pikirannya jernih, hatinya ringan, dan bayangannya mengikuti sesuai gerak. Tapi setiap malam napasnya berubah ritmenya. Seolah ada paru-paru kedua yang ikut menghirup udara di dalam dirinya. Revana pertama kali menyadarinya saat mereka belajar bersama di ruang baca. “Kau… kenapa napasmu dua kali dalam satu tarikan?” Ilham menoleh. “Maksudmu?” Revana menyentuh dadanya. “Jantungmu berdetak… dua pola yang berbeda.” Ilham menahan napas. Ia menyentuh dadanya sendiri. Dan benar detak itu tidak berirama. Seolah ada dua denyut kehidupan bertarung dalam satu tubuh. Saras dipanggil, dan setelah pemeriksaan ritual sederhana, ia hanya bisa berkata satu hal: “Kau tidak sepenuhnya kembali sendirian.” Ilham terdiam. Malam itu, ia bermimpi. Tapi ini bukan mimpi biasa. Ia melihat dirinya berjalan menyusuri lorong sekolah yang gelap, dan setiap jendela yang ia lewati menampilkan ba