Beranda / Horor / Gerbang Neraka: Desa Terakhir / Bab 61 : Desa Tanpa Waktu

Share

Bab 61 : Desa Tanpa Waktu

Penulis: Rafi Aditya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-11 10:13:11

Begitu Raka, Ayuna, dan Darma melangkah melewati Gerbang Kedua, dunia di sekeliling mereka berubah drastis. Tidak ada lagi ruangan batu atau dinding berlumut. Tidak ada suara. Tidak ada angin. Mereka berada di tempat yang lebih sunyi dari kematian itu sendiri.

Tanah di bawah kaki mereka berwarna abu-abu pucat, seolah dibentuk dari abu yang menumpuk selama ratusan tahun. Langit di atas tidak menunjukkan siang ataupun malam hanya cahaya kekuningan yang tidak bersumber dari mana pun. Jauh di depan, tampak desa yang tak seperti desa biasa. Atap-atap rumah menjulang aneh, bengkok seperti leher yang dipatahkan. Jalanan berkelok tanpa arah, dan tiang-tiang bambu berdiri di tengah lapangan dengan kepala manusia tergantung tanpa tubuh.

Ayuna menelan ludah. “Kita… di mana?”

“Desa Ketujuh,” jawab Darma pelan. “Desa yang hilang dari catatan. Dulu, tempat ini dikutuk oleh penjaga gerbang setelah penduduknya mencoba membunuh utusan Neraka.”

“Utusan Neraka?” tanya Raka dengan dahi mengernyit
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 83 : Langkah di Nada Pertama

    Malam jatuh tanpa suara. Suara musik itu belum berhenti sejak kemunculan pria bertopeng. Alunannya merayap seperti kabut, menyusup ke dalam mimpi-mimpi penduduk desa, mengganti ketenangan dengan kegelisahan, dan harapan dengan rasa takut. Tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan asal nada itu, tapi semua orang tahu bencana telah dimulai. Raka berdiri di puncak menara tua desa, memandangi cakrawala yang kini tampak berdenyut merah samar. Dia tak bisa tidur. Gambar-gambar dari kilasan yang ia lihat di mata pria bertopeng terus menghantui pikirannya. Tiga sosok itu… Simfoni Ketujuh, Penebas Cahaya, dan Pendeta Retak. Mereka bukan hanya legenda. Mereka nyata, dan mereka telah bangkit. “Sudah waktunya kita bergerak,” gumamnya. Suara langkah kaki di belakangnya membuatnya menoleh. Liora datang, membawa sepucuk surat dan segulung kain yang tampak sangat tua. “Aku baru menemukan ini di antara kitab Ki Jatmiko. Entah kenapa surat ini muncul di altar malam ini.” Ia menyerahkan surat itu

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 82 : Simfoni Ketujuh

    Salju turun tipis di pegunungan Arka. Tidak seperti biasa, suhu malam ini lebih dingin. Awan menggantung rendah, menyelimuti puncak seperti kabut hitam. Di bawah permukaan tanah, gema dentuman pelan terdengar dari arah gua terdalam. Tiga peti batu berukir simbol kuno berdiri berdampingan, masing-masing ditutup oleh rantai hitam yang tampak seperti hidup. Wanita bertudung itu berdiri di hadapan mereka, dikelilingi lingkaran darah dan mantra-mantra iblis kuno yang terus berdenyut merah. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, suaranya berubah menjadi seruan nyaring seperti teriakan ribuan lidah. “Wahai Simfoni Ketujuh, putra pertama dari pengasingan. Wahai Penebas Cahaya, pemusik langit yang terkutuk. Dan wahai Pendeta Retak, yang tubuhnya tak mati oleh waktu. Bangkitlah kalian, para penjaga kehancuran!” Tanah bergetar. Rantai-rantai mencair seperti lilin panas. Peti pertama terbuka perlahan, menguak kabut ungu beracun dan memperlihatkan sesosok tubuh kurus tinggi, dengan jari-jar

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 81 : Dunia Tanpa Ares

    Langit tak lagi retak, tanah tak lagi bergemuruh. Tapi keheningan ini bukanlah damai ia seperti sunyi sebelum badai kedua datang. Setelah Gerbang Keenam tertutup dan Sang Pengoyak Cahaya terseret ke dalam kekekalan, dunia seperti memegang napasnya. Tak ada sorak kemenangan. Yang tersisa hanyalah kelelahan dan kekosongan. Di tengah reruntuhan medan pertempuran, Raka berdiri mematung. Angin malam meniup rambutnya, namun ia tidak bergerak. Matanya terpaku ke tempat terakhir Ares berdiri. Tidak ada jejak. Tidak ada abu. Tidak ada aroma terbakar. Hanya lapisan tanah yang hangus dan samar gema mantra terakhir sang penyeimbang. “Dia benar-benar lenyap...” bisik Liora pelan. Suaranya terdengar jauh, seperti berasal dari dunia lain. Malini berjalan mendekat, tangannya masih bergetar. “Kau yakin... dia tidak akan kembali?” Raka tak menjawab. Tapi di dalam hatinya, ia tahu: Ares telah menjadi bagian dari sesuatu yang tak bisa disentuh waktu maupun ruang. Dia telah menyerahkan keberadaann

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 80 : Jalan Tiga Arah

    Malam menelan langit, tapi cahaya dari Liora terus memancar bagai obor langit yang menolak padam. Udara terasa tegang, seolah dunia sendiri menahan napas. Sang Pengoyak Cahaya mundur selangkah, sayapnya bergetar tak menentu. Ares berdiri di hadapan mereka, separuh tubuhnya terbakar cahaya, separuh lagi diselimuti kegelapan yang bergolak. “Aku datang bukan untuk menyelamatkan,” katanya datar. “Aku datang membawa pilihan.” Raka, yang tubuhnya penuh luka, masih sempat menggertakkan gigi. “Apa maksudmu? Ini bukan saatnya bermain teka-teki, Ares.” Ares menoleh perlahan. Matanya satu biru menyala, satu merah darah memandang semua yang tersisa di medan perang. “Gerbang Kelima sudah separuh terbuka. Satu tarikan napas lagi dari Sang Pengoyak, dan dunia ini akan terbelah dua. Tapi aku tahu cara menghentikannya.” Liora, yang kini melayang lebih tinggi dengan aura suci di sekelilingnya, bertanya lembut, “Apa harga dari caramu?” Ares mengangkat tiga jarinya. “Tiga jalan. Satu, aku membu

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 79 : Sang Pengoyak Cahaya

    Tanah bergetar. Udara mendesis. Dari tengah pusaran awan di langit, sesosok bayangan raksasa perlahan turun. Ia tak memiliki wajah, hanya topeng hitam dengan guratan darah yang terus mengalir. Sayap hitam legam menjulur dari punggungnya, dan setiap kepakan menggulung badai petir di langit. “Dia... dia iblis pemimpin,” bisik Ki Jatmiko, suaranya menggigil. “Dia disebut Sang Pengoyak Cahaya. Dewa kegelapan dari zaman purba, dikurung sebelum manusia menulis sejarah.” Liora tetap melayang di udara, tubuhnya bersinar, tapi jelas sinar itu mulai bergetar. Memanggil Cahaya telah menghubungkannya dengan dimensi roh dan waktu. Ia tidak bisa bergerak ia kini adalah bagian dari menara. Raka mencabut belatinya, tapi sekujur tubuhnya bergetar. “Apa yang bisa kita lakukan melawan sesuatu sebesar itu?” Malini berdiri di sampingnya, menarik napas dalam. “Kita harus menjaga Liora. Kalau jangkar cahaya ini rusak, Gerbang Kelima akan terbuka sepenuhnya.” Sang Pengoyak Cahaya turun hingga menye

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 78 : Menara Satu Cahaya

    Langit kota telah berubah. Awan-awan hitam berputar membentuk pusaran, menyedot cahaya dan menggantinya dengan bayangan tak bernama. Setiap langkah mereka menuju utara terasa seperti menyeberangi dua dunia yang nyata dan yang retak. Jalanan membatu runtuh di belakang mereka, menyisakan jejak api dan bisikan. Raka menggenggam tangan Liora erat. Gadis itu diam, matanya tetap menatap jauh ke depan. Meski tubuhnya menggigil, aura di sekelilingnya terus mengembang. Setiap langkah Liora membuat kabut menghindar, seolah dunia bawah sadar tahu dia adalah Kunci. Malini menyusul dari sisi kanan, napasnya berat. “Kau yakin Menara Satu Cahaya masih berdiri?” Ki Jatmiko yang berjalan di depan menjawab tanpa menoleh, “Bukan menara biasa. Ia tidak dibangun dengan batu atau semen. Menara itu... terbuat dari doa dan darah.” Mereka akhirnya tiba di tempat itu area lapang di pinggiran utara kota, dulunya bekas gereja tua yang terbakar dua dekade lalu. Namun yang mereka temukan bukan reruntuhan,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status