Share

04 | Pokoknya Panik

Dua hari. Sudah dua hari Damar belum say hello dengan kasur tercintanya di rumah. Padahal ia hanya dokter residen tapi kenapa rasanya seperti orang paling sibuk sedunia?

Damar rindu ibunya. Juga anjing kesayangannya yang bernama Ansel. Benar, Ansel. Bukan Anselio. Hanya Ansel. Itu bukanlah sebuah kesengajaan. Damar benar-benar mencari nama yang bagus di internet untuk anjing kesayangannya bahkan sebelum ia mengenal Dokter Ansel.

Yang barusan adalah sebuah fakta tidak penting dari seorang Damar.

“Bayi Cecil vitalnya gimana?”

“Stabil, Dok.”

“Mungkin satu atau dua hari lagi bisa keluar dari PICU. Jangan lupa panggil walinya.”

“Siap, Dok.”

Damar mengerjap memperhatikan bayi kecil yang ada di hadapannya dengan senyum haru. Cecil menderita kelainan jantung bawaan yang mengharuskan ia menggunakan VAD¹ sejak lahir. Untungnya operasi berhasil dan keadaan Cecil sekarang sudah jauh lebih baik berkat ketrampilan Anselio.

*/ [1]VAD - alat bantu ventrikel juga dikenal sebagai alat pendukung peredaran darah mekanis, adalah alat yang membantu memompa darah dari bilik bawah jantung (ventrikel) ke seluruh tubuh. /*

“VIP kita?”

“Sudah pindah keluar dari ICU, Dok. Tadi jam tujuh.”

“Oke nanti biar saya yang visit. Kamu bisa pulang pagi ini.”

Senyum lima jari Damar merekah lebar. “Beneran, Dok?”

“Iya, jangan lupa tesis kamu. Besok saya periksa.” Sahut Anselio sambil melenggang pergi.

Dan raut bahagia sepenuhnya hilang dari wajah Damar.  Kalau begini kapan Damar bisa cari jodoh? Berbeda dengan Anselio yang punya wajah bak pangeran, sekali lirik, satu pleton wanita langsung berbaris sejajar. Tampang Damar biasa-biasa aja, butuh usaha yang benar-benar keras baginya untuk bisa berkenalan dengan wanita.

Tuhan, Damar ingin mengelus tangan wanita. Bukannya HVS A4.

***

Visinya yang buram perlahan menjadi jelas setelah beberapa kerjapan. Azalea langsung sadar dan mengingat segalanya. Ia bisa mengenali suara haru Cakra yang mulai masuk menembus gendang telinganya.

“Bu Azalea udah sadar? Bu? Masih kenal sama saya kan?”

“Enggak. Saya udah enggak mau kenal sama kamu.” Suara serak Azalea menjawab tanpa minat. “Minta air, Cakra.”

“Tadi katanya enggak kenal.” Cakra merengut tapi tetap mengambilkan segelas air. Dia juga membantu agar ranjang Azalea naik hingga posisi duduk.

“Enggak ada yang sakit, Bu?”

“Hm, mungkin.” Azalea meneguk airnya. “Berapa jam saya tidur?”

“Sekarang jam 9 pagi. Sekitar 18 jam? Bu Azalea pindah ke ruangan empat jam lalu.”

Azalea mengangguk sambil memijat kening karena kepalanya terasa berat efek anestesi. “Manajer yang kamu bilang itu gimana jadinya?”

“Mereka sempat menolak, tapi akhirnya setuju karena tahu akan kalah secara hukum. Oh, kondisi supirnya sekarang masih di ICU. Terus untuk korban juga masih ada yang di ICU. Dua lainnya milih untuk rawat jalan.”

Azalea mendengarkan sambil membuka kancing teratas baju pasiennya. Ia memperhatikan dengan seksama bekas operasinya.

“Kenapa? Ada yang sakit, Bu?”

“Ini kurang sejajar. Padahal udah saya bilangin.” Ia menghela napas berat. 

Ketukan pintu terdengar tiga kali. Lalu Anselio melangkah masuk dengan seragam biru khas rumah sakit tanpa snelinya. Cakra langsung mengangguk sekilas untuk menyapa.

“Pasien sudah sadar, tapi enggak ada laporan?”

“Barusan, Dok. Saya belum sempat lapor dokter udah masuk duluan.” Jawab Cakra dengan cengiran canggung.

Anselio memperhatikan monitor sekilas lalu mengecek infus Azalea. “Ada pusing? Atau nyeri di kepala?”

“Ah, karena gumpalan darah?”

“Beberapa obat dari neurologi udah masuk lewat infus sebelum operasi. Untuk memastikan mungkin masih ada gumpalan. Ada nyeri?”

“CT scan bukannya lebih akurat, Dok?”

Anselio mengangguk. “Iya, akan ada tes lagi nanti. Kalau terasa pusing atau nyeri, mual juga langsung laporan aja.”

“Iya, Dok.”

“Ada pertanyaan lagi?”

“Kalau hasil CT nya bagus, boleh pulang saya pulang besok, Dok?”

Terang saja Anselio langsung menatap tajam. “Kamu habis operasi, enggak lupa ingatan kan? Minimal satu minggu untuk pemulihan.”

“Tapi kondisi saya kan udah stabil.”

“Ada lubang di paru-paru kamu. Lubang, loh. Balon aja pecah kalau berlubang. Ini paru-paru loh, bukan donat bolong.”

“Kan dokter jahit jadi udah ketutup. Iya kan, Dokter-Torakoplastik-Terbaik-di-Sini?” Azalea tersenyum profesional seperti sales yang menjajakan produk.

“Kamu mau mati karena infeksi?”

Mendengar itu Azalea langsung melengos dan Cakra maju siaga. “Bu Azalea tenang aja, Nyonya besar biar saya yang handle. Ibu percaya sama saya kan?”

“Enggak.”

Cakra langsung mengatupkan bibirnya erat.

“Kamu menyembunyikan semua keadaan ini dari Bu Pramita?” Tanya Anselio dengan dahi berkerut.

“Dokter kenal ibu saya?“

Cakra merunduk. “Nyonya besar rutin periksa kesehatan jantungnya sama Dokter Ansel.” Bisiknya di telinga Azalea.

Benar juga. Alasan Azalea mensponsori rumah sakit ini adalah karena sang ibu yang rutin medical check-up di sini.

“Jadi, kamu cukup diam di sini untuk masa pemulihan. Apa perlu saya hubungi beliau?”

Azalea tersenyum dengan raut terpaksa. “Tiga hari gimana, Dok?”

“Tawar-menawar? Kamu kira ini pasar?”

Bubar sudah, bubar. Azalea tidak sanggup lagi untuk mendebat dokter di depannya itu.

“Silahkan keluar, Dok. Saya mau istirahat. Terima kasih.” Usir Azalea sebal.

Ganteng doang, kalau ketus buat apa? Dengusnya dalam hati.

“Karena anestesi udah hilang, bekas jahitannya akan terasa sakit. Tetap hati-hati walaupun hanya berbaring.” Pesan Anselio sebelum keluar.

Azalea menyentuh bekas lukanya dari luar pakaian. Sakit, ya? Bekas luka operasi pasti rasanya sakit.

“Oh, iya!” Cakra memekik tiba-tiba.

“Apa, sih? Kamu lupa matiin kompor?”

“Anu, Bu. Soal laki-laki yang kemarin. Nyonya besar bilang dia udah buat janji dinner untuk hari Jumat. Berdua. Bu Azalea dengan laki-laki itu.”

“Sekarang hari apa?”

“Rabu, Bu.”

Azalea tiba-tiba jadi pening.

***

Sebuah kepanikan kecil menerjang Cakra malam ini. Di hari ketiga, berbeda seperti keinginan Azalea yang ingin pulang, jahitan pasca-operasi-nya malah kembali terbuka. Kondisinya cukup parah karena darah sampai merembes ke baju pasien yang didominasi dengan warna putih. Terlihat kontras hingga mengundang kepanikan siapa pun yang melihat.

Karena teriakan histeris Cakra, semua perawat yang berjaga di lantai itu juga jadi panik kalang kabut bukan main. Di tengah keributan Azalea sendiri hanya diam menatap malas Cakra yang menggenggam tangannya sambil berlinang air mata.

Dulu, Azalea memilih Cakra sebagai sekretaris untuk berada di sisinya karena Cakra masih muda, fresh graduated dan mempunyai almamater yang bagus. Tapi kenyataannya Cakra tidak jauh berbeda dengan balita. Rasanya Azalea agak menyesal.

Tadi Anselio sendiri yang turun tangan menangani Azalea dibantu oleh Damar.

“Kamu benar-benar ingin mati karena infeksi?”

“Tapi sekarang kan saya masih hidup.“ Gumam Azalea pelan.

“Apa kamu bilang?”

“Enggak, Dok. Saya sangat-sangat mencintai kehidupan saya yang damai sejahtera.” Azalea menjawab sedikit lantang sambil melirik Anselio takut-takut.

“Terus kenapa keluyuran? Kamu itu habis operasi. Mikir enggak, sih?”

Anselio tidak bisa lagi menahan intonasinya. Bukan, Anselio memang bukan tipe yang akan bertutur kata lembut jika ada error sedikit saja.

Damar menelan ludahnya ngeri. Selama perjalanan menuju kamar Azalea, ia dan petugas jaga malam ini sudah kena omel sekian alinea karena dianggap kurang memperhatikan pasien, VIP pula.

“Saya enggak keluyuran, Dok. Cuma beli kopi di bawah. Beli kopi loh, Dok. Bukannya rol depan, rol belakang, salto, tegak lilin. Cuma beli kopi.”

“Kan ada dia.” Anselio menunjuk Cakra yang berdiri cukup jauh dari bed.

“Tadi pagi Cakra enggak ada. Dia juga punya kehidupan, enggak bisa stand-by 24/7, Dok.” Azalea mencari alasan.

“Kata perawat kamu baru masuk kamar jam satu siang kan? Beli kopi dari pagi sampai siang? Kamu panen dulu biji kopinya?”

Azalea menyisir rambutnya dengan tangan. Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan dokter yang mulutnya tak berfilter begini. Apa pasien-pasiennya tidak ada yang kabur?

“Saya mampir ke lantai tiga, main sebentar sama anak-anak di bangsal itu.” Azalea akhirnya mengaku.

Hanya dengan melihat dari luar, Azalea bisa tahu perawatan apa yang anak-anak di lantai tiga itu jalani. Saat tidak sengaja melihat mereka melalui celah elevator tadi, Azalea tanpa pikir panjang menghampiri mereka. Bisa bermain mungkin menjadi sesuatu yang sangat mewah untuk anak-anak itu.

“Main petak umpet?” Damar bersuara tanpa sadar karena ia juga sering bermain dengan anak-anak di lantai tiga.

Azalea memelototi Damar sesaat sebelum residen malang itu menunduk. “Maaf, Dok.”

“Biasanya pasien lain enggak sanggup untuk banyak gerak karena bekas operasi rasanya sakit dan nyeri. Tapi kamu bahkan sanggup main petak umpet?”

“Kan cuma ngumpet, Dok. Bukannya senam aerobik yang banyak gerak.” Azalea masih menanggapi.

Anselio makin menatap Azalea gemas, ingin sekali menjahit rapat mulut gadis satu itu. “Jahitan kamu itu bukannya terbuka sedikit, tapi lepas. Luka bekas operasi kamu menganga lebar dan kamu baru sadar saat malam begini? Saya bahkan enggak kebayang gimana rasa sakitnya.”

“Justru itu. Karena rasanya selalu sakit, saya jadi enggak sadar. Saya minta maaf karena udah bikin keributan, Dok.” Azalea menunduk tulus meminta maaf. Tidak ingin mendengar omelan Anselio lebih lama lagi. Dalam hati, ia juga sadar kalau ini seratus persen adalah kelalaiannya.

“Kamu bilang mau pulang setelah tiga hari. Ini hari ketiga justru jahitan kamu terbuka lagi.” Anselio berdecak tertahan.

Mengintip jahitannya yang baru dari luar baju, Azalea jadi makin merengut. “Ini bekasnya pasti lebih parah.”

“Kamu sepeduli itu dengan bekas luka tapi malah main petak umpet di saat luka kamu belum kering?”

“Saya belum menikah, Dok.” Cicit Azalea pelan. Ia heran, Anselio ini lulusan kedokteran atau S3 peromelan.

“Kalau seorang laki-laki menolak cuma karena perkara bekas luka operasi, jelas enggak pantas untuk dipertahankan. Saya permisi, selamat malam.”

Mungkin sekitar tiga detik, Azalea sempat menyelam ke dalam iris gelap Anselio sebelum dokter itu keluar. Damar sedikit membungkuk pamit dan mengikuti langkah lebar Anselio keluar.

Azalea sudah ingin memejamkan matanya lelah tapi tidak jadi karena pintu kamarnya kembali terbuka. Anselio datang kembali. Hanya sendiri tanpa Damar.

“Ada yang ketinggalan, Dok?” Cakra yang baru saja duduk di sofa langsung berdiri kembali.

Anselio menatap lurus Azalea. “Saya lupa bilang. Kamu enggak perlu khawatir soal dinner yang diatur Bu Pramita malam ini.”

“Dokter tahu dari mana saya ada janji dinner malam ini?” Azalea mengernyit bingung.

“Kamu enggak tahu?”

Azalea melongo makin bingung. “Tahu apa?”

Cakra yang sadar situasi langsung cepat-cepat berpindah ke sisi Azalea. “Itu, Bu. Anu soal laki-laki yang disuruh Nyonya besar untuk Bu Azalea temui itu dokter Anselio.” Bisiknya tepat di telinga Azalea

“Kamu bercanda?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status