Share

05 | Tentang Dokter Ansel

Azalea melihat Cakra dan Anselio bergantian. Cakra hanya bisa mengangguk untuk meyakinkan bahwa yang ia katakan barusan adalah sebuah fakta yang benar.

Memang Azalea salah karena tidak melihat profil dan foto yang dikirim ibunya tapi tetap saja siapa sangka dunia se-sempit ini? Dokter ketus ini ternyata yang ibunya sebut sebagai calon menantu potensial? Azalea tidak mengerti dari sisi mana sang ibu melihat sosok Anselio.

Dengan matanya Azalea mengusir Cakra keluar. Cakra menyentuh lehernya canggung, agak merutuki diri sendiri karena tidak memberi tahu Azalea lebih cepat. Laki-laki itu akhirnya keluar setelah mengangguk pamit pada Azalea dan Anselio.

“Wah, kamu benar-benar belum tahu?” Kata Anselio sedikit tidak percaya.

“Saya tahu, Dok. Mungkin karena kecelakaan itu ingatan saya jadi terganggu.” Azalea beralasan.

“Kepala kamu bahkan enggak mengalami cedera berat.” Anselio mendengus ringan.

Azalea memberanikan diri untuk menatap iris tajam Anselio sekali lagi. “Dokter enggak sakit hati kan?” Tanyanya hati-hati.

Anselio sedikit mengernyit tapi kemudian tersenyum kecil. “Iya, sedikit.” Azalea langsung mengatupkan bibirnya rapat. “Padahal saya selalu mendengar cerita kamu setiap kali Bu Pramita konsultasi. Tapi kayaknya kamu sama sekali engak tahu apa-apa tentang saya.”

Azalea Sahasika. Anselio selalu mendengar nama itu setiap kali Pramita konsultasi dengannya. Tentang anak gadisnya yang saat ini memimpin perusahaan karena sang ayah meninggal tiba-tiba dua tahun lalu. Tidak henti Pramita menyebutkan setiap kelebihan Azalea. Hingga akhirnya Anselio menyetujui tawaran Pramita untuk bertemu anak gadisnya itu sebagai bentuk kesopanan.

Azalea hanya mampu tersenyum keki. Bukannya tidak tahu sama sekali. Hanya saja karena tuntutan sang ibu yang kerap menyuruhnya menikah, Azalea jadi jarang pulang kerumah. Ia juga menolak semua informasi yang Cakra sampaikan jika itu menyangkut perihal laki-laki.

Melihat ekspresi Azalea yang serba salah, Anselio jadi terkekeh. “Bercanda. Malam ini anggap aja kita udah dinner bareng. Saya akan ceritakan kesan baik pada Bu Pramita. Jadi saya harap kamu juga akan mengatakan hal baik tentang saya.”

“Benar-benar kesan baik, Dok? Dokter kan yang paling tahu kondisi jantung ibu saya.” Tanda sadar Azalea melemparkan tatapan curiga.

“Dengan catatan kamu menjalani proses pemulihan dengan baik. Sekali lagi kamu jalan-jalan keluar kamar, saya akan langsung hubungi Bu Pramita. Selamat malam.” Kemudian Anselio melenggang pergi dari kamar rawat itu.

“Dih, ngancem.” Cibir Azalea tepat ketika Cakra kembali masuk ke ruangannya. Laki-laki itu buru-buru masuk setelah melihat Anselio keluar.

“Bu, enggak apa-apa?”

Azalea melirik Cakra sebal. “Kamu kenapa enggak bilang dari awal? Gila, ya? Katanya dunia itu enggak cuma selebar daun kelor tapi kenapa rasanya sempit banget?”

“Maaf, Bu. Saya kira Bu Azalea sudah tahu.”

“Kamu kira saya cenayang?” Azalea melengos. “Tapi saya heran apa yang mami lihat dari dokter Ansel. Kamu lihat sendiri kan? Saya rasa mulutnya itu enggak kebagian waktu Tuhan bagi-bagi akhlak gitu.”

Otak Cakra bekerja cepat berusaha mengumpulkan kembali informasi yang ia ketahui tentang Anselio.

“Anselio Dharmendra usia saat ini 33 tahun. Tampangnya udah kayak bangsawan, Bu. Saya yang laki-laki aja mengakui kalau Dokter Ansel itu ganteng.”

Azalea mendelik samar. “Saya juga punya mata, Cakra. Enggak usah kamu kasih tahu juga saya udah lihat sendiri.”

“Dokter Anselio itu salah satu dokter terbaik di sini, Bu. Usianya masih muda tapi keterampilannya sudah seperti professor senior.” Cakra mencari fakta lainnya.

“Itu juga saya tahu. Makanya saya percayakan kesehatan mami di rumah sakit ini kan?”

Seharusnya sejak awal Azalea mendampingi saat-saat ibunya medical check-up jadi ia tidak clueless seperti sekarang.

Cakra menyebutkan informasi lain yang ia ketahui. “Dokter Ansel pernah melakukan prosedur pembedahan untuk duta besar Dubai, loh Bu.”

“Terus saya harus apa? Memangnya prosedur pembedahan duta besar ada hubungannya dengan keberlangsungan hidup rumah tangga?” kata Azalea agak nyinyir. “Kamu pikir saya mau bongkar jantung tiap hari?”

Cakra tersenyum tabah dan tetap melanjutkan. “Latar belakang keluarganya juga cukup elite, Bu. Hotel JJ itu dikelola oleh perusahaan keluarga Dokter Ansel. Ibunya Dokter Ansel mengelola perusahaan saham, Seraphim Corp.”

“JJ group?”

Cakra menggeleng. “Saham Seraphim di JJ group cukup banyak sehingga mampu mengakuisisi Hotel JJ sejak tahun lalu. Selain itu menurut riwayat pendidikannya, Dokter Ansel jadi dokter umum di usia 21 tahun. Selesai spesialis bedah torakoplastik di usia 27 tahun. Bahkan sering disebut prodigy oleh orang-orang sekitar. Jadi menurut saya wajar aja kalau nyonya besar ingin menjodohkan Dokter Ansel dengan Bu Azalea.”

Azalea mendengarkannya dengan seksama. Memang calon menantu potensial, gumamnya dalam hati. Menikah dengan Anselio mungkin akan memberikan keuntungan tersendiri untuk perusahaannya. Selain itu juga akan membentuk image bagus untuknya karena profesi Anselio yang seorang dokter.

Tapi di mulut ia berkata. “Prodigy apanya. Saya juga jadi dokter umum di usia 23 tahun. Cuma beda dua tahun, tuh.”

Cakra malah terkejut dengan fakta yang baru ia ketahui. “Bu Azalea sekolah kedokteran?”

“Kamu enggak tahu?”

Cakra menggeleng dan Azalea hanya bisa berdecak tidak percaya. Dua tahun bersama apa saja yang orang itu lakukan?

“Setahu saya Bu Azalea sekolah bisnis.”

Azalea mengangguk. “Iya, saya juga sekolah bisnis.”

“Kok bisa, Bu? Enggak trauma skripsian? Bu Azalea sehat? Enggak kena stress disorder?” Selanjutnya Cakra curhat akan kehidupan kampusnya dan suka dukanya menyelesaikan skripsi dulu.

Azalea hanya sabar mendengarkannya.

***

Anselio melangkahkan kakinya berat menuju selasar yang berada di lantai teratas rumah sakit. Tempat biasa ia menikmati waktu ketika ingin melepaskan penat sejenak. Hari ini ia kehilangan salah satu pasien. Anselio memang sering disebut kurang sopan namun sebenarnya ia sangat peduli dengan semua pasien yang datang padanya. Ia bahkan masih mengingat semua pasien dan penyakit yang mereka keluhkan. Sayang jiwa tsundere sudah mengalir dengan derasnya di dalam darah Anselio, masuk ke jantung kemudian terpompa ke seluruh tubuh.

Seperti dua hari lalu, Anselio menyempatkan diri untuk hadir di pertunjukan balet salah seorang anak dari seorang pasien. Ayahnya harus operasi hari itu dan tidak bisa hadir. Bukan maksud Anselio untuk menggantikan sang ayah, itu hanya bentuk empati Anselio sebagai manusia.

Tapi sesampainya di tempat tujuan, Anselio justru menemukan seseorang yang seharusnya tidak berada di sana. Gadis itu duduk manis dengan kanvas di depannya. Azalea sedang melukis tentang indahnya pemandangan kota yang terlihat dari atas sini.

“Kayaknya susah banget untuk kamu diam di kamar perawatan. Mau jahitan kamu terbuka lagi?” Kata Anselio menyapa di tengah kesunyian tidak lupa lengkap dengan decakan risih.

Azalea tersentak kaget hingga tangannya membuat goresan garis cat yang tidak sesuai. “You scared me, motherfuck—” Ia langsung mengganti umpatannya dengan senyum manis terpaksa begitu melihat wujud tinggi menjulang Anselio di sampingnya. Dari sekian banyak orang di rumah sakit ini kenapa harus Anselio yang mampir ke selasar ini coba?

“Apa kabar, Dok?” Sapa Azalea seakan-akan sudah lama tidak bertemu Anselio.

Anselio tidak menjawab, ia mengambil tempat di sebelah Azalea ikut memperhatikan pemandangan kota dari atas yang terhalang kaca bening.

“Kalau jahitan kamu terbuka lagi saya—”

“Enggak, Dok. Saya naik ke sini pakai kursi roda di dorong Cakra. Ini peralatan kanvas dan kawan-kawannya juga Cakra yang nyiapin. I am fine. Totally fine.” Azalea menyatukan telunjuk dan ibu jarinya membentuk simbol ok. “Lagian capek saya tiap buka mata cuma ngeliat tembok putih.” Keluhnya pelan.

“Kamu mau sembuh enggak, sih?”

“Ya mau atuh, Dok.” Sahut Azalea agak dongkol sambil membenahi lukisannya yang tadi kecoret karena terkejut. Hanya satu coretan tapi mampu merobohkan dinding mood-nya. “Dokter ke sini nyariin saya?”

“Saya enggak sekurang kerjaan itu.”

Anselio mengeluarkan dua lolipop dari sakunya. Satu ia sodorkan pada Azalea dan satunya ia lahap sendiri.

Azalea menerimanya dalam diam, meski bingung namun ia tetap membuka bungkus permen itu dan memasukannya ke dalam mulut.

“Terus ngapain Dokter ke sini?”

“Lihat gedung, lihat jalan, lihat kota.” Kata Anselio diselingin suara kecapan karena lolipop di mulutnya. Ia sedikit ragu haruskah mengatakan alasannya ke sini pada Azalea atau tidak. “Satu pasien saya meninggal pukul 13.42 tadi.” Lanjut Anselio agak lirih berharap gadis di sampingnya paham.

Tangan Azalea yang sedang sibuk menggerakan kuas terhenti. “Table death¹?

*/ [1] Meninggal di atas meja operasi /*

“Bukan. Gagal jantung, dalam kondisi sedang menunggu donor. Baru hari ini ada kabar pasien mati otak.” Anselio menghela napas berat. “Empat bulan, padahal beliau sudah bertahan dengan baik selama itu.”

“Saya turut berduka.” Azalea menunduk dan memejamkan mata sejenak. Bagi Azalea, dokter itu memang hanya sebuah pekerjaan, tapi gadis itu juga tahu bahwa kehilangan pasien adalah sebuah luka yang serius.

Anselio mengulas senyum kecil. “Ah, saya lupa kalau kamu juga dokter.”

Masih dengan menunduk Azalea membalas. “Meskipun enggak punya banyak pengalaman, tapi saya paham rasanya kehilangan pasien. Dulu pengalaman first assistant pertama saya langsung berhadapan dengan table death karena sindrom WPW², padahal saya sudah berusaha sebaik yang saya bisa.”

*/ [2] WPW - suatu kondisi adanya abnormalitas jantung, dimana terdapat jalur elektrik ekstra. Kondisi ini ditemukan sejak lahir dan dapat menyebabkan gangguan irama jantung menjadi cepat

“Saya pernah dengar soal itu. Kamu sampai pulang ke Indonesia karena drop dan trauma.”

Azalea menggaruk alisnya yang tiba-tiba gatal. “Dokter pasti bosen banget ya dengerin ocehan ibu saya setiap check up.”

Azalea penasaran sebenarnya sudah sejauh mana ibunya mempromosikan dirinya pada Anselio? Memangnya dia barang dagangan produk MLM yang butuh promosi besar-besaran?

“Kalau ocehan dari sponsor terbesar mau sepanjang sungai Musi juga tetap saya dengarkan.” Kata Anselio bercanda. “Lagipula cerita kamu cukup menarik, kok.”

Ini orang punya DID³? Azalea bertanya dalam hati karena bingung dengan perubahan sikap Anselio yang tiba-tiba baik saat ini.

*/ [3] DID - issociative Identity Disorder, gangguan kepribadian di mana terdapat dua atau lebih kepribadian yang berbeda dalam diri seseorang. /*

“Menarik? Bagian mana yang menarik, Dok?”

Anselio berpikir sejenak sebelum bersuara. “Anak saya juga dokter, loh Dok. Saya enggak tahu kenapa dia kekeh ngambil jurusan kedokteran yang payah padahal sudah jelas akan menjadi penerus perusahaan.” Kemudian laki-laki itu terkekeh. “Gitu kata Bu Pramita waktu pertama kali konsultasi dua tahun lalu. Saya kira mungkin itu cita-cita masa kecil kamu. Tapi ibu kamu bilang cita-cita masa kecil kamu mau jadi penyanyi papan atas. Sayangnya kamu buta nada.” Anselio masih terkekeh.

Azalea meringis sedikit malu. Ralat, malunya agak banyak. Bahkan sampai perkara buta nada dokter itu tahu, Azalea ingin menyembunyikan wajahnya. Pantas saja ibunya betah melakukan check up rutin padahal sebelumnya sering kabur-kaburan.

“Yang kayak begitu menarik, Dok? Bukannya sia-sia?”

Anselio menoleh. “Sia-sia? Kenapa sia-sia?”

“Saya susah payah sekolah medis tapi buktinya sekarang enggak menyembuhkan siapa-siapa.”

“Kata siapa?”

“Kata saya barusan.” Celetuk Azalea asal.

“Iya kalau dipikir memang sia-sia, padahal kamu lulusan Harvard. Tapi saya enggak tahu apa-apa tentang itu.” Anselio mengeluarkan lolipop nya sebentar. “Yang saya tahu ada salah satu korban kecelakaan yang kemarin sempat masuk ICU dan beliau selamat karena tindakan darurat yang kamu lakukan.”

Kata-kata Anselio sukses membuat Azalea menoleh hingga pandangan mereka saling bertabrakan. “Dokter tahu?”

“Petugas ambulans yang bilang.” Anselio kembali mengulum lolipopnya acuh.

“Ah, gitu.” Azalea mengangguk mengerti lalu kembali fokus pada kanvasnya.

Begitu juga Anselio yang ikut mengembalikan pandangannya ke depan. “Berkat kamu, tangis yang pecah dari keluarganya itu tangis haru karena beliau yang kembali sadar, bukan tangis pilu karena death on arrival⁴.”

*/ [4] Deat On Arrival (DOA) - ketika seorang pasien datang di rumah sakit dalam keadaan meninggal dunia. /*

Azalea tertegun sesaat. Tanpa alasan, kata-kata Anselio barusan menyusup ke dalam hatinya. Entah kenapa Azalea merasa hangat. Gadis itu mengerjap untuk mengendalikan diri.

“Itu pujian, Dok?” Tanya Azalea iseng.

Anselio mendengus. “Kalau kamu mau menganggapnya sebagai hinaan juga enggak masalah.”

Azalea tersenyum kecil karena merasa mode normal Anselio telah kembali. Sekarang ini masalah besar menumpuk di depan matanya. Orang sehebat itu jelas tidak akan dilewatkan oleh ibunya. Satu fakta yang tidak bisa ia bantah bahwa ibunya benar-benar menyukai sosok Anselio. Jadi bagaimana caranya menemukan alasan yang tepat agar Azalea bisa menolak permintaan sang ibu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status