Share

07 | Hujan dan Ciuman

Azalea tahu Gaji dokter spesialis memang besar tapi apakah sebesar itu sampai Anselio bisa tinggal di apartement mewah seperti ini? Meski penasaran namun Azalea tidak ingin memusingkannya. Yah mungkin saja Anselio juga punya banyak saham seperti ibunya. Buah kan tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.

Sedari siang sekretarisnya—Cakra sudah diteror sang nyonya besar agar mengantarkan Azalea ke alamat Anselio sepulang kantor. Ibunya bilang, Anselio sedang sakit bahkan tidak praktek di rumah sakit.

Kalau dipikir apa coba hubungannya dengan Azalea!?

Sudah malas berdebat, jadilah sekarang Azalea berada di sini, di depan pintu yang katanya adalah unit tempat Anselio tinggal. Tapi sayangnya setelah lima menit menekan bel, pintu itu belum juga terbuka.

Ini Anselio enggak benar-benar pingsan dalam kesendirian kan? Azalea mulai menambahkan gedoran ringan di pintu besi itu.

Mencari cara lain, Azalea mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor ponsel Anselio yang Cakra kasih sebelumnya. Aduh, masa iya dokter segagah itu bisa roboh?

Panggilan terjawab namun tidak ada suara manusia yang masuk. Azalea memastikan layar ponselnya sekali lagi sebelum mulai berbicara.

“Halo? Dokter Ansel?”

“....”

Melihat panggilannya yang masih tersambung, Azalea tetap melanjutkan. “Ini saya, Azalea. Katanya Dokter sakit jadi saya mampir ke tempat Dokter sekarang. Dokter Ansel ada di rumah?”

Azalea bersidekap sambil menunggu respon di sana. Serius ini enggak lucu kalau ternyata dia salah mendial nomor ponsel.

“....1483,”

“Ya?”

Suara yang terdengar serak dan berat di ujung sana kembali terdengar. “...kode pintu saya 1483, silahkan masuk. Kamu bisa masuk sendiri kan?”

“Ah, iya Dok.” Azalea mengangguk meski tak akan terlihat. 

Azalea memasuki unit mewah itu perlahan sambil memperhatikan interior sekelilingnya. Ini sebenarnya yang CEO itu siapa? Azalea saja bahkan berpikir ratusan kali ketika Cakra merekomendasikan unit ini padanya dulu dan malah berujung tidak jadi.

Cih, dasar calon mantu idaman.

Bukannya disambut oleh sang pemilik, Azalea justru disambut oleh robot vakum kecil berputar kesana-kemari. Sedikit fakta tidak penting, merknya sama dengan yang ada di apartement Azalea.

Tidak menemukan keberadaan Anselio di sekitar, Azalea menaruh asal buah-buahan yang ia bawa di meja bar dapur dan langsung menghampiri salah satu pintu kamar yang terlihat olehnya. Orang sakit itu 90 persen kemungkinannya pasti akan berada di kamar kan? 

Pintu kamar tersebut Azalea dorong setelah sebelumnya ia ketuk tiga kali. Interior kamar dengan nuansa abu-abu dan putih menyambutnya. Sedangkan Anselio yang terbaring nyaman di ranjangnya langsung bangun ke posisi duduk. Wajah bangsawan Anselio terlihat jelas sekali sedang kurang sehat. Karena itu sejujurnya Anselio terlalu malas untuk menerima siapa pun saat ini. Bahkan Damar yang sejak pagi menanyakan alamat rumahnya saja tidak laki-laki itu acuhkan. Anselio butuh istirahat.

Azalea mendekat dalam keheningan. Ingin bertanya kabar tapi kan sudah jelas kalau laki-laki itu sedang tidak enak badan. Tidak mungkin kan Azalea menanyakan tentang deposit yang dibutuhkan untuk menyewa apartement ini atau menanyakan berapa persen saham yang Anselio punya di perusahaannya.

“Kamu sendirian?” Selagi Azalea memikirkan sapaan untuk basa-basi, Anselio sudah bersuara lebih dulu.

“Saya harus bawa siapa? Pasukan tempur?”

Sebenarnya bukan maksud Azalea untuk berkata seperti itu hanya saja memang Azalea punya sedikit refleks yang buruk ketika merasa canggung.

“Maksudnya iya saya sendirian, Dok.” Azalea memperhatikan Anselio dari kepala hingga ujung kaki. “Udah minum obat, Dok?”

Nice, pertanyaan yang sangat berbobot. Azalea mencela dirinya sendiri.

“Saya cuma perlu istirahat.”

Tanpa bertanya pun Anselio tahu kalau Azalea datang pasti karena suruhan ibunya. Ia mulai memperhatikan Azalea yang masih memakai setelan kantor di sana. Kemeja putih dengan celana panjang kain berwarna nude. Meski terlihat kikuk, namun kepercayaan diri masih terpancar kuat dari pandangan Azalea. 

Setelah menimbang-nimbang bagaimana caranya keluar dari kecanggungan ini, Azalea memutuskan untuk berterus terang.

“Saya tahu ini sedikit enggak nyaman tapi saya harus stay di sini seenggaknya dua jam. Jadi selama itu Dokter Ansel bisa abaikan keberadaan saya di sini.”

Senyum kecil Anselio terbit. “Sampai kapan kamu mau panggil saya pakai embel-embel dokter?”

Azalea diam bingung juga mau menjawab apa.

“Kamu masih jadi salah satu pasian yang saya tangani?”

“Enggak, Dok—” Azalea menggeleng pelan, “—okay, Ansel.”

***

Hujan turun malam itu. Rencana Azalea yang seharusnya berada di unit Anselio selama dua jam tidak jadi terealisasikan. Sampai hampir tengah malam begini Azalea masih setia bersandar di balkon Anselio. Gadis itu menyukai hujan dan punya kebiasaan untuk memperhatikan tetes hujan yang jatuh dalam kesunyian.

Terakhir Azalea mengintip ke kamar Anselio, dokter spesialis jantung itu sedang tertidur. Seperti yang Cakra katakan, segala aspek kehidupan Anselio itu hampir sempurna menyebabkan Azalea merasa kesulitan untuk menemukan alasan yang tepat. Kenapa sih ibunya harus begitu terobesi dengan pernikahan!? Kenapa juga bisa dapat calon yang mempunyai bibit unggul begini coba!?

Minimal harus punya kekuranganlah. Bau ketek, mungkin. Atau punya masalah ketombe berlebih misalnya. Padahal kesempurnaan itu hanya milik Yang Maha Kuasa.

Selain itu yang mengganggu adalah fakta kalau Azalea juga seorang wanita normal yang mempunyai hati. Jika terlalu lama bersinggungan, bisa runtuh dunia persilatan kalau nanti justru Azalea yang malah jatuh hati.

“Kamu belum pulang?”

Azalea kaget, refleksnya adalah berkata kasar.

Fuck—” Untungnya bisa dikendalikan. “Fuckin georgeous! What are you doing here, dude?” Ralatnya langsung setelah bertemu pandang dengan Anselio.

Anselio menaikan kedua alisnya tinggi. “What am I doing? In my own house?

Azalea hanya meringis. Ini laki gede tinggi tapi kenapa langkah kakinya tidak terdengar sama sekali!? Padahal baru juga beberapa jam yang lalu Anselio terlihat lemah tak berdaya tapi kenapa sekarang sudah segar bugar?

“Kamu belum pulang?” Anselio mengulang pertanyaannya. Ia sendiri juga cukup terkejut ternyata masih menemukan Azalea di rumahnya.

“Hujan,”

“Korelasinya?”

“Basah,”

“Mobil kamu enggak punya atap?”

Azalea membutuhkan cukup waktu untuk bisa menjawab pelan, “...saya agak trauma.”

Jadi bukan hanya fisiknya yang terluka tapi kondisi mental Azalea juga sedikit terguncang. Ia langsung gemetar ketika masuk ke dalam mobil, kembali teringat pada saat-saat mobilnya terhantam dan terbalik. Nafasnya memburu dan sesak, dalam kondisi terparah Azalea bisa kehilangan kesadarannya seketika.

Anselio melemparkan tatapan yang tak terbaca membuat Azalea sedikit tidak nyaman. Tatapan Anselio itu selalu dalam dan intens. Netra gelapnya yang seakan memenjarakan tatapan Azalea dalam kelam.  

“Enggak dingin?” Anselio berdeham ringan. “Mau minuman hangat?”

Azalea mengerjap polos beberapa kali, ia melihat jari kukunya yang mulai membiru. “Coffee, please.”

“With my pleasure,” kalimat Anselio sebelum menyingkir ke dalam.

Dari balkon luar sini, karena dibatasi oleh kaca bening Azalea melihat sekilas Anselio yang berkutat di dapurnya. Terpaan angin malam yang dingin membuat Azalea mengalihkan pandangannya pada deras hujan di depan. Haruskah ia tidur di sini malam ini?

Gadis itu kembali tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai ia merasakan ada tangan kekar yang memeluknya dari belakang. Azalea tersentak, lalu menoleh. Anselio yang barusan menyampirkan selimut di bahu Azalea hanya menyunggingkan senyum tipis padanya.

Laki-laki itu masuk ke dalam dan tak lama kembali lagi dengan dua mug di tangan. Satu mug Anselio taruh di depan Azalea. Aroma kopi menguar begitu saja diiringi suara hujan.

Act of service memang bukan kaleng-kaleng. Demi Tuhan, Azalea bukan bagian dari kaum yang mudah meleyot, tapi— ah sulit.

“Kamu...” Anselio menoleh, menunggu Azalea menyelesaikan kalimatnya. “Kenapa bisa setuju dengan permintaan ibu saya?”

Why not?” Anselio menyesap kopinya. “Awalnya saya memang keberatan, sangat. Tapi setelah dipikir enggak ada salahnya untuk dicoba.”

“Kenapa berubah pikiran?”

“Kenapa enggak boleh berubah pikiran?” Anselio terkekeh ringan. “Kamu daripada susah payah menolak, kenapa enggak coba untuk menerima dulu?”

“Saya...enggak bisa.”

“Alasannya?”

Azalea menggenggam gelas kopinya erat sejenak sebelum memberanikan diri untuk menoleh pada Anselio.

“...karena memang enggak bisa,” kata Azalea lirih.

Sekali lagi, Anselio mengunci tatapan jernih Azalea dengan iris gelapnya. Seakan menghianati, Azalea malah merasakan debaran di dada. Bibirnya terbuka sedikit tapi tidak ada kata yang keluar. Azalea menelan salivanya susah payah. Tapi masing-masing dari mereka menikmati tiap detik yang terlewat.

Sampai detik selanjutnya, entah siapa yang memulai, bibir mereka sudah saling terpagut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status