Share

03 | IGD

“Ini enggak bisa kalau cuma pakai antibiotik.” Gumam Anselio memperhatikan monitornya serius.

“Apa penyakit papi saya serius, Dok?” Tanya anak gadis sang pasien.

“Iya.” Anselio beralih pada pasien yang duduk di depannya kemudian melirik pada anaknya yang langsung merasa lemas.

“Endokarditis infektif. Infeksi pada bagian katup jantung. Kalau enggak cepat ditangani bisa jadi embolisme, penyumbatan pembuluh darah karena gumpalan bakteri.” Jelasnya datar dan cepat. “Ada ruangankan?” Tanya Anselio pada perawat yang ada di ruangannya.

“Iya, Dok. Bisa langsung masuk hari ini.”

Anselio mengangguk. “Rawat inap mulai hari ini dan operasi secepatnya. Ada jadwal kosong sekitar—tiga hari lagi?”

“Penuh, Dok. Malam?”

“Iya, malam juga enggak apa-apa. Jangan lupa kabari anestesiologi tiga hari lagi.”

Pria paruh baya itu ingin mencoba mengatakan sesuatu. “Maaf, Dok. Anak saya ada perform balet tiga hari lagi dan itu pertunjukannya untuk yang terakhir kali. Karena sibuk saya belum pernah menyaksikan tarian anak saya. Operasinya enggak bisa diundur minggu depan, Dok?”

“Enggak bisa.”

“Kalau pindah satu hari aja, Dok? Cuma sehari aja masa enggak bisa?”

“Enggak bisa.” Jawaban Anselio tetap sama. “Kalau bapak mau meninggal silahkan saja.” Lanjutnya tenang.

“Papa apaan, sih? Sekarang ini kesehatan papa lebih penting.” Anak gadisnya berbisik namun masih dapat terdengar oleh seisi ruangan.

“Ambil vidio dan foto aja yang banyak. Bapak bisa melihatnya berkali-kali. Setelah ini bisa langsung jalani serangkaian tes. Nanti kita ketemu lagi di kamar rawat.” Anselio mengakhiri sesi konsultasi mereka.

Anak gadis itu langsung memapah ayahnya keluar dengan hati-hati diikuti oleh seorang perawat yang akan memandu ke tempat pemeriksaan.

“Kata-katanya enggak ada sopan sama sekali padahal masih muda, mentang-mentang dokter hebat.” Keluh gadis itu tepat setelah keluar ruangan.

“Kami memohon maaf dengan tulus Pak, Mbak. Meski punya masalah dengan sikap yang kurang menyenangkan, Dokter Ansel sangat memperhatikan keadaan pasien dan termasuk salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini. Jadi, enggak perlu khawatir bapak pasti sembuh.” Suster Eva mengucapkan kalimat yang sudah ia hapal di luar kepala.

“Silahkan ke ruang paling ujung untuk tes darah,” suster Eva menunjukan arah dengan tangannya.

Sedetik kemudian, Damar datang dengan napas tersengal karena berlari. “Dokter Ansel ada di dalam?”

“Iya, ada di dalam. Kenapa?”

“CITO.” Jawabnya singkat lalu menerobos ke dalam ruangan. Sedangkan Anselio hanya meliriknya tajam dari kursi.

“Maaf, ada pasien darurat, Dok. Kecelakaan tadi pukul delapan pagi. Salah satu korbannya VIP di rumah sakit ini dan butuh operasi segera.” Jelas Damar masih dengan napas masih ngos-ngosan.

“Diagnosanya?”

“Trauma pneumotoraks karena patahan tulang rusuk yang menusuk paru-paru. Sebelumnya sudah ada tindakan torakostomi jarum¹ jadi sekarang vitalnya stabil.”

*[1] Torakostomi jarum adalah tindakan yang dilakukan untuk mengeluarkan udara berlebih karena tension pneumotoraks*

Anselio mengangguk paham dan langsung bergegas meninggalkan ruangan diikuti oleh Damar.

“VIP di sini? Siapa?” Tanya Anselio di perjalanan.

“CEO Fros-Tech, Dok. Salah satu sponsor terbesar rumah sakit kita.”

Anselio mempercepat langkah kakinya. Bukan karena pasien tersebut VIP, tapi karena ia tahu siapa yang Damar sebut sebagai CEO Fros-Tech itu.

“Tapi CEO itu hebat ternyata, Dok. Kata petugas darurat, CEO itu yang menusuk dadanya sendiri dengan jarum. Dia juga yang melakukan tindakan medis pada salah satu korban lainnya. Padahal dia CEO, darimana coba tahu prosedur medis?”

“Darimana lagi? Jelas karena dia memang belajar ilmu kedokteran.” Anselio mengatakannya nyaris seperti berbisik tapi masih bisa Damar dengar dengan jelas.

“Serius, Dok?!”

Anelio malah melemparkan tatapan tajamnya. “Itu penting sekarang?”

“Maaf, Dok.”

***

“Bu Azalea! Bu Azalea enggak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Omo, tangan ibu patah?! Omo-omo!” Teriak Cakra dramatis setelah menyibak tirai IGD dan melihat langsung kondisi Azalea yang menggunakan penyangga tangan.

Azalea menggaruk alisnya yang tiba-tiba gatal. “Ini dislokasi, bukan patah.” Sahutnya datar.

Cakra langsung tenang seketika. “Oh, gitu. Berarti Bu Azalea enggak apa-apa?”

“Saya harus operasi, sudah dijadwalkan. Rusuk saya patah dan itu kayaknya mengganggu kerja paru-paru. Hasil tesnya belum keluar, sih. Administrasi udah beres?”

Raut wajah Cakra kembali pias. “Rusuk patah?! Bu Azalea pasti selamat kan?!”

Azalea menoleh malas. “Umur kamu berapa, Cakra?”

“Tahun ini 24 tahun, Bu.” Mata Cakta berkaca-kaca. “Bu Azalea pasti selamat. Saya enggak bisa hidup tanpa Bu Azalea. Bu, janji—”

“24 tahun? Bukan empat tahun?” Seloroh Azalea prihatin.

“Bukan, Bu.” Cakra langsung berdiri tegak dalam posisi siap. “Administrasi sudah selesai semua. Bu Azalea kan VIP di sini.”

“Jangan sampai bocor, ingat? Kalau Mami tahu kita sama-sama the end, Cakra.” Azalea membuat gerakan memotong leher dengan tangannya. “The end.” Katanya tajam.

Cakra mengangguk paham. “Pihak rumah sakit setuju untuk tutup mulut dan merawat Bu Azalea diam-diam jauh dari jangkauan Nyonya besar.” Katanya diiringi dengan acungan jempol.

“Bagus. Dan tentang kecelakaan tadi, mobil saya ditabrak truk muatan. Saya mau kamu cari tahu penanggung jawabnya dari perusahaan mana karena sopirnya belum sadar.”

“Siap, Bu.”

Setelah Cakra menyingkir, tirai kembali tersibak. Azalea kira itu Cakra yang kembali namun ternyata bukan. Itu Dokter residen yang tadi sempat memeriksanya dan diikuti dengan dokter lainnya yang Azalea tebak adalah dokter spesialis meskipun terlihat masih sangat muda.

Walau saat ini Azalea tidak sedang berada dalam posisi yang tepat untuk mengomentari paras seseorang, tapi Azalea akui dokter itu tampan dan mempunyai pesona. Ia yakin dokter itu menjadi idola di rumah sakit ini.

“Apa ada yang terasa sakit, Mbak—maksud saya Bu Azalea?”

Damar canggung karena pasien terlihat sangat muda namun posisinya VIP, ia jadi bingung harus menyebut apa.

“Dokter cukup panggil Azalea aja, enggak masalah.” Kata Azalea santai. Toh, pegawai di rumah sakit ini bukan bawahannya.

“Dari hasil X-Ray dan CT bagian dada kamu harusnya terasa sangat sakit. Tulang rusuk kamu patah dan menusuk paru-paru. Saya dengar kamu tetap sadar sejak kejadian?” Anselio memperhatikan pasiennya dari ujung kaki hingga kepala. Ia sudah sering mendegar tentang CEO Fros-Tech, tapi baru sekarang ini bertemu secara langsung.

“Iya, saya sadar.” Azalea menanggapi seadanya.

“Selain itu dari hasil CT kepala juga ada sedikit gumpalan karena pendarahan, wajar kalau kepala kamu juga terasa sakit. Tapi menurut neurologi itu enggak masalah, bisa diatasi dengan beberapa obat. Enggak akan mengganggu operasi juga.” Lanjutnya kemudian.

“Ah, mungkin karena shock semua rasa sakitnya jadi bercampur.” Azalea meringis canggung. “Tapi hasil tes lainnya enggak ada masalah kan, Dok? Enggak ada pendarahan dalam lainnya?”

Anselio mengangguk. “Enggak ada. Torakostomi yang melewatkan kamu dari kondisi kritis. Itu tindakan petugas darurat?”

“Oh, itu. Iya, Dok.”

Anselio tahu bahwa itu adalah sebuah kebohongan namun dokter itu tidak mengatakan apa-apa. Begitu juga Damar yang sedang sibuk dengan ponselnya. Anselio hanya menatap Azalea lurus. Siapa yang tahu kalau gadis muda yang terbaring di depannya ini adalah seorang pemimpin perusahaan besar? Azalea lebih terlihat seperti mahasiswi semester akhir.

“Bagian Anestesiologi bilang ruangan udah siap, Dok.” Lapor Damar setelah mengecek ponselnya.

“Oke, pasien bisa dipindahkan sekarang.”

Azalea menahan snelli Anselio yang ingin beranjak. “Anda dokter yang akan membedah saya kan?”

“Oh iya, perkenalkan. Ini Dokter Ansel spesialis bedah toraks terbaik di rumah sakit ini. Jadi Mbak—Ibu—maksudnya Azalea enggak perlu khawatir.” Damar yang maju menjawab.

“Ada masalah?” Anselio melepaskan tangan Azalea yang menyentuh snelinya.

“Tolong buat yang cantik, Dok.” Ucap Azalea serius.

“Ya?”

“Sayatan dan jahitannya. Tolong jahit yang sejajar dan jangan pakai steples. Saya enggak mau nanti muncul keloid.”

Anselio tidak mempercayai pendengarannya. “Sekarang ini paru-paru kamu bolong dan kamu mementingkan bentuk jahitan? Kamu bercanda?”

Damar menyenggol pelan pinggang Anselio. “Pasien VIP, Dok. Mohon ingat sponsor rumah sakit kita.” Bisiknya pelan.

“Saya belum menikah. Dokter enggak tahu bagian dada itu aset semua perempuan? Jadi saya bener-bener minta tolong, oke?” Azalea menyatukan kedua tangannya di depan dada.

Yang barusan itu hanyalah alasan, Azalea hanya tidak suka memiliki bekas luka. Sejak kecil ia benar-benar menjaga tubuhnya dari segala bentuk cedera.

Anselio diam sejenak sebelum menjawab. “Silahkan konsultasi ke bedah plastik itu bukan—”

“Tenang aja, Bu—Mbak—maksud saya Azalea. Nanti akan saya jahit dengan sangat hati-hati. Permisi.” Potong Damar sebelum menyeret Anselio pergi dari sana.

Kemudian dua orang perawat mengambil alih untuk persiapan pemindahan ke ruang operasi. Cakra kembali pada saat itu.

“Operasinya sekarang, Bu?”

Azalea mengangguk. “Truknya gimana?”

“Itu truk muatan dari PT Angkasa Cipta, Bu. Tadi di telepon, orang yang katanya manajer mau datang ke rumah sakit. Terus mau gimana?”

“Minta mereka untuk tanggung jawab penuh. Kamu urus juga korban lainnya. Kalau perlu kontak tim hukum perusahaan. Tapi ingat, diam-diam.”

“Baik, Bu.” Cakra memperhatikan Azalea dengan matanya yang berkaca-kaca. “Bu, operasinya pasti berhasil kan? Jangan tinggalin saya, Bu.”

Dua orang perawat yang sedang merapihkan alat-alat medis yang terhubung ke tubuh Azalea berusaha merapatkan mulut masing-masing agar tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Azalea berdecak kesal. “Cakra,”

“Iya, Bu?”

“Enggak usah drama, itu angkat telepon kamu.” Azalea menunjuk saku Cakra dengan matanya.

Cakra mengeluarkan ponselnya yang berdering dan langsung berjengit kaget ketika melihat siapa yang meneleponnya.

“Apa? Siapa?” Azalea penasaran.

“Nyonya besar,” Cakra menatap Azalea nelangsa.

“Kamu pasti bisa, Cakra. Fighting!” Kemudian Azalea menutup matanya. “Ayo jalan, Sus.”

Dua perawat itu mengangguk bersamaan lalu mulai mendorong ranjang Azalea meninggalkan Cakra di IGD.

“Halo, Bu? Ah, Bu Azalea sedang ada rapat, Bu. Ada yang perlu saya sampaikan? Oh, tentang itu, Bu Azalea bilang akan mengatur dinner atau lunch dalam waktu dekat....”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status