"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon."
Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi.
"Bukan honeymoon tauk."
Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?"
"Baby Moon."
Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak.
"Dasar bocah."
Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh lembut perut Naya yang masih rata dengan tangan kanannya.
"Anak papa, lapar gak?"
"Laper." Naya yang menjawab.
"Mau makan apa?"
Gerakan jemari Naya pada layar ponsel mendadak berhenti. Naya menoleh kearah Deaz, menunjukkan tatapan puppy eyes yang membuat Deaz menelan ludah susah payah.
"Jangan bilang, kamu mau makan aku lagi?" Deaz tercengir, merasa percaya diri. Dengan senang hati akan melanjutkan percintaan mereka lagi jika Naya memaksa, namun satu pukulan mendarat di kepala lelaki itu dengan pelan. Naya melotot garang.
"Mesum."
***
"Deaz, bengkel ini punya kamu?"
"Bukan."
Naya mengangkat wajahnya. Namun tetap memasukkan sesuap demi suap makanan kedalam mulut. Sementara Deaz juga melakukan hal yang sama, duduk tenang di seberang Naya.
"Jadi bukan punya kamu?"
"Bukan sayang."
Naya diam. Pikirannya mulai bercabang. Ia pikir, Deaz bos di bengkel tersebut. Namun, faktanya, suaminya itu hanya pekerja biasa. Naya jadi sanksi, berapa gaji Deaz selama satu bulan. Ingin bertanya, tapi Naya merasa tidak sopan.
Naya menghela napas, lalu gerakan hendak menyuap makanannya kembali berhenti. Mendadak, gadis itu mengingat hal lain.
"Deaz, kita tadi. Itu ... Bos kamu, apa gak marah?"
Deaz menangkap apa yang istrinya maksud lalu membalasnya dengan tenang.
"Kalau pun marah, kita pasti sudah diusir dari tadi kan?"
Naya mengangguk. Tapi tetap saja, Naya jadi merasa tidak enak hati. Dia pikir, Deaz adalah bosnya ditempat ini. Dan mereka berdua sekarang malah enak-enakan makan. Naya cepat-cepat menghabiskan makanannya agar Deaz bisa kembali bekerja. Bisa gawat kalau suaminya itu dipecat hanya karena Naya.
Deaz yang melihat Naya jadi lahap mendadak bingung.
"Nay, pelan-pelan makannya."
"Aku harus minta maaf, sama bos kamu. Siapa nama bos kamu?"
Deaz bingung. Gimana ya, orang dia bosnya.
"Deaz, bos kamu siapa?"
"Keanu."
Naya segera berdiri. Melihat itu, Deaz segera menyusul istrinya keluar.
Sesampainya diluar, Naya bingung. Dia tidak mengenal seorang pun ditempat ini. Namun, ketika ia melihat lelaki pertama yang diajaknya bicara sesampainya di bengkel tadi pagi, Naya segera menghampiri orang itu.
"Jay?"
Jay, yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh. Sedikit terkejut ketika mendapati Naya disana, mengajaknya bicara.
Jay segera berdiri dari posisinya jongkok membenarkan motor.
"Nama kamu, Jay kan?"
Jay mengangguk, membenarkan.
"Bos kamu. Ehm ... maksud ku Keanu. Yang mana orang itu?"
Jay mengernyit bingung, lalu ketika pandangannya menemukan keberadaan Deaz di belakang Naya, yang tengah memberikan sinyal dan kode melalui gerakan tangan dan bibir. Jay segera mengangguk, mengerti. Naya bingung melihat keterdiaman lelaki itu.
"Jay?"
"Eh, itu. Keanu gak ada. Maksudku, dia kan bos, jadi dateng ke bengkel cuma sesekali, karena tugasnya cuma mantau pekerjaan anak buah."
Naya mendesah lega sekaligus kecewa. Lega karena Deaz tidak akan kena pecat dan kecewa karena Naya tidak bisa berkenalan dengan bos dari suaminya. Naya, hanya merasa sedikit berdosa karena telah menyalahgunakan ruangan di dalam sebagai tempatnya memadu kasih dengan sang suami.
Melihat keterdiaman Naya, Jay menjadi bingung.
"Itu, kapan-kapan mbak bisa kesini lagi kalau mau kenalan sama bos."
Deaz mendelik kearah Jay yang meringis.
"Hehe, tapi kayaknya bos gak akan dateng kesini lagi dalam waktu dekat-dekat ini," lanjut lelaki itu.
Naya mengangguk.
"Yaudah. Makasih ya Jay.""Iya mbak."
Naya berbalik saat itulah dia menemukan Deaz sudah berdiri di belakangnya, entah sejak kapan. Naya menaikkan satu alis, membuat Deaz melangkah maju mendekatinya.
"Gimana, udah ketemu sama bosnya?"
Naya memicing.
"Kenapa gak bilang kalau bos kamu gak ada?"Deaz meringis, "aku udah mau bilang, tapi kamu keburu keluar."
Naya menghembuskan napas, maju dan berjinjit untuk memberikan kecupan singkat tepat dibibir suaminya itu. Deaz tampak mematung ditempat, tidak menyangka Naya akan menciumnya di tempat ramai, maksudnya jelas para pekerja yang bekerja di bengkel itu melirik kearah mereka.
"Aku mau pulang, semangat ya kerjanya."
"Aku anterin?"
Naya segera menolaknya dengan gelengan kepala. "Jangan. Gak enak sama temen-temenmu yang lain. Kamu kan harus kerja."
Naya melenggang pergi. Deaz membuntuti.
"Aku anterin pulang deh. Masak kamu sendirian.""Ih ... Jangan. Aku gak mau makin merasa bersalah karena udah ganggu waktu kerja kamu. Tadi, harusnya aku gak kesini."
Deaz paham. Deaz mengerti pasti Naya merasa bersalah karena berpikir kedatangannya telah mengganggu semua orang yang bekerja di bengkel. Padahal sejujurnya, Deaz senang Naya datang ketempat ini. Toh, dia adalah bosnya--- Deaz bisa melakukan apapun bersama istrinya, termasuk bercinta seperti tadi. Tapi.... Ah sudahlah! Deaz tidak punya pilihan lain.
"Hati-hati."
Naya pamit pergi.
***
Naya menghela napas di sepanjang jalan. Kakinya mulai pegal, padahal jarak dari bengkel ke rumah Deaz terbilang cukup dekat, Naya saja yang payah tidak pernah jalan kaki selama ini.
Teriknya matahari membuat Naya memutuskan untuk beristirahat, duduk di sebuah pos kamling. Naya meluruskan kedua kakinya dan menunduk.
"Mau minum."
Naya terkejut. Menatap uluran sebotol air minum dari seseorang yang entah sejak kapan sudah duduk disebelahnya. Melihat seorang pemuda yang menghisap rokok, Naya sedikit bergerak menjauh.
"Gue Rega."
Naya tidak berniat kenalan.
Apalagi dengan orang asing. Tapi sejujurnya, Naya haus. Udara yang panas ditambah tadi ketika ia makan Naya lupa minum, membuat tenggorokan gadis itu kering kerontang. Naya berdehem canggung menyadari lelaki disebelahnya mulai mematikan rokoknya."Lo gak suka asap rokok?"
"Aku hamil."
"Wow. Gue kira kita seumuran."
Lelaki itu mengulurkan botol air mineralnya lagi. "Tenang aja. Gak gue racun. Gue tahu lo haus. Kasihan dedek--- ekhem bayi dalam perut lo."
Naya meraih botol air mineral itu secepat mungkin. Membukanya tanpa susah payah dan segera minum. Senyum mengembang lebar di bibir lelaki bernama Rega itu.
"Lo bukan orang sini kan? Gue baru lihat soalnya?"
Naya tidak tahu, apa perlu dia menanggapi pertanyaan itu. Tapi mengingat dia telah menerima air minum yang diberikan lelaki itu, tidak sopan rasanya jika Naya tetap diam.
"Baru pindah kemarin. Dirumah suami."
Naya terus membawa kata suami dalam menjawab pertanyaan itu. Lelaki itu juga sudah tahu bahwa Naya sedang hamil. Jadi, seharusnya tidak ada pikiran kotor untuk mendekati Naya, itu yang Naya pikirkan saat ini.
"Suami lo, kerja di bengkel tadi?"
Naya menoleh, sedikit terkejut.
"Jangan salah paham, gue cuma asal nebak karena lo jalan dari arah bengkel."
Naya kemudian berdiri.
"Makasih air minumnya. Aku duluan."Rega mengangguk. Melihat kepergian Naya dengan seringai dibibir. Mengeluarkan satu batang rokok lagi dan menyalakan pematiknya, Rega tersenyum memandang tubuh Naya yang menghilang di persimpangan jalan.
Rega menghisap nikotin dan menghembuskan asapnya ke udara.
"Cantik."
Mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, Deaz tampak mengetuk-etukan jemari tangan kanannya di atas lutut kaki kanan, duduk cemas tepat di tengah-tengah pengadilan agama, menunggu Abinaya yang belum datang di persidangan kali ini. Pikiran Deaz sangat kacau kini. Keringat bahkan muncul di kedua telapak tangannya yang dingin. Kedua orangtuanya sudah mengambil tempat duduk sedari tadi, namun keberadaan Tomi Sutedja juga belum terlihat disana. Deaz menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh dirinya kalau akan mengalami saat-saat yang seperti ini. Duduk di hadapan para hakim dan para saksi untuk proses perceraiannya dengan sang istri. Deaz takut. Dia tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perpisahan. Tapi, mereka sudah sejauh ini. Deaz sudah sangat terlambat untuk memperjuangkan pernikahan mereka yang bahkan belum satu tahun terjalin. "Maaf, saya sedikit terlambat." Deaz menoleh ke arah
Deaz mengendari mobilnya teramat pelan. Tidak ada hasrat untuk pulang, namun Deaz juga tidak mungkin terus terpuruk dengan keadaan. Lelaki itu masih sibuk bekerja lalu pulang seperti biasanya, meski bayang-bayang Naya terus menghantuinya bagai kaset rusak. Deaz tetap harus hidup. Deaz masih ingin hidup untuk kembali bersama Naya dan calon anak mereka. Kerumunan tepat di depan sana, menghentikan laju Deaz secara tiba-tiba. Deaz mengerutkan keningnya, mengamati keadaan di depan sana yang terlihat begitu tegang. Bahkan ada pula mobil polisi yang terparkir di sana. Merasa penasaran, Deaz pun memutuskan untuk turun dan berjalan mendekat. Deaz terkejut saat menyadari rumah itu adalah rumah yang sama, saat Deaz menolong Tsania dan bayinya yang dikurung Endru di dalam kamar rumah itu, satu minggu yang lalu. "Maaf, kalau boleh tahu, apa yang sedang terjadi di sini?" Seorang ibu-ibu berhijab yang Deaz tanyai pun menjawab. "Ada korban kasus pem
Deaz meletakkan kepalanya di kemudi mobil, memejamkan mata namun tidak tidur. Sudah satu minggu hidup lelaki itu kacau, sangat. Naya pergi dan Tsania terus menyalahkan dirinya atas kematian putrinya. Begitu mendengar suara gerbang yang di geser terbuka, Deaz mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah kusut kurang tidur lelaki itu. Inilah yang Deaz tunggu-tunggu, Mobil Tomi Sutedja keluar dari gerbang besar itu. Buru-buru Deaz pun menyalakan mesin mobil miliknya dan melaju perlahan mengikuti mobil tersebut. Kegiatan seperti inilah yang Deaz lakukan selama satu minggu ini. Mengikuti mobil Tomi Sutedja diam-diam dan berakhir kecewa saat mobil itu lagi-lagi berhenti di perusahaan Sutedja Company. Deaz memukul stir, mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar persis orang gila sekarang. Deaz bahkan lupa mandi, dan makan jika memang perutnya sudah terasa perih. Deaz sudah tidak lagi menangis, air mata buayanya mungkin sudah habis. Toh, d
1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.
Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be
"Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m