Hari berikutnya, berjalan seperti biasa. Naya masih kerap-kali menghabiskan waktu bersama Celine dan Agatha untuk shopping maupun liburan. Seperti hari ini misalnya, setelah membeli jam tangan keluaran terbaru merk kelas dunia, ketiga gadis itu kemudian nongkrong di Brilliane Cafe. Tempat biasa mereka nongkrong hanya untuk sekedar makan dan berbincang-bincang. Tempatnya yang minimalis namun di desain dengan begitu elegan membuat siapa saja pasti betah nongkrong di tempat itu.
Naya bahkan sanggup bejam-jam berada di sana hanya untuk membaca novel. Tersedia ruangan kaca privasi yang bisa mereka jadikan tempat untuk membaca. Seperti yang tengah ketiga gadis itu sewa hari ini misalnya.
"Btw, Nay. Kemarin malam, habis dari club, lo pergi kemana, dah? Gue nyariin lo tapi lo ternyata udah gak ada di meja bar?"
Naya sontak langsung menghentikan acara membacanya, menggeser novel di tangan dan menatap ke arah Celine kali ini. Naya tampak berusaha sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Aku gak inget pasti sih. Tapi, yang jelas bangun-bangun aku udah ada di hotel sama seorang laki-laki."
Uhuk!
Agatha yang memang tidak tahu apa-apa, tersedak air minumnya sendiri setelah mendengar omongan Naya barusan.
"Wait, what? Demi apa lo, Abinaya Sutedja? Lo udah lepas perawan?"
Naya mengangguk dengan santai untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Eh anjir! Ketinggalan berita apa lagi ini gue. Bisa-bisanya kalian gak ngajak gue ke club kemarin malam."
"Ye... Cebong! Lo lupa siapa yang gue telpon berkali-kali tapi kagak diangkat. Gue bahkan ngirim pesan lewat sms juga."
"Masa sih?"
"Dahlah." Celine mengibaskan tangan kanannya dengan malas, kemudian kembali menatap ke arah Naya dengan raut wajah serius. "Jadi, lo beneran ngikutin apa yang gue saranin malem itu, Nay?"
Naya mengangguk lagi.
"Gila lo Nay! Gue padahal cuma niat bercanda loh."
"Bercanda kamu itu, solusi bagus tau," kata Naya acuh-tak acuh. Agatha sampai memandang tak percaya ke arah Abinaya saat ini. Kemana perginya gadis polos nan baik hati dari jiwa murni gadis itu.
"Sesat ajaran lo, Cel."
Agatha menyalahkan Celine atas hilangnya kepolosan Naya. Sementara Celine hanya tercengir tanpa dosa.
"Ya mohon maaf. Kan gue gak ada niatan untuk menjerumuskan seorang Abinaya Sutedja yang polos bin kolot ini ke lubang kenikmatan duniawi."
Celine menyedot santai jus alpukat miliknya kemudian, namun kedua matanya tetap tertuju lekat ke arah Naya.
"Jadi, lo beneran udah gak perawan nih?"
"Hum." Naya menganggukkan kepala.
Brak!
"Selamat kalau begitu!" Kata Celine memekik bahagia, sambil memukul pelan meja di depannya. Agatha sontak saja langsung menoyor kepala cewek itu.
"Goblok kok di pelihara. Ntar kalau si Naya hamil gimana, Woy."
"Sengaja kok. Naya memang pingin hamil."
Agatha langsung melotot mendengar perkataan Naya barusan. "Yang bener aja lo, Nay?"
"Beneran kok." Naya memperbaiki posisi duduknya, "Soalnya Naya gak mau dijodohin. Kakek katanya pingin cicit, dan satu-satunya orang bisa kasih kakek cicit cuma aku. Yaudah aku minta benihnya sama laki-laki yang aku temui di club semalam biar tumbuh jadi bayi."
"Terus laki-laki yang lo mintai benihnya itu, mau gitu aja nyumbangin benih ke lo?"
Naya menggeleng.
"Awalnya sih, laki-laki itu menolak keinginan Naya. Tapi mana ada sih, laki-laki yang kuat menolak godaan sodoran tubuh seorang perawan. Setelah tahu kalau aku dengan suka rela akan memberikan keperawanan, lelaki itu akhirnya luluh juga."Celine bertepuk tangan bak anak kecil yang mendapatkan hiburan.
"Mantab Nay! Gue suka cara lo! Ibarat seekor kucing, mana ada yang nolak sodoran ikan tenggiri."Agatha benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran kedua temannya itu. Bisa-bisanya, Agatha memiliki teman seperti mereka berdua.
"Oh ya, Nay. Laki-laki yang nidurin lo itu, orangnya cakep gak?"
"Ganteng kok."
"Bagus deh kalau gitu. Soalnya nih ya, gue gak bisa deh bayangin gimana jadinya kalau laki-laki yang lo pilih itu bapak-bapak perut buncit, kelebihan lemak terus giginya tongos, punya kumis ikan lele pula. Apa gak asem hidup lo ntar dapet keturunan modelan begitu."
Naya dan Celine sontak saja langsung terkikik geli mendengar ocehan Agatha barusan.
"Btw, namanya siapa? Pengusaha muda? Ceo? Atau jangan-jangan malah yang punya club malam tempat lo clubing?"
"Namanya Deaz, tapi aku gak sempet nanya apa pekerjaannya. Soalnya, kita udah sepakat setelah malam itu, gak akan ada lagi pertemuan yang kedua dan seterusnya. Kita juga masih terlalu asing untuk bertanya masalah pribadi, seperti halnya pekerjaan."
Agatha dan Celine sontak langsung mengangguk-angguk, paham.
"Tapi, apa kalian yakin gak bakalan akan ada pertemuan yang berikutnya? Biasanya nih ya, kalau orang udah ngerasain enaknya bobok bareng, mereka bakal merasa ketagihan. Lo yakin, bisa bertahan tanpa sex setelah tahu rasanya Nay?"
Wajah Naya tanpa sadar memerah mendengar pertanyaan itu. Astaga! Bayangan percintaan panas yang Naya dan Deaz lakukan, berulangkali di tempat yang berbeda di kamar hotel malam itu masih terngiang sangat jelas dalam ingatan Naya. Entah hanya perasaannya saja, atau memang apa yang di katakan Celine itu memang benar adanya. Deaz sudah ketagihan akan tubuh Naya, begitu pula sebaliknya. Karena, jujur saja Naya pun tidak menampik kalau sex dengan Deaz merupakan pengalaman yang sangat menakjubkan sekaligus memuaskan. Rasa dahaga itu, memang masih terasa hingga kini.
Omong-omong, apa kabar dengan lelaki itu ya?
"Gak tahu. Kita lihat saja kedepannya."
Ya. Lihat saja bagaimana kedepannya. Yang terpenting, kini Naya sudah tidak perlu lagi repot-repot memikirkan cara untuk membatalkan perjodohan yang kakeknya rencanakan. Karena Naya sudah mendapatkan solusinya. Tinggal menunggu beberapa minggu ke depan, akan tumbuhnya si jabang bayi hasil one night stand-nya dengan Deaz.
***
1 BULAN KEMUDIAN.
Naya tidak tahu kenapa tubuhnya terasa lemas pagi ini. Air ludahnya juga terasa sangat pahit dan perutnya terus bergolak sejak tadi. Rasa pusing yang juga menyerang kepalanya membuat Naya urung untuk pergi bersama kedua sahabatnya hari ini.
Naya yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi, usai memuntahkan cairan bening, segera meraih ponsel genggam miliknya. Mendial nomor salah satu sahabatnya dan menempelkan benda pipih panjang itu di telinga kanannya dengan wajah pucat. Naya langsung membaringkan tubuhnya kembali sambil telponan.
"Halo, Nay. Udah sampai dimana? Kita berdua otw nih."
"Aku gak jadi ikut deh. Tiba-tiba lagi gak enak badan." kata Naya dengan suara pelan. Diseberang sana, terjadi keheningan yang cukup panjang, sebelum akhirnya suara Agatha yang kini terdengar menggantikan suara Celine.
"Lo mual, Nay?"
Naya mengerutkan keningnya.
"Kok tahu?""Perut lo bergolak, terus pala lo pusing juga gak?"
Naya mengangguk-angguk.
"Iya.""Buruan pergi ke apotik."
Naya langsung bangun dari posisi berbaringnya mendengar pekikan Agatha tersebut.
"Apotik?"
"Ya. Beli alat tes kehamilan. Namanya testpack."
Naya menelan ludah menyadari sesuatu. Buru-buru, gadis itu berdiri dan mengenakan sandal bulu kelincinya. Tidak ada waktu untuk sekedar mengganti pakaian, masih mengenakan baju tidur dan rambut yang tergulung asal, Naya pergi ke apotik terdekat dengan di antar sopir pribadi kakeknya.
Ini sudah satu bulan sejak kejadian malam itu. Penantian Naya akhirnya akan segera mendapatkan jawaban. Usai membeli beberapa merk testpack terbaik karena rekomendasi dari sang apoteker, Naya kini sudah duduk di atas toilet kamar mandi. Gadis itu, menunggu dengan harap-harap cemas setelah menggunakan alat tes kehamilan tersebut beberapa menit yang lalu. Naya gugup. Cemas dan merasa takut.
Bagaimana hasilnya nanti?
Positif kah?
Negatif kah?
Naya menggigit bibir bawahnya sendiri dengan perasaan kalut. Berbagai kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk terus berputar memenuhi kepalanya. Hingga, tepat pada waktunya itu telah tiba, dengan mata yang semula masih tertutup rapat, Naya mulai memberanikan diri membuka kedua bola matanya, sekaligus membuka tangkupan dua tangan yang menyembunyikan testpack itu.
"What the fuck!"
Kedua mata Naya terbelalak hingga bukaan maksimal. Bibirnya membentuk lingkaran dengan tangan yang terus bergetar. Air mata Naya menetes tanpa sadar. Naya langsung menjatuhkan benda pipih panjang dengan dua garis merah itu dan menangis histeris.
"Dua garis merah?" Naya hamil. Cklek. (Suara pintu terbuka.) Naya keluar dari dalam kamar mandi, dengan bathrobe yang membalut tubuh polosnya. Rambutnya yang basah ia gosok menggunakan handuk kecil, berjalan kearah lemari dan mengeluarkan pakaian dalam dari sana. Naya segera mengenakan benda tersebut, lalu mengambil sepasang pakaian yang akan dikenakannya hari ini, tergeletak diatas ranjang kamarnya. Semua aktifitas itu, Deaz saksikan dari balik gorden jendela. Lelaki itu bersembunyi disana, menahan keinginan untuk menerkam ibu dari calon anaknya itu. Deaz tersenyum tanpa sadar. Teringat lagi pada alat tes kehamilan yang tergeletak diatas meja nakas kamar gadis itu. Naya meletakkannya secara sembarangan. Namun, berkat itu pula, Deaz tidak perlu repot-repot mengobrak-abrik isi kamar gadis itu untuk mencarinya. Deaz sudah mendapatkan jawaban, setelah sebulan l
Naya bercermin. Mengenakan dress motif floral, Naya malam ini tampil begitu manis. Tidak lupa dia menyembunyikan testpack di balik saku dressnya jika nanti Naya membutuhkan benda tersebut sebagai senjatanya malam ini. Meskipun dirinya ingin perjodohan ini berakhir, Naya tetap peduli pada penampilannya. Bagaimana pun juga, tampil cantik adalah hal yang wajib. Tok tok tok. "Non, tamunya sudah datang." "Iya, bik." Setelah memoles liptint di bibir sebagai sentuhan terakhir. Naya segera bangun, berjalan menuju ke arah pintu. Naya menarik napas dan menganggukkan kepalanya sendiri. Menyemangati diri sendiri. Jujur saja, Naya sedikit gugup. Setelah merasa yakin, gadis itu kemudain baru mau melangkah pasti menuruni tiap anak tangga satu per satu. Bisa dia lihat sepasang orang dewasa sudah duduk disofa, berbincang dengan kakeknya layaknya keluarga. Namun, Naya sedikit bingung karena tidak menemukan lelaki
Naya menangis. Terus menangis. Tidak mau berhenti. Sementara diluar ruang rawat, Rosa tampak menggigiti kuku jari tangannya sendiri, melihat Naya yang menangis tersedu diatas brankar rumah sakit. Tomi juga sama khawatirnya. Tidak pernah dia melihat cucu kesayangannya itu terus mengalirkan air mata seperti itu. Hatinya tercubit. Merasa ngilu. Sementara Deaz tampak mondar-mandir dengan bingung. Menggaruk rambutnya sendiri, kemudian melangkah kearah sang ibu. "Ma ..." "Diam kamu." Deaz tidak jadi bicara. Rosalinda, tampaknya masih sangat marah kepadanya. Percuma. Saat ini, dialah yang dituduh sebagai tersangka. Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan seorang dokter dan perawat yang baru saja keluar dalam ruang rawat itu, membuat Deaz bersama ketiga orang lainnya segera mendekat. "Dokter? Gimana ..," "Cucu saya. Cucu saya kenapa ....
Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz. Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu. Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya. "Mama?" "Sayang? Kamu udah bangun?" Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah. "Maaf, Naya kesiangan." Rosa tersenyum ma
Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil. Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali. "Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?" "Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin." "Kenapa lama?" "Ada sedikit petuah tentang laki-laki." "Maksudnya?" Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya. Melihat itu, sontak saja Naya langsung m
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m