Share

5). Positif

"Dua garis merah?"

Naya hamil.

Cklek. (Suara pintu terbuka.)

Naya keluar dari dalam kamar mandi, dengan bathrobe yang membalut tubuh polosnya. Rambutnya yang basah ia gosok menggunakan handuk kecil, berjalan kearah lemari dan mengeluarkan pakaian dalam dari sana. Naya segera mengenakan benda tersebut, lalu mengambil sepasang pakaian yang akan dikenakannya hari ini, tergeletak diatas ranjang kamarnya.

Semua aktifitas itu, Deaz saksikan dari balik gorden jendela. Lelaki itu bersembunyi disana, menahan keinginan untuk menerkam ibu dari calon anaknya itu.

Deaz tersenyum tanpa sadar. Teringat lagi pada alat tes kehamilan yang tergeletak diatas meja nakas kamar gadis itu. Naya meletakkannya secara sembarangan. Namun, berkat itu pula, Deaz tidak perlu repot-repot mengobrak-abrik isi kamar gadis itu untuk mencarinya.

Deaz sudah mendapatkan jawaban, setelah sebulan lamanya menunggu. Menyembulkan kepalanya keluar, Deaz melihat punggung Naya yang kembali masuk kedalam kamar mandi.

Deaz segera membuka tirai jendela dan keluar dari dalam kamar gadis itu, menggunakan kesempatan untuk kabur.

***

Suara hentakan sepatu terdengar berderap cepat menuruni tangga. Tomi Sutedja yang tengah duduk di sofa ruang tengah sambil membaca koran langsung mengalihkan fokusnya kearah Deaz yang turun secara tergesa dari kamar cucunya.

"Bagaimana?"

"Positif."

Tomi seketika berdiri, "Hamil?"

"Ya."

"Berengsek."

Dugh!

Deaz meringis, mengusap kepalanya yang terkena pukul gulungan koran dari Tomi Sutedja. Lelaki separuh baya itu berkacak pinggang, ingin marah karena cucunya hamil diluar nikah, tapi juga senang karena nyatanya Naya hamil anak Deaz, lelaki pilihan yang akan dia jodohkan dengan cucu semata wayangnya itu.

"Aku tidak tahu. Rasanya aku ingin marah dan memukulimu sampai mampus karena kau telah menghamili cucuku. Tapi di sisi lain, ini ada baiknya karena mau tak mau Naya harus menerima perjodohan ini."

Deaz mengangguk dan tersenyum.

"Tapi tetap saja. Kamu itu bajingan."

Tomi menendang pelan kaki Deaz menggunakan tongkat kayunya.

"Aku berjanji akan segera melamarnya, kek. Percayalah padaku."

"Ya. Itu harus. Besok datang kemari dan bawa kedua orang tuamu. Kalian harus segera menikah."

Deaz jelas sudah mempersiapkan segalanya.

"KAKEK!" Teriakan Naya terdengar secara tiba-tiba, dari dalam kamarnya.

Panik.

Tomi segera mendorong tubuh Deaz agar segera pergi dari sana. Tak lama setelah tubuh Deaz menghilang keluar pintu, Naya muncul dari atas dengan senyuman lebar. Melihat pancar kebahagiaan di wajah cucunya itu, Tomi ikut tersenyum senang.

"Kakek! Aku punya kabar bagus."

Naya turun melewati setiap anak tangga dengan tergesa-gesa. Melihat itu, Tomi langsung mengerutkan keningnya.

"Kabar apa itu?"

"Kakek, harus lihat ini."

Naya menyodorkan kedua tangannya yang tertutup, lalu membukanya tepat di hadapan sangat kakek.

"Tadaa!"

Kedua alis Tomi tampak menyatu, menatap benda pipih panjang di dalamnya dengan kening berkerut bingung.

"Apa itu?"

"Kakek, tidak tahu?"

Tomi menggeleng.

"Ini testpack. Alat tes kehamilan. Naya hamil."

"Oh." Tomi mengangguk, dia sudah tahu dari Deaz barusan... Eh tunggu! Tapi Tomi harus pura-pura terkejut, bukan.

"Apa! Kamu hamil, Naya!"

Naya mengangguk, kelewat antusias.

"Ya. Kakek akan punya cicit!"

"Bagaimana bisa? Siapa bapaknya?!" Tomi memegang dada, Pura-pura terkena serangan jantung dan segera menjatuhkan tubuhnya, duduk disofa. Melihat itu, Naya panik.

"Siapa lelaki itu? Yang sudah meniduri cucu kesayangan kakek?"

Naya menggigit bibir.

"Namanya, Deaz."

"Nama panjang?"

Naya menggeleng.

"Naya gak tahu." Gadis itu lalu ikut duduk disebelah kakeknya, mengusap-usap dada kakeknya itu, seakan ingin menenangkan si jantung. Andai saja Tomi tidak tahu kenyataannya, mungkin lelaki paruh baya itu benar-benar akan terkena serangan jantung saat ini.

"Kakek senang kan? Akhirnya, kakek akan punya cicit. Jadi, Naya gak perlu menikah karena bayi ini yang akan meneruskan perusahaan keluarga kita kelak."

Tomi berdehem.

"Tapi, Nay. Kakek butuh pengganti untuk mengurus perusahaan itu saat ini. Kalau harus menunggu bayi di dalam perutmu itu, lahir-- lalu masih harus menunggu lagi hingga bayi itu tumbuh besar, maka kemungkinan besar kakek sudah mati."

"Kakek kan masih punya Sandro." Naya menyebutkan nama asisten kakeknya, yang selama ini membantu pak tua itu dalam menghandle pekerjaan di kantor.

"Tapi, Sandro lama-lama juga bisa tua."

Naya mengibaskan satu tangannya, tidak mau peduli.

"Dahlah. Yang penting, satu masalah kita sudah beres. Kakek tidak bisa memaksaku menerima perjodohan itu lagi."

Naya berdiri, mengecup kening keriput kakeknya. "Naya, mau pergi ke mall. Beli persiapan buat baby," katanya, seraya mengusap-usap perutnya yang masih rata, pamer.

Melihat pergerakan cucunya yang hendak pergi itu, Tomi segera memanggilnya kembali karena teringat sesuatu.

"Naya, tunggu!"

Tomi menegakkan posisi duduknya, menghentikan Naya yang sudah menyentuh handle pintu.

"Nanti malam, keluarga calon suamimu akan datang kesini."

Naya memutar tubuh, mengusap perutnya lagi dan tersenyum.

"Oke. Naya juga udah gak sabar mau pamerin ini ke mereka."

***

"Hm, bagusan yang mana ya? Pink atau biru?"

"Dua-duanya, bagus."

Naya menurunkan dua warna baju bayi ditangannya, lalu muncul wajah Deaz disana. Naya terkejut akan keberadaan lelaki itu. Pasalnya, setelah hari itu. Mereka sudah tidak pernah lagi bertemu. Meskipun sempat bertukar nomor ponsel, Naya merasa hubungan mereka memang hanya sebatas one night stand semata. Dan melihat keberadaan lelaki itu lagi setelah sebulan lamanya, Naya tentu saja terkejut. Deaz tampak tersenyum tengil menggoda dirinya.

"Deaz, kamu disini?" Naya langsung mendekat.

"Ya. Ini masih mall umum, 'kan? Bukan punya keluarga kamu?"

Naya memukul lengan atas lelaki itu dengan kesal. "Dasar."

Deaz terkekeh.

"Kamu sendiri? Kenapa disini?"

Teringat pada kehamilannya saat ini, Naya langsung memamerkan perutnya yang masih rata kepada Deaz.

"Aku hamil."

"Oh ya?" Deaz pura-pura terkejut. "Selamat kalau begitu."

Naya mengangguk.

"Makasih ya. Benih kamu ternyata, bibit unggul." Naya mengangkat dua jempol tangannya. Sementara Deaz, tertawa serak. Teringat momen intim mereka malam itu.

Berusaha mengalihkan perhatian, Deaz kemudian berjalan kearah samping dan mengambil sepasang topi bayi.

"Omong-omong? Kamu sendiri?"

"Aku nganterin mamaku beli peralatan bayi."

Naya mengedipkan kedua matanya.

"Peralatan bayi?"

Deaz mengangguk.

"Calon istriku hamil."

Mendengar itu, hati Naya mendadak jadi ngilu. Tapi, Naya tidak tahu kenapa.

"Wah, selamat kalau begitu."

Naya menyodorkan tangan kanannya, Deaz mengamati sejenak uluran tangan itu sebelum membalasnya. Dalam hati, Deaz tertawa geli. Betapa polosnya, calon istrinya ini.

"Ini." Deaz menyodorkan paper bag berisi pakaian bayi yang telah dia pilih kearah Naya. Sementara, Naya melihatnya dengan kening bingung.

"Ambil."

"Ini, bukan buat calon istri kamu?"

Deaz mengambil tangan Naya dan memberikannya secara paksa.

"Itu baju-baju pilihanku, buat calon anak kita."

Setelah mengatakan itu, Deaz pamit pergi. Naya terdiam, mematung. Hatinya berdesir, terngiang kalimat terakhir Deaz yang membuatnya tanpa sadar tersenyum.

"Anak kita?"

Kedua pipi Naya terlihat merona. Naya mengintip sebentar pakaian bayi pilihan Deaz itu dan kembali tersipu.

Kenapa terdengar manis sekali, sih.

"Mbak, bajunya yang ini jadi diambil?"

Naya menggeleng.

"Gak jadi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status