Share

5). Positif

Author: Intan
last update Last Updated: 2022-01-14 10:31:14

"Dua garis merah?"

Naya hamil.

Cklek. (Suara pintu terbuka.)

Naya keluar dari dalam kamar mandi, dengan bathrobe yang membalut tubuh polosnya. Rambutnya yang basah ia gosok menggunakan handuk kecil, berjalan kearah lemari dan mengeluarkan pakaian dalam dari sana. Naya segera mengenakan benda tersebut, lalu mengambil sepasang pakaian yang akan dikenakannya hari ini, tergeletak diatas ranjang kamarnya.

Semua aktifitas itu, Deaz saksikan dari balik gorden jendela. Lelaki itu bersembunyi disana, menahan keinginan untuk menerkam ibu dari calon anaknya itu.

Deaz tersenyum tanpa sadar. Teringat lagi pada alat tes kehamilan yang tergeletak diatas meja nakas kamar gadis itu. Naya meletakkannya secara sembarangan. Namun, berkat itu pula, Deaz tidak perlu repot-repot mengobrak-abrik isi kamar gadis itu untuk mencarinya.

Deaz sudah mendapatkan jawaban, setelah sebulan lamanya menunggu. Menyembulkan kepalanya keluar, Deaz melihat punggung Naya yang kembali masuk kedalam kamar mandi.

Deaz segera membuka tirai jendela dan keluar dari dalam kamar gadis itu, menggunakan kesempatan untuk kabur.

***

Suara hentakan sepatu terdengar berderap cepat menuruni tangga. Tomi Sutedja yang tengah duduk di sofa ruang tengah sambil membaca koran langsung mengalihkan fokusnya kearah Deaz yang turun secara tergesa dari kamar cucunya.

"Bagaimana?"

"Positif."

Tomi seketika berdiri, "Hamil?"

"Ya."

"Berengsek."

Dugh!

Deaz meringis, mengusap kepalanya yang terkena pukul gulungan koran dari Tomi Sutedja. Lelaki separuh baya itu berkacak pinggang, ingin marah karena cucunya hamil diluar nikah, tapi juga senang karena nyatanya Naya hamil anak Deaz, lelaki pilihan yang akan dia jodohkan dengan cucu semata wayangnya itu.

"Aku tidak tahu. Rasanya aku ingin marah dan memukulimu sampai mampus karena kau telah menghamili cucuku. Tapi di sisi lain, ini ada baiknya karena mau tak mau Naya harus menerima perjodohan ini."

Deaz mengangguk dan tersenyum.

"Tapi tetap saja. Kamu itu bajingan."

Tomi menendang pelan kaki Deaz menggunakan tongkat kayunya.

"Aku berjanji akan segera melamarnya, kek. Percayalah padaku."

"Ya. Itu harus. Besok datang kemari dan bawa kedua orang tuamu. Kalian harus segera menikah."

Deaz jelas sudah mempersiapkan segalanya.

"KAKEK!" Teriakan Naya terdengar secara tiba-tiba, dari dalam kamarnya.

Panik.

Tomi segera mendorong tubuh Deaz agar segera pergi dari sana. Tak lama setelah tubuh Deaz menghilang keluar pintu, Naya muncul dari atas dengan senyuman lebar. Melihat pancar kebahagiaan di wajah cucunya itu, Tomi ikut tersenyum senang.

"Kakek! Aku punya kabar bagus."

Naya turun melewati setiap anak tangga dengan tergesa-gesa. Melihat itu, Tomi langsung mengerutkan keningnya.

"Kabar apa itu?"

"Kakek, harus lihat ini."

Naya menyodorkan kedua tangannya yang tertutup, lalu membukanya tepat di hadapan sangat kakek.

"Tadaa!"

Kedua alis Tomi tampak menyatu, menatap benda pipih panjang di dalamnya dengan kening berkerut bingung.

"Apa itu?"

"Kakek, tidak tahu?"

Tomi menggeleng.

"Ini testpack. Alat tes kehamilan. Naya hamil."

"Oh." Tomi mengangguk, dia sudah tahu dari Deaz barusan... Eh tunggu! Tapi Tomi harus pura-pura terkejut, bukan.

"Apa! Kamu hamil, Naya!"

Naya mengangguk, kelewat antusias.

"Ya. Kakek akan punya cicit!"

"Bagaimana bisa? Siapa bapaknya?!" Tomi memegang dada, Pura-pura terkena serangan jantung dan segera menjatuhkan tubuhnya, duduk disofa. Melihat itu, Naya panik.

"Siapa lelaki itu? Yang sudah meniduri cucu kesayangan kakek?"

Naya menggigit bibir.

"Namanya, Deaz."

"Nama panjang?"

Naya menggeleng.

"Naya gak tahu." Gadis itu lalu ikut duduk disebelah kakeknya, mengusap-usap dada kakeknya itu, seakan ingin menenangkan si jantung. Andai saja Tomi tidak tahu kenyataannya, mungkin lelaki paruh baya itu benar-benar akan terkena serangan jantung saat ini.

"Kakek senang kan? Akhirnya, kakek akan punya cicit. Jadi, Naya gak perlu menikah karena bayi ini yang akan meneruskan perusahaan keluarga kita kelak."

Tomi berdehem.

"Tapi, Nay. Kakek butuh pengganti untuk mengurus perusahaan itu saat ini. Kalau harus menunggu bayi di dalam perutmu itu, lahir-- lalu masih harus menunggu lagi hingga bayi itu tumbuh besar, maka kemungkinan besar kakek sudah mati."

"Kakek kan masih punya Sandro." Naya menyebutkan nama asisten kakeknya, yang selama ini membantu pak tua itu dalam menghandle pekerjaan di kantor.

"Tapi, Sandro lama-lama juga bisa tua."

Naya mengibaskan satu tangannya, tidak mau peduli.

"Dahlah. Yang penting, satu masalah kita sudah beres. Kakek tidak bisa memaksaku menerima perjodohan itu lagi."

Naya berdiri, mengecup kening keriput kakeknya. "Naya, mau pergi ke mall. Beli persiapan buat baby," katanya, seraya mengusap-usap perutnya yang masih rata, pamer.

Melihat pergerakan cucunya yang hendak pergi itu, Tomi segera memanggilnya kembali karena teringat sesuatu.

"Naya, tunggu!"

Tomi menegakkan posisi duduknya, menghentikan Naya yang sudah menyentuh handle pintu.

"Nanti malam, keluarga calon suamimu akan datang kesini."

Naya memutar tubuh, mengusap perutnya lagi dan tersenyum.

"Oke. Naya juga udah gak sabar mau pamerin ini ke mereka."

***

"Hm, bagusan yang mana ya? Pink atau biru?"

"Dua-duanya, bagus."

Naya menurunkan dua warna baju bayi ditangannya, lalu muncul wajah Deaz disana. Naya terkejut akan keberadaan lelaki itu. Pasalnya, setelah hari itu. Mereka sudah tidak pernah lagi bertemu. Meskipun sempat bertukar nomor ponsel, Naya merasa hubungan mereka memang hanya sebatas one night stand semata. Dan melihat keberadaan lelaki itu lagi setelah sebulan lamanya, Naya tentu saja terkejut. Deaz tampak tersenyum tengil menggoda dirinya.

"Deaz, kamu disini?" Naya langsung mendekat.

"Ya. Ini masih mall umum, 'kan? Bukan punya keluarga kamu?"

Naya memukul lengan atas lelaki itu dengan kesal. "Dasar."

Deaz terkekeh.

"Kamu sendiri? Kenapa disini?"

Teringat pada kehamilannya saat ini, Naya langsung memamerkan perutnya yang masih rata kepada Deaz.

"Aku hamil."

"Oh ya?" Deaz pura-pura terkejut. "Selamat kalau begitu."

Naya mengangguk.

"Makasih ya. Benih kamu ternyata, bibit unggul." Naya mengangkat dua jempol tangannya. Sementara Deaz, tertawa serak. Teringat momen intim mereka malam itu.

Berusaha mengalihkan perhatian, Deaz kemudian berjalan kearah samping dan mengambil sepasang topi bayi.

"Omong-omong? Kamu sendiri?"

"Aku nganterin mamaku beli peralatan bayi."

Naya mengedipkan kedua matanya.

"Peralatan bayi?"

Deaz mengangguk.

"Calon istriku hamil."

Mendengar itu, hati Naya mendadak jadi ngilu. Tapi, Naya tidak tahu kenapa.

"Wah, selamat kalau begitu."

Naya menyodorkan tangan kanannya, Deaz mengamati sejenak uluran tangan itu sebelum membalasnya. Dalam hati, Deaz tertawa geli. Betapa polosnya, calon istrinya ini.

"Ini." Deaz menyodorkan paper bag berisi pakaian bayi yang telah dia pilih kearah Naya. Sementara, Naya melihatnya dengan kening bingung.

"Ambil."

"Ini, bukan buat calon istri kamu?"

Deaz mengambil tangan Naya dan memberikannya secara paksa.

"Itu baju-baju pilihanku, buat calon anak kita."

Setelah mengatakan itu, Deaz pamit pergi. Naya terdiam, mematung. Hatinya berdesir, terngiang kalimat terakhir Deaz yang membuatnya tanpa sadar tersenyum.

"Anak kita?"

Kedua pipi Naya terlihat merona. Naya mengintip sebentar pakaian bayi pilihan Deaz itu dan kembali tersipu.

Kenapa terdengar manis sekali, sih.

"Mbak, bajunya yang ini jadi diambil?"

Naya menggeleng.

"Gak jadi."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Get Me Pregnant   56

    Mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, Deaz tampak mengetuk-etukan jemari tangan kanannya di atas lutut kaki kanan, duduk cemas tepat di tengah-tengah pengadilan agama, menunggu Abinaya yang belum datang di persidangan kali ini. Pikiran Deaz sangat kacau kini. Keringat bahkan muncul di kedua telapak tangannya yang dingin. Kedua orangtuanya sudah mengambil tempat duduk sedari tadi, namun keberadaan Tomi Sutedja juga belum terlihat disana. Deaz menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh dirinya kalau akan mengalami saat-saat yang seperti ini. Duduk di hadapan para hakim dan para saksi untuk proses perceraiannya dengan sang istri. Deaz takut. Dia tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perpisahan. Tapi, mereka sudah sejauh ini. Deaz sudah sangat terlambat untuk memperjuangkan pernikahan mereka yang bahkan belum satu tahun terjalin. "Maaf, saya sedikit terlambat." Deaz menoleh ke arah

  • Get Me Pregnant   55

    Deaz mengendari mobilnya teramat pelan. Tidak ada hasrat untuk pulang, namun Deaz juga tidak mungkin terus terpuruk dengan keadaan. Lelaki itu masih sibuk bekerja lalu pulang seperti biasanya, meski bayang-bayang Naya terus menghantuinya bagai kaset rusak. Deaz tetap harus hidup. Deaz masih ingin hidup untuk kembali bersama Naya dan calon anak mereka. Kerumunan tepat di depan sana, menghentikan laju Deaz secara tiba-tiba. Deaz mengerutkan keningnya, mengamati keadaan di depan sana yang terlihat begitu tegang. Bahkan ada pula mobil polisi yang terparkir di sana. Merasa penasaran, Deaz pun memutuskan untuk turun dan berjalan mendekat. Deaz terkejut saat menyadari rumah itu adalah rumah yang sama, saat Deaz menolong Tsania dan bayinya yang dikurung Endru di dalam kamar rumah itu, satu minggu yang lalu. "Maaf, kalau boleh tahu, apa yang sedang terjadi di sini?" Seorang ibu-ibu berhijab yang Deaz tanyai pun menjawab. "Ada korban kasus pem

  • Get Me Pregnant   54

    Deaz meletakkan kepalanya di kemudi mobil, memejamkan mata namun tidak tidur. Sudah satu minggu hidup lelaki itu kacau, sangat. Naya pergi dan Tsania terus menyalahkan dirinya atas kematian putrinya. Begitu mendengar suara gerbang yang di geser terbuka, Deaz mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah kusut kurang tidur lelaki itu. Inilah yang Deaz tunggu-tunggu, Mobil Tomi Sutedja keluar dari gerbang besar itu. Buru-buru Deaz pun menyalakan mesin mobil miliknya dan melaju perlahan mengikuti mobil tersebut. Kegiatan seperti inilah yang Deaz lakukan selama satu minggu ini. Mengikuti mobil Tomi Sutedja diam-diam dan berakhir kecewa saat mobil itu lagi-lagi berhenti di perusahaan Sutedja Company. Deaz memukul stir, mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar persis orang gila sekarang. Deaz bahkan lupa mandi, dan makan jika memang perutnya sudah terasa perih. Deaz sudah tidak lagi menangis, air mata buayanya mungkin sudah habis. Toh, d

  • Get Me Pregnant   53

    1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.

  • Get Me Pregnant   52

    Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be

  • Get Me Pregnant   51

    "Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status