Naya bercermin. Mengenakan dress motif floral, Naya malam ini tampil begitu manis. Tidak lupa dia menyembunyikan testpack di balik saku dressnya jika nanti Naya membutuhkan benda tersebut sebagai senjatanya malam ini.
Meskipun dirinya ingin perjodohan ini berakhir, Naya tetap peduli pada penampilannya. Bagaimana pun juga, tampil cantik adalah hal yang wajib.
Tok tok tok.
"Non, tamunya sudah datang."
"Iya, bik." Setelah memoles liptint di bibir sebagai sentuhan terakhir. Naya segera bangun, berjalan menuju ke arah pintu. Naya menarik napas dan menganggukkan kepalanya sendiri. Menyemangati diri sendiri. Jujur saja, Naya sedikit gugup. Setelah merasa yakin, gadis itu kemudain baru mau melangkah pasti menuruni tiap anak tangga satu per satu. Bisa dia lihat sepasang orang dewasa sudah duduk disofa, berbincang dengan kakeknya layaknya keluarga. Namun, Naya sedikit bingung karena tidak menemukan lelaki muda yang akan di jodohkan dengannya.
"Ah, itu Naya!"
Tersadar dari pikirannya, Naya segera mendekat dan menyambut pelukan seorang wanita dewasa disana.
"Cantik ya? Tante lihat kamu dulu waktu masih kecil, Nay. Sekarang udah sebesar ini."
Naya tersenyum. Gadis itu kemudian duduk tepat di samping kakeknya. Naya hendak membuka mulut untuk bertanya, dimana lelaki yang akan di jodohkan dengannya, namun belum sempat Naya melakukan hal tersebut, rupanya wanita dewasa yang memperkenalkan diri sebagai Rosa itu langsung menjelaskannya.
"Maaf ya Nay. Kamu pasti bertanya-tanya, tentang keberadaan calon suami kamu. Immanuel sedikit terlambat. Dia terjebak macet katanya. Soalnya, putra tante ini sudah punya rumah sendiri. Jadi, tidak satu rumah dengan kami, orangtuanya."
Naya mengangguk. Oh, namanya Immanuel.
Tomi segera membuka kembali topik. Mencairkan suasana agar lebih nyaman. Naya tanpa sadar meremas jari tangan satu sama lain dibawah meja, mendadak dia jadi gugup. Dialog yang sebelumnya, telah dia hafalkan mendadak buyar. Bagaimana ini?
"Naya, kenapa?"
Naya mengangkat kepala, terkejut. Rosa menatapnya lekat, membuat Naya mendadak ingin menangis. Dan benar saja, air matanya luruh. Melihat itu, semua orang langsung terkejut, termasuk Tomi.
"Eh---eh ... Kok nangis?"
Kepalang tanggung, Naya lanjutkan saja momen itu untuk membatalkan perjodohan. Ya, begitu lebih baik.
"Tante ... Naya, mau minta maaf."
Sebagai seorang wanita, Rosa segera beranjak, duduk disebelah Naya dan membawa gadis itu kedalam pelukannya. Rosa sepertinya bisa memahami apa yang terjadi dengan calon menantunya itu.
"Naya kotor tante."
Rosa mengusap rambut gadis itu. Siap mendengarkan keluh kesah gadis itu.
"Naya hamil diluar nikah, hiks. Naya bukan gadis baik-baik, seperti yang tante dan om harapkan."
Rosa ikut sedih, Tomi bahkan turut merasakan sesak dihatinya. Meski tahu itu pasti merupakan bagian dari rencana Naya agar perjodohan ini dibatalkan. Hanya Pras, Satu-satunya orang yang tidak merasa sedih di ruangan itu.
Naya semakin menangis, sesenggukan. Hanya demi untuk membatalkan perjodohan ini, Naya sampai rela menjatuhkan harga dirinya seperti ini.
"Tante pasti malu kan? Punya calon menantu seperti Naya? Keluarga tante orang baik. Naya mau membatalkan perjodohan ini. Naya gak mau mencemari nama baik keluarga tante."
Naya mengusap ingusnya. Berharap Rosa akan mengangguk dan mengatakan ya. Memangnya, keluarga sinting mana yang mau menerima perempuan hamil diluar nikah menjadi menantu di keluarga mereka. Apalagi, Adam dikenal sebagai nama keluarga baik-baik, yang menjunjung tinggi norma dan etika.
"Atas nama anak tante. Tante mau minta maaf ya sayang."
Naya mengangguk.
"Tante gak tahu lagi harus ngomong apa sama kamu dan kakek kamu. Hanya kata maaf yang bisa tante sampaikan."
Naya mengangguk lagi. Senyumnya mulai terbit.
"Tante sekeluarga gak perlu minta maaf. Naya dan kakek dengan senang hati menerima keputusan ini."
Rosa segera mengecup kening gadis yang sudah ia anggap anaknya sendiri itu dengan sayang. Naya tersenyum lebar. Merasa lega. Air matanya surut begitu saja.
"Jadi, perjodohannya batalkan?"
Rosa mengusap air mata dipipinya, kemudian mengernyit, "Kok batal? Ya gak dong sayang. Mana mungkin batal kalau seminggu lagi kalian akan menikah."
Senyum lebar Naya menghilang. Berganti menjadi kernyitan di kening.
"Tapi, tadi bukannya ...."
"Maaf, saya datang terlambat."
Suara familiar itu, membuat semua orang menoleh kearah pintu--- termasuk Abinaya.
"Deaz?!" Pekik Naya terkejut.
Sangat berbanding terbalik dengan ekspresi wajah Deaz yang kelewat bahagia begitu menemukan Naya di sana.
"Halo, sayang," sapa lelaki itu riang.
Naya melongo. Otaknya blank.
Sementara Rosalinda, yang melihat kehadiran putranya itu langsung berdiri menghampiri Deaz.
"Ma ... Aw! Aw! Aw! Ma, kenapa tiba-tiba ...."
"Kamu bohong kan sama, Mama!" Tak tanggung-tanggung, satu tangan Rosalinda sudah menjambak rambut Deaz yang tadinya sudah tertata rapi. Memang selalu begitu. Alih-alih menarik telinga, Rosa memang lebih suka menjambak rambut jika sedang emosi. Katanya, lebih memuaskan.
"Kamu bilang, kalian berdua melakukannya karena sama-sama suka? Tapi apa, kenyataannya? Kamu menghamili Naya secara paksa, 'kan?!"
Deaz terbelalak. Dituduh seperti itu oleh mamanya sendiri, tentu saja Deaz tidak terima. Sementara Naya, tampak bingung ditempatnya berdiri. Bolak-balik ia tatap, Deaz dan Rosalinda.
"Ayo jawab! Kamu sengaja perkosa Naya kan?! Kamu bohong sama Mama dan Papa?"
"Mana ada! Deaz kan anak mama. Mana mungkin Deaz berani bohong sama mama."
"Halah bulshit! Mama gak percaya sama omongan buaya."
"Buaya lagi segala dibawa-bawa."
"T-tunggu, tante. Naya ... Naya mau minta penjelasan." Naya menginterupsi, meminta perhatian. Rosa menoleh kearah gadis yang sedang mengandung calon cucunya itu seraya tersenyum.
"Sebentar Naya sayang. Tante harus menghukum anak tante ini dulu. Ini juga demi kamu." Setelah bicara pada Naya, Rosa kembali menjambak rambut Deaz dan melotot tajam kearah putranya itu."Ngaku gak kamu?"
"Ma, sakit nih?" Rengek Deaz. Kepalanya benar-benar pedih karena jambakan Rosalinda.
"Lebih sakit mana sama harga diri Naya yang kamu nodai."
"Mama dengerin penjelasan, Deaz dulu dong."
"Gak. Omongan kamu itu gak bisa dipercaya."
"Naya yang godain Deaz loh."
"Gak mungkin. Orang Naya polos gitu."
Deaz tertawa. Sarkas.
Sementara Tomi hanya duduk pasrah menonton kejadian itu. Dia sudah terlalu tua untuk menengahi mereka. Bahkan Prasetya, calon ayah mertua Naya hanya duduk diam tidak berniat menenangkan istrinya yang sedang marah-marah.Hanya Naya yang plonga-plongo bingung berdiri diantara Deaz dan mamanya.
'Immanuel, yang katanya nama dari calon suaminya, kenapa berubah jadi Deaz!' Pikir Naya bingung.
Naya mengacak rambutnya frustasi. Sementara perdebatan sengit antara anak dan mama itu terus terjadi.
"Tau ah! Naya pusing!"
Deaz menoleh kearah Naya yang baru saja berteriak.
"Kamu pusing? Perut kamu mules?" tanyanya khawatir. Rosa langsung memukul lengan atas lelaki itu.
"Hih! Kamu pikir Naya mau melahirkan apa?! Belum umur!"
"Ya kalik, Maa."
"Deaz, tolong, tolong ... sebut nama kamu." Suara Naya berubah jadi lirih. Namun Tomi dan Pras masih dapat mendengar suara yang penuh dengan nada putus asa itu. Rosalinda dan Deaz menoleh menatap Naya dengan kening berkerut bingung.
"Ha?"
"Bukan 'ha', nama kamu."
"Namaku?"
"Ya."
"Deaz."
"Bukan itu!" Naya menghentakkan kedua kakinya kesal.
"Iya namaku Deaz, sayang."
"Nama panjang!"
"Deeeeeaaaaaaaaaz."
"Nama panjang kamu!"
"Immanuel Randeaz Adam."
Detik itu juga, Naya jatuh pingsan.
Naya menangis. Terus menangis. Tidak mau berhenti. Sementara diluar ruang rawat, Rosa tampak menggigiti kuku jari tangannya sendiri, melihat Naya yang menangis tersedu diatas brankar rumah sakit. Tomi juga sama khawatirnya. Tidak pernah dia melihat cucu kesayangannya itu terus mengalirkan air mata seperti itu. Hatinya tercubit. Merasa ngilu. Sementara Deaz tampak mondar-mandir dengan bingung. Menggaruk rambutnya sendiri, kemudian melangkah kearah sang ibu. "Ma ..." "Diam kamu." Deaz tidak jadi bicara. Rosalinda, tampaknya masih sangat marah kepadanya. Percuma. Saat ini, dialah yang dituduh sebagai tersangka. Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan seorang dokter dan perawat yang baru saja keluar dalam ruang rawat itu, membuat Deaz bersama ketiga orang lainnya segera mendekat. "Dokter? Gimana ..," "Cucu saya. Cucu saya kenapa ....
Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz. Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu. Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya. "Mama?" "Sayang? Kamu udah bangun?" Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah. "Maaf, Naya kesiangan." Rosa tersenyum ma
Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil. Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali. "Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?" "Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin." "Kenapa lama?" "Ada sedikit petuah tentang laki-laki." "Maksudnya?" Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya. Melihat itu, sontak saja Naya langsung m
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m
1 MINGGU KEMUDIAN. "Makasih ya pak." Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan. Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa. Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar. "Hai?" Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri. "Kangen gak
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cukup terkeju