Naya menangis. Terus menangis. Tidak mau berhenti.
Sementara diluar ruang rawat, Rosa tampak menggigiti kuku jari tangannya sendiri, melihat Naya yang menangis tersedu diatas brankar rumah sakit. Tomi juga sama khawatirnya. Tidak pernah dia melihat cucu kesayangannya itu terus mengalirkan air mata seperti itu. Hatinya tercubit. Merasa ngilu.
Sementara Deaz tampak mondar-mandir dengan bingung. Menggaruk rambutnya sendiri, kemudian melangkah kearah sang ibu.
"Ma ..."
"Diam kamu."
Deaz tidak jadi bicara. Rosalinda, tampaknya masih sangat marah kepadanya.
Percuma. Saat ini, dialah yang dituduh sebagai tersangka. Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan seorang dokter dan perawat yang baru saja keluar dalam ruang rawat itu, membuat Deaz bersama ketiga orang lainnya segera mendekat.
"Dokter? Gimana ..,"
"Cucu saya. Cucu saya kenapa ...."
Sementara Tomi dan Rosa bicara pada dokternya, Deaz lebih dulu masuk kedalam ruangan dimana Naya berada.
Naya langsung membuang muka tepat ketika Deaz tiba disebelahnya.
"Nay ...,"
Deaz, mendadak merasakan pahit ludahnya sendiri. Naya malah semakin terisak, menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan dengan posisi membelakangi Deaz. Punggung gadis itu bergetar. Melihat itu, Deaz langsung menahan kedua tangan Naya yang menutupi wajah.
"Kamu marah sama aku?"
Naya tidak menjawab.
"Kalau kamu marah sama aku. Tampar aku Nay. Tampar aku. Aku minta maaf. Benar kata mama, aku yang salah. Seharusnya malam itu aku nggak menggubris godaan kamu. Malam itu kamu mabuk. Kamu gak bisa berpikir jernih. Aku bodoh dan malah memanfaatkan keadaan kamu malam itu untuk meniduri kamu. Maaf Nay. Maafkan aku."
Naya malah menangis semakin keras. Deaz jadi panik sendiri.
"Naya ...."
"Aku malu."
Deaz tersedak ludahnya sendiri. Malu?
"Aku yang godain kamu malam itu. Aku yang minta dihamilin sama kamu. Padahal, aku lakuin itu semua buat batalin acara perjodohan ini. Tapi--tapi ...."
"Ssst ...." Deaz segera menempelkan jari telunjuknya di bibir Naya, berusaha menghentikan gadis itu. Tapi Naya, malah memegang pergelangan tangan lelaki itu dan menyingkirkannya dari bibirnya.
"Aku malu, Deaz. Kamu pasti ngetawain aku malam itu. Aku curhat semuanya sama kamu. Aku gak tahu malu banget ...."
"Naya, kamu terlalu banyak bicara."
Naya menggeleng. Masih tersendat-sendat karena sisa tangis. Kemudian lanjut bicara.
"Kamu pasti mikirnya, aku cewek murahan kan? Iya kan? Aku jalang banget ya? Ya ampun Deaz. Aku malu banget. Kamu, padahal udah berusaha nolak aku malam itu, tapi aku bebal. Keras kepala. Bego. Murahan."
"Sayang, udah ya. Udah... "
"Kenapa? Kamu juga malu ya punya calon istri kayak aku? Iya kan?"
"Bukan itu. Aku cuma gak mau kamu jauh lebih malu lagi ...." Pandangan Naya jatuh kearah pintu, dimana Tomi, Rosa, dan Pras ada disana, mendengarkan apa yang Naya katakan barusan. Deaz meringis, melihat kearah Naya yang ...
"Hua! Deaz!"
... menangis lagi.
"Aku malu banget. "Naya bangkit dari tidurannya dan langsung menyembunyikan wajahnya menarik baju Deaz. Sementara Rosa, segera menarik menjauh Tomi dan suaminya pergi dari sana.
"Jadi, kesimpulannya. Naya buaya betina?"
Plak!
Rosa memukul halus lengan suaminya yang asal bicara. Masalahnya ada Tomi Sutedja di antara mereka.
"Gak papa. Gak papa. Naya memang buaya betina kok," kata Tomi Sutedja, diiringi senyuman kecut. Tomi tidak menyangka cucunya se agresif itu.
***
"I Immanuel Randeaz Adam take you, Abinaya Sutedja, to be my lawfully wedded wife, to have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and ini healt, until death do us part."
"I Abinaya Sutedja take you, Immanuel Randeaz Adam, to be my lawfully wedded Husband, to have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and ini healt, until death do us part."
"Now you may kiss the bride."
Semua orang bertepuk tangan saat kedua mempelai berciuman. Tomi Sutedja, bahkan sampai meneteskan air matanya saking bahagia.
Musik berganti bersamaan dengan Naya yang tersadar dari lamunannya. Air matanya menetes tanpa sadar, statusnya telah berganti menjadi seorang istri. Istri dari Ayah dari bayi yang sedang dikandungnya.
Naya segera meraih tangan Deaz dan mencium punggung tangan lelaki itu. Tersenyum haru, masih tidak menyangka pada akhirnya dia tetap menikah dengan lelaki pilihan kakeknya.
Jangan tanya bagaimana perasaan Naya saat ini. Tentu saja campur aduk. Dan semakin di perparah ketika tiba waktunya di malam hari. Malam pengantin yang mesti mereka lalui.
"Deaz, kamu gak capek apa?"
"Capek. Tapi lebih capek lagi kalau kamu gak kasih aku jatah malam ini."
Naya terbaring terengah di atas ranjang pengantin. Tepat dibawah kungkungan suaminya. Rambut panjangnya tergerai berantakan diatas ranjang, namun Naya masih mengenakan kebaya pengantin yang melekat ditubuhnya. Tidak ada lagi waktu untuk mandi. Deaz, suaminya itu bahkan sudah melepaskan kancing kemejanya satu persatu dengan tidak sabaran.
Membuat Naya menelan ludah, mengamati bentuk otot tubuh suaminya yang tercetak begitu pas, tidak terlalu besar. Naya kemudian berpaling untuk menghindari kontak mata suaminya itu.
"Kenapa?"
"Aku malu."
Deaz menahan senyum.
"Masih aja malu. Gak inget kamu agresif banget, malam itu.""Malam itu kan, aku sedikit mabuk."
Deaz segera menarik dagu Naya agar menatap tepat kearahnya. Seringai menyebalkan lelaki itu membuat Naya semakin gugup. Deaz lalu mengecup ringan bibir tipis itu.
"Malam itu kamu mabuk. Tapi, kamu masih ingat jelas malam panas kita saat itu."
Naya benar-benar sudah tidak tahu lagi apa warna wajahnya saat ini. Deaz benar-benar niat menggodanya dan membuatnya semakin malu.
"Dan berhubung malam ini kita sama-sama nggak mabuk. Gimana kalau kita buat diri kita mabuk lebih dulu..." Naya berkedip, "... dengan gairah," lanjut lelaki itu.
Sontak saja, Naya langsung menyentuh kedua pipinya yang terasa panas. Semburat merah muda itu membuat Deaz tidak kuasa menahan tawa. Ternyata begini sifat asli Naya. Malu-malu tapi mau.
"Aaaa ... Aku malu banget." Naya merengek. Deaz tertawa gemas dan berakhir menggit ujung hidung mancung istri kecilnya itu.
"Tapi Deaz, aku lagi hamil. Emang gak papa?"
"Gak papa dong. Orang yang nengok bapaknya sendiri ini."
Naya memukul pelan bahu lelaki itu.
"Aku serius ih... Kan katanya, kalau lagi hamil muda gak boleh begituan.""Memangnya berapa usia kandungan kamu?"
Naya diam. Tampak berpikir.
"Aku gak tahu. Belum cek ke dokter."Deaz segera mendekatkan bibirnya tepat di samping telinga istrinya itu, menggigit pelan daun telinganya menggunakan mulut hingga Naya merinding bukan main.
"Kunci berhubungan badan saat hamil itu, saat kamu nyaman maka semuanya aman. Jadi, kamu harus bilang kalau mulai gak nyaman, oke?"
Naya mengangguk.
***
"Ahh! Deaz!"
Desah napas Naya terdengar putus-putus, terengah kewalahan. Disusul erangan seraknya yang tak dapat dikendalikan saat Deaz menghisap miliknya dengan lembut, memberikan sensasi kejut karena kecupan-kecupan kecil di sepanjang kulit pahanya dan kembali bermain pada setiap inci bagian kewanitaan gadis itu.
Deaz mencengkeram kuat kedua pinggul Naya, agar tidak bergerak-gerak saat lidah Deaz masih dengan lincah mempermainkan miliknya dibawah sana. Sensasi nya sangat menyenangkan. Lebih menyenangkan lagi karena keduanya kini telah sah sebagai pasangan suami istri.
"Deaz, udah. Udah ...."
Deaz tersenyum bangga. Merasa puas ketika melihat istrinya terengah, syarat akan kenikmatan. Tidak ada lagi perasaan bersalah karena dosa. Deaz dengan bebas membawa Naya melayang dan menikmati surga dunia.
Malam itu, sepasang pengantin baru itu, memadu kasih...
Kembali.
Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz. Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu. Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya. "Mama?" "Sayang? Kamu udah bangun?" Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah. "Maaf, Naya kesiangan." Rosa tersenyum ma
Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil. Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali. "Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?" "Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin." "Kenapa lama?" "Ada sedikit petuah tentang laki-laki." "Maksudnya?" Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya. Melihat itu, sontak saja Naya langsung m
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m
1 MINGGU KEMUDIAN. "Makasih ya pak." Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan. Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa. Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar. "Hai?" Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri. "Kangen gak
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cukup terkeju
"Mama?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brankar. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam tangan Deaz dengan tangan kanan dan menyentuh dahi suaminya yang berkeringat itu dengan tangan kirinya. Deaz menggumam pelan dan memeluk tangan Naya dalam tidurnya. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khawatir. Kedua mata Naya bahkan sudah tampak berkaca-kaca. "Maaf. Naya gak tahu kalau Deaz sakit." Rosa mengangguk, memaklumi. "Mama tahu kalian sedang ada masalah. Tapi, jangan terlalu berlar