Share

8). Pengantin Baru

Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz.

Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu.

Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya.

"Mama?"

"Sayang? Kamu udah bangun?"

Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah.

"Maaf, Naya kesiangan."

Rosa tersenyum manis.

"Gak papa. Mama juga baru aja nyampe kok. Mama maklum sama pengantin baru."

Rosa menyentuh perut Naya yang datar.

"Perut kamu aman kan? Semalam kalian mainnya pelan kan?"

Naya mengangguk malu membalas pertanyaan itu. Melihat olahan diatas wajan sudah matang, Naya segera mengambil piring dan membantu Rosa menyiapkan makanan diatas meja.

"Mama gak bisa dateng kesini setiap hari. Tapi, mama udah ngomong sama Deaz dan dia setuju waktu mama bilang buat mempekerjakan pembantu. Kamu gak keberatan kan sayang?"

Naya tentu saja segera mengangguk.

"Naya soalnya gak bisa masak. Jadi, pasti langsung setuju."

"Yaudah. Kamu sarapan dulu. Pasti laper kan?"

"Banget." Naya segera duduk di meja makan untuk menyantap sarapannya. Rosa juga sama, mengambil sedikit untuk menemani Naya sarapan.

"Kamu itu lagi hamil. Harus makan yang sehat-sehat. Gak boleh telat."

Naya mengangguk-angguk.

"Kalau Deaz, sedari kecil gak biasa sarapan pagi. Biasanya cuma minum segelas susu."

Naya mengangkat wajahnya menatap Rosa.

Hm. Naya sampai lupa tidak menanyakan keberadaan suaminya sendiri saking lahapnya makan.

"Mama lihat--ekhem ... Mas Deaz?"

Rosa tersenyum, tahu benar Naya masih belum terbiasa memanggil Deaz dengan embel-embel mas. Tapi tidak papa, setidaknya, menantunya itu telah berusaha.

"Deaz ada diruang olahraga."

***

"Kamu ngapain?"

Naya memposisikan dirinya duduk diatas punggung Deaz yang sedang melakukan push up. Melihat kehadiran Naya, Deaz segera berhenti.

"Kamu punya mata untuk bisa melihatku sedang berolahraga."

Plak!

Naya memukul kesal punggung Deaz karena kesal. Nih laki, gak tahu basa-basi apa ya?

"Hubungan kita masih baru loh, Nay. Masa udah kdrt aja."

Naya menjebikkan bibirnya maju satu senti.

"Aku bosan." Naya membiarkan telapak tangannya bermain pada punggung telanjang Deaz yang sudah basah oleh keringat. Lalu dengan gerak cepat, Deaz memutar tubuhnya, hingga Naya sekarang menduduki perut lelaki itu yang terbentuk sempurna.

Naya masih cukup takjub dengan otot tubuh suaminya itu.

"Kamu bosan?" tanya Deaz, sambil melipat kedua tangannya dibawah kepala, menjadikan kedua lengan sebagai bantal.

Naya menganggukan kepala menjawab pertanyaan tersebut.

"Mama barusan masakin aku. Masakannya enak. Tapi aku malu. Masa, aku dimasakin sih, di hari pertama jadi menantu."

Deaz terkekeh lucu, lalu memposisikan Naya duduk di pahanya, awalnya Naya bingung, apalagi ketika lelaki itu tidak melepaskan tangannya di belakang kepala. Namun Naya tidak banyak berkomentar, sampai Deaz menaikkan tubuh atasnya--- melakukan gerakan sit up, mencium bibir Naya kemudian kembali menjatuhkan tubuhnya. Selalu seperti itu untuk beberapa saat.

"Itu tandanya. Mamaku sayang kamu."

Naya mengulum senyum malu-malu.

"Masih bosan?" tanya Deaz disela kegiatannya itu. Naya tidak menjawab. Ia hanya menikmati ciuman-ciuman yang diberikan Deaz padanya.

Kegiatan berlanjut, dengan Naya yang berbaring telentang diatas lantai. Sementara Deaz melakukan gerakan push up lagi, seraya mencium bibir Naya. Tidak peduli pada keringat yang menetes dari tubuh suaminya itu, Naya sungguh merasa terhibur dan bahagia.

Sungguh. Ternyata, menikah tidak seburuk yang Naya bayangkan dulu. Tahu begitu, Naya menikah saja dari dulu, pikir gadis itu geli sendiri.

"Kamu gak capek apa?" Naya mengalungkan kedua lengannya dileher Deaz, menghentikan gerakan lelaki itu.

"Mau mandi bareng?" tawar Deaz dengan seringai nakalnya seperti biasa

Naya tentu saja segera mengangguk. Membiarkan Deaz mengangkat tubuhnya dengan mudah dan keduanya masuk kedalam kamar mandi.

***

"Naya pulang!"

Suara toa itu, mengejutkan Tomi yang sedang menyeruput kopi. Menyadari kehadiran cucu perempuan satu-satunya itu, Tomi cepat-cepat meletakkan kopinya kembali ke atas meja dan hendak menutupinya dengan koran. Namun terlambat. Naya sudah melihatnya terlebih dahulu.

"Kakek minum kopi?"

Tomi gelagapan sendiri. Sementara Deaz baru saja menyusul masuk, tepat di belakang Naya dan segera menyalami Tomi setelah Naya. Deaz segera mengambil duduk di sebelah Tomi Sutedja.

"Kok gak ngabarin kalau mau kesini?" Tomi berusaha mengalihkan topik. Namun tampaknya, Naya masih kesal diposisi yang sama tampak bersedekap dada menatap kakeknya yang mulai meringis merasa bersalah.

Deaz mengamati ekspresi kedua orang itu dengan kening berkerut bingung.

"Kakek mulai bandel ya?"

"Itu cuma kopi susu ...."

"Tetep aja kopi. Ada kafeinnya. Kakek gak boleh minum jenis kopi apapun kata dokter," tegas Naya kesal bukan main. Sudah berkali-kali diperingatkan, namun kakeknya itu sangat keras kepala.

Naya takut. Di umur sang kakek yang sudah lansia, Naya akan segera kehilangan kakeknya. Satu-satunya keluarga yang Naya punya. Sungguh, Tomi Sutedja, lebih dari sekedar kakek bagi Naya. Tomi adalah hidup Naya. Sosok Ayah, ibu, kakak, teman, bahkan musuh sekalipun. Naya belum siap kehilangan lelaki tua itu.

Tanpa sadar air mata Naya menetes. Buru-buru, Naya menghapusnya dengan jari tangan. Tomi merasa kian bersalah, sementara Deaz sedikit panik, hendak berdiri namun Naya sudah berbalik dan melangkah pergi meninggalkan ruang tengah. Naya melangkah kearah dapur.

"Bibi!" Suara teriakan Naya menggema di dalam rumah.

"Iya, Non?!"

"Buang semua kopi dirumah!"

Tomi meringis. Lalu terdengar suara bantingan keras dari arah dapur. Mungkin tong sampah. Deaz ikut meringis mendengar suara itu.

Naya keluar dari arah dapur, melengos melewati ruang tengah dan bergegas menaiki anak tangga menuju ke arah kamarnya. Namun, langkah Naya berhenti di tengah, menoleh kearah sang Kakek dan mengacungkan telunjuknya dari atas tangga.

Tomi sedikit terkejut melihat tampang galak Naya yang tertuju kearahnya.

"Awas aja ya! Kalau sampai besok masih ada kopi dirumah ini, kakek Naya pecat jadi kakek Naya!" Setelahnya, Naya kembali melangkah naik, membanting pintu kamar.

Tomi mengusap dadanya sendiri, hendak mengambil cangkir kopi diatas meja kembali, namun ditahan oleh Deaz.

"Kek ...," Deaz memelas, menggelengkan kepala. Berharap Tomi menuruti kata-kata Naya barusan. Masalahnya, mood Naya sedang buruk, Deaz tidak mau itu akan berimbas pada hubungan pernikahan mereka yang baru sehari semalam.

"Jangan."

"Ini terakhir kalinya kakek minum kopi deh, janji."

Deaz segera menyingkirkan kopinya menjauh dari jangkauan Tomi.

"Demi Naya, cucu kesayangan kakek."

Tomi menghela napas pasrah, menyerah.

Suara dari anak tangga mengalihkan kedua orang itu, keduanya melotot begitu melihat Naya yang kesusahan mengangkat satu koper besar menuruni satu-persatu anak tangga dari kamarnya.

"Stop Nay! Kamu bisa jatuh!" Deaz segera berdiri dan menyusul gadis itu. Mengambil alih koper Naya dan melotot galak kearah gadis itu.

"Kamu lupa, kamu lagi hamil."

"Itu gak berat kok, badan aku aja yang kecil."

"Ck. Kenapa gak panggil aku sih. Gunanya aku disini, selain anterin kamu, aku juga mau jagain kamu. Nanti kalau ada apa-apa sama kamu gimana?"

Naya melengkungkan bibirnya sedih, lalu berjalan menuruni anak tangga satu persatu lebih dulu. Deaz segera menyusul sambil mengangkat koper itu.

"Nay, udah mau pulang?"

Naya melirik kearah Tomi, kemudian melengos.

"Naya cuma mau ambil baju," kemudian Naya, pergi begitu saja tanpa berpamitan.

Deaz menghela napas melihat itu.

"Jangan diambil hati kek, nanti biar Deaz yang ngomong sama Naya."

Deaz menyalami Tomi untuk pamit pulang. Namun Tomi segera menahan lelaki itu.

"Ada yang mau kakek omongin dulu sama kamu."

Deaz mengangguk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status