Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil.
Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali.
"Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?"
"Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin."
"Kenapa lama?"
"Ada sedikit petuah tentang laki-laki."
"Maksudnya?"
Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya.
Melihat itu, sontak saja Naya langsung membuang muka dengan kedua telinga yang memerah. Deaz terkekeh geli melirik sekali lagi ke arah istrinya itu.
"Mau langsung pulang, apa mampir dulu?"
"Mampir." Barulah, Naya mau menoleh lagi ke arah Deaz. "Aku pingin burger porsi gedhe." Serunya disertai senyum manis. Deaz menggeleng geli melihat betapa antusiasnya gadis itu.
"Ada lagi?"
"Itu aja dulu. Nanti kalau udah kesampaian, baru cari yang lain."
Deaz mengangguk-angguk patuh.
"Kayaknya, kamu lagi ngidam?""Bisa jadi, bisa juga gak. Soalnya aku emang suka banget sama burger. Udah lama gak makan jadi ngiler." Naya mulai membayangkan burger porsi besar di dalam otak cantiknya sambil menjilat bibirnya menggunakan lidah. Deaz tertegun melirik gerakan itu.
"Pakai saos banyak-banyak, mantap gak tuh."
Deaz buru-buru menggelengkan kepalanya, membuat lamunan Naya tentang betapa lezatnya burger versi jumbo berlumuran saos jadi buyar. Gadis itu, mengernyit heran ke arah Deaz.
"Gak boleh pakai saos banyak-banyak. Ingat Nay, kamu lagi hamil sekarang. Jaga lambung kamu dan calon anak kita."
Naya langsung cemberut.
"Tapi, itu cara makan burger favorit aku banget Deaz. Aku gak bisa kalau makan burger tanpa saos yang tumpah-tumpah.""Ganti sama mayonaise aja, oke?"
Naya menggeleng, kedua tangannya kembali bersedekap di depan dada. "Gak mau. Pokoknya wajib pakek saos banyak-banyak."
"Yaudah kalau gitu gak jadi aja."
Naya mulai berkaca-kaca. "Kok kamu gitu sih?"
"Daripada nanti kamu nekat terus sakit. Kan, kita juga yang rugi, Nay."
"Deaz, kamu gak boleh semena-mena ya sama aku. Kita baru menikah kemarin loh."
"Semena-mena gimana Nay? Aku sedang berusaha menjadi suami dan calon Papa yang siaga untuk kalian. Aku mau jaga dan rawat kamu sampai kamu melahirkan nanti. Niatku baik kok."
"Tapi, kamu barusan larang-larang aku makan makanan kesukaanku. Nanti kalau aku sedih, anak kita juga bakal ikutan sedih. Kamu mau lihat aku ngambek sepanjang hari?"
Deaz menghela napas berat setelahnya.
"Oke. Tapi cukup kali ini aja. Lain kali, gak ada makan burger pakai banyak saos lagi."Detik itu juga, wajah muram Naya telah berganti menjadi secerah matahari. Senyum lebar tercetak jelas di bibir gadis itu. Naya bahkan langsung melingkarkan satu tangannya di lengan kiri Deaz sambil menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu.
"Terima kasih, suamiku."
***
"Udah Nay. Udah. Kamu di biarain lama-lama nglunjak ya." Deaz menatap Naya tajam saat istrinya itu lagi-lagi ingin menuangkan saos ke atas burger miliknya yang bahkan sudah berlumuran dengan saos. Deaz sampai harus menyembunyikan saos tersebut di belakang punggungnya, membuat Naya mendengus kesal, namun tetap saja kembali memakan makanan tersebut.
Keduanya memutuskan untuk makan di tempat, karena Naya bilang sudah tidak sabar untuk memakan burger tersebut jika harus menunggu sampai di rumah. Toh, rencananya setelah usai dari sini, Naya ingin meminta makanan yang lain lagi.
"Khamhuw ghak ikhlas bhanget... uhuk... uhuk...."
Deaz melotot, buru-buru mengambil air minum dan membantu Naya yang baru saja tersedak. Naya sampai menepuk-nepuk dadanya sendiri setelah itu.
"Di telan dulu. Jangan bicara ketika sedang makan."
Kedua mata Naya mengeluarkan air mata tanpa sadar, efek karena tersedak hebat barusan. Deaz mengusap lembut sisa saos di bibir istrinya itu.
"Tadi ngomong apa?"
Naya menggelengkan kepala. "Lupa." Gadis itu kemudian mendorong menjauh sisa burger yang masih tersisa ke arah Deaz. Melihat itu, Deaz tentu saja heran.
"Gak dihabisin?"
"Udah kenyang."
"Gak baik ...."
"Iya aku tahu. Gak baik menyisakan makanan. Tapi aku beneran udah kenyang Deaz. Perut aku sesak kalau dipaksakan." Naya menyerobot cepat omongan Deaz. Sementara Deaz langsung menghela napas, kemudian mengambil sisa burger milik Naya untuk ia habiskan.
"Deaz, itu kan makanan aku."
"Katanya kamu kenyang?"
Naya mengangguk.
"Biar aku yang habiskan, kan sayang."
Naya tersenyum haru melihat betapa polosnya suaminya itu. Mungkin bagi orang lain, Naya terlalu alay dan lebay. Tapi, melihat Deaz yang dengan suka rela mau menghabiskan makanan sisa darinya, benar-benar membuat Naya merasa tersanjung. Deaz adalah lelaki pertama bagi Naya, yang memperlakukan Naya seperti ini. Suaminya itu, bahkan tidak merasa jijik sama sekali dengan dirinya yang selalu di jauhi orang-orang selama ini.
Air mata Naya tanpa sadar menetes. Namun bukan air mata kesedihan, melainkan air mata haru yang membuncah. Naya langsung berhambur memeluk tubuh Deaz dari arah samping, membuat laki-laki yang baru saja menelan sisa burger ditangannya itu terkejut bukan main.
"Naya, kenapa kamu tiba-tiba nangis?"
"Makasih Deaz. Makasih karena kamu baik banget sama aku."
Deaz mengerutkan keningnya kurang mengerti maksud Naya. Perasaan, dia biasa-biasa saja. Lantas, apa yang membuat istrinya itu sampai menangis terharu.
"Nay, kamu beneran gak papa?"
Naya menggelengkan kepala dalam pelukan Deaz. Gadis itu, lalu melonggarkan pelukan mereka, dan mengusap air matanya sendiri sambil terkekeh pelan.
"Aku cengeng banget."
Deaz segera mengusap air mata Naya, menggantikan jemari tangan gadis itu.
"Kamu beneran terharu, apa lagi sedih?"
"Aku terharu."
"Terharu karena apa?"
"Karena kamu."
Deaz makin mengernyit bingung.
"Sumpah Nay, aku masih gak paham. Di bagian mananya dari sikapku barusan yang bikin kamu terha... tunggu, jangan bilang karena aku bersedia menghabiskan sisa makanan kamu?"Naya langsung mengangguk.
"Serius, hanya karena itu?"
Naya kembali mengangguk.
"Mungkin, bagi orang lain itu hal biasa Deaz. Tapi bagiku, yang baru pertama kali mendapatkan perlakuan seperti itu dari kamu, seperti memenangkan sebuah voucher berhadiah tahu. Aku senang sekaligus terharu."Deaz mengangguk paham. Hati Naya ternyata begitu lembut. Deaz sampai tidak bisa berkata-kata lagi saat ini.
"Deaz, aku mau es buah gajah," kata Naya tiba-tiba. Deaz menaikkan satu alisnya, mendengar itu.
"Es buah gajah? Maksud kamu, sop buah yang porsi jumbo itu?"
Naya mengangguk semangat.
"Kamu yakin, katanya udah kenyang tadi?"
"Emang kenyang. Tapi, aku kan belum minum. Yang tadi itu makan. Sekarang aku mau minum."
"Sop buah itu, juga bisa bikin kekenyangan loh."
Kedua bola mata Naya kembali berkaca-kaca.
"Kamu gak mau nurutin aku?""Oke-oke. Kita cari sop buah gajah yang kamu mau sekarang."
Naya tersenyum lebar setelahnya. Sementara Deaz menghela napas sabar. Jadi, beginilah sifat asli seorang Abinaya Sutedja.
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."
"Kayaknya, aku salah berangkat kerja sekarang. Kita butuh honeymoon." Naya menunduk malu, melihat Deaz yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah. Naya sendiri hanya duduk dan memainkan ponsel suaminya, setelah dia mandi lebih dulu. Naya mengenakan celana panjang serta jaket milik Deaz karena memang tidak memiliki baju ganti usai mandi. "Bukan honeymoon tauk." Dari posisinya berdiri, Deaz menaikkan satu alis kearah Naya, "Terus apa?" "Baby Moon." Deaz mendengus geli dan segera melompat ke kursi, bergabung dengan Naya sambil merangkul tubuh gadis itu mendekat kearahnya. Di liriknya layar ponsel miliknya yang sedang dimainkan gadisnya itu lalu tersenyum geli. Naya tengah memainkan game anak-anak. "Dasar bocah." Naya memberikan lirikan tajam untuk Deaz, namun sedetik kemudian kembali bermain. Deaz kemudian menyentuh le
Suara televisi yang menyala, menampilkan serial kartun anak-anak. Naya dan Deaz duduk disofa, dengan Deaz yang memeluk tubuh Naya dari belakang sementara gadis itu duduk menyadarkan punggungnya pada tubuh bagian depan Deaz. Keduanya saling berpelukan dalam diam untuk beberapa saat, sambil menikmati keripik kentang ditangan. Deaz berulangkali mengecup rambut Naya, menghirup aroma sampo yang dipakai gadis itu. Wangi stroberi--- aromakhas kesukaan gadis itu. "Deaz, tadi, aku di ajakin kenalan sama orang saat pulang dari bengkel kamu," kata Naya, memulai pembicaraan. Naya tahu mungkin informasi yang ingin dia sampaikan pada suaminya kali ini tidak terlalu penting. Namun, Naya hanya tidak ingin menyimpan sesuatu. Bagaimana pun, Deaz adalah suaminya. Sudah sepantasnya lelaki itu tahu apa saja yang Naya alami, meski sekali lagi, informasi ini tidak penting sama sekali. Namun berbeda dari pikiran Naya, Deaz justru m
1 MINGGU KEMUDIAN. "Makasih ya pak." Usai mengantarkan supir taksi yang menurunkan barang-barang bawaannya keluar rumah, Naya kembali masuk kedalam ruang tengah dan mengamati oleh-oleh miliknya sembari berkacak pinggang. Satu minggu liburan yang cukup melelahkan. Naya mendudukkan diri di sofa, mengamati seisi rumah yang tidak berubah. Setelah menghabiskan waktu untuk diam beberapa menit, Naya kemudian memutuskan untuk membongkar semua oleh-oleh yang ia bawa. Naya baru menoleh ketika mendengar suara derit pintu yang dibuka dari arah luar. "Hai?" Deaz masih diam diambang pintu. Mengamati Naya dan ruang tengah rumahnya yang sudah dipenuhi oleh beberapa kardus dan paper bag merk brand ternama. Naya segera berdiri dan menghampiri Deaz yang belum juga masuk kedalam rumahnya sendiri. "Kangen gak
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cukup terkeju
"Mama?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brankar. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam tangan Deaz dengan tangan kanan dan menyentuh dahi suaminya yang berkeringat itu dengan tangan kirinya. Deaz menggumam pelan dan memeluk tangan Naya dalam tidurnya. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khawatir. Kedua mata Naya bahkan sudah tampak berkaca-kaca. "Maaf. Naya gak tahu kalau Deaz sakit." Rosa mengangguk, memaklumi. "Mama tahu kalian sedang ada masalah. Tapi, jangan terlalu berlar
"Tampilan desainnya mewah dengan layar OLED terlebar. Didukung Chipset dengan Performa terbaik. Kualitas kameranya juga tidak perlu diragukan lagi. Karena itulah saya merekomendasikan ponsel yang ini." Naya mengangguk-angguk. Mendengarkan dengan baik rincian penjelasan sales perempuan yang bekerja di sebuah konter ponsel terkenal dikawasan jabodetabek. Mereka bilang, ponsel dengan logo apel tergigit adalah merk ponsel terbaik, lengkap dengan berbagai macam kelebihan yang sejujurnya tidak terlalu Naya mengerti apa bedanya. Saat ini, ada dua ponsel di kedua tangan Naya. Berasal dari merk yang sama, bagi Naya bentuk fisik dari kedua ponsel itu tidak jauh berbeda. Jadi, Naya putuskan untuk ambil yang harganya paling mahal saja. "Ternyata bener, dunia itu memang sempit, ya. Buktinya, kita berdua ketemu disini." "Kamu?" "Rega." Naya cu
"Mama Rosa?" Rosa menoleh kearah pintu. Dimana Naya baru saja muncul dan masuk kedalam ruang rawat inap Deaz berada. Naya menatap sendu lelaki yang terbaring tak berdaya diatas brangkar rumah sakit. Langkahnya membawa Naya mendekat dan langsung menggenggam satu tangan Deaz dengan tangan kanan, lalu menyentuh dahi suaminya itu yang berkeringat dengan punggung tangan satunya lagi. Deaz tampak menggumam pelan dalam tidurnya, lantas bergerak memeluk tangan Naya dalam tidur lelapnya itu. Melihat itu, Rosa segera meminta Naya untuk duduk di kursi yang sudah tersedia tak jauh dari brangkar mengingat Naya sedang mengandung. "Deaz sakit sejak tiga hari yang lalu. Dia demam dan darah rendah. Tapi begitu sembuh dari sakitnya, kondisi Deaz malah semakin parah karena dia terus muntah-muntah hingga menyebabkannya kekurangan banyak cairan," jelas Rosa, membuat Naya semakin khaw