Caca yang melihat bahwa Bram masih sedikit curiga padanya memberanikan diri untuk duduk di sisinya, "Kamu bisa mempercayaiku, saya hanya menginginkan anak ini untuk suatu tujuan, setelah hari ini, kita bisa memutuskan semua kontak, bahkan jika kita bertemu satu sama lain di jalan, anggap saja kita belum pernah bertemu!"
"Kenapa Kamu ingin melahirkan bayi itu?"
"Saya tidak bisa memberitahu Anda tentang itu." Caca menggelengkan kepalanya.
Caca terdiam sesaat dan menurunkan kelopak matanya, "Ini adalah pertama kalinya bagiku, maaf kalau saya merepotkan anda, tapi bisakah anda lebih proaktif?"
"Benarkah? Aku tidak percaya kamu masih perawan …" Itu membuat Bram sedikit bersemangat.
Tapi sebenarnya ini juga pertama kalinya bagi Bram, Dia belum berpengalaman. Bagaimana dia bisa proaktif?
Hari ini John berkata padanya akan menanggalkan keperawanan wanita untuknya lebih dulu. Bram tidak menyangka si bajingan John akan memberikan seorang yang masih gadis padanya. Bram benar-benar merasa John telah mempersulitnya.
'Aku akan membalasnya besok,' seringai dalam hati Bram.
Caca mengangkat matanya dan melirik Bram, "Kamu boleh mulai!"
Mereka sepakat untuk memulai, tetapi tidak satupun dari mereka melakukan apa pun, dan suasananya menjadi sangat canggung untuk sementara waktu.
Bram berdehem, "Baiklah, untuk kegiatan 'intinya' aku yang akan memulai, tapi bukankah tidak masalah jika Kamu yang mulai menciumku lebih dulu, sekarang?"
Caca: "Ah?"
"Wanita akan menyenangkan jika bisa lebih sensual," Ucap Bram.
"Baiklah kalau begitu." Caca menganggukkan kepalanya dan perlahan pindah ke sisi Bram, dia mengangkat matanya untuk menatap mata Bram.
Kedua insan itu saling memandang.
Pupil mata coklat Bram begitu indah, keindahannya bahkan sanggup memenuhi semua harapan gadis-gadis muda akan seorang pangeran yang menawan.
Rona malu membuat tenggorokan Caca tercekat.
Caca perlahan membungkuk lebih dekat pada Bram.
Lima sentimeter, empat sentimeter, tiga sentimeter, dua sentimeter.
Dia menutup matanya, mempertaruhkan hatinya, dan mencium Bram langsung di bibir.
Bram, yang belum pernah berciuman sebelumnya, tiba-tiba tersentak.
Bibirnya lembut, kenyal serta manis menjadi satu.
Dengan nafsu, Bram merengkuh belakang kepala Caca, melumat bibirnya lalu menghisapnya berkali-kali.
Serangan ciuman balik dari Bram menyebabkan Caca juga terkejut, menatap dengan mata lebar dan agak kewalahan, tiba-tiba Dia merasa jantungnya berdetak kencang.
Bram dengan tidak sabar menjulurkan tangannya ke pakaian Caca, menariknya. Seketika terdengar suara robekan pakaian Caca.
Bram dengan tidak sabar mendorong Caca ke ranjang.
Bram mulai menurunkan ciumannya hingga berada tepat di dua dada indah milik Caca yg cukup kecil menurut Bram. Tangan Bram tidak tinggal diam, meraba ke area sensitif Caca: "ahm…," desah tertahan Caca.
"Kamu sangat basah," ucap Bram dengan smirk penuh nafsu.
"Kamu siap?" tanya Bram pada Caca yang sedari tadi sudah kelimpungan dengan hal yg dilakukan Bram pada tubuhnya. "Yah masukkan, t–tapi pelan pelan, ini pertama kali bagiku," ucap Caca dengan terengah engah disertai rona merah di pipi menahan malu.
Melihat rona merah pada pipi gembil Caca dengan dadanya yang terekspos, membuat Bram makin bernafsu untuk membuat Caca lebih mendesah lagi di bawah kungkungannya.
Bram siap mengambil posisi dengan mengarahkan miliknya pada inti milik Caca. "Aku akan mulai," Bram segera menekannya, membuat Caca merasa begitu sakit, juga perih.
Dua orang dengan modal pengalaman virtual tanpa praktik sedang berusaha menembus inti tubuh yang masih utuh bersama, merealisasikan ekspektasi mereka.
Akhirnya!
Milik Bram pun berhasil sepenuhnya menembus inti Caca, dan si pemilik keperkasaan bernafas dengan lega, begitu juga dengan Caca.
"Pelan-pelan saja, ya!" Bram, mengangkat perlahan tubuhnya.
Lalu Bram mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, membuat miliknya keluar masuk memompa dengan ritme teratur.
Caca tidak pernah menyangka, membuat bayi bisa senikmat ini meski awalnya sedikit perih.
Meskipun sebelumnya Caca telah sepenuhnya siap, ketika saat ini tiba, Dia masih merasa gugup seperti seekor rusa yang ketakutan.
Tak berapa lama, bibit unggul gelombang pertama berhasil di muntahkan. Namun Bram sepertinya belum cukup puas setelah beristirahat beberapa saat.
"Lagi?" Tanya Bram, membalikkan tubuh Caca kemudian mendapati bahwa Caca telah pulas.
Niat awal Bram memerintahkan John untuk menyiapkan seorang wanita adalah mencari kesenangan, tetapi Caca sama sekali tidak membantu, begitu Caca dalam suasana hati yang baik, Dia tertidur.
Bram berdiri dengan 'umpatan', melihat Caca yang sedang tidur dari kejauhan, menilik tubuhnya yang indah, meskipun payudaranya sedikit lebih kecil, sebenarnya tidak ada kekurangan pada tubuh wanita ini selain ukuran itu.
Yang terpenting, Bram sebenarnya sangat menyukainya.
Tepat pada saat ini, ponsel Bram berdering, John memanggil, Bram mengangkatnya dan langsung memaki: "Brengsek, urusan kita belum selesai!"
Begitu suara Bram jatuh, sebuah suara yang tak kalah emosi datang dari ujung ponsel, "Aku sudah menganggapmu seperti saudara, kemarin Kau berteriak padaku ingin mengakhiri keperjakaan mu sendiri, merasakan untuk pertama kalinya, Apa Kau belum pernah dipukuli manusia satu kota? Dimana Kau sekarang?"
"Kau pergi ke hotel untuk menghindari gadis yang Kau pesan sendiri? Aku sudah menunggumu selama dua jam disini!"
"Gadis apa? Dia sudah di tempat tidurku!"
Bram memandang ke arah Caca yang telanjang di tempat tidur.
Oh tidak.
Sepertinya Bram salah orang.
Gadis yang disiapkan John untuknya masih di bar. Lalu siapa yang sudah ia tiduri?
“Pergilah ke bar, Aku akan memastikan gadis yang kusiapkan untukmu seribu kali lebih baik daripada istrimu di rumah,” John masih berbicara.
Cahaya mentari pagi menerobos masuk lewat celah gorden, nampak seorang gadis dengan rambut berantakan bergelung dengan selimut di tengah ranjang warna putih, Caca merasakan silau serta hangatnya mentari dari celah gorden.
Dia terbangun dengan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya terutama di area intinya, seolah ada sesuatu yang telah menghantamnya.
Caca berhasil duduk dan bersandar pada Headboard tempat tidur, kakinya masih gemetar saat turun dari tempat tidur.
Setelah mandi, Dia menemukan beberapa memar di tubuhnya, beberapa tanda itu timbul karena tanpa sengaja tercubit, beberapa lagi adalah cupang.
"Dasar Cabul!" Gumam Caca saat keluar dari kamar mandi dan melihat bahwa pakaiannya telah robek oleh pria itu. Sekarang yang harus Dia lakukan adalah mencari bantuan staf hotel.
Untung ini adalah kamar presidensial, jadi Caca bisa mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Setelah meminjam pakaian dari salah satu seorang pelayan hotel, Caca melarikan diri dari tempat itu dengan langkah menahan sakit di area intinya.
Di kantor, ruang Presiden MCoal Indonesia yang didesain dengan apik itu nampak bersih dan masih tetap rapi, belum ada satu sudut pun kekacauan yang memberi sinyal kesibukan.
Ada tiga komputer di depan meja melengkung.
Bram duduk di balik mejanya, layar komputernya gelap gulita, sejak pagi Dia tidak punya keinginan untuk bekerja, yang terpikir olehnya hanya wanita yang salah tidur dengannya tadi malam.
Itu adalah foto Caca, Bram mengambil foto telanjangnya tadi malam hanya untuk lelucon, tapi yang dia tunjukkan kepada Ashar sudah di-crop, dia tidak akan menunjukkan foto telanjang wanita yang dia tiduri kepada siapa pun.
Ashar berjalan mendekat dan mengambil ponsel Bram, matanya langsung melebar,
"Nona! ... Ini Nona muda!"
Sementara itu, Bram memberi perintah tanpa memperhatikan reaksi Ashar: "Tunggu apa lagi? Sekarang juga kau pergi dan selidiki semua informasi tentang wanita ini untukku!"
"Bapak. Aduh, bukankah ini Nona!" akhirnya Ashar bisa mengatakannya dengan tenang.
Sebelumnya, pernikahan Bram adalah tanggung jawab Ashar dan tentu saja Ashar pernah bertemu dengan Caca.
“Nona?” Bram sedikit bingung.
"Bapak. Aduh, apa Anda lupa bahwa setahun yang lalu, Anda sudah menikah, dan Anda telah memerintahkan saya untuk menyimpan istri Anda di cluster villa Rainbow City."
Bram berdiri dengan kedua telapak tangan bertumpu di atas meja, sedikit mencondongkan badannya ke arah Ashar di depannya: "Istri?" sepasang mata elang menatap tajam ke arah Ashar, “Maksudmu wanita di foto ini adalah istriku?" Tanya Bram dengan ragu.
Bram memang belum pernah bertemu Caca, dan pernikahan itu bukanlah keinginannya, jadi dia bahkan tidak pergi ke upacara pernikahannya.
Seseorang seharusnya pergi sendiri ke upacara pernikahannya, tetapi apa yang tidak bisa dilakukan Bramasta Moses, seorang pengusaha tambang sukses berwajah semi oriental, berdarah campuran Makassar, Papua dan Ambon ini.
Saat kekuasaan dan uang yang berbicara, Kantor Urusan Sipil pernikahan tidak akan bisa berkata apapun padanya.
Jadi, sampai saat ini, Bram tidak tahu seperti apa rupa istrinya, bahkan dirinya sendiri lupa jika sudah menikah.
Sebelum masuk ke dalam kamar, bahkan Bram sudah menyambar bibir Caca dengan ganas. Caca hanya diam mematung, dia tak tahu harus berbuat apa. Ini pertama kalinya, dia melakukan ini dengan suaminya tanpa kegelapan. “Buka bibirmu, Sayang!” Seru parau Bram sambil membuka pintu kamarnya dengan siku dan Caca yang masih dalam gendongannya. Caca semakin membeku, tapi perlahan bagai terhipnotis dengan wajah Bram yang semakin terlihat sensual, dia membuka bibirnya mengikuti arahan Bram dalam setiap gerakan lidahnya. Bram semakin memperdalam lumatannya hingga tak memberi Caca jeda untuk bernapas. Kini Bram sudah menurunkan Caca di tempat tidur mereka, tangan Bram tak tinggal diam, meremas salah satu dada Caca dan memilin ujung dada itu dari luar pakaian Caca. Bram semakin lihai memberi rangsangan ke tubuh Caca. Caca terus melenguh akibat ulah Bram yang memberinya rangsangan bertubi-tubi, membuat Caca tak kuasa menahannya dan ingin segera mengakhiri sesi kegiatan tersebut. “Sssh…” Bram men
Bram membawa Caca kembali ke Rainbow City dan Lina sudah terlelap dikamarnya. Sepasan suami istri tersebut duduk berhadapan di ruang tamu dengan berjarak meja kopi di depan mereka. Yang satu bersandar di sofa, satunya lagi hanya duduk diam dengan kaki erlangnya. “Ada yang ingin kau katakan?” Bram bertanya lebih dulu. “Cerai.” Caca dengan tegas bicara. Bram mencibir, “jadi kau ingin menceraikan suamimu untuk menikah lagi dengannya?” Caca mencengkram baju di lututnya, “Bukankah aku sudah mengatakan alasan kenapa aku ingin menceraikan suamiku pada Asta? Semua karena suamiku hanya menganggapku sebagai boneka s*ks nya.” Pupil mata Bram mengecil. “Aku melakukan itu agar kamu tidak selingkuh!” Ucap Bram dengan tenangnya. “Apa aku akan melakukan perselingkuhan kalau sejak awal kau memperlakukanku selayaknya bagaimana seorang suami memperlakukan seorang istrinya?” Caca berkata lagi, “Tidak usah sibuk mencari kesalahanku, lebih baik sekarang jelaskan padaku kenapa kau membohongiku, mem
Di salah satu bar. Saat Bram menyesap satu sloki minumannya, John datang terlambat. Tadi waktu Bram menelponnya, dia sudah bersiap akan tidur dan ketika menerima panggilan dari Bram, John segera menanggalkan pakaian tidurnya. John pikir, Bram mengajaknya bertemu di bar untuk mengajaknya bersenang-senang dengan seorang wanita. Tapi begitu John masuk, pemandangan yang dilihatnya adalah Bram yang sedang menenggak minumannya dengan wajah yang sangat tidak enak untuk dipandang. “Yah, katakan padaku, siapa orang disini yang berani membuat mood mu jadi hancur seperti itu!” John menjatuhkan pantatnya di sebelah tempat duduk Bram. Bram kemudian menceritakan duduk masalahnya. Setelah mendengar keseluruhan cerita, ekspresi John jadi agak rumit. “Errrr, mari kita selesaikan ini, jadi, kamu menyamar sebagai orang lain untuk mendekati wanita itu, dan akhirnya pendekatan itu berhasil, kan?” Bram menatap John penuh arti dan tidk berkata apa-apa. John segera bertepuk tangan. “Kalau begitu kamu
Bram kembali ke kamarnya. Ashar dan beberapa pengawal saling berpandangan, wajah mereka yang tadinya berseri-seri saat Bram baru keluar, tapi sekarang seperti kanebo kering. “Tuan, anda baik-baik saja?” Bram mengangkat kepalanya dengan sepasang mata yang tajam. “Batalkan rencana hari ini!” Ashar terkejut, “Tuan, tapi kenapa?” “Lakukan saja apa yang kusuruh,” geram Bram. “Baik, saya akan membatalkan semuanya.” Ashar tidak berani lagi bertanya lebih banyak dan segera berjalan keluar ruangan. Bram mengepalkan tangannya, sorot matanya memancarkan cahaya dingin yang menusuk. Di sisi lain, Caca sudah berganti pakaian, dia sudah merias dirinya dan memakai gaunnya. Gaun organza biru laut, benang yang tersulam lembut membungkus tubuhnya, tidak terlalu luar biasa, tapi jika dilihat lebih teliti, gaun itu membuat Caca seperti peri, sangat cocok. Caca tidak berhenti mengagumi gaun itu, kalau dia tidak tahu bahwa gaun itu adalah gaun KW dari Asta, dia pasti akan menyangka gaun itu adalah
Caca mencengkram ponselnya dengan erat. Kenapa harus seperti itu, kenapa suaminya harus pura-pura menjadi orang lain di hadapannya? Kepala Caca dipenuhi dengan pertanyaan tak terhitung jumlahnya. Siapa dia sebenarnya? Caca melihat ke arah kerumunan lagi dan menemukan kalau orang-orang itu sudah masuk ke dalam salah satu kamar, menyisakan dua orang untuk berjaga di depan pintu. Caca mengumpulkan keberaniannya dan mendekat. Kedua penjaga di depan pintu tidak mengenal Caca dan terlihat tidak perduli saat Caca berjalan mendekat. “Permisi, boleh saya tahu siapa yang ada di ruangan ini?” Kedua penjaga itu saling memandang. “Ada perlu apa, Nona?” Salah satunya bertanya. “Tidak apa-apa, saya hanya melihat seorang pria tampan disini tadi dan ingin tanya saja.” Caca tersenyum kecil. “Asal anda tahu, di dalam adalah orang penting. Bramasta Moses. Cari tahu sendiri saja siapa dia di internet!” Pengawal itu juga tampak sombong. Sebagai pengawal seorang Bramasta Moses, tentu saja suatu
Bagaimana ini, Susi pasti sudah menghabiskan banyak uang untuk memesan gaun ini. Caca sendiri tidak tahu apakah noda merah dari minuman berkarbonasi bisa dihilangkan dalam semalam. Dia hanya berjalan menyusuri lorong hotel, memikirkan kemana harus mencari bantuan, atau setidaknya pinjaman untuk gaun yang akan dipakainya besok. Tiba-tiba, sosok pria muncul di benaknya, Asta. “Hei, Asta, apa kamu sudah tidur?” “Belum, kenapa?” Bagi Bram tidak ada hari tanpa bekerja, dia sudah terbiasa masih bekerja hingga dini hari, jadi dia pasti belum tidur. “Begini, aku ingin minta bantuanmu.” “Bantuan apa? Katakan!” “Gaun KW super yang kamu berikan padaku di acara pertunangan Yezline dulu itu. Bisa tidak, kamu carikan untukku dengan model berbeda? Aku dalam keadaan darurat.” Padahal gaun yang Bram dulu berikan pada Caca adalah asli, bukan KW. “Untuk apa memangnya?” Tanya Bram. “Ceritanya panjang. Jadi besok aku harus menghadiri acara Golden Award, tapi barusan gaunku rusak. Aku bingung dim
“Ashar, cari tahu siapa saja yang masuk dalam nominasi Aktris Pendukung Terbaik tahun ini!” Dari sebelum Bram memerintahkan untuk itu, rupanya Ashar sudah mengantongi semua data yang Bram minta. “Saya sudah memiliki rincian datanya, Tuan. Dan kandidat terkuat untuk nominasi itu adalah Yezline Hendarmo. ESSE Internasional sudah membuat pelobian. Jadi besar kemungkinan, kalau pemenang nominasi itu adalah Yezline.” Mendengar itu alis Bram merajut. “Tapi jangan khawatir, Tuan. Jika anda mau, kita bisa dengan mudah mengambil posisi itu. Bukan hal yang sulit untuk menjadikan nona muda pemenang. Hanya saja…” “Hanya saja apa?” “Susi, manajer nona muda, berpikir kalau tidak akan baik bagi nona muda untuk memenangkan penghargaan apapun di tahun ini.” “Kenapa?” “Karena, di film nona yang pertama, nona hanya berperan sebagai tokoh wanita ketiga. Jika nona memenangkan nominasi itu tahun ini, maka media pasti akan dibuat heboh dan lebih mudah bagi mereka untuk menggoreng berita tersebut. Sem
Ruangan Presdir Mcoal Indonesia. Bram sedang sibuk berbahagia di mejanya, suasana hatinya sedang sangat baik hari ini, ditambah lagi setoples kue kering di mejanya yang selalu ia pandangi dari waktu ke waktu sambil tersenyum sendirian. Dikejutkan dengan bunyi telepon di mejanya yang tiba-tiba berbunyi, suara Ashar datang dari ujung ponsel Bram. “Pak Bram, Pak John ada disini.” “Suruh dia masuk.” “Baik.” Setelah beberapa saat, si John dengan angkuhnya masuk ke ruangan Bram, sambil berkata, “Tuan Bramasta Moses, satu pertanyaan penting untuk anda. Kenapa anda sulit sekali ditemui sudah seperti artis papan atas.” John menatap ke arah Bram dan dengan segera menemukan setoples kue di meja Bram, dengan cepat John melangkahkan kakinya mendekat. Tepat ketika John ingin meraih kue itu, Bram segera dengan cepat menggeser toplesnya dan tangan John langsung hampa. “Oh, jadi begitu, sekarang kue saja tidak boleh kusentuh?” Pekik John “Kamu tidak boleh makan kue ini!” “Kenapa tidak boleh
Gerak cepat Ashar tidak perlu diragukan lagi, dalam sekejap dia sudah mengantongi nomor kamar Caca dan membawa Bram malam itu juga pada Caca. Hingga malam syuting masih berlangsung, tapi scene untuk Caca sudah berakhir. Hotel tempat dimana Caca menginap sekarang benar-benar sepi. “Tunggu aku di mobil.” Bram memberi perintah, turun dari mobil dengan kaki panjangnya dan langsung menuju lantai enam hotel. Lantai enam adalah tempat suite terbaik di hotel ini, semua pemain penting tinggal di lantai ini. Sekarang sudah sangat malam, sebagian besar orang pasti sudah beristirahat setelah seharian disibukkan dengan sepanjang hari. Bram menaiki lift dan pintu perlahan terbuka. Ini adalah pertama kalinya Bram datang ke hotel ini, jelas dia tidak tahu struktur pasti hotel ini, tapi menurut penyelidikan Ashar, Caca tinggal di kamar nomor 621. Setelah Bram keluar dari lift, dia hanya berdiri di depan lift. Masih mencari pintu kamar dengan nomor 621. Sampai akhirnya dia menyadari kalau kamar