“Makanlah.”
Long Wei menatap ikan setengah gosong itu dengan ketertarikan yang hampir tidak ada, tapi dia tetap menerimanya semata-mata hanya karena nyanyian perut yang tak mau diam.
Yang Feng, kakek bercaping yang telah “menyelamatkan” Long Wei itu memakan ikan bakar jatahnya sendiri. Sambil terus mengunyah, ia melempar satu pertanyaan yang seketika membuat amarah Long Wei datang kembali. “Jadi, apa yang telah kaulakukan sampai hanyut di sungai?”
Pikirannya memutar kembali kenangan tadi malam yang baru saja terjadi. Seperti dipertontonkan persis di depan matanya, ketika ayahnya jatuh ke sungai dalam keadaan tak bernyawa, dan tantangan kedua pendekar besar.
Mata Long Wei menyusuri sungai Bai He lalu melihat sekeliling. Akhirnya dia tahu mengapa tak ada mayat lain yang lewat atau potongan-potongan kapal. Kiranya dia sudah terseret arus yang menuju ke belokan arah tenggara, dan mungkin sekali sisa-sisa pertempuran itu mengarah barat.
“Aku sedang naik kapal, dan diserang para bajak sungai.” Jawaban Long Wei tidak sepenuhnya bohong.
Kakek itu mengangguk-angguk sembari menampakkan ekspresi iba. “Aku Yang Feng, siapa namamu?”
“Long Wei,” ucapnya singkat sebelum menggigit ikan gosongnya.
“Long Wei ….” Yang Feng mengulang beberapa kali agar nama itu tertanam di ingatannya. “Aku menemukanmu hanyut di sini sendirian. Apa kau naik kapal sendirian?”
Long Wei membuka mulutnya. Sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa hanya dirinyalah yang selamat. Akan tetapi, mulutnya kembali tertutup. Selang beberapa saat, barulah Long Wei menjawab. “Ya, aku sendirian.”
Yang Feng kembali mengangguk-angguk. “Kau mau ke mana?”
“Laut timur. Seandainya tak ada perampok-perampok sialan itu.”
“Laut timur? Akhir-akhir ini ada kabar burung beredar kalau para bajak laut di sana sedang mengganas.”
Itu aku, orang tua! Tapi mulutnya menjawab. “Aku tahu. Aku tidak pergi terlalu jauh ke laut, hanya ke pesisirnya untuk mengunjungi saudara jauh.”
Yang Feng mengangguk-angguk lagi. “Setelah ini, kau masih mau melanjutkan perjalanan ke sana?”
Kini Long Wei menunduk.
Setelah satu pasukan ayahnya hancur, otomatis Long Wei tak punya tempat kembali. Bajak laut Hantu Samudra adalah rumahnya, tempat ia pulang, dan kini sudah hancur.
Long Wei bertanya-tanya dalam hati, apa dia harus kembali ke pantai timur dan jadi bahan cemoohan para bajak, atau mengembara ke lain tempat untuk jadi apa pun demi melanjutkan hidup. Long Wei segera memutuskan.
“Aku akan pergi ke tempat lain.” Dan tetap menjadi seorang bajak. Dulu bajak laut, sekarang dan seterusnya mungkin bajak darat.
Yang Feng terbelalak. “Lalu bagaimana dengan saudara jauhmu di pantai timur itu?”
“Aku bisa datang ke sana lain waktu saat keadaan sudah lebih baik.”
Yang Feng telah menghabiskan ikan bakarnya yang hanya tinggal tulang-belulang. Ia melempar tulang-tulang itu ke sungai lalu bangkit berdiri.
“Kau tinggallah di rumahku sampai kau pulih.” Yang Feng tersenyum. “Dan bantu aku memancing, tentu saja. Aku sudah lama tak ada teman mancing.”
Mulai hari itu, Long Wei tinggal di rumah Yang Feng yang sederhana dan hampir roboh. Karena rumah itu hanya ada satu kamar, maka Long Wei harus tidur di ruangan depan beralas kain tipis dan selimut yang tak lebih tebal.
Karena Long Wei merupakan seorang petarung dari bajak laut Hantu Samudra, tentu saja dia bukan orang lemah. Hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk lukanya pulih total. Sebenarnya sebagian besar waktu itu bukan untuk kesembuhan luka luarnya, tapi untuk kesembuhan luka batinnya.
Pagi di hari ketiga, Long Wei membuka percakapan di sela-sela kegiatan mereka seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi, memancing ikan di sungai.
“Kakek, besok aku akan pergi.”
“Oh, kau pergi saja,” jawab Yang Feng seolah tak acuh.
Long Wei kaget dibuatnya. Spontan ia menolehkan kepala, memandang kakek di sampingnya.
“Maksudku, nanti sore aku harus pergi ke puncak tebing itu untuk semedi. Malam nanti adalah malam bulan purnama, baik sekali untuk meningkatkan kualitas tenaga dalamku. Aku akan kembali ke sini besok pagi hampir ke siang. Kau mau menunggu?”
Long Wei mengerutkan kening karena merasa heran ada orang yang setua itu masih memperhatikan kualitas tenaga dalam. Ia hanya berpikir bukankah sebaiknya memikirkan tentang kuburan sendiri? Mengingat tak ada orang lain yang bisa membantu di tengah hutan ini.
“Oh, baiklah, tapi maaf aku tak bisa menunggu.” Aku khawatir orang-orangnya Zhu melakukan pengejaran.
Malam tiba lebih cepat dari yang dibayangkan. Yang Feng sudah pergi sejak matahari terbenam tadi. Kini Long Wei sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan entah ke mana pun itu yang jelas jauh dari laut timur. Dia masih tidak mau—lebih tepatnya tidak bisa—untuk bertemu pasukan bajak laut Iblis Laut pimpinan Zhu Ren dalam keadaan seperti ini.
Namun sebelum pergi, Long Wei kembali teringat tujuan berikutnya yaitu untuk menjadi seorang bajak pula, tapi ini di darat. Mungkin bisa dibilang sebagai perampok.
Hal ini tak mengherankan karena semenjak kecil Long Wei hidup di kalangan para bajak laut yang kasar dan ahli dalam mengambil barang orang dengan paksaan. Maka niat jahat itu muncul dalam diri Long Wei ketika tak ada orang di rumah selain dirinya.
“Ini langkah awalku.” Ia menyeringai.
Long Wei menggeledah setiap sisi rumah Yang Feng yang tak seberapa besar. Tidak membutuhkan waktu lama karena selain rumah ini memang sempit, juga tidak ada barang berharga. Akan tetapi, ada sebuah kotak kecil persegi panjang yang tersembunyi di bawah dipan bambu tempat tidur Yang Feng.
Long Wei mengambil kotak itu dan tanpa ragu membukanya. Dia terbelalak.
Di sana terbaring sebuah gelang giok berwarna hijau cerah yang amat indah. Terakhir kali Long Wei melihat perhiasan secantik ini ketika salah seorang anak buah ayahnya memerkosa seorang putri kaya sebelum minta tebusan. Walau demikian, gelang ini jauh lebih cantik.
Long Wei mengambil gelang giok itu dengan tangan sedikit gemetar. Ada dorongan aneh di hati yang seolah memerintahnya untuk bersikap lembut kepada gelang tersebut.
“Ini … aku harus memilikinya ….” Long Wei tertawa-tawa melihat benda luar biasa itu.
Maka pemuda ini pergi meninggalkan rumah Yang Feng dengan ucapan selamat tinggal berupa pencurian terhadap satu-satunya harta di tempat tersebut. Long Wei terus tersenyum sepanjang perjalanannya menuju utara.
Waktu bergulir dan malam berganti pagi. Sungai di depan pondok kecil itu kedatangan perahu-perahu kecil dan satu kapal besar yang segera menepi. Belasan orang melompat keluar dari perahu. Sikap mereka menyeramkan, seperti para bajak.
Yang Feng yang baru saja kembali dari semedinya mengerutkan kening. “Cari siapa?”
Seorang kakek berpakaian serba putih dan kakek lain yang berpakaian serba hitam muncul di geladak kapal besar. Kakek serba putih berseru. “Yang Feng, serahkan Giok Langit itu!”
Kedua alis Yang Feng hampir bertemu. “Pertapa Putih, kau masih saja mencari-cari hal tidak masuk akal itu?”
“Jangan bohong, kau membawanya!” bentak kakek berpakaian hitam.
“Tangan Maut,” kata Yang Feng sambil terkekeh geli. “Kau masih bisa berlagak setelah kekalahanmu belasan tahun lalu? Kali ini kau bawa kawan sebanyak ini?”
Pertapa Putih dan Tangan Maut melompat dari kapal besar, tubuh mereka melayang dan mendarat di tanah dengan halus.
“Aku tidak sedang ingin main-main. Kaisar menginginkannya,” ucap si Tangan Maut dengan nada mengancam.
“Aku juga sedang tidak main-main. Kalau kau ingin tahu, para dewa sedang memihakku kali ini.” Yang Feng kembali terkekeh, bahkan hampir tertawa.
“Serahkan!” Pertapa Putih mengayunkan tangan, angin besar tercipta, menyapu Yang Feng yang masih tertawa-tawa.
“Sudah hilang!” Kakek itu membalas dengan sapuan tangan kanan.
Kedua tenaga raksasa bertemu, menciptakan suara gemuruh samar dan terpaan angin yang tak bisa diremehkan. Hanya ketiga orang sakti itu saja yang masih berdiri di tempat semula, sisanya sudah terdorong mundur tiga langkah.
“Aku tidak bohong,” Yang Feng melanjutkan. Entah dari mana asalnya dia telah menggenggam bambu panjang yang biasa ia gunakan untuk memancing. “Jadi, pencarian kalian sia-sia. Katakan saja kepada kaisar sombong itu, coba cari ke dalam gaun para selirnya, siapa tahu salah satu dari mereka yang menyembunyikannya, hahaha.” Yang Feng tertawa makin keras.
“Cari giok itu!” perintah Pertapa Putih kepada orang-orang kasar itu, sedangkan dia sendiri langsung menyerang Yang Feng bersama Tangan Maut.
Tanpa melakukan pengumuman atau apa pun, para biksu itu segera tertarik ketika murid kepala mereka keluar dari tenda membawa senjata. Mereka rata-rata sudah berumur tiga puluh tahun lebih, tapi Tian Ju sendiri mungkin masih dua puluh lima tahun, hal ini menandakan bahwa tingkat kepandaian Tian Ju sudah melebihi mereka sehingga pantas disebut sebagai murid kepala.Mereka mencari tanah lapang yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana. Begitu berdiri saling berhadapan, dua lusin biksu Taring Naga sudah berdiri menonton di pinggir dengan tatapan penasaran.“Pakai senjatamu, Saudara Long, jangan sungkan-sungkan.” Tian Ju tersenyum.Pemuda itu lantas memutar tongkat bajanya yang berat lalu melintangkannya di depan dada. Kemudian dengan memegang tongkat menggunakan dua tangan, ia arahkan salah satu ujungnya ke tubuh Long Wei sedang tubuhnya sendiri agak membungkuk.Dalam pandangan Long Wei, kuda-kuda itu amat sempurna dan hampir tidak bercelah sama sekali.Karena lawan menggunakan senjata,
Selama perjalanan, kepala Long Wei selalu dipenuhi dengan dua mayat pria di rumah yang ia masuki ketika terjadi kekacauan panen raya tersebut. Sudah berkali-kali ia menghubung-hubungkan antara dua mayat itu dengan sastrawan yang dipanggil Tuan Lo.Kejadian tiga minggu lalu di rumah itu masih diingatnya sejelas baru terjadi kemarin. Long Wei yakin sekali dua orang yang mati itu adalah dua orang pendekar karena di dekat mereka tergeletak pula senjata pedang dan golok. Namun yang jadi pertanyaan, siapa pihak baiknya di sini? Tuan Lo ataukah dua pendekar itu?“Ah, semakin dipikir semakin memusingkan,” gumamnya sedikit putus asa. “Jika memang dua pendekar itu adalah pihak benar, maka yang dipanggil Tuan Lo itu tentu orang berbahaya.” Pikirannya kembali diputar, ia mengingat kembali bahwa Tuan Lo pergi bersama perwira kekaisaran. “Tunggu, bukankah yang datang itu seorang perwira? Dari golongan mana dia?”Sambil terus memikirkan hal ini, tanpa terasa Long Wei sudah tiba di kaki bukit tempat
Serangan palu raksasa Jit Kauw semakin cepat dan kuat. Memang dia adalah seorang yang luar biasa, dengan tubuh besarnya bukan tidak mungkin palu raksasa itu bergerak dengan cepat.Melihat kematian Shi, Han Rui jadi semakin kewalahan. Ia sejak tadi tak berani langsung menangkis palu raksasa itu, hanya menghindar dan sesekali balas menyerang ketika ada lowongan. Kini pikirannya jadi kurang fokus sehingga ketika ada kesempatan menyerang, Han Rui tidak sadar dan terus menghindar.“Kenapa hanya main mundur? Lakukan perlawanan!” ejek Jit Kauw yang masih terus memperhebat serangannya.Angin keras terdengar cukup mengerikan setiap kali palu itu terayun. Han Rui makin lama makin repot juga menghadapi desakan itu. Ditambah setelah kekalahan Shi, semangat orang-orang itu berkurang drastis sehingga mereka bertempur tidak sehebat tadi. Ini membuat beberapa anak buah Jit Kauw berhasil lolos dan melakukan serangan dari titik-titik buta.“Kuanggap ini sebagai kekalahanku, kau memang hebat Palu Raksas
Pertempuran baru saja dimulai ketika empat orang langsung menggempur Cang Er tanpa ampun. Gadis itu agak terkejut juga karena orang-orang yang ia anggap sebagai bandit ini ternyata tak hanya terdiri dari kaum lelaki, banyak juga wanitanya. Juga pakaian mereka jauh lebih layak dan rapi daripada anak buah Jit Kauw. Jadi kalau sekilas pandang, saat ini pihak Jit Kauw lah yang jadi bandit dan pihak Shi yang jadi pahlawan kebenaran.“Keparat!”Pedang Cang Er menebas dalam gerakan lambat berdasarkan ilmu Pedang Pembelah Langit. Gerakan yang lambat namun penuh tenaga ini jelas dipandang ringan oleh empat orang itu yang belum mengetahui sama sekali. Maka mereka dengan berani menangkis serangan Cang Er.Traang ... traang ....Dua pedang yang bertemu dengan pedang Cang Er langsung patah menjadi dua. Sementara itu, Cang Er tak berniat menghentikan serangan sama sekali. Maka dari itulah dalam waktu singkat, dua kepala manusia melayang bersamaan dengan putusnya nyawa.Cang Er melanjutkan serangan
Sekeluarnya dari rumah kepala desa, mereka menuju bangunan tempat bermalam untuk berunding.“Kita akan masuk?” Cang Er bertanya ragu. “Tidak mungkin, kan?”“Tentu saja tidak mungkin. Itu amat berbahaya. Musuh pasti sudah tahu isi dari ruang rahasia itu seperti apa, sedangkan kita sama sekali buta. Tindakan itu bisa dibilang bunuh diri,” sahut Liang Kun cepat. “Saudara Jit, bagaimana menurutmu?”Lelaki itu berpikir keras selama beberapa saat. “Satu-satunya cara, sepertinya harus kita sendiri yang berjaga diam-diam di ruang itu.”“Berarti memang tidak ada cara lain, ya ....” Ekspresi Liang Kun berubah sedikit tegang. “Kalau kita menanti di dalam, tak ada jaminan musuh akan datang lagi malam ini. Juga kita tidak tahu apakah Poan Ci dalam keadaan selamat ataukah sudah mati?”“Soal itu ....” Jit Kauw menundukkan kepala dalam-dalam lalu terdengar helaan napas berat. “Aku sungguh tak mengerti. Kita benar-benar tak berdaya akan diri Poan Ci, satu-satunya cara adalah membuat sisa anak-anak itu
Malam lewat dengan penuh kekhawatiran yang tak terjawab. Setelah selesai berbincang dengan Cang Er, Jit Kauw langsung mengubah formasi penjagaan. Kini formasi diperketat di sekitar wilayah rumah kepala desa. Lusinan pria berpakaian kasar dan bersenjata berbagai macam tampak mengerikan saat mereka berdiri di tempat masing-masing dengan mata mencorong.Melihat ini saja orang akan bisa langsung menyimpulkan bahwa orang bodoh saja yang berani nekat menerobos masuk.Namun, namanya masa depan tak ada yang tahu. Esok hari saat baru terang tanah, Cang Er, Liang Kun dan Jit Kauw dikejutkan oleh laporan salah seorang penjaga dengan muka pucat.“Pagi tadi baru disadari bahwa jumlah anak di rumah kepala desa sudah berkurang satu. Kini total ada dua puluh empat orang, seorang anak lelaki hilang entah ke mana.”Jit Kauw tak bisa menahan kemarahan lagi. Meja di depannya ia pukul keras hingga pecah jadi beberapa bagian. Mata lelaki itu melebar seakan hampir keluar, urat-urat nadi menonjol keluar dari