Cukup melelahkan ketika semalaman harus dikejar oleh satu desa karena ketahuan mencuri sepeti harta. Peti itu kecil saja, bahkan dua tangan pun terlalu besar untuk memegangnya, tapi harus Long Wei akui kalau isinya tidak main-main.
Berbagai perhiasan seperti kalung, cincin, anting, gelang, dan pernak-pernik lainnya. Long Wei bahkan sampai bingung harus ia apakan harta sebanyak ini.
“Dijual sajalah,” gumamnya tanpa sadar tepat ketika makanan yang ia pesan dihidangkan di atas meja.
Pelayan itu membungkuk singkat sebelum pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan pelanggan lain.
Warung ini berada di persimpangan yang cukup strategis. Walau di sekelilingnya masih berupa hutan lebat, tapi jarak ke desa terdekat tak sampai lima li. Hal ini membuat para pengelana tak perlu mampir ke desa-desa itu jika hanya untuk sekadar mengisi perut.
Long Wei memilih singgah di tempat ini karena tujuan itu. Dia hanya akan mengisi perut sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
“Sudah sekitar dua minggu ini dia keliling di desa sekitar sini.”
“Meresahkan sekali.”
Perhatian Long Wei teralihkan ketika mendengar percakapan dua orang tersebut. Dia melirik ke belakang untuk menemukan dua sosok pria berpakaian kasar seperti orang-orang pencari kayu di hutan. Long Wei semakin yakin saat melihat seikat kayu di sisi kursi masing-masing.
“Desamu sudah ada korban?”
“Baru tadi malam. Sekotak harta dari salah satu warga yang kaya sudah hilang.”
Long Wei hampir tersedak karenanya. Siapa lagi yang melakukan itu kalau bukan dia sendiri.
Pemuda itu tersenyum pahit dalam diamnya. Memang setelah ia mencuri gelang giok indah dari Yang Feng, Long Wei hidup sebagai pencuri yang menargetkan rumah-rumah besar. Dengan ilmu silat ajaran ayahnya dulu, tak begitu sulit baginya untuk menyelinap masuk dan keluar tanpa ketahuan.
Ditambah lagi wajah yang masih anak-anak, umur lima belas tahun, tak akan ada yang mengira kalau Long Wei adalah seorang pencuri.
Namun, Long Wei tidak merasa keberatan dengan jalan hidupnya karena sejak dulu dia dan kelompok Hantu Samudra sudah biasa untuk merebut harta benda milik orang. Dengan begitu, seperti saat ini, dia bisa membeli pakaian bersih yang mahal serta senjata pedang pendek yang cukup berguna untuk menakut-nakuti korban.
“Kita istirahat dulu di sini.”
Long Wei mengurungkan niatnya untuk beranjak saat melihat tiga kuda besar tiba di depan pintu warung yang terbuka. Melihat pakaian para penunggangnya, mereka merupakan prajurit kekaisaran.
Long Wei tersenyum tanpa sadar karena pikiran jahat masuk secepat kilat. Uang mereka pasti banyak, ucap batinnya saat melihat satu wadah besi besar yang dibawa masuk oleh dua orang.
“Upeti!” bentak salah satu prajurit dengan galak.
Pemilik warung itu langsung mengkeret di balik meja. Tubuhnya menunduk-nunduk dengan wajah ketakutan. “Minggu lalu anda sudah datang, tuan. Saat ini kami belum punya uang sebanyak itu.”
Meja digebrak dengan keras. “Kau mau memberontak, ya?”
“Tidak … tidak ….”
Long Wei tak lagi tertarik mendengarkan perdebatan itu. Pemuda ini melangkah keluar dari warung dan berpapasan dengan satu prajurit lain yang menenangkan ketiga kuda tersebut. Long Wei tersenyum kecil.
Ia berjalan sampai cukup jauh untuk menyelinap ke balik pepohonan, kemudian kembali lagi ke tempat warung itu berada. Diambilnya batu sebesar kepalan tangan untuk ia lempar mengarah pantat salah satu kuda dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.
Kuda itu meringkik dan mendompak, menendang dua kuda lain, juga prajurit tadi. Kepalanya dikibas-kibaskan agar bisa lepas dari cekalan si prajurit yang masih memegang erat. Long Wei menembakkan satu butir lagi.
“Sial, kudanya lepas!” teriak prajurit itu.
Salah satu prajurit yang tadi memalak ikut keluar untuk melihat. Hanya satu kuda yang berhasil diselamatkan kawannya itu. Dia menjadi marah, dengan berang ditamparnya muka si penjaga kuda. “Tidak becus! Tak ada hujan tak ada angin, kenapa bisa terlepas?”
“Tiba-tiba kudanya marah,” balasnya sambil meringis kesakitan.
Seketika keadaan di dalam warung menjadi ribut dan berisik bukan main akibat Long Wei yang sudah melompat masuk lagi melalui jendela, menyerang prajurit si pemegang wadah berisi uang upeti dari tempat-tempat sebelumnya.
Begitu menerjang, Long Wei langsung mengincar leher orang itu yang tidak tertutup baju baja. Tentu saja ia mengelak, dengan sedikit susah payah karena satu tangan harus memegang wadah tersebut.
“Maling!” serunya.
Namun, Long Wei dengan cekatan telah menendang lutut lawan, membuatnya terjungkal. Secepat kilat ia injak lehernya berbareng dengan menyambar wadah tersebut.
“Terima kasih.” Lantas Long Wei pergi dari sana.
Gegerlah keadaan di situ karena mereka sama sekali tak menyangka akan ada maling yang begitu berani beraksi di siang bolong begini.
Satu prajurit yang tadi menampar temannya tidak repot-repot untuk melihat kondisi kawannya yang lain. Orang ini segera melompat ke punggung kuda dan mengejar siluet Long Wei yang masih kelihatan.
“Kumpulkan para prajurit dari desa sekitar!” perintahnya sebelum membalapkan kuda tersebut.
Long Wei terus berlari ke dalam hutan, memilih tempat-tempat dengan pepohonan rapat. Dari suara yang didengar ia tahu musuhnya mengejar naik kuda sehingga tempat seperti ini akan tambah menyulitkan jika dilewati dengan hewan tunggangan.
Tubuhnya melesat dengan lincah di antara pepohonan, menukik di turunan tajam, lalu melayang, berayun dari pohon satu ke pohon lain.
Kurang lebih sampai dua li mereka terus melakukan kejar-kejaran sebelum Long Wei tiba-tiba terjatuh.
“Sial!” Suara berkeresak terdengar ketika ia menggelinding di tanah penuh rumput tebal berduri. Pakaiannya kotor dan lecet di sana-sini. Beberapa koin yang berhamburan ia ambil kembali, beberapa ia abaikan.
“Berhenti!” Teriakan terdengar disusul kesiur angin tajam.
Spontan Long Wei miringkan kepala ke kanan, sebatang anak panah lewat tak sampai setengah napas kemudian, menancap di batang pohon hampir setengah bagian.
Si pengejar tadi ternyata sudah tiba. Long Wei harus mengakui kehebatannya dalam mengendalikan kuda itu karena mampu melewati jalanan ini jauh lebih cepat dari perkiraan awal.
“Aku tak berniat menyerah! Ayo bertanding satu lawan satu!” Long Wei mencabut pedang pendeknya lantas menerjang.
“Bagus!” Orang itu membuang gendewa dan mencabut sebatang golok.
Traaangg ….
Bunga api berpijar ketika pedang Long Wei hampir menebas leher orang dan mampu ditangkis sempurna oleh prajurit tersebut. Walau demikian, prajurit itu tetap terhuyung dan jatuh dari punggung kuda.
Wadah berisi uang upeti tadi pun juga ikut terlepas dari genggaman tangan Long Wei. Isinya berhamburan ke mana-mana. Namun Long Wei tak punya waktu memikirkan itu karena serangan berikutnya telah tiba.
Mereka beradu senjata di tengah lebatnya pepohonan dengan satu niat sama, yaitu menghabisi lawan. Si prajurit kekaisaran sebenarnya hendak menawan Long Wei, tapi melihat kemampuan pemuda itu ia jadi merubah niat awal. Long Wei ternyata terlalu lihai untuk di tangkap.
“Kau kalah!” seru Long Wei saat tubuhnya melesat ke samping sambil menusukkan pedangnya menuju lambung.
Darah terciprat membasahi rerumputan, tapi luka itu masih terlalu dangkal.
Prajurit itu tersenyum. “Kau bocah pencuri yang lihai juga, setidaknya masih patut disandingkan dengan kesombonganmu.”
Pertempuran kembali berlanjut. Suara dentang dua logam yang diadu terus terdengar sampai jauh, sehingga menjadi semacam pemandu jalan untuk tujuh prajurit baru yang sudah dipanggil dari desa terdekat.
“Di sana!” tunjuk prajurit paling depan ketika melihat dua orang sedang bertempur di kejauhan. “Jangan memanah. Itu membahayakan teman kita.” Ia mencegah saat melihat orang di sebelahnya sudah menarik gendewa.
Seorang yang di belakangnya tiba-tiba berdiri di punggung kuda, mencabut golok lantas melompat. Tubuhnya seperti melayang, menandakan dia merupakan ahli silat tangguh.
“Hentikan pertarungan!” sosok itu meraung lalu menangkis senjata Long Wei dan lawannya, membuat mereka terpental.
Ternyata orang itu adalah orang tua yang umurnya sudah banyak, tak mungkin di bawah enam puluh. Rambut kepala, alis dan jenggotnya sudah putih dan panjang semua. Akan tetapi gerakan itu benar-benar membuat mereka merasa kagum.
“Tak ada gunanya membunuh penjahat cilik seperti dia, kenapa kau coba membunuhnya?” Kakek ini menegur kepada lawan Long Wei.
“Yang Ciangkun (Perwira Yang), saya hanya melindungi diri,” kilah prajurit itu sambil menunduk memberi hormat. “Jika tidak begitu, maka saya yang akan mati.”
Keenam prajurit lain tiba di sana yang langsung membantu lawan Long Wei berdiri.
Kakek itu mendengus sebal. “Kau, dan kau, bantu aku mengurus pencuri cilik ini. Sisanya lanjutkan tugas kalian!”
“Baik.”
Setelah menjura hormat, mereka meninggalkan tempat itu menggunakan kuda masing-masing.
Seorang prajurit mengeluarkan tali dari tas yang dibawa di punggung kuda. Akan tetapi perwira Yang langsung menotok pundaknya hingga membuat prajurit itu pingsan.
“Yang Ciangkun, apa yang ….”
Prajurit itu juga langsung jatuh tersungkur setelah menerima totokan perwira Yang.
Long Wei yang melihat semua itu terbelalak. Bukan karena totokan perwira Yang, melainkan terbelalak karena perwira Yang itu sendiri.
“Kau ….”
“Kita bertemu lagi.” Perwira Yang tersenyum tipis. “Gelang itu masih kaubawa, nak?”
“Kakek Yang Feng?”
Tanpa melakukan pengumuman atau apa pun, para biksu itu segera tertarik ketika murid kepala mereka keluar dari tenda membawa senjata. Mereka rata-rata sudah berumur tiga puluh tahun lebih, tapi Tian Ju sendiri mungkin masih dua puluh lima tahun, hal ini menandakan bahwa tingkat kepandaian Tian Ju sudah melebihi mereka sehingga pantas disebut sebagai murid kepala.Mereka mencari tanah lapang yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana. Begitu berdiri saling berhadapan, dua lusin biksu Taring Naga sudah berdiri menonton di pinggir dengan tatapan penasaran.“Pakai senjatamu, Saudara Long, jangan sungkan-sungkan.” Tian Ju tersenyum.Pemuda itu lantas memutar tongkat bajanya yang berat lalu melintangkannya di depan dada. Kemudian dengan memegang tongkat menggunakan dua tangan, ia arahkan salah satu ujungnya ke tubuh Long Wei sedang tubuhnya sendiri agak membungkuk.Dalam pandangan Long Wei, kuda-kuda itu amat sempurna dan hampir tidak bercelah sama sekali.Karena lawan menggunakan senjata,
Selama perjalanan, kepala Long Wei selalu dipenuhi dengan dua mayat pria di rumah yang ia masuki ketika terjadi kekacauan panen raya tersebut. Sudah berkali-kali ia menghubung-hubungkan antara dua mayat itu dengan sastrawan yang dipanggil Tuan Lo.Kejadian tiga minggu lalu di rumah itu masih diingatnya sejelas baru terjadi kemarin. Long Wei yakin sekali dua orang yang mati itu adalah dua orang pendekar karena di dekat mereka tergeletak pula senjata pedang dan golok. Namun yang jadi pertanyaan, siapa pihak baiknya di sini? Tuan Lo ataukah dua pendekar itu?“Ah, semakin dipikir semakin memusingkan,” gumamnya sedikit putus asa. “Jika memang dua pendekar itu adalah pihak benar, maka yang dipanggil Tuan Lo itu tentu orang berbahaya.” Pikirannya kembali diputar, ia mengingat kembali bahwa Tuan Lo pergi bersama perwira kekaisaran. “Tunggu, bukankah yang datang itu seorang perwira? Dari golongan mana dia?”Sambil terus memikirkan hal ini, tanpa terasa Long Wei sudah tiba di kaki bukit tempat
Serangan palu raksasa Jit Kauw semakin cepat dan kuat. Memang dia adalah seorang yang luar biasa, dengan tubuh besarnya bukan tidak mungkin palu raksasa itu bergerak dengan cepat.Melihat kematian Shi, Han Rui jadi semakin kewalahan. Ia sejak tadi tak berani langsung menangkis palu raksasa itu, hanya menghindar dan sesekali balas menyerang ketika ada lowongan. Kini pikirannya jadi kurang fokus sehingga ketika ada kesempatan menyerang, Han Rui tidak sadar dan terus menghindar.“Kenapa hanya main mundur? Lakukan perlawanan!” ejek Jit Kauw yang masih terus memperhebat serangannya.Angin keras terdengar cukup mengerikan setiap kali palu itu terayun. Han Rui makin lama makin repot juga menghadapi desakan itu. Ditambah setelah kekalahan Shi, semangat orang-orang itu berkurang drastis sehingga mereka bertempur tidak sehebat tadi. Ini membuat beberapa anak buah Jit Kauw berhasil lolos dan melakukan serangan dari titik-titik buta.“Kuanggap ini sebagai kekalahanku, kau memang hebat Palu Raksas
Pertempuran baru saja dimulai ketika empat orang langsung menggempur Cang Er tanpa ampun. Gadis itu agak terkejut juga karena orang-orang yang ia anggap sebagai bandit ini ternyata tak hanya terdiri dari kaum lelaki, banyak juga wanitanya. Juga pakaian mereka jauh lebih layak dan rapi daripada anak buah Jit Kauw. Jadi kalau sekilas pandang, saat ini pihak Jit Kauw lah yang jadi bandit dan pihak Shi yang jadi pahlawan kebenaran.“Keparat!”Pedang Cang Er menebas dalam gerakan lambat berdasarkan ilmu Pedang Pembelah Langit. Gerakan yang lambat namun penuh tenaga ini jelas dipandang ringan oleh empat orang itu yang belum mengetahui sama sekali. Maka mereka dengan berani menangkis serangan Cang Er.Traang ... traang ....Dua pedang yang bertemu dengan pedang Cang Er langsung patah menjadi dua. Sementara itu, Cang Er tak berniat menghentikan serangan sama sekali. Maka dari itulah dalam waktu singkat, dua kepala manusia melayang bersamaan dengan putusnya nyawa.Cang Er melanjutkan serangan
Sekeluarnya dari rumah kepala desa, mereka menuju bangunan tempat bermalam untuk berunding.“Kita akan masuk?” Cang Er bertanya ragu. “Tidak mungkin, kan?”“Tentu saja tidak mungkin. Itu amat berbahaya. Musuh pasti sudah tahu isi dari ruang rahasia itu seperti apa, sedangkan kita sama sekali buta. Tindakan itu bisa dibilang bunuh diri,” sahut Liang Kun cepat. “Saudara Jit, bagaimana menurutmu?”Lelaki itu berpikir keras selama beberapa saat. “Satu-satunya cara, sepertinya harus kita sendiri yang berjaga diam-diam di ruang itu.”“Berarti memang tidak ada cara lain, ya ....” Ekspresi Liang Kun berubah sedikit tegang. “Kalau kita menanti di dalam, tak ada jaminan musuh akan datang lagi malam ini. Juga kita tidak tahu apakah Poan Ci dalam keadaan selamat ataukah sudah mati?”“Soal itu ....” Jit Kauw menundukkan kepala dalam-dalam lalu terdengar helaan napas berat. “Aku sungguh tak mengerti. Kita benar-benar tak berdaya akan diri Poan Ci, satu-satunya cara adalah membuat sisa anak-anak itu
Malam lewat dengan penuh kekhawatiran yang tak terjawab. Setelah selesai berbincang dengan Cang Er, Jit Kauw langsung mengubah formasi penjagaan. Kini formasi diperketat di sekitar wilayah rumah kepala desa. Lusinan pria berpakaian kasar dan bersenjata berbagai macam tampak mengerikan saat mereka berdiri di tempat masing-masing dengan mata mencorong.Melihat ini saja orang akan bisa langsung menyimpulkan bahwa orang bodoh saja yang berani nekat menerobos masuk.Namun, namanya masa depan tak ada yang tahu. Esok hari saat baru terang tanah, Cang Er, Liang Kun dan Jit Kauw dikejutkan oleh laporan salah seorang penjaga dengan muka pucat.“Pagi tadi baru disadari bahwa jumlah anak di rumah kepala desa sudah berkurang satu. Kini total ada dua puluh empat orang, seorang anak lelaki hilang entah ke mana.”Jit Kauw tak bisa menahan kemarahan lagi. Meja di depannya ia pukul keras hingga pecah jadi beberapa bagian. Mata lelaki itu melebar seakan hampir keluar, urat-urat nadi menonjol keluar dari