Home / Romansa / Godaan Berondong Nakal / Bab 3 Kebetulan yang Tak Direncanakan

Share

Bab 3 Kebetulan yang Tak Direncanakan

Author: Dwi Hastuti
last update Last Updated: 2025-06-30 15:52:27

"Kok kaget begitu?" tanya seorang gadis dengan perawakan tinggi besar, berhijab, kulit putih bersih, berkacamata yang dengan sumpringahnya telah berdiri di balik pintu ruang kerja Bram.

"Emm ... nggak, sih. Cuma ... dari mana kamu tahu, kalau aku kerja di sini dan di sini ruanganku?"

"It's easy problem. Mas sudah makan? Nih, aku bawakan bekal makan siang. Kebetulan tadi Ana ke rumah. Ibu masak banyak, jadi sekalian Ana bawa ke kantor Mas."

"Tapi Mas, kan, sudah makan siang?"

"Yah ... sayang sekali."

"Kamu ke sini ada perlu apa? Jam istirahat sudah habis, nih. Mas mau lanjut kerja lagi."

"Mas, sih. Ditelepon nggak pernah diangkat, di-chat nggak pernah dibales. Jadi ... ya, jangan salahkan Ana kalau Ana nyusul ke tempat kerja, Mas. Ya udah deh, Ana pulang saja. Jangan lupa ini bekalnya nggak mau tahu, pokoknya nanti harus dimakan. Titik!"

Dengan bersungut-sungut gadis cantik itu akhirnya keluar dari ruang kerja Bram.

Huh!

Terdengar dengkusan panjang napas Bram, saat gadis yang disebutnya dengan panggilan Ana itu, menutup pintu ruangan kerjanya.

"Untung dia tidak melihat kelakuanku saat di ruang Mbak Anes tadi," gumamnya.

Ya, gadis yang baru saja masuk ke ruang kerja Bram tanpa Bram tahu sebelumnya itu, adalah Diana yang biasa dipanggil Ana. Mereka tengah menjalin hubungan percintaan sejak tigs tahun terakhir. Diana adik tingkat Bram yang dua tahun lebih muda. Dia masih kuliah semester akhir di kampus yang sama dengan Bram.

Hubungan mereka lumayan dekat, termasuk dengan keluarga besar Bram. Diana sudah mengenal semuanya.

Bahkan, Diana sudah berulang kali menginap di rumah Bram. Kebetulan ibu Bram juga sangat dekat dengan Diana, dan dia sangat cocok dengan karakter Diana.

Bahkan, Diana sudah sering terlihat jalan bareng dengan Bram dan keluarga besarnya di acara resmi keluarga.

Heran saja, apa yang sedang terjadi dengan Bram, hingga bocil itu masih saja sering menggoda Anes.

Bram menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak, saat di pelupuk matanya tiba-tiba bersliweran bayangan wajah Anes yang ketus dan terlihat galak.

Sepersekian detik berikutnya, laki-laki muda itu justru tersenyum melihat bayang-bayang nakal dalam imajinasinya. Tentang wanita dewasa yang entah apa motifnya setelah tujuh tahun berlalu, pesonanya kembali menggelora di dalam dadanya.

"Mbak Anes ...."

Kembali Bram menyebut lirih nama Anes, saudara jauhnya yang satu hari ini tanpa sengaja telah diciumnya dua kali.

"Candu banget bibirnya. Manis. Aku yakin ... perempuan tipe sepertinya, garang di atas ranjang. Ahhh ... Bullshit! Makin penasaran saja."

Bram mengacak rambutnya frustasi. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih kencang, kala mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat dia dengan sengaja mencium pipi Anes di kafe, justru di detik selanjutnya berlaku kurang ajar dengan mengecup bibir Anes.

"Dulu ... aku memang dengan sengaja menggodanya. Setelah sekian tahun terlupakan, entah mengapa kini aku kembali tergoda. Ah, yang tergoda aku apa dia, sih!" gumamnya.

Di tengah berkecamuknya rasa Bram atas kejadian yang beberapa waktu lalu menimpanya, tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau. Hingga akhirnya telepon yang berada di atas meja kerjanya berdering.

Laki-laki muda itu gegas mendial angka dua. Tak berapa lama orang di seberang sana terdengar berbicara.

"Mas, diminta menghadap Bapak," ucapnya singkat.

"Sekarang Mbak?" tanya Bram.

"Iya. Buruan. Ditunggu Bapak. Bapak akan segera meeting."

Tanpa menunggu lama, Bram gegas memberesi berkas kerjanya yang berserakan di meja kerjanya.

***

Anes yang baru saja keluar dari ruang kerja atasannya, berjalan tergesa hendak masuk ke dalam lift menuju lantai satu di mana ruang kerjanya berada.

Namun, ketika pintu lift terbuka, netranya membulat sempurna saat dilihatnya sosok yang sangat familiar dalam pandangannya hendak keluar dari sana.

"Bram," lirihnya.

Sontak Bram yang masih menunduk menatap benda pintar miliknya, langsung menengadahkan wajahnya.

"Mbak Anes. Mbak dari mana?"

Belum sempat Anes menjawab pertanyaan Bram, pintu lift yang membawa Anes ke lantai dasar telah tertutup.

Bram membalikkan tubuhnya, lalu berjalan perlahan ke ruang utama di lantai tiga, yaitu ruangan milik atasannya.

Pintu diketuk perlahan. Usai dipersilakan masuk, Bram gegas membuka pintu lalu duduk di depan atasannya.

Seperti yang beberapa saat terjadi dengan Anes, Bram pun hanya disodori berkas lalu disuruh membacanya. Setelah beberapa saat membaca, terdengar sang atasan membuka percakapan.

"Gimana? Kamu bersedia, Bram?"

"Emm ... ya, Pak. Saya akan mempersiapkan segala sesuatunya."

"Good job! Kamu boleh kembali ke ruang kerjamu. Satu salinan surat tugas itu, boleh kamu bawa."

"Baik, Pak. Saya permisi."

Bram memundurkan kursinya, lalu berdiri dan meninggalkan ruangan atasannya. Dalam perjalanannya kembali ke ruang kerjanya, Bram memikirkan satu kalimat di dalam surat tugasnya yang menyatakan dua orang agen dari perusahaannya. Satu dari divisi bisnis dan satunya lagi dari divisi hukum.

"Siapa, ya?" gumamnya.

***

Jam kerja telah usai. Anes menyusuri koridor kantor menuju ke gedung parkir. Langit tampak begitu mendung.

"Ah, sebentar lagi hujan pasti turun. Mana aku tidak membawa jas hujan lagi," gumamnya.

Benar saja. Belum lima menit Anes masuk ke gedung parkir di lantai dasar, hujan telah turun dengan lebatnya. Wanita satu anak itu hanya mondar mandir di depan gedung parkir.

"Ah, kenapa deras sekali? Jam baru menunjukkan pukul empat sore, tapi mengapa langit sudah begitu gelapnya?"

Tin!

Di tengah lamunannya, terdengar klakson mobil berbunyi sekali. Anes menoleh ke belakang, di mana arah sumber suara klakson tersebut berasal.

"Bareng, yuk!" ucap seseorang yang baru saja menurunkan kaca mobilnya.

"Ah, kamu. Kamu duluan saja," jawab Anes sambil membuang wajahnya ke sembarang arah, karena seseorang yang menawarinya tumpangan itu adalah Bram.

"Ayolah, Mbak. Sweer! Nggak akan kurang ajar lagi. Nanti aku antarkan sampai depan pintu rumah, deh."

"Janji, ya!"

Bram hanya menganggukkan kepalanya saja.

"Motorku gimana, dong!"

"Besok saja. Nanti aku bilang Pak Satpam kalau motor Mbak ditinggal di kantor."

Akhirnya Anes pun masuk ke mobil Bram. Bram membukakan pintu mobil sebelah kiri depan.

"Silakan, Mbak," ucap Bram dengan tatapan redup penuh cinta.

"Sssttt ... kondisikan tatapannya. Mbak nggak suka ditatap seperti itu."

Bram hanya nyengir kuda, seraya mengingsut tubuhnya lebih ke dalam, di jok kemudinya. Sementara itu, Anes menutup pintu mobil Bram, seraya menarik seat belt yang ada di samping kanannya.

Saat hendak menarik seat belt-nya, Bram melihat Anes agak kesusahan. Memang seat belt bagian kiri mobil Bram sering macet. Namun, Bram hanya melirik sekilas saja mendapati tangan Anes yang masih berkutat di sana.

"Bisa tidak?" lirih Bram yang perlahan melajukan mobilnya.

"Ini gimana, sih. Kok, susah amat?" ucap Anes dengan bibir mengerucut.

"Mmm ... seksinya kalau manyun, kek gitu."

"Apaan, sih, Bram! Ngeledekin Mbak, ya? Awas saja ... Mbak turun sini saja kalau kamu terus menggoda. Mbak mana kuat kalau kamu terus-terusan begini, Bram."

"Ssstttt .... sini aku benerin."

Seketika Bram meminggirkan mobilnya, lalu meraih seat belt yang masih dipegang oleh Anes.

Namun, apa yang terjadi sejurus kemudian? Saat Bram merunduk hendak menarik seat belt, pada saat yang bersamaan Anes juga merunduk. Dan akhirnya ....

"Auuuwww!"

Keduanya mengaduh bersamaan. Bram dan Anes mengelus jidat masing-masing yang saling bertubrukan.

"Sepertinya alam merestui, Mbak!" lirih Bram.

"Apa maksudmu?"

"Ini kebetulan yang tidak disengaja. Semakin dekat dengan Mbak, Bram semakin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya."

Bram meraih tangan Anes. Anes berusaha menjauhkan. Namun sayang, reflek Bram terlalu cepat. Tiba-tiba saja tubuh Anes bergetar hebat. Anes mengingsut tubuhnya agak mundur ke belakang, saat wajah Bram semakin dekat dengannya.

"Bram ... jangan!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 6 Jinak-Jinak Merpati

    Bab 6 Jinak-Jinak MerpatiWajah Bram yang sebelumnya berbinar-binar, tiba-tiba kembali berubah masam saat tahu pesan masuk yang diharapkan dari Anes, ternyata dari Ana.[Malam, Mas. Udah makan? WA Ana sore tadi, kok, tidak dibalas? Mas ngapain berhenti di gang sebelah lama-lama?]Membaca isi pesan dari Ana, Bram hanya menghela napas dalam saja. Lalu, pemuda itu gegas menulis balasannya, mengingat WA Ana sore tadi memang tidak dibalasnya.[Udah. Mas udah makan, kok. Kan Ana tahu kalau Mas sekantor sama Mbak Anes. Mbak Anes lupa tidak membawa jas hujan. Karena satu perumahan dan satu kantor, masa Mas tidak kasih tumpangan? Di kantor sore tadi hujan lebat.][Oh. Eh, besok Mas kalau pulang awal, anterin Ana belanja, ya?][Lihat besok saja. Besok Mas kabari.][Ok masku sayang. See you tommorow.]Bram gegas menutup obrolannya dengan Ana. Obrolan yang begitu dingin. Entah, rasa Bram sudah berubah, atau memang pemuda itu sedang bad mood, hingga ngobrol dengan kekasihnya bisa sehambar itu.Bra

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 5 Rindu Itu Berat

    Bab 5 Rindu Itu BeratUsai sejenak celingak-celinguk di sana, dan tidak mendapati siapa-siapa, Bram hanya mampu mengkerutkan keningnya."Kok dia tahu, ya, kalau aku mengantarkan Mbak Anes pulang? Jangan-jangan dia masih di rumahku. Ah, shit!" gumamnya.Pemuda lajang yang kini sedang bermain hati dengan teman sekerjanya yang usianya dua kali lipat dari usianya itu, gegas menyalakan mobilnya, lalu putar balik menuju rumahnya yang berada di gang sebelah perumahan yang sama dengan Anes.Di sepanjang perjalanannya pulang yang hanya beberapa menit itu, bunyi jantung Bram seperti genderang mau perang."Ish ... nyebelin sekali. Mengganggu suasana hatiku saja."Bram memukul pelan kemudinya, saat tiba-tiba suasana hatinya jadi kacau. Hujan telah reda. Dia sengaja berdiam sejenak di dalam mobilnya yang sudah terparkir di garasi rumahnya.Tak berapa lama kemudian, terlihat Bu Mira ibunya Bram keluar dari balik pintu garasi rumah yang terhubung ke dapur rumahnya."Loh ... Bram. Kok, masih duduk be

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 4 Candu

    Bram hanya bergeming saja. Dia menatap Anes dengan sangat tajam. Pemuda lajang yang umurnya setengah dari umur Anes itu, seperti sedang menikmati indahnya panorama senja di antara alam berkabut dan berembun di hadapannya."Bram!" sentak Anes untuk yang kedua kalinya, hingga membuat Bram terbangun dari lamunannya."Apa yang kamu pikirkan! Buruan jalan! Atau ....""Atau apa?" lirih Bram yang wajahnya masih berada beberapa centi di hadapan wajah Anes."Atau Mbak akan turun di sini saja.""Silakan!"Mendengar jawaban Bram, Anes gegas mendorong tubuh laki-laki jangkung itu sekeras-kerasnya, hingga dada Bram sedikit tergeser ke belakang.Anes gegas meraih handle pintu mobil Bram. Namun, sepersekian detik kemudian terdengar bunyi.Klek!Bram mengunci otomatis pintu mobilnya sebelah kiri. Pemuda itu melirik sepintas ke arah Anes, yang tiba-tiba sudah melotot ke arahnya."Apa-apaan ini? Kamu jangan macam-macam, Bram! Aku menjerit jika kamu kurang ajar."Tanpa ba bi bu, Bram gegas melajukan mob

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 3 Kebetulan yang Tak Direncanakan

    "Kok kaget begitu?" tanya seorang gadis dengan perawakan tinggi besar, berhijab, kulit putih bersih, berkacamata yang dengan sumpringahnya telah berdiri di balik pintu ruang kerja Bram."Emm ... nggak, sih. Cuma ... dari mana kamu tahu, kalau aku kerja di sini dan di sini ruanganku?""It's easy problem. Mas sudah makan? Nih, aku bawakan bekal makan siang. Kebetulan tadi Ana ke rumah. Ibu masak banyak, jadi sekalian Ana bawa ke kantor Mas.""Tapi Mas, kan, sudah makan siang?""Yah ... sayang sekali.""Kamu ke sini ada perlu apa? Jam istirahat sudah habis, nih. Mas mau lanjut kerja lagi.""Mas, sih. Ditelepon nggak pernah diangkat, di-chat nggak pernah dibales. Jadi ... ya, jangan salahkan Ana kalau Ana nyusul ke tempat kerja, Mas. Ya udah deh, Ana pulang saja. Jangan lupa ini bekalnya nggak mau tahu, pokoknya nanti harus dimakan. Titik!"Dengan bersungut-sungut gadis cantik itu akhirnya keluar dari ruang kerja Bram.Huh!Terdengar dengkusan panjang napas Bram, saat gadis yang disebutny

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 2 Rasa yang Salah

    "Heh! Kamu?" ucap Anes sambil membelalakkan kedua bola matanya. "Loh, kok kaget begitu? Bukankah Bram biasa keluar masuk ruangan Mbak Anes?" jawabnya seraya duduk di sofa di mana Anes tepat menghadap ke sana. "Emm ... i-iya, sih. Lalu kenapa kemari? Bukankah jam istirahat sudah usai? Balik sono ke ruanganmu sendiri," ketusnya sambil melangkahkan kakinya hendak menarik tangan Bram, agar segera hengkang dari ruang kerjanya. Sumpah! Meskipun enam bulan terakhir sejak Anes tahu Bram kerja di kantor yang sama dengannya, keduanya hampir tiap hari bertemu, tetapi tidak untuk kali ini. Entah, apa yang terjadi dengannya. Wanita satu anak itu tampak terlihat gugup sekali. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah merasakan tertekan yang berlebihan apalagi hanya dengan seorang bocil yang seumuran dengan anaknya. "Mbak ... kenapa malah bengong gitu? Buruan tarik tangan Bram. Mau ngusir Bram 'kan? Nih, Bram udah siap, kok," ucap Bram seraya mengulurkan kedua tangannya. Sontak Anes gelagapan dib

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 1 Ciuman Bikin Baper

    Cup! "Bram! Apa yang kamu lakukan!" Plak! Tamparan keras mendarat di pipi sebelah kanan milik seorang pemuda jangkung yang dipanggilnya dengan sebutan Bram. Pemuda dengan style santai, tetapi cool dan dengan postur tubuh yang sangat ideal. Seorang wanita dengan paras matang, dengan setelan bleser berwarna navy, yang masih sangat terlihat energik itu sontak berdiri. Sesaat sang pemuda hanya mengelus pipi sebelah kanannya yang sedikit memerah, akibat tamparannya yang cukup keras. "Kurang ajar kamu, Bram! Apa maksudnya, coba!" sentaknya dengan mata berapi-api. Sementara itu, pemuda yang disebutnya dengan nama Bram itu, hanya bergeming tak menghiraukan sentakan wanita itu. Bram duduk dengan santainya di samping kursi wanita itu, seraya mengambil rokok dari dalam sakunya. Sedangkan sang wanita, saat ini tengah berdiri sambil menetralkan napasnya yang terengah-engah karena menahan amarahnya. Tak berapa lama kemudian, pemuda jangkung itu telah menyulut rokoknya dan menghisabnya perl

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status