LOGIN"Kok kaget begitu?" tanya seorang gadis dengan perawakan tinggi besar, berhijab, kulit putih bersih, berkacamata yang dengan sumpringahnya telah berdiri di balik pintu ruang kerja Bram.
"Emm ... nggak, sih. Cuma ... dari mana kamu tahu, kalau aku kerja di sini dan di sini ruanganku?" "It's easy problem. Mas sudah makan? Nih, aku bawakan bekal makan siang. Kebetulan tadi Ana ke rumah. Ibu masak banyak, jadi sekalian Ana bawa ke kantor Mas." "Tapi Mas, kan, sudah makan siang?" "Yah ... sayang sekali." "Kamu ke sini ada perlu apa? Jam istirahat sudah habis, nih. Mas mau lanjut kerja lagi." "Mas, sih. Ditelepon nggak pernah diangkat, di-chat nggak pernah dibales. Jadi ... ya, jangan salahkan Ana kalau Ana nyusul ke tempat kerja, Mas. Ya udah deh, Ana pulang saja. Jangan lupa ini bekalnya nggak mau tahu, pokoknya nanti harus dimakan. Titik!" Dengan bersungut-sungut gadis cantik itu akhirnya keluar dari ruang kerja Bram. Huh! Terdengar dengkusan panjang napas Bram, saat gadis yang disebutnya dengan panggilan Ana itu, menutup pintu ruangan kerjanya. "Untung dia tidak melihat kelakuanku saat di ruang Mbak Anes tadi," gumamnya. Ya, gadis yang baru saja masuk ke ruang kerja Bram tanpa Bram tahu sebelumnya itu, adalah Diana yang biasa dipanggil Ana. Mereka tengah menjalin hubungan percintaan sejak tigs tahun terakhir. Diana adik tingkat Bram yang dua tahun lebih muda. Dia masih kuliah semester akhir di kampus yang sama dengan Bram. Hubungan mereka lumayan dekat, termasuk dengan keluarga besar Bram. Diana sudah mengenal semuanya. Bahkan, Diana sudah berulang kali menginap di rumah Bram. Kebetulan ibu Bram juga sangat dekat dengan Diana, dan dia sangat cocok dengan karakter Diana. Bahkan, Diana sudah sering terlihat jalan bareng dengan Bram dan keluarga besarnya di acara resmi keluarga. Heran saja, apa yang sedang terjadi dengan Bram, hingga bocil itu masih saja sering menggoda Anes. Bram menggeleng-gelengkan kepalanya sejenak, saat di pelupuk matanya tiba-tiba bersliweran bayangan wajah Anes yang ketus dan terlihat galak. Sepersekian detik berikutnya, laki-laki muda itu justru tersenyum melihat bayang-bayang nakal dalam imajinasinya. Tentang wanita dewasa yang entah apa motifnya setelah tujuh tahun berlalu, pesonanya kembali menggelora di dalam dadanya. "Mbak Anes ...." Kembali Bram menyebut lirih nama Anes, saudara jauhnya yang satu hari ini tanpa sengaja telah diciumnya dua kali. "Candu banget bibirnya. Manis. Aku yakin ... perempuan tipe sepertinya, garang di atas ranjang. Ahhh ... Bullshit! Makin penasaran saja." Bram mengacak rambutnya frustasi. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih kencang, kala mengingat kejadian beberapa waktu lalu, saat dia dengan sengaja mencium pipi Anes di kafe, justru di detik selanjutnya berlaku kurang ajar dengan mengecup bibir Anes. "Dulu ... aku memang dengan sengaja menggodanya. Setelah sekian tahun terlupakan, entah mengapa kini aku kembali tergoda. Ah, yang tergoda aku apa dia, sih!" gumamnya. Di tengah berkecamuknya rasa Bram atas kejadian yang beberapa waktu lalu menimpanya, tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau. Hingga akhirnya telepon yang berada di atas meja kerjanya berdering. Laki-laki muda itu gegas mendial angka dua. Tak berapa lama orang di seberang sana terdengar berbicara. "Mas, diminta menghadap Bapak," ucapnya singkat. "Sekarang Mbak?" tanya Bram. "Iya. Buruan. Ditunggu Bapak. Bapak akan segera meeting." Tanpa menunggu lama, Bram gegas memberesi berkas kerjanya yang berserakan di meja kerjanya. *** Anes yang baru saja keluar dari ruang kerja atasannya, berjalan tergesa hendak masuk ke dalam lift menuju lantai satu di mana ruang kerjanya berada. Namun, ketika pintu lift terbuka, netranya membulat sempurna saat dilihatnya sosok yang sangat familiar dalam pandangannya hendak keluar dari sana. "Bram," lirihnya. Sontak Bram yang masih menunduk menatap benda pintar miliknya, langsung menengadahkan wajahnya. "Mbak Anes. Mbak dari mana?" Belum sempat Anes menjawab pertanyaan Bram, pintu lift yang membawa Anes ke lantai dasar telah tertutup. Bram membalikkan tubuhnya, lalu berjalan perlahan ke ruang utama di lantai tiga, yaitu ruangan milik atasannya. Pintu diketuk perlahan. Usai dipersilakan masuk, Bram gegas membuka pintu lalu duduk di depan atasannya. Seperti yang beberapa saat terjadi dengan Anes, Bram pun hanya disodori berkas lalu disuruh membacanya. Setelah beberapa saat membaca, terdengar sang atasan membuka percakapan. "Gimana? Kamu bersedia, Bram?" "Emm ... ya, Pak. Saya akan mempersiapkan segala sesuatunya." "Good job! Kamu boleh kembali ke ruang kerjamu. Satu salinan surat tugas itu, boleh kamu bawa." "Baik, Pak. Saya permisi." Bram memundurkan kursinya, lalu berdiri dan meninggalkan ruangan atasannya. Dalam perjalanannya kembali ke ruang kerjanya, Bram memikirkan satu kalimat di dalam surat tugasnya yang menyatakan dua orang agen dari perusahaannya. Satu dari divisi bisnis dan satunya lagi dari divisi hukum. "Siapa, ya?" gumamnya. *** Jam kerja telah usai. Anes menyusuri koridor kantor menuju ke gedung parkir. Langit tampak begitu mendung. "Ah, sebentar lagi hujan pasti turun. Mana aku tidak membawa jas hujan lagi," gumamnya. Benar saja. Belum lima menit Anes masuk ke gedung parkir di lantai dasar, hujan telah turun dengan lebatnya. Wanita satu anak itu hanya mondar mandir di depan gedung parkir. "Ah, kenapa deras sekali? Jam baru menunjukkan pukul empat sore, tapi mengapa langit sudah begitu gelapnya?" Tin! Di tengah lamunannya, terdengar klakson mobil berbunyi sekali. Anes menoleh ke belakang, di mana arah sumber suara klakson tersebut berasal. "Bareng, yuk!" ucap seseorang yang baru saja menurunkan kaca mobilnya. "Ah, kamu. Kamu duluan saja," jawab Anes sambil membuang wajahnya ke sembarang arah, karena seseorang yang menawarinya tumpangan itu adalah Bram. "Ayolah, Mbak. Sweer! Nggak akan kurang ajar lagi. Nanti aku antarkan sampai depan pintu rumah, deh." "Janji, ya!" Bram hanya menganggukkan kepalanya saja. "Motorku gimana, dong!" "Besok saja. Nanti aku bilang Pak Satpam kalau motor Mbak ditinggal di kantor." Akhirnya Anes pun masuk ke mobil Bram. Bram membukakan pintu mobil sebelah kiri depan. "Silakan, Mbak," ucap Bram dengan tatapan redup penuh cinta. "Sssttt ... kondisikan tatapannya. Mbak nggak suka ditatap seperti itu." Bram hanya nyengir kuda, seraya mengingsut tubuhnya lebih ke dalam, di jok kemudinya. Sementara itu, Anes menutup pintu mobil Bram, seraya menarik seat belt yang ada di samping kanannya. Saat hendak menarik seat belt-nya, Bram melihat Anes agak kesusahan. Memang seat belt bagian kiri mobil Bram sering macet. Namun, Bram hanya melirik sekilas saja mendapati tangan Anes yang masih berkutat di sana. "Bisa tidak?" lirih Bram yang perlahan melajukan mobilnya. "Ini gimana, sih. Kok, susah amat?" ucap Anes dengan bibir mengerucut. "Mmm ... seksinya kalau manyun, kek gitu." "Apaan, sih, Bram! Ngeledekin Mbak, ya? Awas saja ... Mbak turun sini saja kalau kamu terus menggoda. Mbak mana kuat kalau kamu terus-terusan begini, Bram." "Ssstttt .... sini aku benerin." Seketika Bram meminggirkan mobilnya, lalu meraih seat belt yang masih dipegang oleh Anes. Namun, apa yang terjadi sejurus kemudian? Saat Bram merunduk hendak menarik seat belt, pada saat yang bersamaan Anes juga merunduk. Dan akhirnya .... "Auuuwww!" Keduanya mengaduh bersamaan. Bram dan Anes mengelus jidat masing-masing yang saling bertubrukan. "Sepertinya alam merestui, Mbak!" lirih Bram. "Apa maksudmu?" "Ini kebetulan yang tidak disengaja. Semakin dekat dengan Mbak, Bram semakin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya." Bram meraih tangan Anes. Anes berusaha menjauhkan. Namun sayang, reflek Bram terlalu cepat. Tiba-tiba saja tubuh Anes bergetar hebat. Anes mengingsut tubuhnya agak mundur ke belakang, saat wajah Bram semakin dekat dengannya. "Bram ... jangan!" ***Saat Bram hendak mengejar Ana, tiba-tiba saja seorang pengendara motor ojek berhenti tepat di depan Ana. Tanpa pikir panjang lagi, Ana langsung naik begitu saja di punggung motor tersebut. "Antarkan saya ke jalan Anggrek, Mas," ucapnya singkat. Tanpa menunggu lama, motor itu langsung melesat begitu saja, meninggalkan kafe di mana Bram dan Ana yang baru saja hendak kencan tetapi berantakan di tengah jalan. "Shit!" gerutu Bram sambil mengepalkan kedua tangannya. Pemuda itu sempat berlari bermaksud mengejar Ana, tetapi naas hanya bayangan Ana yang naik motor ojek yang masih terlintas dalam pikirannya. "Dasar perempuan. Mengapa susah sekali dimengerti," lirihnya seraya kembali masuk ke dalam kafe. Bram kembali menyeruput kopinya yang belum sepenuhnya habis. Dilihatnya kopi Ana dan pisang cokelat pesenannya yang belum tersentuh oleh kekasihnya itu. "Apakah aku keterlaluan, ya? Ana sampai semarah itu padaku. Padahal hari ini hari terakhir aku ketemu dengannya." Bram menghemb
Lima belas menit kemudian, Bram telah sampai di bengkel tempat dia meninggalkan mobilnya pagi tadi. Bram berhenti sejenak di depan bengkel. Dia sengaja membiarkan saja, saat Anes menyandarkan kepalanya di punggungnya. "Mbak masih betah mau senderan begitu, apa mau turun?" ucap Bram tanpa basa-basi. Spontan Anes membuka matanya yang memang dari tadi terpejam. Entah, karena sedang mengantuk atau memang sedang menikmati kebersamaan bersama Bram. Anes menabok punggung Bram, lalu gegas meluncur turun dari punggung joknya. Bugh! "Auuuww ... sakit tahu!" "Bodo! Udah tahu udah nyampe dari tadi, masih saja diam di atas jok. Turun!" ucap Anes ketus seraya mengusir Bram dari punggung jok motornya. "Siapa yang salah. Siapa yang marah." "Biarin! Mbak mau pulang duluan." "Hati-hati, ya. Jangan kangen dulu. Ditahan hingga esok pagi kita ketemu dalam perjalanan penuh cinta." Anes melotot. Lalu gegas balik arah dan melajukan motornya untuk pulang. Setelah beberapa saat mengecek
Di pantri, Bram menghabiskan jam kerjanya yang hanya tinggal tiga puluh menit lagi itu, dengan membiarkan fantasi-fantasinya tentang Anes berkeliaran di dalam pikirannya. Bram tersenyum smirk. Pemuda itu, merasa telah memenangkan sedikit taruhan pada dirinya sendiri tentangnya dan Anes. Secangkir kopi hitam telah tandas tak bersisa. Laki-laki penggemar olahraga itu pun, telah menghabiskan dua batang rokok. Entah karena apa, dia yang dulu tidak pernah merokok, kini sering terlihat merokok. Ssshhhh! Bibirnya berdesir saat menghisap sesapan terakhirnya, sebelum dia mematikan puntung rokoknya dan menaruhnya di atas asbak yang tersedia di meja pantri. Laki-laki itu, melihat jam yang melingkar di tangan kanannya telah menunjukkan angka tiga lebih empat puluh lima menit. Gegas Bram menggulung kemeja panjangnya hingga ke atas siku, sambil berjalan perlahan menuju ke musala kantor. Dari kejauhan Bram bisa melihat, seorang wanita yang tak lagi muda tetapi masih sangat terlihat
Bram mendengkus perlahan. Lalu berjalan menuju meja di mana gadis itu berada. Ya, gadis itu adalah Ana kekasih Bram. Setelah sekian purnama mencueki kekasihnya itu, bahkan tidak berniat menemui atau apel di hari libur, kini dengan terpaksa Bram menemui Ana yang mencarinya di tempat kerja. Bram ikut duduk di samping Ana. Laki-laki lajang itu bergeming menatap tajam ke taman yang ada di depan ruangannya. "Mas apa kabar? Sehat 'kan?" sapa Ana dengan begitu manisnya. "Seperti yang kamu lihat. Mas sehat, tidak kurang suatu apa. Mengapa mencari Mas di tempat kerja? Jam istirahat Mas hampir usai." "Mengapa?" tanya Ana sambil mendelik. Bram yang awalnya menatap ke depan, seketika menoleh ke arah Ana. "Pertanyaan bodoh macam apa itu? Emang Mas pernah menghubungi Ana? Pernah mencari Ana? Pernah menanyakan kabar Ana? Ana ini kekasihmu, Mas? Kenapa akhir-akhir ini Mas berbeda?" Bram mengusap wajahnya dengan kasar. Jujur, dalam hatinya dia mengakui beberapa bulan terakhir hubungann
Bram tidak menghiraukan larangan Anes. Wajah pemuda itu semakin mendekat ke arah wajah Anes. Anes semakin dibuat kelimpungan. "Hentikan, Bram!" Namun, dengan sigap Bram segera mengusapkan tisu yang ada di genggaman tangannya ke arah bibir Anes. Anes mendelik dibuatnya, saat dalam tisu putih itu tercecer saos sisa makanan yang menempel di ujung bibirnya. "Astaga! Kupikir ...." Anes membuang wajahnya ke samping sambil menahan tawa. wanita itu merasa malu dengan tingkahnya yang konyol. Bram tidak menghiraukan gestur tubuh Anes yang masih membuang wajahnya ke samping. Pemuda itu gegas melanjutkan makan siangnya. "Buruan. Kita segera prepare untuk besok. Barusan Mbak Diana telpon agar segera menemuinya," ucap Bram lempeng. "Ya ... tadi ada titipan dari Diana untuk kita berdua. Tapi Mbak belum membukanya. Jadi, Mbak tidak tahu isinya apa." "Dibuka besok saja. Pas kita sudah di Kalimantan. Biar surprise. Jadwal penerbangan kita pagi jam sepuluh. Kita berangkat dari rumah jam delapan
Anes masih mematung. Wanita itu tidak gegas menerima amplop cokelat pemberian dari Diana. "Hei ... Mbak? Are you ok?" ucap Diana seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Anes. Anes tergagap. Sepersekian detik, pikiran wanita itu ngeblank. Entah apa yang ada dalam pikirannya. "Udah ... nggak perlu kelamaan mikir. ini sah dan halal kok. Asal Mbak dan Bram bisa nge-golin proyek yang ada di Kalimantan, Pak Tama pasti akan menepati janjinya." Diana gegas menyelipkan amplop cokelat yang ada di tangannya ke dalam genggaman tangan Anes. Tanpa pikir panjang, asisten pribadi Pak Tama itu segera keluar dari ruangan Anes. Anes menatap dengan lekat amplop cekelat yang kini sudah ada di tangannya. Seumur-umur kerja di perusahaan, baru kali ini dia mendapat bonus sebelum pekerjaannya mendapatkan hasil. "Mimpi nggak, sih, ini?" gumamnya seraya menoel kedua pipi chubby-nya. Anes menyimpan amplop cokelat itu ke dalam lacinya. Wanita itu gegas membereskan pekerjaannya sebelum besok dia







