Mag-log in
"Otak kamu nggak waras, yah!" sentak Dimas geram.
Indy yang saat itu sedang duduk di depan Dimas hanya bisa memamerkan deretan gigi putihnya, "Ih ... Om kasar, Indy nggak suka." Dimas hanya bisa mengambil napas sebanyak-banyaknya dan mencoba menenangkan diri dari kelakuan Indy yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat anak semata wayangnya. Almira. "Om, nggak boleh kasar-kasar ... nanti ...." Indy berdiri dan berjalan ke arah Dimas dan menarik lengan baju pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya, "Om, jadi suka sama Indy loh, Om." Dimas mengangkat tangannya lalu menyentuh kening Indy berusaha mengecek suhu tubuh perempuan di sampingnya, dia takut Indy demam hingga melakukan tindakan-tindakan bodoh contohnya seperti saat ini. Merayunya. "Om ...." Indy mengedipkan kedua matanya beberapa kali mencoba untuk menggoda Dimas. Pria yang umurnya hampir dua kali lipat dari umur dirinya. "Indy, kamu kalau sakit berobat ke rumah sakit, bukan ke sini." Dimas kemudian berdiri dan membenarkan pakaiannya sambil melihat Indy yang saat ini sedang duduk menantapnya. Dimas akui Indy cantik, kulitnya kuning langsat, senyumnya manis ditambah terdapat lesung pipit di salah satu pipinya dan Dimas yakin dua ribu persen kalau ada buah dada yang menakjubkan di balik kemejanya. Tapi, Dimas masih waras! Indy itu sahabat anaknya! "Indy kan cuman nanya ke Om tadi tuh." Indy dengan sengaja menyilangkan kedua tangannya di bawah buah dadanya hingga membuat buah dadanya mengintip malu-malu dari balik kemeja. Dimas membulatkan matanya saat tak sengaja melihat pemandangan indah yang membuat pikiran liarnya meronta. Sumpah demi apa pun dia itu lelaki normal! "Indy!" "Apa lagi? Salah Indy apa?" tanya Indy bingung sambil menatap Dimas, "Indy kan tadi cuman tanya Almira di mana? Om malah bilang otak Indy nggak waras." Indy sejujurnya tahu kenapa Dimas bisa sekesal itu pada dirinya. Dia memang sengaja menggoda Dimas saat tadi datang, mengenakan kemeja oversize yang dua kancing atasnya terbuka dipadankan dengan celana jeans yang melekat sempurna dibadannya pasti membuat Dimas risih. Namun, Indy tidak peduli karena sejujurnya dia memang suka menggoda Dimas, pria yang masih terlihat gagah diusianya yang sudah kepala 4. Pria gagah nan matang yang memiliki sorot mata yang mampu membuat Indy tertarik atau mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama. "Kamu itu masih kecil Indy, nggak sepantasnya menggoda Om kaya ...." Dimas tidak melanjutkan kata-katanya karena dia bingung dan paham bila ia lanjutkan maka otomatis akan membuat dirinya terlihat seperti om-om mesum. Dan dia bukan om-om mesum! "Ini baju sopan loh, Om," ucap Indy sambil berdiri dan menggerakan kerah bajunya hingga membuat mata Dimas membulat dan langsung mengalihkan pandangannya. "Sudahlah ... kamu cari Almira, kan?" tanya Dimas yang langsung dijawab anggukan oleh Indy. Tanpa sadar Dimas tersenyum karena melihat kepolosan Indy. "Almira di kamarnya dan kamu tahu di mana kamar anak saya, nggak usah minta antar ...." Dimas menunjuk ke arah lorong, "Om banyak kerjaan." Indy langsung mengerucutkan bibirnya seperti anak TK yang tidak diizinkan memakan permen. Indy kesal karena tidak bisa menggoda Dimas lagi. Indy sangat suka menggoda Dimas, semenjak ia bersahabat dengan Almira dari SMA, ia selalu menggoda Dimas dengan berbagai macam cara. Awalnya Indy iseng tapi, lama-lama menjadi candu yang menumbuhkan perasaan aneh di hati Indy. Mungkin perasaan cinta atau mungkin sesuatu yang mengisi kekosongan di hati Indy yang sudah menjadi yatim semenjak usia 3 tahun. Indy membutuhkan sosok ayah untuk dijadikan cinta pertamanya dan kebetulan Dimas adalah figure yang Indy anggap bisa menggantikan posisi itu dengan cara yang berbeda. Indy berjalan ke pintu kamar Almira dan mendapati sahabatnya itu sedang membereskan barang-barangnya. "Kenapa lo?" tanya Almira yang kaget saat melihat wajah Indy, "sepet bener cem orang kurang dibelai." "Iya, gue kurang dibelai bapak lo," ucap Indy asal sambil menutup pintu kamar Almira lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang sahabatnya itu. "Bapak gue gila kalau ngebelai elo! Yang ada dia didakwa melakukan pelecehan anak," canda Almira yang merasa kalau omongan Indy hanya sebuah candaan semata. "Bapak lo ganteng sih, padahal umurnya udah 40-an." "44 tahun," koreksi Almira, "dan yup ... bapak gue kawin muda ... dia nggak mau emak gue kabur jadi, langsung dikawinin." Almira yang tahu apa yang akan Indy tanyakan langsung menjawabnya. "Ah, sudahlah ... biarkan perasaan ini terkubur di dalam relung hatiku," canda Indy sambil tertawa renyah dan duduk di pinggir ranjang Almira. "Hari ini kamu jadi mau ke kedutaan Australia?" "Jadi ... dari sana aku langsung ke pulau seribu sama yang lain, kamu ikut aja, Ndy ... soal biaya biar aku yang tang—" "Nope ...." Indy langsung menyilangkan kedua tangannya, "nggak usah ... aku nggak mau repotin kamu. Dan lagi, aku juga banyak kerjaan ... kamu tau kan, aku harus mengurus beberapa berkas buat magang." Almira hanya mengangguk, percuma rasanya memaksa Indy. Sahabatnya itu keras kepala, "Oke, kamu yang rugi." Tok ... tok .... "Almira, Papa mau ke kantor lagi, kamu jadi kan ke Kedubes Australia buat wawancara dan setelahnya kamu nginep di apartemen Indy?" tanya Dimas sesaat dirinya membuka pintu kamar Almira. "Hah ... nginep gi—-" Almira langsung merangkul Indy dan menatap Indy tajam seolah mengatakan kalau Indy harus mengiyakan apa pun yang Almira katakan, "Iya, Almira nginep di tempat Indy. Iyakan In-dy?" Indy yang langsung paham kalau sahabatnya itu tidak mengatakan akan ke pulau seribu dengan kekasih juga teman-teman lainnya langsung tersenyum jahil, "Iya, Om ... Almira aman di apartemen aku." Dimas memicingkan kedua matanya mencoba mencari apakah kedua bocah itu sedang membohonginya. Tapi, dia sama sekali tidak melihat kebohongan di mata kedua anak tersebut, anak bau kencur berumur 23 tahun seperti mereka memang bisa apa? "Oke, tolong dijaga Almira." Indy langsung merangkul Almira sambil berkata, "Tenang ... aku akan menjaganya selayaknya ibu sambung yang baik, Om." Dan seketika itu juga Dimas mendengus kesal sambil keluar dari kamar Almira dan berkata, "Tolong sahabat kamu itu dibawa dulu ke rumah sakit." "Kenapa Om? Indy nggak sakit." "Mungkin kamu nggak sakit, tapi, otak kamu itu pasti terbentur tanpa sengaja, hingga pikiran kamu melantur, Indy!" ucap Dimas kesal. •••Sepanjang rapat Dimas hanya bisa mencuri-curi pandang ke arah Indy yang dengan luwes mengartikan semua perkataannya dan juga mensingkronkan dengan semua gambar juga berkas-berkas yang sudah ada di tangan Mister Chen dan semua anak buahnya.Rapat berjalan sangat lancar dan dengan gemilangnya Dimas mendapatkan kontrak yang ia inginkan dan bahkan dengan keuntungan yang tidak bisa Dimas bayangkan. Mister Chen sepertinya terpesona dengan keluwesan Indy."Tadi itu apa?" tanya Dimas setelah semua orang keluar dan hanya ada mereka berdua di ruangan. "Rapat," ucap Indy sambil menyelipkan rambutnya ke kuping membuat Dimas bisa melihat leher Indy yang jenjang.Dimas berusaha menahan hasratnya untuk menarik Indy ke pangkuannya lalu menarik kemeja yang menutupi setiap lekuk tubuh gadis itu, "Bukan rapatnya Indya tapi ....""Tapi ... kenapa aku bisa Bahasa Mandarin?" tanya Indy sambil tersenyum senang karena akhirnya ia bisa menunjukkan bakat terpendamnya."Kamu kan nggak pernah les Mandarin setah
"Pak Rei kenapa?" tanya Indy yang bingung melihat Rei berjalan mondar mandir di depan ruangan rapat yang akan Dimas pakai lima belas menit lagi untuk bertemu dengan salah satu petinggi perusahaan Jiayou."Astaga kenapa anda udah di sini? Mana Pak Dimas?" tanya Rei panik sambil melihat ke kanan dan ke kiri mencoba mencari Dimas."Pak Dimas masih di kamar, katanya dia mau bersiap. Saya ke sini duluan karena mau nyiapin ruangan." Indy mengangkat beberapa map yang sudah ia siapkan. "Dan lagi, saya baru selesai benerin jadwal yang anda buat. Pak Rei ngaco."Rei mengangguk, "Saya memang sedang dalam mode banyak masalah yang ...." Rei terdiam dan berpikir apakah harus ia menceritakan masalahnya pada Indy. Rasanya ia dan Indy tidak sedekat itu hingga ia harus memberitahukan kehidupan pribadinya. To much informasion.Indy yang seolah paham hanya mengangkat salah satu tangannya dan berkata, "Is oke ... semua orang punya masalah, ingat masalah itu akan berlalu tapi buat anda kayanya masalahnya m
"Aku masih perawan, Om!" Seketika itu juga gerakan jari Dimas terhenti, membuat Indy bersyukur sekaligus kesal karena ia suka jemari itu bergerak di bagian paling sensitif tubuhnya. Candu."Kamu nggak lagi mainin aku kan?" tanya Dimas sambil tertawa karena tebakannya benar. Pengalaman hidup membuat dia mampu menebak apalah Indy ini masih perawan atau bukan.Indy langsung menggeleng sambil menjauhi Dimas, otaknya saat ini kembali mengambil alih tubuh, hati dan juga pikirannya membuat ia kembali berpikir jernih dan waras tidak terbius dalam godaan penuh nikmat dari Dimas."Kamu beneran masih?"Indy mengangguk secepat mungkin, bahkan ia merasa kepalanya hampir lepas dari lehernya saking kerasnya Indy mengangguk. "Masih Om ... aku walau genit, nakal dan nyebelin ke Om tapi, aku masih perawa ... sumpah pramuka, Om."Seketika itu juga Diman tertawa keras mendengar perkataan Indy, celananya tiba-tiba tidak sempit lagi dan suhu tubuhnya sudah berangsur-angsur kembali normal. Bersama Indy mema
"Hah?" Seketika itu juga Indy merasa tuli, ia seolah tidak mendengar suara apa pun juga. Jantungnya hampir meloncat dari wadahnya saat buku-buku jari Dimas menyentuh pipinya dan bergerak ke arah bibir.Dimas memiringkan kepalanya dan berbisik pelan ke kuping Indy, "Om mau jadi Sugar Daddy kamu, Indy.""A-ah ...." desah Indy tiba-tiba saat ia merasakan hembusan napas Dimas di kupingnya. Hembusan itu terasa hangat dan mampu mematik gairah yang selama ini terkubur di dalam dirinya.Tubuh Indy bergetar hebat saat merasakan pucuk hidung Dimas yang bergerak sensual di telinganya. Entah kenapa tiba-tiba saya Indy tak mampu untuk bernapas lagi, seolah semua udara di muka bumi menolak untuk mengisi paru-paru Indy. "Kamu tau kan, apa yang dilakukan Sugar Daddy bersama Sugar Baby-nya?" tanya Dimas pelan sambil menjilat ujung telinga Indy hingga kembali lagi kuping Dimas dimanjakan oleh suara sensual Indy yang membuat gairahnya meronta memaksa Dimas untuk dipuaskan."A-aku ...." Indy mungkin gen
"Kamu di mana, Nak?""Di cina," jawab Indy singkat sambil menutup pintu kamar hotelnya. Baru tiga puluh menit yang lalu Indy sampai di salah satu hotel terbaik di Guangzhou Cina."Ngapain? Kamu mau jadi TKW, Nak?" "Ya salam, Bu ... ngapain Indy jadi TKW. Kan Indy masih kuliah dan lagi Indy lagi magang." Indy tertawa kecil mendengar celotehan Ibunya Andini. "Yah abis kamu tiba-tiba ke Cina. Kemarin kamu udah bilang sih, cuman Ibu kaget aja tiba-tiba kamu udah di Cina. Kamu nggak ada cita-cita buat daftar jadi pegawai di kebun binatang di Cina, kan?" tanya Andini dengan menahan tawanya akibat membayangkan Indy menjadi pelatih panda."Walaupun Indy suka banget panda tapi, Indy nggak mau jadi pengurusnya Ibu," kekeh Indy yang juga membayangkan dirinya menggendong panda ke mana-mana."Kamu di sana sama siapa dan kenapa kamu yang di ajak ke Cina? Kenapa nggak orang lain?" tanya Andini yang bingung kenapa tiba-tiba anaknya diminta untuk perjalanan dinas padahal dia masih anak magang.Indy
"Pak Rei ... Pak," panggil Indy sesaat setelah sampai di bandara."Iya Indy kenapa?" tanya Rei yang sedang sibuk mengurus sesuatu di ponselnya."Ini beneran aku ke Cina sekarang?" tanya Indy yang bingung sambil melihat ke sekeliling Bandara. "Tiket kamu sudah ada dan paspor kamu juga sudah ada. Semua sudah selesai, cuman jujur memang kemarin aku sibuk banget sampai lupa hubungi kamu ulang. Jadi, cuman hubungi kamu via email dan ternyata malah masuk ke spam," terang Rei sambil melirik Indy yang saat ini menatapnya kebingungan.Rasanya Rei ingin menepuk kepala Indy dan mengusapnya karena saat ini Indy terlihat seperti anak anjing yang kebingungan dan meminta perhatian. Menggemaskan. "Hah ... pantas saja Pak Dimas memberikan perhatian khusus pada Indy. Selain Indy itu sahabat anaknya, Indy pun terlihat sangat menggemaskan dan juga cantik," ucap Rei di dalam hati sambil tersenyum tulus."Tapi, Pak ... Bapak yakin perginya sekarang banget?" tanya Indy sambil menggaruk kepalanya yang tiba







