“Gue udah kenyang. Lo makan aja sendiri.” Nara memandang malas pada steik lada hitam beserta es jeruk yang kelihatan lezat. Sudah dibilang tak mau makan, tapi si gila itu tetap saja memesan makanan untuknya. Seharusnya ia makan seenak ini dengan Rega saja, kan? Kenapa malah dengan pria gila ini? Ah, tidak. Nara tidak akan menyentuhnya. Gadis itu membuang muka ke arah lain. Di depannya, Kaisar si gila tampak begitu menikmati santapannya dengan mata yang tak lepas dari memandang Nara. Makin dilihat Nara makin cantik saja. “Kenapa nggak makan?” tanya Kaisar disela-sela mengunyahnya. “Apa lo berharap yang makan di depan lo ini Rega? Iya? Cih.” Kaisar berdecih setelahnya seolah menyebut nama Rega adalah kesialan baginya. “Rega mana mampu ngajak lo makan di tempat seperti ini.” lanjutnya dengan senyum Iicik. Mendengar ucapan Kaisar yang menyepelekan Rega, kedua tangan Nara yang berada di bawah meja meremas kuat ujung baju kemejanya. Bisa-bisanya dia? ARGGHHH! Boleh gue jambak nggak s
“Gara-gara lo nih, sekarang mobilnya udah pergi, kan?” Rega menoyor bahu temannya dengan tampang kesal. Kalau temannya itu tak datang, dia pasti sudah tahu siapa yang mengirim pesan pada Nara tadi, lalu untuk apa mobil Kaisar berada di parkiran kampusnya. Eh, tapi tunggu deh. Kenapa bisa berbarengan dan nyambung gini ya? Kebetulan aja apa gimana? Rega mengerjap-ngerjap kedua bola mata sembari memikirkan kemungkinan lain. Bisa jadi, kan, gue cuma salah lihat? Tapi siapa ya orang itu? Kenapa dia ngajak Nara makan siang? Yang lebih penting lagi, dia laki-laki apa perempuan?Sementara itu, mobil Porsche merah hati milik Kaisar memasuki area pertokoan di mana toko bunga milik Om Cantika berada. Kedua kaki Nara di bawah sana terus bergerak gelisah, ia tak sabar hendak turun dari mobil tapi Kaisar malah menahannya. Dengan pandangan matanya yang tajam menusuk, Nara meminta Kaisar melepas tangannya. “Oke... Oke... Gue cuma mau ngasih ini kok buat lo.” Kaisar mengambil paper bag besar dari
“Jadi, sebenarnya papa datang ke mari untuk apa?” Kaisar buka suara setelah terdiam beberapa menit tadi. Dia tak bermaksud lancang dengan mengungkit keberadaan Rega dalam keluarga mereka, tapi kalau sampai Kakek Widjaya memberikan warisan perusahaan untuk Rega, Kaisar tidak akan tinggal diam. Bagaimana kalau nanti Nara malah lebih memilih Rega karena adik angkatnya itu yang mendapat warisan? Tidak boleh. “Papa kemari atas perintah kakek kamu. Beliau meminta laporan keuangan perusahaan, khawatir kalau kamu ada menyelewengkan uang kantor untuk tujuan pribadi.” Mendengarnya, telinga Kaisar mendadak gatal. Apa-apaan? Jadi selama ini kakek mencurigainya nyeleweng uang perusahaan? Memangnya dikira dia tak punya uang? Menghela nafas kasar, Kaisar membuka laptopnya, jemarinya dengan lancar melakukan sesuatu di sana. “Kalau kamu nggak pernah nyeleweng, nggak perlu takut, Kai.”Untuk beberapa saat, mesin printer yang berbunyi menggantikan Kaisar berbicara, karena pria dengan rahang ketat
Nara sangat sibuk hari ini. Pesanan karangan bunga datang silih berganti dan herannya tujuan pengirimannya sama semua. DeLuna Beautique. Sepertinya butik yang baru akan buka sebab tulisan di papan karangan kebanyakan bertuliskan selamat. DeLuna? Luna? Nara bergumam sendiri mengingat nama itu, seperti pernah mendengarnya, tapi di mana? “Nara, nanti kamu ikut nganterin ya. Banyak ini soalnya, nanti kamu bagian ngawasin aja.” seru seorang karyawan pria membuat Nara terjengkit kaget dan menoleh. Beberapa saat Nara seperti orang bingung, antara dengar dan tidak apa yang dibilang rekan kerjanya itu. “Hmm? Oh, iya. Sip. Kabari aja kalau mau berangkat.” Nara menunjuk jempolnya tanda setuju, padahal dia tak sepenuhnya dengar. Sekitar 1 jam kemudian, pick up yang membawa papan bunga tiba di depan sebuah ruko 2 lantai yang diberi nama DeLuna Beautique. Nara senang bisa ikut, karena dia bisa mencari jawaban soal nama Luna yang tidak asing di telinganya. Ketika yang lain menata letak papan bu
Kaisar tiba di depan toko bunga tempat Nara bekerja dengan senyum tak lekang di wajahnya. Ia tak sabar hendak bertemu dengan gadisnya. Melirik jam tangan Rolexnya, masih 5 menit sebelum jam pulang kerja. 5 menit kemudian, tampak pekerja pria menutup toko. Tidak ada Nara. Loh, ke mana dia? Jangan bilang kalau dia sengaja pulang duluan biar nggak ketemu sama gue? Tanpa berlama-lama, Kaisar pun memacu mobilnya beredar dari sana. Matanya nyalang melihat ke kiri kanan. Hinggalah terlihat olehnya Nara sedang ketakutan dikepung oleh 3 pria yang sepertinya sedang mabuk. Dengan sigap Kaisar menghampiri, lalu—BUGH! PLAK! OUGH! Tanpa ampun, Kaisar melancarkan serangan pada ketiga pria yang dari mulutnya tercium aroma alkohol sangat pekat. Dengan gerakan tangannya, Kaisar menyuruh Nara bersembunyi di belakang punggungnya. Kaisar tidak akan membiarkan Nara terluka sedikitpun, sebaliknya dia akan membuat ketiga pria itu babak belur. Nara yang ketakutan, menurut saja, meskipun dia tak menghara
Nara terkejut bukan main karena Kaisar mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk menciumnya. Noh kan? Sekalinya mesum tetap aja mesum. Atau jangan-jangan, pria mabuk tadi cuma akal-akalan Kaisar aja biar dia bisa tampil sebagai pahlawan dengan menyelamatkan Nara?Menyadari hal itu, sekuat tenaga Nara mendorong dada Kaisar menjauh darinya hingga ciuman itu terlepas. Dia bahkan tak pernah berciuman dengan Rega, sedang Kaisar sudah beberapa mengambil ciumannya. Dasar penjahat! Tapi, Kaisar tidak semudah itu melepasnya. Dia melumat kembali bibir Nara yang kenyal dan manis, menggigit bagian bawahnya hingga mau tak mau Nara membuka mulutnya. Lidahnya dengan cepat menerobos masuk dan mengabsen barisan gigi Nara rapi dan kecil-kecil. Tangan Kaisar juga tak tinggal diam. Kini tangan itu meraba-raba bukit kembar Nara yang pas dengan ukuran telapak tangannya. Meremasnya kuat hingga Nara mendesah tertahan. Astaga! Rasa apa ini? Kenapa rasanya seperti ini? Nara yang sama sekali tak pernah b
“Gue kangen sama lo, Ra.” Rega tak bisa menahan diri untuk tak menemui Nara ke rumahnya. Semenjak Nara bekerja, Rega sadar betul kalau waktu mereka bersama berkurang drastis. Apalagi belakangan Nara menunjukkan gelagat aneh, pacarnya itu mulai berbohong padanya. “Ayo masuk, di luar dingin.” Tidak seperti yang Rega harapkan, Nara tak bilang kalau dia juga kangen pada Rega. Pemuda itu agak kecewa dibuatnya. Apa cuma dia yang kangen sama pacar sendiri? Nara memimpin Rega masuk ke rumah. Nenek Ratih yang kebetulan keluar kamar terkejut melihat Rega ada di rumahnya. “Loh, ada Nak Rega? Kapan datang?” Nenek Ratih memandang Nara dan Rega bergantian. Wanita tua itu juga heran kenapa Rega terlihat berbeda dari biasanya, tapi memilih tidak mau mempermasalahkan. “Baru aja kok, Nek.” “Nek, Rega boleh nginap di sini, kan? Nanti pulangnya kemalaman, kasihan Rega kalau harus pulang. Lo nggak bawa mobil, kan, Ga?” tanya Nara yang dibalas anggukan oleh Rega. “Boleh-boleh aja, tapi tidurnya
Nara sudah siap ke kampus, memakai kemeja rapi, menyandang tas, satu buku cetak besar di peluk ke dada, tapi alih-alih berangkat dia malah duduk di kursi kecil di samping sofa. Ya. Nara asyik memperhatikan Rega yang masih tertidur pulas. Padahal sudah pukul 7 lewat 15 menit, tapi dianya masih pulas dengan kain yang menyelimuti hingga dagu. Wajah saat tidur Rega sangat kalem dan menggemaskan seperti bayi. Mana tega Nara membangunkannya. Malah dengan telapak tangannya, Nara menghalangi cahaya masuk lewat gorden agar tak mengenai kelopak mata Rega. “Loh, belum pada berangkat?” tanya Nenek Ratih tiba-tiba membuat Nara menoleh dengan picingan tajam dan menempel telunjuk di bibirnya. Seolah tak merasa bersalah, Nenek Ratih melanjutkan bicaranya. “Sudah jam berapa ini? Biasanya juga udah jalan?”Bola mata Nara makin melotot ke arah Neneknya tanda ia sangat marah. Nenek apaan sih? Udah dikodein masih aja ngomong. Gangguin Rega lagi tidur aja. Nara ngedumel dengan bibir yang diketap dan di