Apa yang akan kalian lakukan jika tahu wanita yang kalian cintai menyerahkan kesucian pada lelaki lain. Hidup dalam bayang-bayang seseorang memang sangat menyakitkan. Terlebih jika apa yang kita miliki itu terasa terampas.
"Katakanlah siapa lelaki yang telah mendahuluiku, siapa yang merenggut kesucianmu Helene?" Aku mencoba meredam amarah menatap kekasih yang saat ini dalam keadaan setengah telanjang. Rambut wanita cantik itu terlihat acak-acakan, beberapa bekas tanda merah dariku di leher dan dada terlihat jelas.
"Edzard, aku …." Helene tindak melanjutkan ucapan.
Aku bangkit berdiri dari atas tempat tidur, rasanya ingin sekali mengamuk. Wanita yang aku harapkan menjadi istriku tidak mampu menjaga kesuciannya, menyakitkan lagi bukan aku yang mengambil melainkan orang lain.
"Kami tidak melakukan dengan sadar Edzard, beberapa kali …." Kalimat Helene kembali terhenti.
"Beberapa kali bukan hal tidak sadar, Helene, tetapi kau memang menginginkannya," cebikku.
"Maaf …," lirihnya menundukkan kepala.
"Apa dengan minta maaf kau bisa mengobati luka ini, heh?" Suaraku mulai meninggi. "Aku mengharapkan kau menjadi istri sahku Helene. Aku ingin merengkuhmu secara menyeluruh ketika kau telah siap …." Giliran kalimatku terhenti.
Aku menatap wanita tersebut yang sibuk menarik lengan tanktop menutup dada besarnya yang membusung. Kami memang sering bercumbu mesra, tetapi tidak pernah melewati batas. Tubuh Helene sempurna, tinggi semampai, kulit putih mulus dan yeah bagian dadanya luar biasa melebihi gadis lain.
Jarak, itu yang terlihat saat ini jarak kami memang sangat jauh walau kami dekat. Jarak yang tidak bisa menyatukan kami. Terlebih hal mengejutkan ini sungguh memukul diriku. Andai aku tidak terlena pada sebuah cinta, apa takdir tidak akan menyakitkan seperti ini?
***
Beberapa saat sebelumnya.
Aku bukan orang suci, aku adalah lelaki normal, jika diperlakukan dengan hangat, akan menerima dengan senang hati. Bahkan menginginkan hal yang lebih. Dia tersenyum membimbingku duduk di atas kasur lantainya. Tanpa basa-basi aku melahap bibir ranumnya, melumat penuh gairah. Lidah kami menari menelusuri setiap rongga, mencari dan menerima saling bertukar saliva. Tanpa sadar tangan kananku mendarat di atas payudara yang masih terbalut kaos lengan panjang. Aku meraba bergantian gunung kembar itu, dengan perlahan dan terkadang sedikit mencengkeram, membuat dia melengkungkan tubuh. Erangannya tertahan karena mulutku masih membekapnya.
Gadis cantik itu tidak mau kalah, dengan berani meraba celana jeans yang masih aku kenakan. Menambah rasa membelenggu ingin segera dituntaskan. Kami berhenti berciuman, mengatur napas yang mulai tersengal, dengan aktif sang gadis mendorong ke tempat tidur. Aku melenguh ketika dia merayapkan mulutnya di leher, sedang tangan masih aktif di bawah sana berusaha membuka sabuk. Dia bangkit duduk di dekat selakanganku. Berkutat dengan resleting celana, matanya terbelalak ketika burung dalam sangkarnya menyembul ke luar.
"Ini selalu sangat menakjubkan," ucap gadis itu tersenyum girang seperti wanita liar.
Kedua tangan dan lidahnya bergantian memainkan membelai, setiap inci sisi sensitifku, aku memejamkan mata berulang kali menggeram. Melenguh, menikmati sensasi dari perbuatannya. Terasa melayang, rasa yang benar-benar memperdaya.
Namun, itu tidak bertahan lama, dalam kegelapan mata yang terpejam. Samar-samar muncul wajah ibu dan adik perempuanku yang masih SMA. Mereka berdua seolah menatapku tanpa ekspresi. Datar. Aku terpekik sadar, kubuka mata, kupandangi gadis yang masih berkutat di selakanganku.
"Helene cukup!" pintaku masih terenggah.
Meski sebenarnya tak ingin mengakhiri rasa ini tapi, hati kecilku terus memberontak tak sabar. Aku segera bangkit kubenahi letak celana. Aku membimbing gadis bernama Helene, kekasih tercintaku berdiri. Aku memeluk lama. Nafsu yang tadi sempat membuncah, perlahan memudar dengan bayangan ibu dan adik perempuanku yang semakin berseliweran dalam ingatan.
"Sayang," ucap gadis itu lirih.
"Bukan, bukan seperti ini, Sayang, aku sungguh menginginkan kamu tapi bukan dengan cara seperti ini." Aku mempererat pelukan. Aku melepas pelukan ketika kudengar isak tangis yang tertahan. "Sayang kenapa kamu menangis?" ucapku merangkum wajahnya.
"Edzard, kenapa kamu sebaik ini. Hadir dalam hidupku, membuat aku bergantung padamu. Sekarang aku malah merasa semakin bersalah, aku merasa aku orang yang sangat, sangat buruk, hina di hadapanmu," keluh Helene tertunduk menangis membuatku bingung.
"Hey, kamu kenapa?" Aku memegang pundaknya berusaha mencerna setiap ucapan yang ke luar dari bibir sensualnya.
"Aku bukan gadis baik yang patut diperlakukan seperti ini Edzard," tuturnya.
"Sayang apa yang kamu katakan? Kalau karena hal tadi. Menurut aku itu wajar jika kita bernafsu dengan pasangan kita. Karena kita saling mencintai, aku juga tergoda melihat kamu Helene. Body kamu yang menggiurkan, buah dada kamu yang di atas normal, maksud aku lebih besar dari yang lain. Dan... dan..." Aku bingung untuk melanjutkan ucapan tidak masuk akal yang baru terlontar, tapi yeah itu kenyataan.
"Aku bukan perawan lagi Edzard, aku pernah tidur dengan lelaki lain sebelum kamu," jelasnya.
Aku tercengang sebentar, beberapa penjelasan Helene membuat diriku pusing. Ah, tetapi mungkin cinta memang sudah membutakan diri ini, hingga aku mencoba untuk memaafkan, mencoba untuk menerima masa lalunya yang kelam.
"Siapa lelaki itu Helene?" tanyaku memijat kening, marah sudah pasti tetapi aku harus tenang, bukan. "Aku akan berusaha menerima masa lalumu." Berat akhirnya aku utarakan
"Kenzo Julian," jawabnya memberi pukulan telak. Aku limbung dan terduduk lemas di atas kasur lantai tersebut.
Aku mungkin bisa terima jika lelaki lain, tapi Kenzo. Aku mengembuskan napas berat berulang kali, menertawakan kebodohanku. Rasa frustrasi menyergap, memukul-mukul dada. Sesak. Kucengkeram rambut di kepala. Ingin aku marah, melontarkan kata-kata kotor dan kasar. Kenzo Julian, sosok yang selalu menjadi bayang-bayang mengerikan dalam hidupku, mengapa harus dia? Bahkan orang yang aku cintai pun dia rebut. Apa salah lku hingga Kenzo berbuat jahat meraih apa yang ingin aku gapai?
"Sebaiknya kita putus Edzard, aku akan merasa bersalah jika tetap bersama kamu. Aku tidak akan tenang melihat kamu membenciku. Kamu lelaki pertama yang aku cintai dengan tulus hati," ucap Helene terbata, mungkin dia pun menertawakan kebodohanku. "Salah satu alasan aku tidak bisa menceritakan hal tersebut adalah karena lelaki itu Kenzo, sahabat terbaikmu. Aku benar-benar merasa buruk dan kotor saat ini," lanjutnya. Helene emakin menangis meraung-raung. Terduduk lemas di sampingku. Amarahku mulai mereda ketika netra kami bertemu pandang, selemah itu aku, sungguh sialan.
Rasanya aku ingin kabur sejauh mungkin, tetapi hati nurani menolak. Rasa benci memang ada. Namun, Helene tetaplah seorang wanita rapuh. Aku berusaha tegar, menerima, menenangkan diri. Aku tidak ingin kabur, aku berharap masalah hubungan kami terselesaikan tanpa menyakiti satu sama lain.
"Terima kasih sudah jujur Helene, mungkin aku membutuhkan waktu menenangkan hati dan perasaan. Aku akan berusaha untuk tidak membencimu. Mari kita berdamai entah sebagai seorang teman atau mantan pacar," ujarku kemudian. Kata-kata bijak terlontar tanpa sadar. "Aku tetap berharap kamu berusaha menjadi wanita yang lebih baik, jangan lakukan hal merugikan diri pada akhirnya," cerocosku selanjutnya. Aku memeluknya untuk terakhir kali. Baru pamit pulang setelah Helene tenang. Wajah cantiknya sembab, hidung mancungnya merah, dengan rambut panjang sebahu yang awut-awutan. Rasa kecewa, benci, sakit hati, bercampur menjadi satu menggelayut sukma. Melihat wanita yang aku cinta seperti itu terasa lebih menyakitkan. Mungkin Helene lebih putus asa dariku.
*****
Hampir satu bulan lebih, aku sempat bersitegang bercampur canggung dengan Kenzo Julian. Sampai diri ini tersadar. Semua karena kebodohanku, bukan salahnya. Kenzo pernah memperingatkan aku agar tidak dekat dengan Helene. Aku anggap perbedaan keyakinan hanya dalih. Siapa menduga jika hati kami terpaut. Semua hal yang aku pahami pada akhirnya, kebenaran yang Kenzo maksud adalah hal tersebut. Si brengsek pembuat onar.
Waktu bergulir, rasa sakit hati perlahan mulai menghilang, bersama rasa cinta yang terkubur penuh nanah luka. Bukan trauma, hanya saja aku memilih membatasi diri sendiri, membangun sekat dinding tebal. Aku tidak ingin tersakiti apalagi dikhianati. Cukup sekali saja, ya cukup sekali saja. Sampai akhir kuliah aku dan Helene masih sering bertukar kabar, walau hubungan kami telah berakhir.
Terkadang aku merasa iri pada si brengsek Kenzo, iri pada kebebasannya, tanpa beban. Bagaimana tidak, dia terlihat sempurna, dengan latar belakang keluarga kaya raya. Di luar dugaan, nyatanya itu tidak menjamin suatu kebahagiaan. Sepi, ternyata kesedihan itu rasa sepi yang tersirat oleh kejujuran di balik tatapan arogan teman laknatku. Ah, haruskah aku memaafkan si bodoh laknat itu?
Bersambung….
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A