Share

Godaan Memikat Lelaki Penguasa
Godaan Memikat Lelaki Penguasa
Penulis: KarRa

1. Siapa yang Merenggut Kesucianmu?

      Apa yang akan kalian lakukan jika tahu wanita yang kalian cintai menyerahkan kesucian pada lelaki lain. Hidup dalam bayang-bayang seseorang memang sangat menyakitkan. Terlebih jika apa yang kita miliki itu terasa terampas. 

        "Katakanlah siapa lelaki yang telah mendahuluiku, siapa yang merenggut kesucianmu Helene?" Aku mencoba meredam amarah menatap kekasih yang saat ini dalam keadaan setengah telanjang. Rambut wanita cantik itu terlihat acak-acakan, beberapa bekas tanda merah dariku di leher dan dada terlihat jelas.

        "Edzard, aku …." Helene tindak melanjutkan ucapan.

         Aku bangkit berdiri dari atas tempat tidur, rasanya ingin sekali mengamuk. Wanita yang aku harapkan menjadi istriku tidak mampu menjaga kesuciannya, menyakitkan lagi bukan aku yang mengambil melainkan orang lain.

         "Kami tidak melakukan dengan sadar Edzard, beberapa kali …." Kalimat Helene kembali terhenti.

       "Beberapa kali bukan hal tidak sadar, Helene, tetapi kau memang menginginkannya," cebikku.

       "Maaf …," lirihnya menundukkan kepala.

       "Apa dengan minta maaf kau bisa mengobati luka ini, heh?" Suaraku mulai meninggi. "Aku mengharapkan kau menjadi istri sahku Helene. Aku ingin merengkuhmu secara menyeluruh ketika kau telah siap …." Giliran kalimatku terhenti.

      Aku menatap wanita tersebut yang sibuk menarik lengan tanktop menutup dada besarnya yang membusung. Kami memang sering bercumbu mesra, tetapi tidak pernah melewati batas. Tubuh Helene sempurna, tinggi semampai, kulit putih mulus dan yeah bagian dadanya luar biasa melebihi gadis lain. 

       Jarak, itu yang terlihat saat ini jarak kami memang sangat jauh walau kami dekat. Jarak yang tidak bisa menyatukan kami. Terlebih hal mengejutkan ini sungguh memukul diriku. Andai aku tidak terlena pada sebuah cinta, apa takdir tidak akan menyakitkan seperti ini?

***

Beberapa saat sebelumnya.

    Aku bukan orang suci, aku adalah lelaki normal, jika diperlakukan dengan hangat, akan menerima dengan senang hati. Bahkan menginginkan hal yang lebih. Dia tersenyum membimbingku duduk di atas kasur lantainya. Tanpa basa-basi aku melahap bibir ranumnya, melumat penuh gairah. Lidah kami menari menelusuri setiap rongga, mencari dan menerima saling bertukar saliva. Tanpa sadar tangan kananku mendarat di atas payudara yang masih terbalut kaos lengan panjang. Aku meraba bergantian gunung kembar itu, dengan perlahan dan terkadang sedikit mencengkeram, membuat dia melengkungkan tubuh. Erangannya tertahan karena mulutku masih membekapnya.

   Gadis cantik itu tidak mau kalah, dengan berani meraba celana jeans yang masih aku kenakan. Menambah rasa membelenggu ingin segera dituntaskan. Kami berhenti berciuman, mengatur napas yang mulai tersengal, dengan aktif sang gadis mendorong ke tempat tidur. Aku melenguh ketika dia merayapkan mulutnya di leher, sedang tangan masih aktif di bawah sana berusaha membuka sabuk. Dia bangkit duduk di dekat selakanganku. Berkutat dengan resleting celana, matanya terbelalak ketika burung dalam sangkarnya menyembul ke luar.

    "Ini selalu sangat menakjubkan," ucap gadis itu tersenyum girang seperti wanita liar.

    Kedua tangan dan lidahnya bergantian memainkan membelai, setiap inci sisi sensitifku, aku memejamkan mata berulang kali menggeram. Melenguh, menikmati sensasi dari perbuatannya. Terasa melayang, rasa yang benar-benar memperdaya.

    Namun, itu tidak bertahan lama, dalam kegelapan mata yang terpejam. Samar-samar muncul wajah ibu dan adik perempuanku yang masih SMA. Mereka berdua seolah menatapku tanpa ekspresi. Datar. Aku terpekik sadar, kubuka mata, kupandangi gadis yang masih berkutat di selakanganku.

   "Helene cukup!" pintaku masih terenggah.    

   Meski sebenarnya tak ingin mengakhiri rasa ini tapi, hati kecilku terus memberontak tak sabar. Aku segera bangkit kubenahi letak celana. Aku membimbing gadis bernama Helene, kekasih tercintaku berdiri. Aku memeluk lama. Nafsu yang tadi sempat membuncah, perlahan memudar dengan bayangan ibu dan adik perempuanku yang semakin berseliweran dalam ingatan.

    "Sayang," ucap gadis itu lirih.

    "Bukan, bukan seperti ini, Sayang, aku sungguh menginginkan kamu tapi bukan dengan cara seperti ini." Aku mempererat pelukan. Aku melepas pelukan ketika kudengar isak tangis yang tertahan. "Sayang kenapa kamu menangis?" ucapku merangkum wajahnya.

    "Edzard, kenapa kamu sebaik ini. Hadir dalam hidupku, membuat aku bergantung padamu. Sekarang aku malah merasa semakin bersalah, aku merasa aku orang yang sangat, sangat buruk, hina di hadapanmu," keluh Helene tertunduk menangis membuatku bingung.

   "Hey, kamu kenapa?" Aku memegang pundaknya berusaha mencerna setiap ucapan yang ke luar dari bibir sensualnya.

   "Aku bukan gadis baik yang patut diperlakukan seperti ini Edzard," tuturnya.

   "Sayang apa yang kamu katakan? Kalau karena hal tadi. Menurut aku itu wajar jika kita bernafsu dengan pasangan kita. Karena kita saling mencintai, aku juga tergoda melihat kamu Helene. Body kamu yang menggiurkan, buah dada kamu yang di atas normal, maksud aku lebih besar dari yang lain. Dan... dan..." Aku bingung untuk melanjutkan ucapan tidak masuk akal yang baru terlontar, tapi yeah itu kenyataan.

   "Aku bukan perawan lagi Edzard, aku pernah tidur dengan lelaki lain sebelum kamu," jelasnya.

    Aku tercengang sebentar, beberapa penjelasan Helene membuat diriku pusing. Ah, tetapi mungkin cinta memang sudah membutakan diri ini, hingga aku mencoba untuk memaafkan, mencoba untuk menerima masa lalunya yang kelam.

     "Siapa lelaki itu Helene?" tanyaku memijat kening, marah sudah pasti tetapi aku harus tenang, bukan. "Aku akan berusaha menerima masa lalumu." Berat akhirnya aku utarakan

     "Kenzo Julian," jawabnya memberi pukulan telak. Aku limbung dan terduduk lemas di atas kasur lantai tersebut.

    Aku mungkin bisa terima jika lelaki lain, tapi Kenzo. Aku mengembuskan napas berat berulang kali, menertawakan kebodohanku. Rasa frustrasi menyergap, memukul-mukul dada. Sesak. Kucengkeram rambut di kepala. Ingin aku marah, melontarkan kata-kata kotor dan kasar. Kenzo Julian, sosok yang selalu menjadi bayang-bayang mengerikan dalam hidupku, mengapa harus dia? Bahkan orang yang aku cintai pun dia rebut. Apa salah lku hingga Kenzo berbuat jahat meraih apa yang ingin aku gapai?

    "Sebaiknya kita putus Edzard, aku akan merasa bersalah jika tetap bersama kamu. Aku tidak akan tenang melihat kamu membenciku. Kamu lelaki pertama yang aku cintai dengan tulus hati," ucap Helene terbata, mungkin dia pun menertawakan kebodohanku. "Salah satu alasan aku tidak bisa menceritakan hal tersebut adalah karena lelaki itu Kenzo, sahabat terbaikmu. Aku benar-benar merasa buruk dan kotor saat ini," lanjutnya. Helene emakin menangis meraung-raung. Terduduk lemas di sampingku. Amarahku mulai mereda ketika netra kami bertemu pandang, selemah itu aku, sungguh sialan.

    Rasanya aku ingin kabur sejauh mungkin, tetapi hati nurani menolak. Rasa benci memang ada. Namun, Helene tetaplah seorang wanita rapuh. Aku berusaha tegar, menerima, menenangkan diri. Aku tidak ingin kabur, aku berharap masalah hubungan kami terselesaikan tanpa menyakiti satu sama lain.

    "Terima kasih sudah jujur Helene, mungkin aku membutuhkan waktu menenangkan hati dan perasaan. Aku akan berusaha untuk tidak membencimu. Mari kita berdamai entah sebagai seorang teman atau mantan pacar," ujarku kemudian. Kata-kata bijak terlontar tanpa sadar. "Aku tetap berharap kamu berusaha menjadi wanita yang lebih baik, jangan lakukan hal merugikan diri pada akhirnya," cerocosku selanjutnya. Aku memeluknya untuk terakhir kali. Baru pamit pulang setelah Helene tenang. Wajah cantiknya sembab, hidung mancungnya merah, dengan rambut panjang sebahu yang awut-awutan. Rasa kecewa, benci, sakit hati, bercampur menjadi satu menggelayut sukma. Melihat wanita yang aku cinta seperti itu terasa lebih menyakitkan. Mungkin Helene lebih putus asa dariku.

*****

    Hampir satu bulan lebih, aku sempat bersitegang bercampur canggung dengan Kenzo Julian. Sampai diri ini tersadar. Semua karena kebodohanku, bukan salahnya. Kenzo pernah memperingatkan aku agar tidak dekat dengan Helene. Aku anggap perbedaan keyakinan hanya dalih. Siapa menduga jika hati kami terpaut. Semua hal yang aku pahami pada akhirnya, kebenaran yang Kenzo maksud adalah hal tersebut. Si brengsek pembuat onar. 

       Waktu bergulir, rasa sakit hati perlahan mulai menghilang, bersama rasa cinta yang terkubur penuh nanah luka. Bukan trauma, hanya saja aku memilih membatasi diri sendiri, membangun sekat dinding tebal. Aku tidak ingin tersakiti apalagi dikhianati. Cukup sekali saja, ya cukup sekali saja. Sampai akhir kuliah aku dan Helene masih sering bertukar kabar, walau hubungan kami telah berakhir.

     Terkadang aku merasa iri pada si brengsek Kenzo, iri pada kebebasannya, tanpa beban. Bagaimana tidak, dia terlihat sempurna, dengan latar belakang keluarga kaya raya. Di luar dugaan, nyatanya itu tidak menjamin suatu kebahagiaan. Sepi, ternyata kesedihan itu rasa sepi yang tersirat oleh kejujuran di balik tatapan arogan teman laknatku. Ah, haruskah aku memaafkan si bodoh laknat itu?

Bersambung….

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Nazwatalita
Baru baca langsung penasaran
goodnovel comment avatar
Ar_key
Kenzo anak baik ya kelihatannya
goodnovel comment avatar
Shanisha Icha
seandainya bayangan ibu dan adiknya tidak muncul ntah dosa apa yang akan terjadi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status