Kami kompak menoleh ke arah Kenzo, tawa sombong itu lenyap seketika. Nayla mendelik, menatap Kenzo dengan mata tidak berkedip. Bisa-bisanya pemuda tersebut bahagia setelah dia membuat calon adik iparku mabuk. Aku paham benar Akbar bukan seorang peminum. Entah bujukan apa yang Kenzo katakan hingga Akbar ikut minum. Ada hal yang membuatku penasaran tentang ucapan ngawur Akbar tadi. Tidak akan mungkin Kenzo mencintai Nayla, pasalnya Kenzo sudah menganggap Nayla seperti adik sendiri. Tidak ada jarak di antara kami. Bahkan kedua orang tua Kenzo juga sangat menyayangi kami terutama Nayla. Setiap ada suatu hal penting, mereka lebih memilih mengajak Nayla dibanding Kenzo yang putra kandungnya. Kenzo juga tidak keberatan pada sikap kedua orang tuanya, asal semua bahagia, begitu kata yang selalu terlontar kala aku bertanya.
"Kenapa menatapku sedalam itu Nay?" tanya Kenzo me
Sampai di depan rumah baruku --- rumah nenek Rere yang aku beli --- kami dikejutkan dengan adanya keramaian. Banyak orang berlalu lalang, terlihat taman mulai dihiasi dengan lampu-lampu kelap-kelip padahal belum masuk waktu malam. Ada gazebo dengan hiasan bunga mawar di atas, kain berwarna putih menyelimuti besi penyangga. Sangat kontras dengan hijaunya rerumputan yang terawat dengan baik. Meja yang berada di depannya. Sekali lagi bunga mawar juga menghias sebuah meja yang telah di balut kain putih. Ada empat kursi dengan balutan kain warna sama. Bunga-bunga yang tumbuh sugur menyejukkan pandang. Kami yang keluar dari mobil mendadak terbengong. Menatap tukang dekorasi yang sibuk. Syukuran ruamah baru sudah aku laksanakan beserta pengajian, sehari setelah aku membeli. Lalu untuk apa ibu mengadakan pesra lagi? Pertanyaan itu terngiang dalam benak. Rere menyembul keluar pintu, berlari menghampiri kami, senyum simpulnya tersungging
Sakit, sudah pasti, meski keduanya terikat dengan pernikahan tanpa cinta. Namun, hati wanita mana yang rela jika sang suami menikah lagi dengan wanita lain. Menghiasi kamar untuk sang suami dan madunya, ah, sangat luar biasa terasa. Hidup yang Rere jalani begitu menyakitkan, kisah cinta yang terjalin juga tidak semulus itu. Perbedaan agama yang menjadi penghalang. Kasih sayang yang nyata dia dapat dari Edzard, sedikit membuat dirinya terlena. Perhatian kecil yang awalnya adalah hal biasa, tidak terasa akan membuat Rere sedikit teralih pada luka hati. Kenyataan pahit bertubi, dimana sebuah kebenaran, jika Kenzo sang kekasih pernah menaruh hati pada sahabatnya. Belum usai dengan rasa, Rere harus menjalani pernikahan yang tidak dia inginkan demi sang nenek, lalu sekarang, sang suami akan menikahi wanita lain. Masih bisakah dia bertahan? Jawabannya tidak, itu terlalu sakit. Genangan air di pelupuk mata mulai menetes, ada rasa kecew
Rere tersenyum, setidaknya ada sahabat yang akan selalu menjadi sandarannya. Mengingat semua hal yang terjadi, Nayla teman yang dapat diandalkan selalu. Saat berjalan menuruni tangga, Rere sempat melihat Kenzo dan Edzard duduk di sofa ruang menonton TV, mereka terlihat bergurau. Namun, pandangan Rere terfokus pada Edzard. Suaminya semakin terlihat gagah mengenakan setelan tuxedo warna putih. Wajahnya tiba-tiba merona merah. Beruntung yang dipandang tidak menyadari. Rere langsung bergegas masuk ke dalam salah satu kamar tamu, dimana Evelyn juga masih di rias. Ada dua orang wanita yang mempersilahkan duduk di dua buah kursi plastik, mereka terlihat ramah. Rere sesekali melirik ke arah Evelyn wanita itu nampak cantik dalam polesan khas Jawa dengan sanggul dan juga hiasan bunga melati. Rasa iri tiba-tiba menyergap, Rere berpikir, apakah harusnya pernikahannya dulu seindah itu. Rere dulu hanya mengenakan make up natural dari salin. Pakaian kebaya juga sangat sederhana, berb
Acara resepsi yang cukup ramai dihadiri beberapa kerabat dan kolega berlangsung sederhana pada siang itu. Selesai pada saat itu juga, para tamu undangan undur diri, semua dekorasi telang dibongkar dengan cepat atas perintah Edzard. Kepalanya pening, kelelahan, memikirkan pekerjaan, lalu sekarang, dia memiliki dua orang istri. Pastinya akan semakin membuat repot, bukan. Beberapa kerabat yang hadir, juga kedua orang tua Edzard pun pamit. Mereka mengerti keadaan putranya, perjalanan dari luar kota yang cukup melelahkan tenaga dan pikiran. Hanya tersisa Kenzo yang tengah mengobrol di bangku taman dengan Rere. Edzard melihat keduanya dari jendela ruang tengah yang terhubung, dia tersenyum, membiarkan kedua pasang kekasih yang terpaksa berpisah. Suasana nampak hening, hanya tinggal asisten rumah tangga dan dua orang pekerjaan rumah tersebut sibuk mondar-mandir mengangkat hidangan tersisa. "Pak, makanya bagaimana, masih tersisa banyak?" tanya s
Evelyn diam, merasa mendapat celah, Edzard kembali melanjutkan aktivitas. Mencium leher jenjang milik sang istri, dan memberi beberapa tanda merah di sana, satu tangannya meraih resleting di bagian punggung kemudian menarik lepas kebawah. Edzard semakin membenamkan ke bagian dada Evelyn, bagian yang semalam ia jamah juga. Bedanya, kali ini dia tidak akan berhenti di tengah jalan, nafsu sudah berada pada puncak. Lenguhan kecil lolos dari bibir Evelyn membuat Edzard semakin bersemangat. Cukup lama Edzard memanjakan Evelyn dengan sentuhan-sentuhan bibir dan jarinya. Entah sejak kapan, keduanya telah polos. Evelyn terbaring dengan tubuh menggeliat, ketikan Edzard mempermainkan miliknya dengan lidah. "Pak, tolong jangan siksa saya," ucap Evelyn tubuh putih, lembut dan sexy tersebut memanas. Edzard bangkit memposisikan diri di atas Evelyn. "Aku baru pertama kali akan melakukannya. Jadi, maaf jika sedikit kasar dan mungkin
Sentuhan dingin di pipi membuat Rere terbangun dari tidurnya. Dia mengerjab-ngerjabkan mata kemudian mendongak. Edzard duduk di samping Rere berbaring, senyumnya mengembang. Lelaki itu terlihat berbinar, ada sorot kebahagiaan tidak terlukiskan yang dapat Rere lihat. Rambut sang suami nampak basah, aroma shampo menguar tercium hidung Rere. Gadis itu tertegun melihat tanda merah di leher suaminya. Dia beringsut duduk kemudian menatap lelaki yang masih mengulas senyum itu. "Abang," sapa Rere. "Abang bawa sesuatu buat kamu, ini hadiah dari rekan kerja Abang dari luar kota. Tadi lupa memberikannya buat kamu," ucap Edzard menyerahkan tas belanjaan. Rere menerimanya, dia merogoh tas kertas tersebut, senyumnya mengembang, sebuah tas mewah keluaran terbaru dari merk ternama. "Ini seriusan buat Rere?" tanya gadis itu berbinar. Edzard mengangguk, "Sudah lama Abang
Suasana malam romantis di sebuah cafe yang tengah populer di sosial media. Lampu-lampu penghias taman menyala dengan indah. Banyak pasangan muda-muda berkunjung. Hembusan angin terasa mesra pada ruangan indoor tersebut. Kursi dan meja kayu bercat coklat,mengkilap terkena cahaya lampu. Momen indah itu menjadi membahagiakan namun, tidak dengan Akbar. Lelaki itu nampak kesal, bagaimana tidak, kencan yang seharusnya romantis berubah dengan kedatangan Kenzo yang mirip jailangkung. Kedua lelaki tersebut duduk dengan canggung, berbeda dengan Nayla, dia santai menghadapi kedatangan Kenzo. Kesal pun tidak guna, lelaki tersebut akan bertindak sesuai apa yang dia kehendaki.Hidangan di meja mulai berdatangan, Nayla berbinar melihat kopi espresso panas dan cake strawberry nan menggoda. Kenzo sendiri memesan kopi hitam, sedangkan Akbar memilih kopi mocca chino. Arom
Edzard mengerutkan kening mencerna kalimat yang dilontarkan Rere. Gadis itu ingin tidur dengan 'dipeluk' olehnya. Lelaki itu malah berpikiran hal yang tidak-tidak. Otaknya berjalan-jalan, terisi adegan ketika Rere dan Kenzo berciuman di ruang tengah. Bayangan tersebut mengusiknya, Kenzo berpikir keras mungkinkah sang istri tengah menginginkan belaian lelaki mengingat sudah beberapa bulan ini tidak bersentuhan dengan Kenzo. "Kalian berdua tidak bermesraan tadi? Kulihat kau dan Kenzo berduaan cukup lama," ujar Edzard menatap Rere dengan wajah tanpa dosa. Bruk! Bantal langsung mendarat ke wajah Edzard, "Abang kira saya cewek apaan?" pekik Rere beringsut bangkit, bibirnya manyun ke depan. "Usai kita melaksanakan ijab waktu itu, Rere sudah berusaha menjadi istri yang baik dengan tidak bersentuhan dengan lawan jenis," pekik Rere, matanya mu