Udara terasa dingin menusuk, Evelyn mengenakan piyamanya kembali. Dia membuka gorden dan jendela kamar, menutup mata sejenak menikmati sapuan angin menyapa wajah. Wanita itu kemudian berjalan keluar menuju ke kamar istri pertama sang suami. Pelan dia membuka pintu, senyumnya mengembang melihat Rere masih meringkuk membalut tubuhnya dengan selimut tebal. Evelyn mengedarkan pandang, menyusuri ruangan bercat pink tersebut, dua membuka tirai juga jendela, lalu kembali berjalan ke arah ranjang, duduk di sudut.
"Mbak Rere bangun," ucap Evelyn menepuk pipi halus Rere dengan jemari.
Rere yang merasakan benda dingin menempel di pipi kemudian bangkit, mengerjap-ngerjapkan mata. "Mbak Eve," ujar Rere.
"Selamat pagi Mbak," ujar Evelyn mengulas senyum.
"Panggil Rere saja, Mbak Eve kan lebih tua dari saya, tidak enak mendengarnya," keluh Rere manja.
Rere yang tengah mengenakan dress berhenti merapikan bagian bawah, dia beringsut bangkit dari duduk kala mendengar penuturan sang suami. Bagaimana bisa Edzard mengatakan apakah dirinya menyesal telah melepas hal berharga miliknya untuk sang suami. Rere duduk di pangkuan Edzard, dia memeluk tubuh yang terasa hangat dan mendamaikan. Gadis itu menutup mata sejenak, memberanikan diri merangkul ke leher sang suami. "Saya tidak menyesalinya Bang, dan tidak akan," ujar Rere menatap sayu. Edzard menundukkan kepala lalu melumat bibir miliknya dengan lembut. Satu hal yang Rere sadari, Edzard satu-satunya tempat bersandar. Ketika bersama Kenzo, dia berusaha menjadi sempurna. Namun, bersama Edzard Rere tidak canggung tampil apa adanya. Gadis yang selalu merengek manja. Napas keduanya tersengal, Edzard menyatukan kening dengan Rere, embusan hangat itu saling menyapa wajah. Edzard tersenyum menutuo mata sebentar kemudian menarik
Pagi yang cerah, bunga-bunga indah merekah, seperti senyum Rere yang menghias di bibir manisnya. Sapuan angin yang mapir menggoyangkan rambut Rere ke belakang. Nayla sesekali menoleh ke arah sang sahabat dengan kening berkerut. Keduanya kini tengah duduk di sebuah kursi taman bercat putih, di bawah pohon beringin yang rindang. 'Ada yang aneh,' batin Nayla.Sekali lagi Nayla memperhatikan wajah sumringah sang sahabat, ada rasa yang janggal. Mengingat beberapa waktu lalu Kenzo pernah menghubungi bahkan menghampirinya untuk bersua Nayla. Pemuda itu menceritakan tentang perpisahannya dengan Rere. Sedikit terkejut, Rere katanya lebih memilih mempertahankan pernikahan dengan Edzard, kakaknya daripada menanti Kenzo. Jika dia berad
Tepukan di punggung Kenzo untuk yang kesekian kali yang dilakukan Edzard menghantarkan Kenzo ke alam nyata. Memori malam kelabu tersebut perlahan pudar, tersisa hati yang teriris sembilu. Edzard melihat sahabat nya dengan tatapan bingung berkecamuk. Dirinya ikut andil dalam kemalangan yang menimpa Kenzo. "Maaf Ken, maaf," ucap Edzard untuk kesekian kali. "Untuk apa kau meminta maaf, semua sudah terjadi. Itu keputusan Rere, aku juga tidak dapat berbuat banyak hal," keluh Kenzo. "Kau menangis?" tanya Edzard yang suara sesegukan. "Aku tidak menangis, mana ada," kilah Kenzo menghapus dengan cepat linangan bening di pelupuk mata dengan ujung lengan jas warna hitam yang dia kenakan. "Kau ini garang tapi hatimu selembut kapas, kau ini brengsek tetapi mudah iba," ejek Edzard. "Sok tahu," decak Kenzo. &
Akbar dan Nayla saling pandang, Nayla memasang wajah kebingungan. Pasalnya mobil yang dikemudikan Akbar berhenti mendadak di sebuah pinggiran persawahan tempat yang tidak Nayla kenali. Akbar memasang wajah yang tidak dapat diartikan. Entah apa yang dia pikirkan, Nayla kurang paham. "Bang, kenapa berhenti di tempat seperti ini?" tanya Nayla sekali lagi. Akbar melepas sabuk pengaman, dia menoleh ke arah Nayla, menatap tajam. Nayla sampai bergidik melihatnya. Merasa ada yang aneh dengan tingkah laku sang tunangan. Nayla mendelik, dia melepas sabuk pengaman cepat kilat untuk kemudian mencengkeram dompet selempang yang dikenakan. Nayla hendak menimpuk Akbar dengan dompet tersebut jika Akbar berani macam-macam. &
Edzard terlihat gusar d ruang kerjanya, sesekali dia menyibak tirai melihat ke ruangan Evelyn yang terhalang jendela. Dia menyaksikan kedua istrinya sedang duduk rukun bersenda gurau di ruang nan sempit tersebut. Dua orang wanita dalam hidupnya, Edzard segera menutup kembali tirai ketika mereka beranjak bangkit. Edzard menghela napas panjang nan berat, lalu kembali duduk di ruangannya. Tidak lama pintu kembali terbuka, menyembullah kedua wanita cantik tersebut. "Bang, Rere sepertinya mengantuk," ujar Evelyn. Dia memandang sang suami untuk kemudian beralih kepada Rere. "Saya tinggal ya, Re," ujar Evelyn keluar ruangan. Senyumnya menghilang ketika pintu tertutup, Evelyn berjalan pelan menuju tempatnya duduk. Sakit sudah pasti, mana ada wanita yang rela melihat sang suami berduaan dengan wanita yang tidak lain adalah istri pertama sang suami. Evelyn menepuk dada, dia meyakinkan diri baik-baik saja. Evelyn meng
Edzard mengulas senyum, dia menatap wajah sang istri yang memerah. Baginya sangat sulit sekali mengendalikan perasaan untuk tetap fokus pada siapa yang dia temui. Edzard hanya manusia biasa, tidak pernah ada niatan untuk dirinya berpoligami. Apalagi harus menyakiti hati dua orang wanita. Jalan hidup yang tidak pernah dia duga sebelumnya."Wajahmu memerah, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Edzard menarik kursi dan duduk berhadapan, terhalang meja."Tidak ada, Bang," ucap Evelyn menggeleng."Maaf," ucap Edzard. Evelyn mendongak menatap wajah sang suami. Keduanya terdiam, hanya terdengar bising percakapan keramaian ruang kantor pada umumnya.
Nayla masih duduk di sudut kolam taman kediaman Julian. Dia mampir menghantarkan semur jengkol buatan sang ibu untuk diberikan kepada nyonya Julian. Wanita berpenampilan elegan itu duduk di samping Nayla, sibuk menyendok semur jengkol dalam wadah box yang Nayla bawa, meletakkan satu demi satu semur tersebut ke dalam piring nasi. "Masakan Mama kamu selalu sedap Nay," puji Nyonya Julian. Nayla tersenyum memperhatikan, siapa yang menyangka wanita elegan, yang selalu terlihat berwibawa juga selalu menjaga sikap di luaran sana itu akan nampak simpel sederhana dengan makanan kampung. "Kalau papanya Kenzo pulang, bisa habis ini dimakan beliau," imbuh wanita cantik itu terkekeh. "Tante tenang saja, Ayah sudah membawakan bekal makan semur juga kepada Om Julian ke kantor, kok," jawab Nayla mengulas senyum. Nyonya Julian menatap wajah dara ma
"Pasti Abang sakit hati sekali ya Bang, sama seperti Nayla, Bang. Saya juga sakit ketika tahu perasaan saya dahulu," ucap Nayla.Kenzo yang sedari tadi memperhatikan gadis itu di ambang pintu walk in closet berjalan mendekat. Ada sebilah rasa bahagia memancar. Harapan cinta yang mungkin datang terlambat. Andai saja, andai saja rasa itu terungkap lebih awal. Kenzo semakin berjalan mendekati gadis itu. Gadis yang masih menangis memeluk bingkai potret masa lalu. Lelaki itu meraih oundak Nayla. Gadis itu sontak terkejut, dia membalikkan badan. Buru-buru satu tangannya menghapus air mata meleleh. Kenzo dapat melihat pipi sembab itu dia tersenyum kecut. Kedua tangan berototnya meraup wajah Nayla lalu menghapus sisa air mata yang masih meleleh. Kenzo menundukkan kepala, mereka saling pandang dalam diam wajah Kenzo semakin mendekat, hingga tidak ada jarak lagi