Aku tertawa kecil mendengar ancaman Mas Yuan. Dia nggak sadar diri ya? Seharusnya aku yang ngomong gitu.
Aku menatapnya tajam, bibirku tersenyum samar. "Gimana kalau suami yang selingkuh? Apa yang harus aku lakukan?" cetusku, sengaja memancing. Mas Yuan berhenti menyuap makanan ke dalam mulutnya. Gerakannya beku, rahangnya menegang. Aku bisa melihat urat di pelipisnya menonjol. Kenapa? Kagetnya? "Paman Yuan nggak mungkin selingkuh!" sahut Desy. "Aku percaya sama Paman Yuan," imbuhnya meyakinkanku. Aku tergelitik. Wajar jika Desy membela Mas Yuan. Dia tidak tahu, sebobrok apa pamannya. Aku yang tak ingin membahasnya lebih lanjut, lebih memilih topik lain. "Mas Yuan, sebelum aku berangkat ke Singapura, boleh nggak aku mengunjungi rumah kita yang sedang dibangun," pintaku, dengan suara yang sengaja aku buat semanja mungkin. "Buat apa kamu ke sana? Bukakah kamu sudah melihatnya dari foto yang aku kirim?" Pastinya, suamiku melarang. "Mbak Lia ngapain sih, pergi ke tempat yang banyak debunya? Nanti kalau Mbak sakit sebelum berangkat ke Singapura, gimana?" cerocos Desy. Aku mengernyitkan dahi saat Desy ikut melarangku dengan rayuannya. Bahkan ia sampai menggenggam tanganku, agar aku menurut. "Yang dikatakan Desy benar. Kamu harus menjaga kesehatanmu." Mas Yuan menimpali. "Perjalananmu ke Singapura sangat penting, ‘kan?" Untuk kesekian kalinya. Aku memilih mengalah. Demi kemenangan, aku harus bersabar. *** Besoknya, sepulangnya dari kantor, aku langsung pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kondisiku. Suamiku bercinta dengan banyak wanita, tentu aku khawatir akan tertular penyakit menjijikkan darinya. Maka dari itu, aku harus segera periksa. Setelah beberapa jam menunggu, aku bisa bernapas lega. Semua tabel kesehatan menunjukkan hasil negatif. Itu artinya, Dewa mencintaiku, dan masih ngasih aku kesempatan untuk memperbaiki hidupku. Baiklah, waktunya pulang. Saat aku berjalan melewati beberapa ruangan poli, keberadaan Leon membuatku berhenti, dan memfokuskan diriku padanya. "Leon, kamu ngapain di sini?" tanyaku, menaikkan salah satu alisku. Leon mendongak, ia langsung tersenyum ketika melihatku. "Mbak Lia? Kita selalu bertemu, sepertinya kita memang berjodoh," ujarnya. Aku memutar kedua mataku malas. Daripada aku berurusan dengan manusia macam Leon, mending aku pergi. Namun, baru selangkah aku melangkah, Leon langsung berdiri dan menghadangku. Aku mendengus, menatapnya dengan ekspresi campuran lelah dan sebal. "Minggir, deh! Aku mau pulang," kataku, menahan nada suaraku agar tidak meninggi. "Jangan pulang dulu, Mbak. Temenin aku," pinta Leon, lebih terdengar seperti paksaan. Aku menoleh ke sekeliling. Beberapa pasang mata sempat melirik ke arah kami. Berhubung aku tak mau jadi pusat perhatian, kali ini aku memilih menuruti permintaan Leon. Kami berdua akhirnya duduk di kursi tunggu, saling diam untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Leon membuka suara, "Mbak Lia ngapain ke rumah sakit?" Aku menghela napas. Leon belum menjawab pertanyaanku, malah dia balik bertanya. "Hanya, melakukan pemeriksaan sebelum berangkat ke Singapura," jawabku, sekenanya. Leon mangguk-mangguk mengerti. "Kamu sendiri, ngapain kamu di sini? Lagi sakit? Sakit apa?" berondongku, sedikit sinis. Leon tidak menjawab, melainkan mengangkat lengannya dan memperlihatkan luka baret di sana. Aku sontak terkejut. Refleks, jemariku menyentuh pinggiran luka itu, lalu aku meniup pelan seolah bisa menghapus rasa perihnya. "Ini kenapa? Kamu habis jatuh kah?" tanyaku, khawatir. "Cuma luka kecil, Mbak," jawab Leon santai. Aku langsung menarik tubuhku menjauh darinya. Wajahku berubah cemberut sambil menatapnya kesal. "Kalau cuma luka kecil, ngapain kamu ke rumah sakit segala?" omelku, setengah jengkel. "Aku ngikutin Mbak," ucap Leon ringan, seolah itu hanya hal biasa. "Luka ini cuma akal-akalanku saja," tambahnya. Aku terpaku. Mataku membulat, tak percaya dengan kelakuannya. "Leon... Kamu keterlaluan, loh!" tegurku tak habis pikir. "Mbak Lia selalu bikin aku penasaran. Aku beneran pengen kamu jadi milikku," kata Leon, dengan wajah super serius. Aku terpaku. Tatapan Leon membuatku kehilangan kata. Sembari berusaha mengatur debaran jantungku, aku berkata, "Leon, kamu tahu, 'kan? Aku sudah punya suami. Lebih baik kamu mencari wanita lain yang masih single." "Mbak Lia beneran nggak mau kasih aku kesempatan, ya?" tanya Leon, raut wajahnya terlihat sedih. Aku yang tak ingin berlama-lama dalam situasi serius ini, memutuskan untuk pulang dengan berpura-pura sakit kepala, dan ingin beristirahat. Sepertinya Leon khawatir denganku. Ia buru-buru menutup pembicaraan kami dan menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Tentu aku menolaknya, lagipula aku sudah memesan taksi. *** Hari keberangkatanku ke Singapura. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, akhirnya aku dan Intan sampai di hotel Marina Bay Sands. Kami merasa beruntung, karena bisa tinggal beberapa hari di tempat paling ikonik ini. Petugas hotel mengantar kami ke kamar. Jantungku berdebar, mungkin karena aku sudah tidak sabar merebahkan tubuhku di atas kasur hotel yang super mahal. Baru juga kami melangkah masuk ke dalam kamar hotel, mataku langsung membulat saat melihat Leon yang sedang duduk santai di sofa. Leon menyambut kami dengan senyum ramah. Aku langsung maju mendekat, "Kamu? Ngapain kamu ada di sini!" Suaraku melengking. Saking kagetnya, mulutku sampai terbuka lebar. Intan buru-buru ikut mendekat, wajahnya tak kalah kaget dariku. "Leon? Bukannya kamu pegawai magang? Kamu juga ikut? Kok bisa?" sosornya dengan ekspresi bingung total. Dengan nada santai dan senyum tipis yang khas, Leon membeberkan alasannya. Ia datang sebagai pengganti Big Bos, sebab CEO Vici Industri dikabarkan tidak akan menghadiri acara besok malam. Intan meletakkan kopernya di dekat lemari, sedangkan aku mendudukkan tubuhku di atas kasur empuk. "Terus, ngapain kamu di kamar kita?" tanyaku pada Leon. Belum sempat Leon menjawab, Intan nyeletuk, "Oh! Leon, kamu mau tidur bertiga bareng kita?" katanya sambil membuka kopernya. Aku heran dengan Intan yang akhir-akhir ini otaknya gesrek. "Mbak Intan, aku tidur di kamar sebelah kok," balas Leon meluruskan. Leon menatapku sambil tersenyum penuh arti. "Aku ke sini cuma pengen lihat Mbak Lia. Aku kangen sama Mbak Lia," imbuhnya, menggodaku. Intan tertawa nyaring. "Waduh! Gawat ini! Kalau gitu, aku aja yang tidur di kamar sebelah," candanya, melirikku jahil. Aku memutar bola mataku malas. "Intan, please lah...." gumamku. Melihatku yang kelelahan, Leon berdiri lalu menghampiriku. Sebelah tangannya terulur untuk mengelus pipiku. "Mbak Lia istirahat gih, aku pergi dulu," pamitnya, tersenyum lembut. Sebelum Leon benar-benar menghilang dari hadapanku, ia juga sempat berpamitan pada Intan. Intan duduk di sebelahku sambil menghembuskan napas kasar. "Enaknya... Diperhatikan jagung muda," ucapnya. Aku yang enggan meladeni Intan, memilih untuk tidur, memulihkan tenagaku. *** Di malam pesta. Aku mengenakan gaun simpel berwarna merah yang membalut tubuhku dengan elegan, sementara Intan tampil menawan dalam gaun kasual putih yang membuatnya tampak segar dan cerah. Suasana pesta begitu mewah. Lampu kristal menggantung di langit-langit, lantunan musik lembut mengiringi langkah-langkah para tamu yang datang dengan busana terbaik mereka. Hampir semua yang hadir adalah orang-orang penting di dunia bisnis. Dari cara mereka berbicara, berjabat tangan, dan tertawa pelan sambil memegang gelas sampanye, sudah dipastikan bahwa mereka bukan orang sembarangan. Mereka konglomerat sejati. Acara berjalan sesuai harapan. Penuh kehangatan, pujian, dan obrolan ringan antarpebisnis. Namun, di balik keramaian itu, terdengar juga bisik-bisik kecewa. Banyak tamu yang menanti kehadiran CEO baru, sosok muda yang konon karismatik dan misterius. Akan tetapi, sepertinya Tuan CEO belum siap untuk bertemu rekannya. Pantas saja, Big Bos meminta Leon untuk menggantikannya. Karena aku kepikiran Leon, pandanganku pun otomatis mencari sosoknya di antara kerumunan tamu. Dan di sanalah dia, berdiri santai sambil berbincang dengan seorang kakek tua yang kukenal sebagai Ketua sekaligus pemilik Vici Industri. Aku sempat tertegun. Leon terlihat begitu percaya diri berbicara dengan orang terpenting di sini. Padahal, para petinggi perusahaan seakan tak berani mengajak ngobrol Pak Ketua. Yang lebih membuatku terkejut, Pak Ketua bahkan sempat tertawa kecil. Apa-apaan tuh? Interaksi mereka seolah menunjukkan kalau mereka sudah akrab sejak lama. Aku memandangi mereka terlalu lama sampai tak sadar ketika bahuku menyenggol seorang pelayan yang lewat membawa nampan berisi minuman. Gelasnya oleng, dan byur! Sebagian isinya tumpah membasahi gaunku. Beberapa tamu menoleh ke arahku. Aku langsung panik dan tersipu malu. Aku buru-buru meminta maaf pada pelayan itu. Tanpa banyak pikir, aku bergegas menuju toilet untuk mengeringkan gaunku yang kini basah dan menempel di kulit. Akan tetapi, gaunku benar-benar sudah tak bisa diselamatkan. Dengan perasaan kecewa, aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamar hotel. Karena aku tak punya gaun cadangan yang layak, aku menghubungi Intan lewat pesan singkat, dan meminta maaf karena tidak bisa melanjutkan pesta. Untung saja, Intan mengerti. Sebenarnya, aku masih ingin menikmati suasana pesta. Musiknya, lampu kristalnya, dan aura elegan yang jarang kurasakan. Tapi apa daya? Aku tidak mungkin tampil dengan gaun seperti ini. Aku mendengus pelan, kesal pada diri sendiri. Saat hendak melepas gaun, suara pintu kamar tiba-tiba terbuka. Refleks aku menoleh, dan mendapati Leon yang berjalan ke arahku. Kenapa dia kemari? "Sini, aku bantu lepasin," katanya pelan, sembari mendekat. Ia menyentuh daguku begitu jarak kami tinggal sejengkal. Aku sontak mundur setengah langkah. "Leon, jangan ih... Kamu keluar sana," pintaku, mencoba tetap tenang. Tentu saja, seperti yang kuduga, Leon tidak bergeming. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Bukannya tadi kamu lagi ngobrol sama Pak Ketua? Kok kamu berani ninggalin beliau?" tanyaku, berharap bisa menciptakan celah agar ia pergi. "Obrolan kami sudah selesai," jawabnya cepat, terlalu cepat, seperti tanpa berpikir. Aku tersentak saat Leon tiba-tiba menarik pinggangku, memaksaku menatap wajahnya dalam posisi yang begitu dekat. Penampilan Leon malam ini berbeda, ia terlihat jauh lebih dewasa dari usianya. Leon mengenakan setelan jas cokelat yang pas di tubuhnya. Rambutnya, yang biasanya dibiarkan berponi, kini tersisir rapi ke belakang. Dan aroma tubuhnya... Hangat, maskulin, begitu memabukkan. Leon benar-benar tampak sempurna malam ini. "Di kamar ini cuma ada kita berdua...." Leon sengaja menggantung kalimatnya, membuat jantungku berdetak tak karuan. "Leon, aku... Masih punya suami. Kita nggak boleh," ucapku, berusaha tegas, meski suaraku malah terdengar lembut. Tunggu, sejak kapan kita jadi serius begini? Bukankah Leon memang suka menggodaku saja? Apakah... Aku menatap matanya yang tajam. "Aku bersedia jadi selingkuhanmu," katanya mantap, tanpa keraguan sedikit pun. Aku memalingkan wajah, tak sanggup membalas tatapan itu. "Leon... Tolong jangan begini," pintaku lirih. Leon terdiam. Perlahan, ia melepas pelukannya pada pinggangku. Leon duduk di tepi ranjang, sementara aku tetap berdiri sambil menundukkan kepalaku. Aku menelan ludah. Aku bingung dengan diriku sendiri. Ayolah... Aku wanita dewasa berusia tiga puluh lima tahun, sedangkan Leon laki-laki muda yang masih berusia dua puluh tiga tahun. Kami... Tidak cocok. Terlebih, aku sudah memiliki suami. Meskipun suamiku menyelingkuhiku, bukan berarti aku juga harus membalasnya dengan selingkuh. "Leon, tolong keluarlah. Aku ingin sendirian," usirku, dengan suara lirih. Ia memandangku lama, seolah ingin memastikan sesuatu. Lalu, tanpa sepatah kata pun, Leon berbalik dan melangkah keluar kamar. Aku menghembuskan napas lega. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang, berniat menelpon suamiku. Namun, jari tanganku yang licin malah menekan ikon aplikasi CCTV. Layar ponsel menampilkan sudut ruang tamu apartemen kami. Di sana, kulihat Desy dan suamiku sedang duduk santai di lantai, mereka asyik bermain monopoli sambil tertawa kecil. Tanpa berpikir panjang, aku menutup aplikasi itu. Senyum kecil terukir di bibirku. "Desy anak yang manis," gumamku. *** Besoknya, mumpung masih di Singapura, aku dan Intan memutuskan untuk berbelanja di mall yang letaknya tak jauh dari hotel. Kami masuk ke sebuah butik yang menjual tas yang diinginkan Desy tempo hari. "Harganya sepuluh juta. Kamu yakin mau beli?" tanya Intan sambil menatap label harga dengan ekspresi tak percaya. Aku tersenyum tipis. "Apa boleh buat? Desy pengen banget punya tas ini. Lagian, aku juga udah janji," jawabku, sambil menyentuh permukaan tas yang memang terlihat menggemaskan. Intan mendengus pelan. "Desy bilang harganya cuma lima juta. Dasar pembohong," celetuknya tanpa menyembunyikan nada sebal. Sejak awal, aku tahu Intan tidak pernah menyukai Desy. Mungkin karena sikap Desy yang manja. "Ya sudah, beli aja. Toh, kamu dapat uang saku dari Pak Ketua," tambah Intan, menyerah pada keputusanku. Akhirnya aku membeli tas itu juga. Setelahnya, kami berdua berjalan santai di sekitar mall, menikmati suasana Singapura yang bersih dan tertib. Aku sempat berpikir, andai saja hidupku seindah kota ini. Teratur, tenang, dan tanpa kebohongan. *** Malamnya, setelah makan malam di restoran hotel, aku dan Intan menghabiskan waktu bersama istri muda Pak Ketua. Kami duduk santai di tepi kolam renang, menikmati semilir angin malam sambil mengobrolkan banyak hal, dari pekerjaan, kehidupan rumah tangga, sampai topik-topik ringan yang membuat tawa kami pecah sesekali. Waktu berjalan cepat, hingga tak terasa sudah lewat tengah malam. Aku yang mulai mengantuk, sempat mengajak Intan pamit undur diri. Namun, istri Pak Ketua malah menahan kami dan mengajak untuk lanjut minum di bar mini dalam kamarnya. Sebagai pegawai biasa, jelas kami tak mungkin menolak ajakan itu. Kami pun minum bersama, hingga akhirnya istri Pak Ketua mabuk berat dan tumbang di sofa. Aku panik, lalu segera menuju ruangan sebelah, tempat Pak Ketua sedang berkumpul bersama Leon dan beberapa pria lainnya. Pak Ketua tersenyum ramah ketika aku melapor. Dengan nada tenang ia hanya berkata, "Biarkan dia sendirian." Aku mengangguk pelan, meski masih khawatir. Pandanganku beralih pada Leon yang penampilannya berantakan. Dasinya terlepas, kemejanya sedikit terbuka, dan rambutnya yang acak-acakan. Ia hanya menatapku sekilas sebelum meneguk minumannya lagi. Ada apa dengannya? Apakah dia marah padaku gara-gara aku tolak kemarin? Entahlah! Aku kembali ke kamar istri Pak Ketua. Ternyata wanita itu masih setengah sadar, dan dengan senyum miring ia berbisik, memintaku segera kembali ke kamarku sendiri. Tak ingin memperpanjang situasi, aku pun menuruti ucapannya. Dengan susah payah, aku membopong Intan yang sudah tak sadarkan diri. Begitu sampai di kamar, aku menidurkannya di atas kasur dengan hati-hati. Aku melepas sepatunya, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang meringkuk. "Kalau nggak kuat minum, kenapa juga maksa minum segala?" gumamku, menggeleng pelan sambil menatap wajah damai Intan yang sudah terlelap. Jam menunjukkan pukul dua pagi. Mataku belum juga mau terpejam. Rasa gelisah membuatku iseng membuka aplikasi CCTV di ponsel. Aku hanya ingin tahu, apakah suamiku, si pengkhianat itu, masih tidur di apartemen selama aku tidak di sana, atau sedang keluyuran entah ke mana? Satu detik. Dua detik. Rekaman tersambung. Lalu, duniaku terasa berhenti berputar. Tubuhku yang gemetar hebat, membuat ponselku terlepas dari genggaman dan jatuh menghantam lantai. Napasku tercekat. Dadaku seperti diremas dari dalam. Tanpa sadar, air mataku menetes tanpa bisa kutahan. Layar ponselku menampilkan kegiatan panas yang dilakukan suamiku dan Desy. Mereka bercinta penuh gairah. "Enggak... Enggak mungkin...." Suaraku keluar lirih dari bibirku, tubuhku sudah tak kuat berdiri. Aku jatuh berlutut, memegangi dadaku yang terasa perih tak tertahankan. Rasanya seperti mati dalam keadaan hidup. Aku menatap layar ponsel yang masih menyala, seolah berharap semua itu cuma mimpi buruk. Tapi rekaman terus berputar, memperlihatkan Desy yang dengan sadar menggoda suamiku. Dia tersenyum. Dia menikmati. Aku menjerit. Menangis sekeras mungkin, sampai tenggorokanku perih. Tanganku memukul-mukul kepalaku sendiri, berusaha menghentikan rasa sakit yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku benar-benar bodoh. Perlahan aku bangkit dari lantai, menuju kamar mandi. Aku menatap wajahku yang lusuh di cermin kamar mandi. Mataku sembab, kulitku pucat. Aku membasuh wajahku berulang kali, berharap air dingin bisa meredakan amarah dan perih di dadaku. Tapi tidak. Rasa sesak itu tetap ada. Aku meraih jaket, lalu keluar dari kamar tanpa tujuan. Hanya ingin menjauh dari semuanya. Lorong hotel begitu sepi, hanya terdengar suara langkah kakiku sendiri. Hingga tiba-tiba, dari ujung lorong, aku melihat Leon berjalan dengan langkah agak oleng. Aku menunduk, berusaha melewatinya diam-diam. Tapi baru dua langkah, lenganku sudah ditarik. Leon memelukku dari belakang, hangat tubuhnya langsung menyergapku. "Kenapa wajahmu murung, hm?" bisiknya pelan, napasnya beraroma alkohol. Aku diam. Bahkan ketika ia menenggelamkan wajahnya di bahuku. "Lia... Kamu mau ke mana, malam-malam begini?" suaranya berat, nyaris seperti gumaman. Aku menutup mata. Semua rasa sakit, kecewa, dan amarah bercampur jadi satu. Mungkin aku memang sudah gila malam ini. "Leon," kataku lirih, "Bawa aku ke kamarmu. Aku kedinginan." Bersambung...Desy mendadak panik. Ia buru-buru memeriksa ponselnya dan terkejut dengan apa yang dilihatnya."Aduh, aku udah kenyang nih... Aku balik duluan ya," pamitnya terburu-buru.Tanpa menunggu reaksi dari Leon dan Lia, Desy langsung beranjak pergi.Begitu sampai di mejanya, Desy meraih tablet yang tadi lupa ia bawa.Di saat bersamaan, telinganya menangkap suara para pegawai yang sedang membicarakan akun gosip yang menyebar berita miring.Mereka membicarakan akun yang Desy buat.Desy makin panik. Ia bergegas menuju kamar mandi dengan membawa tabletnya.Di dalam salah satu bilik, Desy mencoba masuk ke dalam akun tersebut dan menghapus semua postingan yang bukan tulisannya."Ada yang mengakses tabletku... Tapi, siapa? Orang kantor?" batinnya, kalut.Rasa takut mulai menguasainya.Desy khawatir dilaporkan ke polisi karena tuduhan pencemaran nama baik.Dengan tangan gemetar, Desy menonaktifkan aku
Aku terkekeh pelan. Mana mungkin Leon adalah pemilik rumah sakit swasta terbesar di kota ini? Dasar aneh.Tawa kecilku meredup, berganti dengan helaan napas panjang.Aku lelah.Akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang terjadi, membuat kepalaku terasa penuh. Mendengar napasku yang berat, Leon menatapku dengan wajah yang tampak khawatir."Kalau kamu capek, kamu bisa bersandar di bahuku," katanya lembut."Aku akan selalu ada untukmu," imbuhnya, suaranya terdengar tulus. Aku menatapnya dan tersenyum samar. "Terima kasih, Leon. Kata-katamu manis sekali," jawabku pelan.Aku... Benar-benar menyandarkan kepalaku pada bahunya. Rasanya, sangat nyaman. ***Beberapa jam berlalu. Operasi ibuku akhirnya selesai, dan beliau dipindahkan ke ruang rawat VIP.Aku tersenyum senang ketika ibuku perlahan membuka matanya."Nduk, suamimu mana? Kok kamu sendirian?" tanya Ibu dengan suara lemah dan s
Leon menggendongku tanpa berkata apa-apa, langkahnya mantap namun terasa lembut.Ia membawaku ke kamarnya, yang ternyata berada di lantai berbeda dari kamarku.Begitu pintu kamarnya terbuka, aroma maskulin dan hangat langsung menyambutku.Ruangan itu luas, dengan pencahayaan redup dan sentuhan elegan di setiap sudutnya.Leon menurunkanku perlahan di atas sofa empuk berwarna krem, lalu duduk di seberangku sambil menatapku lekat."Lia, kalau kamu masuk ke dalam sini, berarti kamu tidak bisa keluar begitu saja," lontarnya, sembari melepas satu per satu kancing kemejanya, memperlihatkan dada bidangnya yang tampak sempurna di bawah cahaya lampu.Aku tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupan yang sebenarnya mulai merayapi dadaku.Perlahan aku berdiri, melangkah mendekatinya, lalu duduk di pangkuannya.Dengan tatapan genit, aku menyentuh dagu Leon dan memaksanya menatapku.Tatapan Leon sempat berubah.
Aku tertawa kecil mendengar ancaman Mas Yuan. Dia nggak sadar diri ya? Seharusnya aku yang ngomong gitu.Aku menatapnya tajam, bibirku tersenyum samar."Gimana kalau suami yang selingkuh? Apa yang harus aku lakukan?" cetusku, sengaja memancing.Mas Yuan berhenti menyuap makanan ke dalam mulutnya. Gerakannya beku, rahangnya menegang.Aku bisa melihat urat di pelipisnya menonjol.Kenapa? Kagetnya?"Paman Yuan nggak mungkin selingkuh!" sahut Desy. "Aku percaya sama Paman Yuan," imbuhnya meyakinkanku.Aku tergelitik. Wajar jika Desy membela Mas Yuan. Dia tidak tahu, sebobrok apa pamannya.Aku yang tak ingin membahasnya lebih lanjut, lebih memilih topik lain."Mas Yuan, sebelum aku berangkat ke Singapura, boleh nggak aku mengunjungi rumah kita yang sedang dibangun," pintaku, dengan suara yang sengaja aku buat semanja mungkin."Buat apa kamu ke sana? Bukakah kamu sudah melihatnya dari foto yang aku k
Aku pulang ke apartemen dengan perasaan gundah gulana.Aku memberikan hatiku, tapi Mas Yuan mengambil jiwaku. Sungguh manusia yang kejam. Seperti iblis. Mataku melirik sesuatu di atas nakas. Itu... Ponsel milik suamiku yang sudah tidak pernah ia pakai. Biasanya aku tidak tertarik, tapi kali ini tanganku gatal. Aku meraih ponsel tersebut, dan menyalakannya. Galeri di ponsel menggunakan kata sandi. Sungguh mencurigakan. Mungkinkah... Ponsel lawas ini sengaja diletakkan di tempat terbuka, supaya aku tak mengeceknya? Aku harus mengetahui isi galerinya! Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu, atau bukti pengkhianatan suamiku. Aku pergi keluar, menuju servis barang elektronik yang kebetulan letaknya tak jauh dari gedung apartemen. Sampainya di tempat yang aku tuju, aku meminta tukang servis membobol sandi galeri. Dan dalam sekejab, galeri bisa dibuka. Tubuhku gemetar saat aku memutar salah satu video d
Aku menggelengkan kepala, heran dengan pemikiran Intan. Kami berdua duduk bersama setelah mengambil nampan berisi makanan. "Intan, anakmu sekarang sudah kelas berapa, ya? Terakhir aku bertemu dengannya... Sekitar dua tahun lalu," tanyaku, teringat anak semata wayang Intan.Intan memasukkn sesuap nasi ke dalam mulutnya, lalu menjawab, "Anakku tinggal di asrama, sesuai keinginannya."Aku tidak menyangka, Intan akhirnya memperbolehkan anaknya dididik orang lain. Kalau aku jadi Intan, aku mungkin tak akan merelakan anakku dibawa jauh dariku.Setiap orang memiliki prinsip masing-masing. Aku tidak boleh membanding-bandingkan hidupku dengan Intan."Oh ya, gimana rumahmu yang di Prima Cube? Pasti sudah selesai dibangun dong...." Intan menyenggol pundakku, alisnya naik-turun saat memandangku. "Sudah pindah rumah?"Aku menghembuskan napas berat. "Boro-boro pindah rumah. Rumahku yang di Prima Cube saja belum rampung digarap," jelasku.Keterkejutan Intan membuatku tersentak. Ada apa dengannya?