Aku pulang ke apartemen dengan perasaan gundah gulana.
Aku memberikan hatiku, tapi Mas Yuan mengambil jiwaku. Sungguh manusia yang kejam. Seperti iblis. Mataku melirik sesuatu di atas nakas. Itu... Ponsel milik suamiku yang sudah tidak pernah ia pakai. Biasanya aku tidak tertarik, tapi kali ini tanganku gatal. Aku meraih ponsel tersebut, dan menyalakannya. Galeri di ponsel menggunakan kata sandi. Sungguh mencurigakan. Mungkinkah... Ponsel lawas ini sengaja diletakkan di tempat terbuka, supaya aku tak mengeceknya? Aku harus mengetahui isi galerinya! Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu, atau bukti pengkhianatan suamiku. Aku pergi keluar, menuju servis barang elektronik yang kebetulan letaknya tak jauh dari gedung apartemen. Sampainya di tempat yang aku tuju, aku meminta tukang servis membobol sandi galeri. Dan dalam sekejab, galeri bisa dibuka. Tubuhku gemetar saat aku memutar salah satu video di dalam galeri. Bahkan saking kagetnya, aku sampai terduduk di atas lantai kotor. Tukang servis khawatir dan membantuku duduk di kursi. Tukang servis itu merebut ponsel dari tanganku, lalu mematikan video yang memutarkan adegan panas antara suamiku dan wanita lain. "Mas, apakah Mas punya HP yang mirip banget sama HP ini?" tanyaku. Kebetulan, pihak servis juga menjual ponsel yang sama persis dengan ponsel suamiku. Tanpa ragu aku membelinya. Ponsel asli berada di tanganku, sedangkan duplikatnya aku kembalikan pada tempatnya. Aku benar-benar kecewa, dan terluka akibat kelakuan bejat suamiku. Dia... Tidur dengan berbagai macam wanita. Merekamnya, lalu menjadikannya koleksi. Hobi yang sangat rendahan untuk oramg berintelektual tinggi macam Mas Yuan. Bagaimana jika orang tua Mas Yuan tahu? Mereka selama ini selalu menghina dan menindasku. Kalau aku tunjukkan salah satu video menjijikkan suamiku bersama pe la cur, mungkin mereka akan terkena serangan jantung, lalu meninggal. Aku tidak mungkin melakukan itu. Aku bukan orang kejam. Jadi, aku memutuskan untuk pura-pura tak tahu. Aku ingin Mas Yuan sendiri yang mengaku. *** Di malam hari, ketika aku sedang santai menonton televisi, aku dihubungi nomor tidak dikenal, yang mengajakku bertemu. Tentu saja, sebagai orang yang memiliki akal, aku tak mungkin mengiyakan. Akan tetapi, nomor tersebut terus mengirim pesan, dan membuatku kesal. Akhirnya aku memblokirnya. Tak lama kemudian, pintu apartemen yang terbuka, mengejutkanku. Aku langsung bernapas lega saat melihat suamiku dan Desy masuk ke dalam secara bersamaan. Aku mengernyit saat melihat Desy. Tumben dia datang tengah malam begini. "Kamu belum tidur?" tanya suamiku agak terkejut. Nada suaranya terdengar lembut, tapi matanya menunjukkan keheranan. Mungkin ia tak menyangka aku masih terjaga di jam segini. Melihat wajah suamiku, membuat perutku mual. Aku teringat semua kebusukan yang selama ini ia sembunyikan. Dengan napas tertahan, aku berusaha bersikap seperti seolah tidak tahu apa pun mengenai kelakuan NAJIS-nya. Aku berjalan menghampirinya, mengambil tas di tangannya dengan lembut, lalu mempersilakannya masuk ke kamar. Setelah Mas Yuan menghilang di balik pintu, aku menatap Desy dan segera mengajaknya berbincang agar suasana tak terasa canggung. Aku duduk di ruang tamu bersama Desy. Dia tampak santai sambil memainkan ponselnya. Dengan suara lembut, aku bertanya, "Desy, ada apa? Kenapa kamu tidak pulang ke rumahmu? Nanti kalau ibumu khawatir gimana?" Desy meletakkan ponselnya di meja, ia menghela napas panjang sebelum menatapku. "Ibuku tidak mungkin khawatir! Lagian, tadi aku dijemput Paman Yuan kok, Mbak," jawabnya datar, tapi ada nada aneh dalam suaranya, antara jengkel dan pasrah. Aku tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan untuk mengelus kepala keponakan suamiku itu. "Kamu berantem lagi sama ibumu?" tanyaku pelan, mencoba menebak apa yang membuat wajahnya terlihat kesal. "Begitulah...." kata Desy. Ia menghadapku, lalu menggenggam kedua tanganku erat. "Mbak... Aku boleh nggak tinggal di sini?" pintanya, penuh harap. "Jarak antara rumah dan kantor sangat jauh. Aku juga tidak berani tinggal sendirian." Desy menatapku dengan mata memelas, seolah takut aku akan menolak. "Memangnya kamu sudah ngomong sama ibumu?" tanyaku memastikan. Aku dan ibu Desy memiliki hubungan yang kurang baik. Tentu aku enggan berinteraksi dengannya. Desy mengangguk mantap. Ia mengatakan bahwa ia sudah membicarakan hal ini dengan ibunya, dan ibunya memberinya izin, asalkan diawasi oleh suamiku. Aku menghela napas lega. "Kalau begitu, kamu boleh tinggal di sini," ujarku pelan. Kebetulan masih ada satu kamar kosong di apartemen sederhanaku. Desy bisa menempatinya. Dengan riang gembira, Desy memelukku erat sambil terus mengucapkan terima kasih. Aku terkekeh kecil, menggelengkan kepala melihat tingkah manjanya yang seperti anak kecil. Kadang, aku sampai lupa kalau Desy sudah dewasa. Di mataku, ia masih gadis polos yang dulu sering menempel padaku setiap kali datang ke rumah. Aku menepuk pelan pundak Desy, lalu memintanya untuk beristirahat. Desy tersenyum kecil, lalu beranjak menuju kamar. Aku menyandarkan kepala ke sandaran sofa, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Bayangan tentang suamiku yang bercinta bersama wanita lain, terus menari di pikiranku. Tanganku refleks menekan dadaku yang terasa sesak. Jadi, begini rasanya dikhianati. Tak ada darah, tak ada luka yang terlihat, tapi sakitnya... Luar biasa dalam. *** Besok paginya, aku berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Di mana langit masih gelap, udara masih terasa dingin, dan jalanan yang sepi. Aku sengaja pergi sebelum suamiku bangun. Lebih baik begini, daripada harus pura-pura kuat di hadapan orang yang sudah menghancurkanku. Baru saja aku melangkah keluar dari mobil, Leon sudah muncul di hadapanku. Aku menatapnya heran. Kenapa pegawai magang sepertinya datang sepagi ini? Apa yang dia lakukan di sini sebelum jam kerja dimulai? "Mbak Lia, kenapa pesanku tidak dibalas? Nomorku, Mbak blokir ya?" tanya Leon, suaranya terdengar setengah bercanda. Awalnya aku ingin mengacuhkan Leon, namun sekarang aku malah memberikan atensiku padanya. "Jadi, nomor tidak dikenal yang tadi malam menggangguku, itu kamu?" lontarku, sedikit terkejut. Leon tersenyum, lalu menjawab santai, "Ah, maaf. Aku lupa memperkenalkan diri. Soalnya, aku cuma ingin menggodamu." Ia mencondongkan tubuh sedikit, lalu ujung jarinya menyentuh pipiku pelan. Sambik mendesah kesal, aku mundur satu langkah. Kebiasaan Leon yang doyan menyentuhku sesuka hati, benar-benar membuatku jengkel. Aku mengembuskan napas panjang, mencoba menahan emosi yang hampir meledak. "Ada apa? Kenapa kamu mengirim pesan?" tanyaku, berusaha mengembalikan moodku. "Aku ingin menemanimu yang kesepian," jawab Leon tersenyum ramah. "Siapa juga yang kesepian?" gerutuku, berbalik dan lanjut berjalan menuju gedung kantor. Namun, perkataan Leon membuatku menghentikan langkahku. "Mbak Lia kesepian... Karena suami Mbak kemarin sedang bersama wanita lain," ujar Leon. Udara seketika terasa berat. Aku bisa merasakan detak jantungku memukul pelipis ketika mendengar kata-katanya. Aku kembali mendekati Leon. Dengan mata berkaca-kaca, aku meminta Leon supaya tak sembarangan ngoceh. Untung di sini hanya ada kita berdua. Gimana kalau orang lain ikut mendengar? Bisa-bisa nanti aku menjadi bahan gosip sekantor. Akan tetapi, Leon malah tersenyum miring. Tangannya dengan sigap menarik pinggangku hingga membuatku terjatuh ke pelukannya. Aku terkejut, tubuhku kaku. Panas dari kulitnya terasa di lenganku, membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku yang panik, berusaha melepaskan diri. Tapi, Leon menahanku. "Leon... Lepaskan aku!" perintahku, menatapnya sengit, sambil berusaha menepis tangannya yang masih mencengkeramku. "Mbak Lia ini... Terlalu berharga untuk pria sampah macam suami Mbak," tegas Leon, semakin berani menepis jarak di antara kami. "Mending Mbak sama aku. Aku laki-laki paling setia di muka bumi ini," imbuhnya, membanggakan dirinya sendiri. Jujur, aku hampir terlena. Leon sangat tampan, wangi, dan punya pesona yang susah diabaikan. Tapi semua itu langsung runtuh ketika ia menunjukkan sisi sombongnya. Aku memutar kedua bola mataku, berusaha terlihat tenang meski sangat ingin menamparnya. Kedua tanganku kini bertumpu pada dada bidang Leon. Dengan suara yang aku paksakan lembut, aku memintanya melepaskanku. "Nggak enak kalau dilihat orang lain. Nanti kita bisa kena masalah," lanjutku, berharap rayuan kecil itu cukup untuk membuatnya mundur. Benar saja, Leon langsung melepaskanku. Ia menatapku dengan senyum tipis yang sulit kutebak artinya. Sebelum berbalik meninggalkanku, Leon sempat berkata pelan, "Aku tunggu jandamu, Mbak." Dasar bocah sinting Beraninya dia bicara seperti itu! Astaga... Aku ini atasannya, bukan teman nongkrongnya! Aku benar-benar sebal, sampai rasanya mau melempar sesuatu ke arah Leon. Tapi aku tidak mungkin melakukan itu. Aku harus menjaga image-ku yang kalem. Jadi, aku memilih buru-buru melangkah menuju tempat kerjaku. Saat sudah berada di mejaku, aku duduk di kursi, menyalakan komputer, lalu mulai mengecek email yang masuk. *** Siangnya, aku pergi ke kantin untuk makan siang. Hari ini aku sedikit lebih santai karena Kevin tidak masuk kerja. Saat sedang menikmati waktu sendirian, Desy tiba-tiba muncul dan duduk di depanku tanpa permisi. Aku menatapnya sekilas, lalu tersenyum ramah. "Mbak Lia tadi berangkat jam berapa? Paman Yuan nyariin, sampai uring-uringan. Soalnya, Mbak pergi tanpa menyiapkan pakaian kerja Paman," kata Desy, ia seperti anak kecil yang sedang mengadu. Aku tersenyum tipis sambil menyuap nasi ke dalam mulutku. Setiap hari aku bangun jam tiga pagi. Menyiapkan sarapan, meski aku tak pandai memasak, menyetrika pakaian, bahkan memastikan sepatunya kinclong sebelum suamiku keluar rumah. Aku tergelitik mengingat kebiasaan yang sudah aku anggap seperti ritual. Tapi tadi pagi... Aku melanggar semuanya. Entah kenapa, semua terasa sia-sia. Mungkin karena pengkhianatan yang membuatku berhenti berjuang. Desy menyentuh tanganku. "Mbak Lia kok bengong? Mbak lagi ada masalah sama Paman Yuan?" tanya Desy, terlihat khawatir. Aku buru-buru menggeleng. "Masalah apa? Hubungan kami baik-baik saja," jawabku, berbohong. Aku tak mungkin memberitahu Desy mengenai masalah rumah tanggaku. Desy masih muda, dia tidak perlu ikut campur dalam urusan orang dewasa. Terlebih, jika ibu Desy tahu kalau Mas Yuan selingkuh, hubungan keluarga mereka akan renggang. Aku tidak mau itu terjadi. Setidaknya, jangan sekarang. "Oh... Kirain ada masalah," ucap Desy sambil bernapas lega. "Em... Mbak Lia dua hari lagi ke Singapura ya? Jangan lupa bawa oleh-oleh ya," pintanya, dengan mata berbinar penuh harap. "Kamu mau oleh-oleh apa? Kalau harganya cocok di kantong, pasti aku beliin," balasku dengan senyum hangat. Sejak Desy kecil, aku memang sering menuruti keinginannya, membelikannya boneka, tas lucu, atau kue kesukaannya. Tak jarang, aku juga memberikan barang-barang mahalku padanya. "Aku pengen tas lucu yang lagi ngetren, Mbak! Harganya nggak mahal kok. Sekitar lima jutaan aja," kata Desy riang. Aku mengangguk, menyanggupi. "Nanti kamu kirim gambarnya, ya. Biar gampang belinya," ujarku, tersenyum melihat antusiasnya. "Wah... Enaknya, punya Bibi kayak Mbak Lia. Udah cantik, pintar, baik lagi! Duh, senangnya!" seru Desy sambil tertawa kecil. Mendengar pujian polos darinya, sedikit menghangatkan hatiku. Aku pun ikut tersenyum. "Mbak Lia, kayaknya Mbak dekat ya sama Mas Leon?" cetus Desy tiba-tiba. Sendok di tanganku nyaris terjatuh. Aku menatap Desy cepat. "Dekat gimana maksudmu?" tanyaku, mengernyitkan dahi. Desy tersenyum jahil. "Hehehe... Keliatan aja. Mas Leon tuh beda kalau ngomong sama Mbak." "Jangan ngaco! Leon emang gitu orangnya, sok cool, padahal ceriwis. Dia itu pengganggu. Duh!" cerocosku. Desy memasang pose berpikir. "Apa mungkin, gara-gara Mbak itu atasannya Mas Leon ya?" Aku langsung mengiyakan tanpa berpikir. "Kalau gitu, Mbak bakal bantuin aku dapetin Mas Leon, 'kan?" pinta Desy. Sudah aku duga, Desy pasti menyukai Leon. Baiklah... Aku akan membantunya mendapatkan Leon. Lagipula, kalau mereka bersama, Leon tidak akan mengisengiku lagi. Aku bisa menjalani kehidupanku di kantor dengan tenang. "Aku bakal bantu kamu. Tapi, aku nggak tahu, Leon orang baik atau tidak. Kamu yakin?" tanyaku, memastikan. "Aku nggak peduli, mau Mas Leon baik atau kriminal. Aku menginginkannya, Mbak!" tegas Desy, membuatku terdiam seketika. Buseet... Anak jaman sekarang nggak peduli bibit, bebet, sama bobot kah? Tapi, mereka masih muda. Anggap saja, ini hanya sebatas bersenang-senang. "Dasar anak muda," gumamku, menggelengkan kepala. "Mas Leon ganteng banget... Keren juga. Kalau teman-temanku tahu aku punya pacar kayak Mas Leon. Pasti mereka bakal iri. Desy berbicara tanpa henti. Jadi Desy ingin memamerkan Leon pada teman-temannya ya? Haduh... Tapi Leon memang pantas untuk dipamerkan. Ngomong-ngomong, Leon di mana ya? Aku tidak melihatnya dari tadi. Biasanya Leon selalu mengekoriku, seperti anak bebek. Eh? Kenapa juga aku mencarinya? Tidak penting. *** Setelah makan siang, aku tidak stay di kantor, melainkan pulang. Aku sengaja memasang CCTV di seluruh ruangan di apartemen yang aku sewa. Aku... Hanya ingin tahu, apakah suamiku juga membawa wanita lain di tempat tinggal kami. Bukti di ponsel terbengkalai suamiku tidaklah cukup. Aku harus mengumpulkan sebanyak-banyaknya, supaya keluarga suamiku tidak menghakimiku, dan membela anak mereka lagi. Selama ini, karena aku tak kunjung hamil, aku selalu ditekan habis-habisan oleh keluarga suamiku. Mereka memanggilku wanita mandul. Padahal, aku lah yang membantu finansial keluarga suamiku, saat perusahaan kontruksi mereka mengalami masa sulit. Aku menguras seluruh tabunganku untuk mereka. Balasan mereka terlalu kejam. "Mbak, semua CCTV sudah kami pasang," ucap petugas. "Terima kasih, ya. Bayarannya sudah aku transfer," balasku, sopan. Mereka menyerahkan ponselku, dan mengajariku cara melihat rekaman CCTV melalui ponsel. Jadi, aku bisa memantau kapan pun aku mau, dan di mana pun aku berada. Aku kembali ke kantor, setelah urusanku selesai. *** Saat sudah di kantor, aku dihampiri Intan yang menyerahkan paspor dan beberapa berkas penting padaku. Intan... Kalau bukan karnamu, aku tak akan pernah mengetahui betapa busuk suamiku. Kamu adalah temanku yang terbaik, penyelamatku. Intan menarik tangannya yang aku genggam. Dia membuatku tersentak, dan tersadar dari lamunanku. "Kamu apa-apaan, sih? Ngapain ngelus tanganku segala?" sungutnya, melihatku dengan tatapan heran. "Eh? aduh... Maaf, aku gak sadar," ucapku, tertawa canggung. "Mangkanya, jangan ngelamun mulu!" tegurnya. "Mending godain Leon sana. Lumayan... Ada yang segar-segar," goda Intan, alisnya naik-turun. Aku mendelik ke arahnya. "Sinting," gumamku. Intan merangkul pundakku, lalu berbisik, "Hey, burung Leon panjang, besar, dan berurat loh." Aku menoleh sengit ke arahnya. "Kamu gila, ya? Emangnya kamu pernah lihat?" sungutku, setengah tak percaya. Bisa-bisanya Intan yang selama ini kelihatan alim, ngomong kayak gitu. Sungguh membagongkan. Intan tertawa nyaring, sampai beberapa karyawan yang lagi sibuk kerja menoleh penasaran. Aku langsung menegurnya pelan, "Eh, jangan berisik, ini kantor, bukan pasar." Intan mangguk-mangguk. "Yaudah, aku pulang dulu. Mau beli baju tidur, buat tidur di hotel bintang lima di Singapura," pamitnya. "Beliin aku juga, dong. Besok uangnya aku ganti," pintaku. Intan mengacungkan jari jempol, sebagai tanda jika ia setuju membelikanku baju tidur. Saat aku hendak mengirim dokumen ke ruangan Direktur, aku tak sengaja melihat Desy yang berusaha menarik perhatian Leon, namun Leon tak menghiraukan. Aku yang geregetan, menghampiri mereka berdua. "Desy, ada apa?" tanyaku. Berdiri di samping Leon. "Ini loh, Mbak... Mas Leon nggak mau ngajarin aku menata dokumen. Aku jadi bungung dari tadi," adu Desy, cemberut. Leon menoleh ke arahku, wajahnya datar tapi tajam. "Hal sepele aja dia nggak ngerti," gumamnya pelan, namun cukup keras untuk kudengar. Lalu ia menuding ke arah Desy dengan jempolnya. "Pecat aja nggak sih?" Desy menatapku seperti anak kecil yang baru saja dimarahi gurunya. "Mbak... Jangan pecat aku. Hmph... Aku janji, nggak bakal gangguin Mas Leon lagi," ucap Desy, duduk di kursinya. Melihat Desy sedih, aku jadi tidak tega. *** Malamnya, ketika makan malam bersama suamiku dan Desy, tiba-tiba Desy berkata bahwa aku sedang dekat dengan seorang pria di kantor. Mas Yuan menatapku, alisnya berkerut dan bibirnya menegas. "Benar itu? Kamu punya laki-laki lain di belakangku?" tanyanya, sedikit menyudutkanku. Kenapa reaksinya berlebihan begitu? Padahal, selama ini ia yang main belakang. Aku meletakkan peralatan makanku. Dengan santai aku menjawab, "Laki-laki mana? Aku ini, istri paling setia." Aku menyentuh jemari suamiku, berusaha tersenyum meski dadaku terasa sesak. "Kita sudah mengenal selama lebih dari sepuluh tahun. Selama itu juga, aku tidak pernah bermain di belakangmu." Kata-kataku meluncur pelan, tapi ada getir yang kutahan di balik nada tenangku. Aku berbalik menatap Desy, aku agak kecewa dengannya. "Kenapa kamu asal berbicara?" tanyaku, menuntut penjelasan. Desy terlihat panik, gelagapan di kursinya, dan segera meminta maaf dengan wajah memelas. "Kalau kamu berani menyelingkuhiku, aku tidak akan mengampunimu, Lia." Bersambung...Desy mendadak panik. Ia buru-buru memeriksa ponselnya dan terkejut dengan apa yang dilihatnya."Aduh, aku udah kenyang nih... Aku balik duluan ya," pamitnya terburu-buru.Tanpa menunggu reaksi dari Leon dan Lia, Desy langsung beranjak pergi.Begitu sampai di mejanya, Desy meraih tablet yang tadi lupa ia bawa.Di saat bersamaan, telinganya menangkap suara para pegawai yang sedang membicarakan akun gosip yang menyebar berita miring.Mereka membicarakan akun yang Desy buat.Desy makin panik. Ia bergegas menuju kamar mandi dengan membawa tabletnya.Di dalam salah satu bilik, Desy mencoba masuk ke dalam akun tersebut dan menghapus semua postingan yang bukan tulisannya."Ada yang mengakses tabletku... Tapi, siapa? Orang kantor?" batinnya, kalut.Rasa takut mulai menguasainya.Desy khawatir dilaporkan ke polisi karena tuduhan pencemaran nama baik.Dengan tangan gemetar, Desy menonaktifkan aku
Aku terkekeh pelan. Mana mungkin Leon adalah pemilik rumah sakit swasta terbesar di kota ini? Dasar aneh.Tawa kecilku meredup, berganti dengan helaan napas panjang.Aku lelah.Akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang terjadi, membuat kepalaku terasa penuh. Mendengar napasku yang berat, Leon menatapku dengan wajah yang tampak khawatir."Kalau kamu capek, kamu bisa bersandar di bahuku," katanya lembut."Aku akan selalu ada untukmu," imbuhnya, suaranya terdengar tulus. Aku menatapnya dan tersenyum samar. "Terima kasih, Leon. Kata-katamu manis sekali," jawabku pelan.Aku... Benar-benar menyandarkan kepalaku pada bahunya. Rasanya, sangat nyaman. ***Beberapa jam berlalu. Operasi ibuku akhirnya selesai, dan beliau dipindahkan ke ruang rawat VIP.Aku tersenyum senang ketika ibuku perlahan membuka matanya."Nduk, suamimu mana? Kok kamu sendirian?" tanya Ibu dengan suara lemah dan s
Leon menggendongku tanpa berkata apa-apa, langkahnya mantap namun terasa lembut.Ia membawaku ke kamarnya, yang ternyata berada di lantai berbeda dari kamarku.Begitu pintu kamarnya terbuka, aroma maskulin dan hangat langsung menyambutku.Ruangan itu luas, dengan pencahayaan redup dan sentuhan elegan di setiap sudutnya.Leon menurunkanku perlahan di atas sofa empuk berwarna krem, lalu duduk di seberangku sambil menatapku lekat."Lia, kalau kamu masuk ke dalam sini, berarti kamu tidak bisa keluar begitu saja," lontarnya, sembari melepas satu per satu kancing kemejanya, memperlihatkan dada bidangnya yang tampak sempurna di bawah cahaya lampu.Aku tertawa kecil, mencoba menutupi kegugupan yang sebenarnya mulai merayapi dadaku.Perlahan aku berdiri, melangkah mendekatinya, lalu duduk di pangkuannya.Dengan tatapan genit, aku menyentuh dagu Leon dan memaksanya menatapku.Tatapan Leon sempat berubah.
Aku tertawa kecil mendengar ancaman Mas Yuan. Dia nggak sadar diri ya? Seharusnya aku yang ngomong gitu.Aku menatapnya tajam, bibirku tersenyum samar."Gimana kalau suami yang selingkuh? Apa yang harus aku lakukan?" cetusku, sengaja memancing.Mas Yuan berhenti menyuap makanan ke dalam mulutnya. Gerakannya beku, rahangnya menegang.Aku bisa melihat urat di pelipisnya menonjol.Kenapa? Kagetnya?"Paman Yuan nggak mungkin selingkuh!" sahut Desy. "Aku percaya sama Paman Yuan," imbuhnya meyakinkanku.Aku tergelitik. Wajar jika Desy membela Mas Yuan. Dia tidak tahu, sebobrok apa pamannya.Aku yang tak ingin membahasnya lebih lanjut, lebih memilih topik lain."Mas Yuan, sebelum aku berangkat ke Singapura, boleh nggak aku mengunjungi rumah kita yang sedang dibangun," pintaku, dengan suara yang sengaja aku buat semanja mungkin."Buat apa kamu ke sana? Bukakah kamu sudah melihatnya dari foto yang aku k
Aku pulang ke apartemen dengan perasaan gundah gulana.Aku memberikan hatiku, tapi Mas Yuan mengambil jiwaku. Sungguh manusia yang kejam. Seperti iblis. Mataku melirik sesuatu di atas nakas. Itu... Ponsel milik suamiku yang sudah tidak pernah ia pakai. Biasanya aku tidak tertarik, tapi kali ini tanganku gatal. Aku meraih ponsel tersebut, dan menyalakannya. Galeri di ponsel menggunakan kata sandi. Sungguh mencurigakan. Mungkinkah... Ponsel lawas ini sengaja diletakkan di tempat terbuka, supaya aku tak mengeceknya? Aku harus mengetahui isi galerinya! Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu, atau bukti pengkhianatan suamiku. Aku pergi keluar, menuju servis barang elektronik yang kebetulan letaknya tak jauh dari gedung apartemen. Sampainya di tempat yang aku tuju, aku meminta tukang servis membobol sandi galeri. Dan dalam sekejab, galeri bisa dibuka. Tubuhku gemetar saat aku memutar salah satu video d
Aku menggelengkan kepala, heran dengan pemikiran Intan. Kami berdua duduk bersama setelah mengambil nampan berisi makanan. "Intan, anakmu sekarang sudah kelas berapa, ya? Terakhir aku bertemu dengannya... Sekitar dua tahun lalu," tanyaku, teringat anak semata wayang Intan.Intan memasukkn sesuap nasi ke dalam mulutnya, lalu menjawab, "Anakku tinggal di asrama, sesuai keinginannya."Aku tidak menyangka, Intan akhirnya memperbolehkan anaknya dididik orang lain. Kalau aku jadi Intan, aku mungkin tak akan merelakan anakku dibawa jauh dariku.Setiap orang memiliki prinsip masing-masing. Aku tidak boleh membanding-bandingkan hidupku dengan Intan."Oh ya, gimana rumahmu yang di Prima Cube? Pasti sudah selesai dibangun dong...." Intan menyenggol pundakku, alisnya naik-turun saat memandangku. "Sudah pindah rumah?"Aku menghembuskan napas berat. "Boro-boro pindah rumah. Rumahku yang di Prima Cube saja belum rampung digarap," jelasku.Keterkejutan Intan membuatku tersentak. Ada apa dengannya?