LOGIN“Akhirnya, sekian lama kita tidak makan malam bersama, ya.”
Maria mengatakan itu dengan senyum manis yang menyimpan sindiran dan tudingan. Ia merasa sedikit kemenangan saat ini. “Wanita itu benar-benar membuatmu lupa rumah,” tambahnya sambil mendengus kecil. Seperti biasa, Leon tidak menjawab. Hanya duduk diam di kursinya, menatap ibunya dengan sikap datar seperti kaca tak berperasaan. Maria merasa puas. Paling tidak, ancamannya kemarin berhasil membuat putranya pulang. Setelah berminggu-minggu Leon tak pernah menyentuh meja makan keluarga, malam ini ia ada di sini. Sampai Leon akhirnya membuka suara yang dingin dan singkat, tapi cukup membuat semuanya berhenti bernapas. “Kita akan makan malam bersama dia sekarang.” Alis Maria langsung terangkat tinggi. “S-siapa? Maksudmu—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, seseorang masuk ke ruang makan. Shenina. Dengan langkah elegan dan senyum sopan yang sudah terlatih, ia memberi salam pada semua yang hadir di meja makan. “Selamat malam, Nyonya Karlsson.” Maria tidak menjawab. Matanya begitu tajam hingga bisa mengiris kulit. Shenina beralih pada pria di ujung meja. “Selamat malam, Tuan Bronze.” Thomas membalas dengan anggukan lambat. Pandangan matanya menelusuri wajah Shenina terlalu lama. Ada sesuatu di tatapan Thomas, seperti pengakuan samar. Seolah otaknya berkata, “aku mengenal wajah itu.“ Tapi hatinya menolak mengingat. Lalu Shenina menatap pria di ujung meja lainnya. “Selamat malam, Tuan Leon.” Leon mengangguk singkat, tapi matanya menetap pada Shenina terlalu lama untuk seorang bos pada sang asisten. Maria hampir menggertakkan gigi melihat itu. Dan ia akhirnya meledak. “Kenapa dia ada di sini, Leon?” Leon bahkan tidak menoleh. “Dia asistenku. Saat aku butuh, dia harus ada. Kurasa kau lebih paham dari siapapun tentang itu, Mama.” Sudut bibir Shenina terangkat sedikit. Sindiran itu begitu jelas: kau dulu juga asisten sebelum menikah dengan Thomas. Maria merona merah karena marah. “Tapi ini makan malam keluarga! Ini bukan waktu kerja!” Leon tetap tak gentar. “Setiap detik adalah pekerjaan, tidak memandang tempat dan kegiatan.” Maria ingin membalas, tapi tangan Thomas menyentuh lengannya dengan kencang pertanda agar diam. “Maria, sudahlah,” ucap Thomas pelan. “Dia hanya asisten Leon.” Kata ‘hanya’ membuat Maria menoleh cepat ke arah suaminya. Matanya hampir melompat keluar. “Hanya?!” “Perempuan itu sudah ikut fitting gaun pernikahan dengan putraku, Thomas.” “Tidak perlu terlalu menonjol,” bisik Thomas lagi, rendah namun tegas. “Kau sudah mengancam Leon. Itu sudah cukup.” Maria terpaksa diam, tapi amarahnya mendidih sampai ubun-ubun. Shenina nyaris tertawa melihat pertengkaran kecil di meja makan. Drama ini adalah hiburan gratis untuknya. Namun tawanya menghilang begitu matanya menangkap seorang remaja laki-laki di ujung meja. Anak itu makan sambil sesekali melirik Shenina—sekilas, penasaran, lalu kembali fokus ke makanannya. Remaja itu punya campuran wajah Maria dan Thomas. Jelas sekali, dia adalah putra kandung mereka. Dan Shenina merasakan tenggorokannya tercekat. “Seusia dia… aku tidur di lantai panti asuhan.” “Aku menahan lapar sambil menghindari pemukulan.” “Dia punya keluarga yang bahagia ya?” Tangan Shenina mengeras di samping paha. Leon seakan merasakan sesuatu, ia menoleh dan mengetuk kursi di sebelahnya. “Shenina, duduk di sini. Kita makan.” Shenina menyingkirkan emosi yang hampir menyeruak. Ia tersenyum lembut, lalu duduk di sebelah Leon dengan elegan. Dan ia menyapa sang remaja dengan suara lembut. “Selamat malam. Kau pasti Tomy, ya?” Tomy tersentak kecil lalu mengangguk pelan. “Selamat malam… Kak.” Tak sadar, tatapannya ke Shenina penuh rasa ingin tahu. Entah kenapa wajah wanita itu terasa memilukan. Maria melihat interaksi itu dan hampir menjatuhkan sendoknya. Tapi Leon tenang. Dan Thomas berusaha menikmati makan malam mereka sambil memasang wajah berpikir. Shenina tersenyum palsu, mulai makan dengan tenang seolah ia berada di rumah. “Tentu saja, bukankah aku seharusnya menikmati semua ini sejak awal, Ayah?” Matanya bertumpu pada Thomas, cukup lama sehingga membuat istrinya semakin gelisah dan tidak suka pada Shenina. *** Shenina seharusnya masuk ke ruang kerja Leon setelah selesai makan malam bersama mereka. Namun, kakinya berbelok ke pintu lain. Tentu bukan karena ketidaksengajaan. Ia mengetuk sepersekian detik hanya demi formalitas, lalu membuka pintu. Ruang itu sunyi, hanya terdengar denting sendok beradu pelan dengan cangkir. Thomas tengah berdiri di depan meja, menyesap kopi hitam. Aromanya kuat, memenuhi ruangan. Shenina menaikkan sudut bibirnya. Ia tersenyum lembut, begitu kontras dengan niatnya “Maaf, Tuan… seharusnya ini ruang kerja Leon.” Ia mendekat beberapa langkah. “Oh, kopi? Tidak baik untuk jantung, apalagi kalau diminum terlalu sering.” Ucapannya seolah tulus dan hangat, hampir seperti perhatian. Thomas mengangkat wajah. Untuk sepersekian detik, tatapannya kosong. Karena senyum di wajah Shenina. Senyum yang pernah ia lihat dulu di wajah Briana. Shenina, bahkan nama mereka sama. Tapi yang Thomas tahu, Shenina putrinya sudah lama mati karena kecelakaan. Dada Thomas tiba-tiba mencengkeram dari dalam. Shenina memperhatikan perubahan ekspresi itu. “Tuan?” tanyanya pelan. Thomas langsung terhuyung ke depan. Dengan gerakan cepat, Shenina menangkap tubuh pria itu, menopang dada dan punggungnya. Posisi mereka dari luar tampak seperti pelukan intim. “Pelan-pelan, Tuan,” bisiknya, sengaja dibuat lembut sampai terasa menembus kulit. Bisikan itu membuat bulu kuduk Thomas meremang. “Aku… aku tidak apa-apa…” Shenina malah menahan lebih erat. “Tidak apa-apa, saya bantu duduk dulu.” Tangannya menekan pinggang Thomas, memandu tubuh itu menuju sofa. Sentuhannya terlalu dekat dan berani. Thomas, pria berumur dengan semua kedewasaan dan martabatnya, tersentak oleh dorongan naluri yang seharusnya dikubur dalam-dalam. Tatapan samar itu pernah ia lemparkan kepada Maria di awal hubungan mereka. Dan Shenina melihat itu. “Ah… sama saja,” pikirnya. “Lelaki tetaplah lelaki.” Saat itu juga, pintu terbuka keras. “SAYANG!!” Maria berdiri di sana, matanya melebar, wajahnya langsung memanas melihat adegan yang seharusnya tidak pernah dilihat siapa pun: seorang gadis muda memeluk suaminya. Namun Shenina bukannya melepaskan. Ia justru menurunkan Thomas dengan sangat perlahan ke sofa, seolah melakukan tugas mulia. “Aku hanya membantu, Nyonya,” ucapnya lembut, kepalanya sedikit menunduk. Maria hampir menerjang ke depan kalau saja Thomas tidak buru-buru berbicara. “Maria… jangan salah paham. Jantungku sakit. Kalau dia tidak menahan tubuhku, aku mungkin sudah jatuh.” Tapi Maria tidak peduli. Ia melihat mata suaminya. Mata itu dulu menatap dirinya dengan gairah yang sama, dan kini memandang gadis muda ini. “Wajah polos itu…” gumam Maria dalam hati. “Itu wajah penggoda.” Dadanya naik turun, menahan emosi. Shenina menunduk, padahal dalam hatinya, “Inilah yang ibuku rasakan saat kau mencuri Thomas darinya dulu, Maria.” Saat Maria lewat di sampingnya menuju lemari obat, wanita itu berhenti tepat di telinga Shenina. “Cukup Leon yang kau goda. Jangan pernah sentuh suamiku.” Kalimat itu ditusukkan seperti pisau. Shenina hanya tersenyum kecil. Dalam hati, ia menertawakan ancaman itu. Kalau mau, seluruh keluarga Karlsson pun bisa ia buat bertekuk lutut. Pandangan Shenina lalu menangkap foto besar keluarga Karlsson di dinding. Tiga putra pewaris. Tiga target potensial jika ia mau. Maria kembali dengan obat. Situasi tegang itu belum sempat pecah ketika suara dingin terdengar dari ambang pintu. “Shenina.” Leon berdiri bersandar pada kusen pintu, ekspresinya gelap. Mata hitam itu tajam menusuk ke arah Shenina seperti pisau. “Ke ruang kerjaku. Sekarang.” Tidak ada nada membentak, tapi perintah itu lebih berat dari teriakan. Shenina menoleh perlahan, bibirnya melengkung sopan. “Baik, Tuan.” “Dia sedang marah ya? Dia pasti melihatku dengan tua bangka itu.” Ia berjalan keluar. Saat melewati Thomas, lelaki itu masih menatapnya lebih dalam. Shenina tersenyum tipis kepadanya. “Ibu, suamimu tidak pernah berubah.““Apa kita bisa melakukannya sekarang, Bro? Aku sudah tidak tahan lagi,” Pria berkepala plontos itu menjilat bibirnya, tatapan matanya kelaparan seperti anjing liar yang menemukan daging segar.“Tubuhnya benar-benar gila.”Pria satunya lagi ikut mendekat, matanya berbinar penuh napsu. “Pasti hidupnya hanya untuk dirawat dan dinikmati. Lihat lekuknya, Bro… itu surga.”Mereka berdua nyaris kehilangan kendali, mendekat dengan tidak sabaran kepada gadis yang kedua tangan dan kakinya terikat di kursi tengah ruangan yang berdebu ini.“Ayo. Kita habiskan dia sekarang—!”BRAK!Tiba-tiba suara hantaman keras terdengar, membuat dua pria itu refleks berhenti.“DASAR OTAK KOTOR!”Suara berat penuh ancaman menggema. Pria berbadan besar dengan tato di leher berdiri di depan mereka. Dialah bos dari para kriminal rendahan itu.“Jangan bertindak tanpa perintah selanjutnya dari Nyonya Maria!”Tatapan pria itu tajam seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya, bahkan kedua anak buahnya pun terliha
“Cukup sampai di sini permainanmu, Leon. Kau tidak bisa mengambil keputusan tanpa persetujuanku.”Maria terus menyudutkan putranya. Tapi reaksi Leon masih tetap sama, berdiri dengan postur tegap dan arogan. Sorot matanya setenang kutub utara yang dingin, tidak goyah sedikit pun meski perempuan yang menghadangnya adalah ibunya sendiri.Angin malam berdesir pelan, namun ketegangan di antara mereka justru semakin panas.“Jika Mama hanya ingin mengatakan hal seperti itu,” Leon membuka suaranya tajam, “aku akan pergi.”Leon memutar tubuhnya. Shenina menunggu. Ia tidak akan membiarkan Shenina sendirian lama-lama. Tapi, suara Maria berikutnya membuat pria itu berhenti melangkah.“Bagaimana bisa kau melamar gadis tanpa latar belakang yang jelas, Leon?!”Nada itu meninggi, mengandung kemarahan dan kepanikan.Leon hanya menghela napas pelan.“Bagaimana jika kau hanya dimanfaatkan?“ lanjut Maria, racun kini mulai menetes jelas dari bibirnya. “Gadis seperti itu, tidak pernah puas hanya dengan sa
“Aku tidak bisa, aku akan menikah dengan seseorang.”Mata Leon berkilat penuh ancaman seolah ia baru saja mendengar genderang perang yang ditabuh. Tangannya mencengkram gelas anggur seolah ia bisa meremukkan sekarang.“Apa maksud jawabanmu, Shenina?” Ucapnya semakin dingin seperti bola salju.Tapi wajah shenina tetap tenang, senyumnya justru semakin menggoda emosi pria itu.“Ya, jika aku menjawab seperti itu, kau akan melakukan apa, Tuan?”Kesabaran Leon kini patah. Ia berdiri dan menyambar cincin di meja, lalu rahangnya mengeras saat memcengkram tengkuh Shenina dan menarik wajah gadis itu ke arahnya.Tanpa aba-aba, bibir Leon menabrak bibir shenina dengan kasar. Ciuman itu terlalu kesar hingga Shenina bisa merasakan cairan hangat yang mengalir dari bibirnya sendiri.“Sial,” Shenina mendesis dalam hati. Meski begitu, matanya tetap menyala.“Kau tidak boleh mempermainkan aku, Shenina.” bisik Leon penuh ancaman. Nafasnya yang panas menghantam kulit gadis itu. “Kau tidak tahu berapa bany
Panggilan di ponsel Leon masuk tepat ketika ia merapikan manset jasnya di depan cermin hotel.Nama Eren muncul di layar.Leon menatapnya sesaat sebelum menggeser layar dan menjawab singkat, “Ya.”Di seberang sana, suara Eren terdengar ringan dan santai. “Kau di Berlin?”Leon mengambil jam tangannya, memasangnya dengan presisi. “Sejak kemarin.”Eren tertawa kecil. “Aku sudah menduganya.”Leon berhenti sejenak. “Kau terlalu banyak tahu.”“Sulit tidak tahu,” jawab Eren tenang. “Saham keluarga Louise semakin anjlok pagi ini. Kudengar di kantor sedang mengalami kekacauan kecil karenamu —” ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “—tuan Louise sungguh kehilangan pengaruhnya.”Leon tidak menanggapi pujian itu. Ia hanya berkata datar, “Itu memang yang terjadi.”“Tanpa bantuanku,” Eren menambahkan, kali ini nadanya mengandung kekaguman yang jujur. “Kau benar-benar menaklukkan mereka sendirian.”Leon mengaitkan jasnya, lalu melangkah ke arah jendela. Pemandangan Berlin malam terhampar di hadapan
“Shenina, mari kita menikah—”“Eren, besok aku akan menikah dengan seseorang—”Eren tersentak.Dadanya seolah diremas kuat ketika kalimat itu menghantamnya tanpa ampun. Napasnya tercekat, pandangannya bergetar.Di balik bahu Shenina, ada sosok seorang pria tinggi berdiri tegap. Bayangannya mengintimidasi. Eren berusaha memfokuskan pandangan, memaksa matanya mengenali wajah pria itu—siapa dia sebenarnya?Namun sebelum wajah itu benar-benar terlihat—Eren tiba-tiba membuka matanya, terbangun.Ia terduduk dengan napas memburu, dadanya naik turun tak beraturan seolah baru saja berlari. Kemeja yang dipakai sudah lembap oleh keringat, rambutnya sedikit basah di pelipis. Tangan Eren refleks mencubit pipinya, memastikan rasa sakit yang diterima.“Hanya mimpi,” gumamnya pelan.Eren mengusap wajah, menarik napas panjang berulang kali, mencoba menenangkan diri. Mimpi itu terasa terlalu nyata. Seolah alam bawah sadarnya sendiri sedang mempermainkannya.Pandangan Eren jatuh pada jam tangan di perg
“Eren!”Suara itu menghantamnya lebih dulu sebelum tubuh ramping itu menabraknya pelan.Eren refleks mematung. Tangannya terangkat ragu lalu berhenti di udara. Ia belum siap, tapi juga tidak ingin melepaskan. Pelukan ini terasa familiar, seperti sesuatu yang pernah ia rindukan diam-diam, sejak salam perpisahan yang seharusnya sederhana, tapi justru tertinggal lama di kepalanya.Shenina mendongak. Wajahnya memerah, matanya melebar seolah baru menyadari apa yang ia lakukan.“Oh—maaf, Eren. Aku kelepasan,” katanya cepat sambil mencoba mundur.Namun Eren justru menahan tubuh itu pelan, tidak erat dan memaksa. Hanya cukup untuk mengatakan bahwa ia tidak keberatan. Ia membalas pelukan itu pelan, hampir hati-hati.“Tidak apa-apa, Shenina,” ucapnya lembut.Ia sungguh tidak menyangka akan bertemu Shenina lagi. Di Berlin. Kota yang terasa asing, tapi tiba-tiba menjadi hangat hanya karena kehadiran gadis itu.“Bagaimana bisa kau ada di sini?” tanya Eren sambil menoleh ke sekitar, refleks mencari







