ログインUdara di ruang HRD mendadak terasa menekan. Leon menatap Shenina tajam. Dia mempunyai mata berwarna abu-abu kelam dengan wajah yang keras, rahang tegas dan bibir tipis yang nyaris tidak bergerak saat dia berkata.
"Kudengar kau bisa menjual apa pun untuk bekerja di sini," ucap Leon datar. "Termasuk tubuhmu?" Shenina menatap balik tanpa gentar. "Tuan Karlsson, Anda salah dengar," katanya tenang. "Saya tidak menjual tubuh saya. Saya hanya tahu betul… nilai saya." Leon menatap Shenina beberapa detik tanpa berkedip, lalu satu sudut bibirnya terangkat yang tidak bisa ditebak apakah itu ejekan atau kekaguman. Dia menyuruh Shenina untuk mengikuti langkahnya lebih ke dalam. "Berdiri di sana." perintah Leon datar. Jemarinya yang panjang menunjuk dinding di sisi kanan ruangan. Shenina menuruti tanpa banyak bicara. Langkah hak sepatunya terdengar nyaring saat ia berdiri merapat ke tembok dengan punggung yang tegak. Wajahnya masih tenang, tidak terpengaruh dengan tekanan apa pun. Viktor yang ikut masuk sejak tadi tampak ragu untuk pergi, matanya memandang Leon seolah tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berakhir. Namun tatapan tajam sang CEO membuatnya menelan ludah. "Keluar," ujar Leon tanpa nada emosi. Viktor menunduk, menutup pintu dengan berat hati. Begitu ruangan itu tertutup, keheningan langsung turun. Suara jam dinding terdengar jelas, detik demi detik seolah mempermainkan udara di antara mereka. Leon melangkah perlahan mendekati Shenina. Tatapannya menelusuri sosok gadis itu dari atas ke bawah. Tidak dengan kekaguman, melainkan dengan penilaian dingin dan sombong. "Cih," dengusnya sinis. "Tinggimu bahkan seperti anak SMP. Berani sekali datang melamar menjadi asisten seorang Karlsson." Leon menghina, tapi tajamnya sorot mata itu justru seperti sedang menguji. Shenina mendongak, wajahnya tetap sopan tapi tatapannya menantang. "Dengan segala hormat, Tuan Karlsson," balas Shenina tenang, "tinggi badan tidak bisa menjadi tolak ukur kemampuan seseorang. Yang Anda perlukan adalah otak yang bekerja dengan baik, bukan kaki yang panjang." Ia menyodorkan selembar kertas ke arah Leon. Hasil tes IQ dengan angka yang nyaris menyentuh kategori jenius. Leon menatapnya sekilas. Dia tidak terkesan dengan hasil tes IQ, ada sesuatu lain yang menarik perhatiannya. Tatapan Leon terhenti di bibir Shenina. Penuh, lembut, menggoda tanpa usaha. Ada jeda aneh dalam diri pria itu, seolah kata-kata Shenina tadi hanyalah angin lewat dan yang tersisa adalah rasa ingin tahu yang belum pernah muncul pada seorang Karlsson. Tanpa sadar, tangan Leon terangkat. Jemarinya yang besar dan kokoh menyentuh dagu Shenina, mengangkat wajah gadis itu agar sejajar dengan tatapannya. Mata hitam itu menelusuri setiap inci wajah Shenina. "Asli?" tanya Leon pelan, nadanya nyaris berbisik, seolah sedang memeriksa kebenaran sesuatu yang ia sendiri tak mengerti. Shenina menahan napas sesaat. Tubuhnya menegang, tapi ia segera memaksa dirinya tetap dalam permainan ini. Ia tersenyum tipis. "Semua yang ada pada tubuh saya asli, Tuan," jawabnya rendah dengan suara yang nyaris menggoda. "Tidak ada campur tangan manusia untuk ini." Tangan kirinya dengan halus menepuk dada Leon ringan, tapi cukup untuk membuat jantung pria itu kehilangan ritmenya sejenak. Lalu, tanpa menunggu tanggapan, Shenina mundur selangkah. Menjaga jarak. Leon menatapnya lama. Seolah mencari celah untuk menjatuhkannya, tapi justru menemukan sesuatu yang lebih berbahaya. Ia tertarik dan hampir kehilangan kendali! Leon mengerjap pelan, lalu menghela napas pendek dan menegakkan tubuhnya kembali. "Duduk." Nada itu tak lagi sekeras sebelumnya, meski masih memerintah. Dalam benak Leon, Shenina bukan pelamar biasa. Ini adalah pertama kalinya, seorang gadis berhasil membuatnya kalah tanpa melakukan apa pun. Akhirnya Shenina merasa sedikit lega. Ia duduk sambil berusaha kembali mendapatkan ketenangannya. Sementara Leon kini berjalan mengitari Shenina, seperti predator yang menilai mangsanya. "Kenapa pakaianmu seperti itu? Apa kau pikir aku akan memberikan posisi asisten hanya karena kau menarik?" Shenina mengangkat sudut bibirnya, setidaknya, pria sombong itu mengakui bahwa Shenina memang gadis yang menarik. Ia memutar kursinya, mengikuti arah Leon berdiri. "Saya tidak berpakaian untuk Anda, Tuan Karlsso," ucap Shenina tenang. "Saya berpakaian untuk pekerjaan saya," tegasnya lagi. Alis Leon terangkat sedikit. Ia tidak pernah mendapat jawaban seperti itu, tidak dari siapa pun selama ini. Terlalu berani dan percaya diri. Leon berjalan ke meja, duduk di kursi besar di belakangnya, dan menyandarkan tubuhnya santai. Jari-jarinya mengetuk meja perlahan. "Nama lengkapmu?" "Arlett Shenina." "Usia?" "Dua puluh tujuh tahun." "Pengalaman kerja?" "Saya pernah magang di Noster Media, lalu bekerja di divisi keuangan perusahaan ekspor milik keluarga Pablo." "Alasan keluar?" "Saya ingin tempat yang menantang." Leon mengerutkan kening, bibirnya sedikit menyeringai. "Tempat yang menantang?" Ia mencondongkan tubuh, menatap Shenina tajam. "Atau laki-laki yang menantang?" Shenina tahu arah pertanyaan itu ke mana. Tapi ia tidak bergeming. Ia hanya membalas dengan senyum samar. "Apakah saya sedang diwawancara untuk pekerjaan atau untuk urusan pribadi Anda, Tuan Karlsson?" Senyum Leon melebar. Ia bersandar lagi di kursi, jelas menikmati permainan kata ini. "Mungkin keduanya. Aku ingin tahu seberapa jauh kau bisa bertahan di bawah tekanan." Shenina menatapnya lurus. "Saya tidak keberatan." Keheningan menggantung. Hanya terdengar detak jam dinding dan napas pelan yang tertahan. Leon memutar pena di jarinya, menatap Shenina dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya tidak sopan, tapi penuh penilaian. "Anggap saja ini tes," katanya akhirnya, lalu berdiri, berjalan mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa jengkal. "Banyak wanita gagal bukan karena tidak cerdas, tapi karena mereka tidak tahu bagaimana menghadapi pria seperti aku." Shenina membalas dengan nada datar, tanpa menurunkan pandangan sedikit pun. "Mungkin mereka gagal karena terlalu sibuk menuruti permainanmu, Tuan Karlsson." Senyum Leon seketika lenyap. Matanya menajam. Ia semakin tertarik pada Shenina. "Menarik," gumam Leon. "Kau bukan tipe wanita biasa." Shenina menundukkan kepala sedikit, menjaga sikap sopan. "Saya juga tidak mencari pria biasa." Jawaban itu membuat Leon terdiam sesaat. Lalu, tanpa sadar, ia tertawa kecil antara kagum dan kesal secara bersamaan. "Baiklah, Nona Arlett. Aku suka orang yang berani bicara. Kau diterima." Shenina sedikit terkejut, tapi tetap menjaga ekspresi datar. "Terima kasih, Tuan Karlsson. Saya tidak akan mengecewakan Anda." Leon menatapnya lama, matanya berkilat penuh rahasia. "Pastikan saja kau tidak menyesal telah memasuki permainan ini." Shenina menatap balik. "Saya tidak pernah menyesal pada apa pun yang saya pilih." Wawancara itu akhirnya berakhir dengan ketegangan yang menggantung. Leon kembali ke mejanya, menunduk menandatangani sesuatu seolah tak terjadi apa-apa. "Besok jam delapan pagi. Jangan terlambat," katanya singkat. Shenina mengangguk sopan, menyembunyikan degup jantungnya yang masih kacau. Ia membungkuk sedikit lalu berbalik menuju pintu. Namun baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, suara langkah hak tinggi terdengar dari luar, tegas dan berwibawa. Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang ruangan, mengenakan setelan mahal berwarna gold dengan bros berlian di dada. Aura elegannya begitu kuat hingga ruangan seolah terdiam menunduk. Nyonya Maria Karlsson. Dunia seakan berhenti sejenak bagi Shenina. Matanya membulat kecil, tetapi bukan rasa takut melainkan karena gelombang emosi yang menabrak dadanya. Perasaan benci, luka, dan dendam yang ia kubur dalam. Namun wajah Shenina tetap tenang. Ia tersenyum tipis, seperti menyambut tamu biasa. Maria menatap Shenina dari ujung kepala hingga ujung kaki, tatapan yang sama sekali tidak ramah. Matanya menelusuri tubuh gadis itu seperti sedang menilai seonggok kesalahan yang berpakaian indah. Tatapannya berhenti lama di mata Shenina, pupilnya bergetar aneh, seolah ada sesuatu yang ia kenali, tapi sesaat kemudian ekspresi itu lenyap diganti dengan sinis yang menusuk. Maria berpaling pada putranya dengan langkah cepat. "Leon!" pekiknya nyaring dan tegas, membuat udara kembali menegang. "Asisten baru lagi? Seorang wanita dengan pakaian seperti itu?!" Ia melipat tangan di dada, suaranya semakin naik, "Putraku, sadarlah! Mereka semua sama. Menggoda, berpura-pura pintar, lalu akhirnya menguasai hartamu! Apa kau tidak pernah belajar?!" Setiap kata yang keluar dari bibir Maria terasa seperti cambuk yang menyayat dada Shenina. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Ia tidak sakit karena dihina, tapi karena semua ucapan itu mencerminkan dosa masa lalu Maria sendiri! Ya, Maria Karlsson. Penggoda sejati yang dulu menghancurkan hidup ibunya, menghancurkan keluarganya. Leon tampak kesal, berusaha menenangkan ibunya. Tapi Shenina tidak lagi mendengarkan. Suara mereka berubah menjadi gema samar di telinganya. Yang ada hanya debaran jantung dan rasa getir yang menyesak di dada. Shenina menarik napas panjang, menegakkan bahunya, lalu membuka pintu dengan tenang. Sebelum keluar, ia menatap bayangan Maria dari ekor matanya. "Aku akan menunjukkan padamu…" pikirnya dalam hati, suaranya berubah dingin dan penuh tekad. "Bagaimana rasanya melihat penggoda yang benar-benar kau takuti, Maria Karlsson."Udara di ruang HRD mendadak terasa menekan. Leon menatap Shenina tajam. Dia mempunyai mata berwarna abu-abu kelam dengan wajah yang keras, rahang tegas dan bibir tipis yang nyaris tidak bergerak saat dia berkata."Kudengar kau bisa menjual apa pun untuk bekerja di sini," ucap Leon datar. "Termasuk tubuhmu?"Shenina menatap balik tanpa gentar."Tuan Karlsson, Anda salah dengar," katanya tenang. "Saya tidak menjual tubuh saya. Saya hanya tahu betul… nilai saya."Leon menatap Shenina beberapa detik tanpa berkedip, lalu satu sudut bibirnya terangkat yang tidak bisa ditebak apakah itu ejekan atau kekaguman. Dia menyuruh Shenina untuk mengikuti langkahnya lebih ke dalam. "Berdiri di sana." perintah Leon datar. Jemarinya yang panjang menunjuk dinding di sisi kanan ruangan.Shenina menuruti tanpa banyak bicara. Langkah hak sepatunya terdengar nyaring saat ia berdiri merapat ke tembok dengan punggung yang tegak. Wajahnya masih tenang, tidak terpengaruh dengan tekanan apa pun.Viktor yang ikut
Shenina baru saja sampai di apartemennya setelah seharian fitting baju dengan Leon. Perasaannya semakin puas meski sedikit terkejut. Tidak pernah ia sangka Leon akan sejauh itu terseret oleh permainannya.“Beberapa langkah lagi, ibu… aku akan masuk ke keluarga Karlsson,” bisiknya sambil merengkuh foto sang ibu dan memejamkan mata.Bayangan akan kehebohan besok pagi atas kejadian hari ini mulai memasuki kepala Shenina. “Aku tidak sabar menunggu besok pagi.“Ia hampir tertidur ketika suara pintu apartemen tertutup membuat dadanya tercekat. Sebelum sempat bangkit untuk memeriksanya, tiba-tiba tubuh berat yang terasa hangat dan wangi alkohol jatuh menindihnya.Shenina terkejut, napasnya tertahan. “Tuan Leon…?” bisiknya serak.Tak ada jawaban. Hanya hembusan napas yang berat, aroma anggur, dan dada bidang yang naik-turun tak teratur. Pria itu mabuk. Parah.Shenina hendak mendorong, namun Leon justru menariknya naik, membalik posisi hingga ia berada di atas tubuh Leon. Gerakan refleks itu
Shenina menyadari perubahan Leon hanya beberapa hari setelah ia menyenggol hubungan mereka ke arah yang lebih serius.Pria itu menjadi semakin pendiam. Lebih sibuk bekerja dan menjauh.Seolah-olah permintaan halus Shenina tentang komitmen membuatnya mundur selangkah.Namun Shenina bukan tipe yang kehilangan arah. Jika Leon ingin menjauh, ia akan membuat pria itu justru terjebak lebih dalam.Dan hari ini, ia memilih rapat besar sebagai panggungnya.Karlsson Corporation dipenuhi ketegangan seperti biasa—para investor besar, proyek bernilai ratusan juta, dan sorot mata kritis dari berbagai penjuru meja.Tapi Shenina justru tampil paling tenang di ruangan itu.Strategi berbicaranya rapi. Caranya menjelaskan proposal membuat para investor muda dan beberapa yang jauh lebih tua menatapnya tanpa kedip.Ia bisa merasakan mata Leon pada dirinya sejak awal.Tajam. Diam. Mengawasi.Dan setiap kali salah satu investor pria terlalu lama menatap Shenina, rahang Leon semakin mengeras.Shenina tidak b
“Kau memang yang terbaik, Nona Arlett.”Senyum tipis terangkat di sudut bibir seorang pria—senyum kecil yang jarang muncul, tapi jelas memancarkan kepuasan. Leon Karlsson berdiri di tengah ruang CEO, menatap asisten pribadinya yang masih duduk anggun di sofa ruang kerjanya.Karlsson Corporation baru saja menyelesaikan meeting besar. Beberapa staf mati-matian membujuk klien, namun tetap terlihat buntu… hingga asisten pribadi Leon berdiri. Dengan kecerdasan dan ketenangannya, ia menutup celah yang gagal diisi tim Leon, meyakinkan para klien satu per satu, sampai mereka akhirnya menandatangani kerja sama bernilai fantastis.“Katakan, hadiah apa yang kau inginkan?” Leon mencondongkan tubuh, duduk di armrest sofa. Jemarinya menarik dagu asistennya dengan ringan namun penuh dominasi.“Terima kasih, Tuan. Ini semua berkat pengalaman dari Tuan Leon.”Wanita itu menunduk malu, lalu perlahan mengangkat wajah, memberikan tatapan sayu yang ia tahu selalu melemahkan pria itu. “Kalau boleh… apa ma
“Sayang… cepatlah. Aku sudah tidak tahan.”Napas panas Thomas Bronze, pengusaha berusia 40 dengan sisa wibawa di wajahnya, mengalir di telinga Maria Karlsson, asistennya. Tangan besar pria itu menarik pinggang wanita tersebut dan mencium bibirnya dengan rakus.Maria terkekeh kecil saat blouse kerjanya ditarik kasar hingga kancingnya beterbangan.“Sabarlah, Thomas. Apa kau yakin aman melakukannya di sini?” godanya, tatapannya licik.Thomas menghirup napas pendek, tak peduli. “Ini rumahku. Tidak ada yang berani menyentuhku. Di mana pun kita bercinta, tak masalah.”Blouse Maria jatuh ke lantai. Thomas membenamkan wajahnya ke dada wanita itu.Maria melirik foto pernikahan Thomas dan Briana yang tergantung di dinding kamar, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Bagaimana kalau istrimu tahu? Ini kamar kalian, bukan?”Thomas tak menjawab, terlalu tenggelam dalam nafsu.Di balik pintu kamar yang tidak tertutup rapat, sepasang mata kecil menyaksikan semuanya.Shenina, putri 10 tahun Thomas dan Bri







