Se connecter“Hmmph!“
Pintu ruang kerja Leon menutup keras, dan sebelum Shenina sempat menarik napas, tubuhnya sudah disergap. Leon mencium bibirnya dengan brutal dan penuh amarah yang ia tahan sejak dari ruang kerja Thomas. Shenina terhempas pada dinding, tangannya otomatis menggenggam kerah jas Leon agar tidak jatuh. Ciuman itu bukan sekadar nafsu. Ada kemarahan terselubung yang ditumpahkan Leon tanpa kontrol. “Pelan-pelan, Tuan—Ahhh!” Suara Shenina terputus oleh desah tertahan ketika bibir Leon berpindah ke lehernya, meninggalkan jejak-jejak panas. Tapi bukannya melambat, gerakan Leon semakin keras dan mendesak, seolah ingin menghapus bayangan Shenina dan Thomas yang masih menghantuinya. Srek! Resleting gaun Shenina terlepas dalam satu tarikan liar. Napas Leon kini bergetar di kulit dadanya. Shenina menahan desahan karena ia tahu Leon sedang kehilangan kendali. Ternyata beginilah Leon Karlsson ketika cemburu. Pria yang dingin dan terkendali itu berubah menjadi badai yang kasar dan tak peduli pada apa pun selain satu hal: menandai kepemilikannya. Tapi Shenina tidak mau dikalahkan oleh pria itu. Saat Leon sedikit lengah, Shenina langsung mengambil alih. Ia mendorong tubuh besar itu hingga punggung Leon beradu keras dengan pembatas balkon. Leon terpaku sejenak oleh perlawanan kecil itu. Dan Shenina tidak menyia-nyiakannya. Ia mencengkeram rahang Leon, menarik wajah pria itu, lalu mencium balik dengan buas. Bibirnya menggigit bibir Leon sampai pria itu mengerang rendah. “Shenina…” Leon menahan napas, antara marah dan kehilangan kendali. “Kau—” “Aku hanya mengimbangi tuanku,” bisik Shenina. Suaranya terdengar sensual dan penuh tantangan. “Bukankah ini yang kau inginkan sekarang?” Ciumannya turun ke leher Leon, berhenti di tonjolan tenggorokan pria itu. Ia menggigitnya perlahan, cukup untuk membuat seluruh tubuh Leon menegang. Kepalanya terangkat, rahangnya mengeras menahan sensasi yang melumpuhkan. Shenina tersenyum kecil ketika Leon terdengar mengutuk pelan, menikmati sensasi yang ia benci untuk akui. “Shenina,” Leon memejamkan matanya, tapi sial bayangan Shenina memeluk Thomas kembali muncul di kepala pria itu dan seketika emosinya meledak lagi. Ia berbalik mendominasi. Dalam gerakan cepat, tubuh Shenina yang kini terdorong ke pembatas balkon. Tangan Leon mencengkeram wajahnya, menahan dagu sang asisten agar menatap lurus ke matanya. “Jelaskan, Shenina,” katanya dingin dan tajam. Suaranya hampir menggeram. Shenina menatapnya polos. Bahaya tersembunyi di balik kepolosan itu, tapi Leon tak mampu membacanya. “Apa yang harus aku jelaskan, Tuan?” Leon mendekat hingga hidung mereka hampir bersentuhan, suara dan napasnya sama panasnya. “Kau pikir aku tidak melihat cara kau memeluknya?” Napas Leon turun ke pangkal leher Shenina, membuat bulu kuduknya meremang. “Kau menahan tubuhnya seperti… menahan kekasihmu sendiri.” Shenina hampir tertawa oleh lelucon ini. “Oh, ekspresi cemburu itu begitu indah.” “Tuan Leon,” ucapnya lembut dengan nada menyesal yang palsu, “kau salah paham. Aku hanya membantu.” Kebohongan yang manis itu bekerja seperti bensin pada api kecemburuan Leon. Untuk pertama kalinya seumur hidup, Leon merasakan sesuatu yang ia sendiri tak bisa pahami. Ia takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum menjadi miliknya. “Kenapa kau lakukan itu?” suara Leon semakin berat. “Apa kau menikmati perhatian pria tua itu?” Shenina mendekat perlahan, menggoda batas kesabaran pria itu. Ia menempelkan bibirnya ke telinga Leon sambil berbisik, “Aku tidak butuh perhatian pria tua…” Shenina menyentuh cuping telinga Leon dengan bibirnya. Leon langsung menegang, napasnya tertahan. “…kalau aku sudah mendapatkannya cukup darimu, Tuan.” Tangan Leon langsung mencengkeram pinggang Shenina dengan erat. Bibirnya sudah memangkas jarak dengan bibir Shenina. “Kalau kau ulangi lagi—” Leon menggigit bibir Shenina lagi, namun kali ini sedikit lembut. “—hukumanmu akan lebih berat dari ini.” Shenina mengangguk manis, seolah patuh. Padahal dalam hatinya ia tertawa puas. Ia sudah berhasil menguasai perasaan Leon, menusuk celah paling berbahaya darinya, yaitu rasa memiliki. Tanpa berkata lagi, Leon mengangkat tubuh Shenina dengan mudah dan membawanya masuk. Ia meletakkan Shenina ke ranjang kerja pribadinya dengan sedikit kasar. Ia menatap wanita itu dari atas, matanya gelap, penuh sesuatu yang tak pernah ia rasakan pada wanita mana pun. “Tidak akan kubiarkan siapa pun menyentuhmu… Shenina,” gumamnya dalam hati. “Cobalah…” rahangnya mengeras, “dan orang itu tidak akan hidup lama.” Leon Karlsson tidak pernah bercanda ketika ia berkata seperti itu. *** Sementara di sisi lain, Thomas berdiri membatu di balkon ruang kerjanya. Tatapan matanya menatap lurus ke halaman rumah yang gelap. Bukan karena pemandangan malam yang menenangkan... Melainkan karena apa yang baru saja ia lihat dari balkon sebelah. Ia menelan ludah untuk kelima kalinya. Kerongkongannya terasa kering, jantungnya seperti terpukul keras dari dalam. Di sebelah ruang kerjanya adalah ruang kerja Leon. Dan tadi, tanpa sengaja… Ia menyaksikan pemandangan panas yang seharusnya tidak boleh ia lihat. Shenina. Gadis muda yang tadi menahan tubuhnya saat dadanya sakit. Sekarang ia melihat gadis itu dalam keadaan yang… Thomas menutup mata sejenak untuk mendesah berat. Perutnya berkontraksi, napasnya tersengal. Leon mencium Shenina dengan kasar dan rakus, seperti pria muda yang kehilangan akal. Dan gadis itu membalasnya. Tidak ada keluguan dan juga rasa takut. Gadis itu sensual, liar, dan penuh permainan. Thomas memijat pelipisnya, tetapi matanya tak bisa menghapus adegan tersebut dari kepalanya. Gadis itu… tubuh itu… “Dia lebih…” gumam Thomas nyaris tanpa suara. “…lebih baik dari Maria.” Itu fakta. Dan ia benci karena tubuh tuanya meresponsnya dengan cara yang memalukan. Pikirannya kembali ke bayangan kilat saat Shenina memegang Leon. Cara Leon menekan tubuh gadis itu pada pembatas balkon. Dan ketika Shenina dengan mata setengah tertutup menggigit leher putra Maria. Thomas menelan ludah lagi, lebih keras. Ini benar-benar gila. Namun mata pria tua itu kini sudah berubah, penuh kilat yang berbahaya. Di sisi lain, Maria sedang berdiri terpaku di depan pintu ruang kerja Leon yang terbuka separuh. Napasnya tiba-tiba memburu dengan tangan yang gemetar. Jantungnya berdegup tidak karuan. Tadinya ia ingin menegur Leon untuk mengingatkan bahwa Shenina tidak boleh berada terlalu dekat. Wanita itu berbahaya dan penuh ancaman. Tapi begitu ia mendorong pintu dan melangkah masuk satu langkah... Ia melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya ambruk dari dalam. Leon berada di atas tubuh asistennya, dengan cara yang begitu panas, dan agresif. Suara-suara desahan dan erangan terdengar semakin jelas, menusuk kepala Maria seperti jarum panas. Matanya membesar. Tangannya mencengkeram gagang pintu. Lututnya kini terasa goyah. Dan ingatan lama menyerang seperti tsunami. Dulu saat ia sebagai asisten Thomas. Bagaimana ia menggoda pria itu dengan senyum-senyk kecil yang disetel sengaja. Tubuhnya yang ia tawarkan tanpa malu demi meraih hati bosnya. Dulu, ia juga melakukannya di rumah Thomas dan Briana. Di ruangan yang masih berbau parfum istri sah pria itu. Dan yang paling menyerang kepalanya sekarang adalah, Briana pernah melihatnya. Maria memejamkan mata keras-keras. Suara desahan Shenina kini terasa terlalu mirip dirinya di masa lalu. “Berani sekali…” suara Maria pecah, bibirnya gemetar. Ia mundur selangkah, lalu bersandar pada dinding seakan tidak mampu menahan berat tubuhnya. “…berani sekali mereka melakukannya di rumahku!”“Cukup sampai di sini permainanmu, Leon. Kau tidak bisa mengambil keputusan tanpa persetujuanku.”Maria terus menyudutkan putranya. Tapi reaksi Leon masih tetap sama, berdiri dengan postur tegap dan arogan. Sorot matanya setenang kutub utara yang dingin, tidak goyah sedikit pun meski perempuan yang menghadangnya adalah ibunya sendiri.Angin malam berdesir pelan, namun ketegangan di antara mereka justru semakin panas.“Jika Mama hanya ingin mengatakan hal seperti itu,” Leon membuka suaranya tajam, “aku akan pergi.”Leon memutar tubuhnya. Shenina menunggu. Ia tidak akan membiarkan Shenina sendirian lama-lama. Tapi, suara Maria berikutnya membuat pria itu berhenti melangkah.“Bagaimana bisa kau melamar gadis tanpa latar belakang yang jelas, Leon?!”Nada itu meninggi, mengandung kemarahan dan kepanikan.Leon hanya menghela napas pelan.“Bagaimana jika kau hanya dimanfaatkan?“ lanjut Maria, racun kini mulai menetes jelas dari bibirnya. “Gadis seperti itu, tidak pernah puas hanya dengan sa
“Aku tidak bisa, aku akan menikah dengan seseorang.”Mata Leon berkilat penuh ancaman seolah ia baru saja mendengar genderang perang yang ditabuh. Tangannya mencengkram gelas anggur seolah ia bisa meremukkan sekarang.“Apa maksud jawabanmu, Shenina?” Ucapnya semakin dingin seperti bola salju.Tapi wajah shenina tetap tenang, senyumnya justru semakin menggoda emosi pria itu.“Ya, jika aku menjawab seperti itu, kau akan melakukan apa, Tuan?”Kesabaran Leon kini patah. Ia berdiri dan menyambar cincin di meja, lalu rahangnya mengeras saat memcengkram tengkuh Shenina dan menarik wajah gadis itu ke arahnya.Tanpa aba-aba, bibir Leon menabrak bibir shenina dengan kasar. Ciuman itu terlalu kesar hingga Shenina bisa merasakan cairan hangat yang mengalir dari bibirnya sendiri.“Sial,” Shenina mendesis dalam hati. Meski begitu, matanya tetap menyala.“Kau tidak boleh mempermainkan aku, Shenina.” bisik Leon penuh ancaman. Nafasnya yang panas menghantam kulit gadis itu. “Kau tidak tahu berapa bany
Panggilan di ponsel Leon masuk tepat ketika ia merapikan manset jasnya di depan cermin hotel.Nama Eren muncul di layar.Leon menatapnya sesaat sebelum menggeser layar dan menjawab singkat, “Ya.”Di seberang sana, suara Eren terdengar ringan dan santai. “Kau di Berlin?”Leon mengambil jam tangannya, memasangnya dengan presisi. “Sejak kemarin.”Eren tertawa kecil. “Aku sudah menduganya.”Leon berhenti sejenak. “Kau terlalu banyak tahu.”“Sulit tidak tahu,” jawab Eren tenang. “Saham keluarga Louise semakin anjlok pagi ini. Kudengar di kantor sedang mengalami kekacauan kecil karenamu —” ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, “—tuan Louise sungguh kehilangan pengaruhnya.”Leon tidak menanggapi pujian itu. Ia hanya berkata datar, “Itu memang yang terjadi.”“Tanpa bantuanku,” Eren menambahkan, kali ini nadanya mengandung kekaguman yang jujur. “Kau benar-benar menaklukkan mereka sendirian.”Leon mengaitkan jasnya, lalu melangkah ke arah jendela. Pemandangan Berlin malam terhampar di hadapan
“Shenina, mari kita menikah—”“Eren, besok aku akan menikah dengan seseorang—”Eren tersentak.Dadanya seolah diremas kuat ketika kalimat itu menghantamnya tanpa ampun. Napasnya tercekat, pandangannya bergetar.Di balik bahu Shenina, ada sosok seorang pria tinggi berdiri tegap. Bayangannya mengintimidasi. Eren berusaha memfokuskan pandangan, memaksa matanya mengenali wajah pria itu—siapa dia sebenarnya?Namun sebelum wajah itu benar-benar terlihat—Eren tiba-tiba membuka matanya, terbangun.Ia terduduk dengan napas memburu, dadanya naik turun tak beraturan seolah baru saja berlari. Kemeja yang dipakai sudah lembap oleh keringat, rambutnya sedikit basah di pelipis. Tangan Eren refleks mencubit pipinya, memastikan rasa sakit yang diterima.“Hanya mimpi,” gumamnya pelan.Eren mengusap wajah, menarik napas panjang berulang kali, mencoba menenangkan diri. Mimpi itu terasa terlalu nyata. Seolah alam bawah sadarnya sendiri sedang mempermainkannya.Pandangan Eren jatuh pada jam tangan di perg
“Eren!”Suara itu menghantamnya lebih dulu sebelum tubuh ramping itu menabraknya pelan.Eren refleks mematung. Tangannya terangkat ragu lalu berhenti di udara. Ia belum siap, tapi juga tidak ingin melepaskan. Pelukan ini terasa familiar, seperti sesuatu yang pernah ia rindukan diam-diam, sejak salam perpisahan yang seharusnya sederhana, tapi justru tertinggal lama di kepalanya.Shenina mendongak. Wajahnya memerah, matanya melebar seolah baru menyadari apa yang ia lakukan.“Oh—maaf, Eren. Aku kelepasan,” katanya cepat sambil mencoba mundur.Namun Eren justru menahan tubuh itu pelan, tidak erat dan memaksa. Hanya cukup untuk mengatakan bahwa ia tidak keberatan. Ia membalas pelukan itu pelan, hampir hati-hati.“Tidak apa-apa, Shenina,” ucapnya lembut.Ia sungguh tidak menyangka akan bertemu Shenina lagi. Di Berlin. Kota yang terasa asing, tapi tiba-tiba menjadi hangat hanya karena kehadiran gadis itu.“Bagaimana bisa kau ada di sini?” tanya Eren sambil menoleh ke sekitar, refleks mencari
Leon tiba tepat waktu.Gedung keluarga Louise berdiri angkuh dengan arsitektur klasik yang sengaja dipertahankan untuk menegaskan satu hal: kekuasaan mereka sudah ada bahkan sebelum Leon Karlsson belajar berjalan.Namun langkah Leon tetap tenang saat ia melewati lorong marmer itu. Jasnya rapi, wajahnya datar seperti biasa, sikapnya… terlalu sopan untuk seorang pria yang baru saja menghancurkan pertunangan.Pintu ruang kerja itu terbuka.Tuan Louise sudah duduk di balik meja besar dari kayu ek tua, punggungnya tegak, tongkat kesayangannya bersandar di sisi kursi. Tatapannya tajam, penuh perhitungan—tatapan seorang pria yang terbiasa melihat orang lain runtuh di hadapannya.Leon membungkuk sopan. Ia begitu formal tanpa emosi.“Terima kasih sudah meluangkan waktu, Tuan Louise.”Keheningan menggantung beberapa detik sebelum pria tua itu tertawa pendek dan penuh kekecewaan.“Aku sudah tahu untuk apa kau datang,” katanya akhirnya. “Dan sejujurnya, Leon… aku sangat kecewa.”Leon duduk dengan







