"Bagaimana, kau suka, Nich?" tanya Daniel, pada teman lamanya yang duduk dalam diam sembari menikmati segelas whiskey di genggaman.
"Lumayan."
Teman Daniel bernama Nich menjawabnya santai, sembari menikmati pertunjukan penari striptis yang tengah menggesekkan punggungnya pada tiang dengan gerakan sensual. Sebenarnya tontonan seperti ini bukanlah hal baru baginya. Nich pun bertanya sambil menyesap minumannya lagi, "Siapa namanya?"
"Sam. Lebih tepatnya Samantha Grace," jawab Daniel, mengisi gelas Nich yang sudah kosong dengan Whiskey lagi. "... Cantik dan seksi. Dia penari nomer dua yang paling diminati di sini," lanjut Daniel.
Nich langsung mengalihkan pandangannya pada Daniel. "Itu berarti ada yang lebih panas dari Samantha?" tanyanya dengan alis menukik sangat tinggi.
Daniel mengangguk. "Tentu. Ada Sam yang cantik, dan ada Queen Flo yang panas." Daniel begitu bangga menyebut nama julukan Gwen. Telunjuknya mengacung ke depan, tepatnya ke atas panggung.
Nich mengernyitkan kening, memutar kepala mengikuti arah telunjuk Daniel. Satu orang penari lagi keluar dari balik tirai. Dengan lihai menyeimbangi gerakan Sam, yang meliuk di tiang.
Benar kata Daniel, perempuan yang hampir telanjang itu terlihat lebih cantik, dan menggoda. Setiap lekukan tubuhnya begitu pas dan sangat... Menggairahkan! Nich sampai menelan ludah setiap gerakan yang dilakukan oleh Quuen Flo pada tiang di depannya.
Dua pria di samping Daniel pun langsung bertepuk tangan sambil melempar siulan—teman dan asisten Nich. Menonton aksi para penari yang tak hanya menampilkan gerakan erotis, melainkan gerakan yang sangat indah. Ditunjang dengan postur tubuh yang teramat sempurna, kedua penari itu begitu lihai memainkan peranan.
Hanya Nich yang nampak membeku di tempatnya. Maniknya sekejap melebar, sekejap menyipit. Di bawah minim penerangan seperti ini, Nich tidak bisa melihat dengan jelas wajah penari yang baru saja naik ke atas panggung.
"Kenapa aku seperti tidak asing dengan wajah perempuan itu?" gumam Nich pada diri sendiri, sambil terus berusaha mengingat-ingat wajah penari di hadapannya.
"Kenapa, Nich? Kau sepertinya tertarik dengan Flo?" tanya Daniel, yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Nich, yang dia pikir tertarik oleh Gwen.
Nich tersenyum. "Dia yang tadi kau sebut Queen Flo?" Alih-alih menjawab, Nich malah bertanya.
"Yaa. Dia Flo. Penari terfavorit di bar ini. Ada apa? Apa kau sedang berpikir ingin menghabiskan malam dengannya? Jangan harap, Nich! Karena Flo tidak menerima pekerjaan di luar jam kerja." Daniel tertawa meremehkan Nich. "Kalau kau mau, kau bisa memakai jasa Sam," usulnya.
Nich lantas menenggak minumannya, kesal.
Dia tidak habis pikir, kenapa Daniel bisa berpikir demikian. Apa dia terlihat seperti pria hidung belang, yang sering menghabiskan malam bersama para wanita penghibur, pikir Nich.
Tak ingin berdebat, Nich kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke atas panggung. Namun, ternyata dua penari seksi itu sudah turun dan melangkah menghampiri. Musik pengiring pun berganti dengan ritme yang lebih cepat. Lagu yang dibawakan oleh penyanyi terkenal Ciara, yang berjudul—Dance Like We're Making Love menjadi musik kedua.
Sam dan Gwen berjalan sensual sambil melepas sepatu yang mereka pakai, meletakkannya asal, kemudian melepas penutup dada mereka, hingga menampakkan begitu nyata dua gundukan indah dan menggemaskan itu.
Para pria yang menyaksikan seketika menelan ludah, jakun mereka naik turun dengan mata tak berkedip sedikit pun. Termasuk seorang Nich, yang sejak awal cukup menikmati tontonan tersebut.
Sam dan Gwen lalu melempar senyum menggoda, meliukkan tubuh mereka dengan gerakan luwes. Mengerling nakal, seraya menyentuh dan meraba kedua pria di hadapan.
Musik terus mengalun memenuhi ruangan yang semakin terasa panas itu. Sayangnya, para penonton tidak diizinkan membalas sentuhan para penari karena itu sudah menjadi aturan mainnya. Meskipun dari mereka mulai horny dan gatal ingin menyentuh dua aset yang menggantung indah tersebut, yang ikut bergerak ke sana kemari, mengikuti gerakan tubuh.
Sam mendekati Nich, pria yang sejak tadi mencuri perhatian, sedangkan Gwen mendekati asisten Nich. Daniel menyeringai, menatap Gwen yang selalu menakjubkan.
Sudah lama Daniel mengincar Gwen, yang tak lain pekerjanya sendiri. Namun, Gwen selalu menolaknya.
"Hai, tampan ...." Sam mencium bibir Nich tanpa permisi, lalu berputar dan menggesekkan dadanya pada punggung Nich yang berbalut kemeja putih.
Kedua lengan Sam melingkar di leher Nich, kemudian satu telapak tangannya meraba sisi wajah Nich yang tak terpengaruh sedikit pun. "Siapa namamu, Tampan?" bisik Sam di telinga Nich, mengecup singkat rahang sang lelaki.
Nich tidak menjawab pertanyaan Samantha, karena fokusnya sedang berpusat pada seseorang yang ada di sampingnya.
'Gwen? A-apa dia benar-benar Gwen?'
Nich sampai harus turun dari stolbar saking penasarannya, hingga Sam dengan terpaksa melepas lilitan lengannya di leher Nich. Daniel dan Sam saling menatap sekilas, seolah mereka kebingungan dengan sikap yang ditunjukkan Nich.
"Nich." Daniel ikut turun dari stolbar, mencoba mengingatkan temannya itu agar tidak melanggar aturan main. Dia menghampiri Nich yang mendekati Gwen.
Gwen belum sadar jika saat ini Nich tengah menatapnya dengan nyalang, karena Gwen sibuk meliukkan tubuhnya di depan asisten Nich.
'Dia memang Gwen. Aku tidak mungkin salah mengenalinya.' Batin Nich, yang dugaannya semakin menguat saja, setelah melihat dari dekat.
Sosok gadis cantik di masa lalunya, kenapa bisa menjadi seorang penari telanjang?
Nich yang sudah tidak bisa menahan diri pun akhirnya nekad menyentuh lengan telanjang Gwen, sampai perempuan itu menghentikan tariannya.
Tersentak, Gwen pun sontak menatap lengannya yang disentuh oleh Nich. "Hei, Ka—" seolah semburan amarah yang siap terlontar tertelan kembali.
Manik biru Gwen bersitatap dengan manik kelam Nich. Untuk beberapa saat keduanya membeku.
'Dia ...?'
Tenggorokan Gwen tiba-tiba terasa sangat kering, ketika sosok yang ada di hadapannya ini sangat familiar. Tak sadar bibirnya pun menyebut nama itu.
"Nicholas?"
'Jadi benar? Dia adalah Gwen. Buktinya dia mengenaliku.' Batin Nicholas.
"Gwen?"
Kamar tempat menginap Nich dan Gwen sudah tak berbentuk lagi. Di lantai ada beberapa helai kain yang berserak asal serta kelopak mawar merah, setelah semalaman kedua insan yang baru saja mereguk manisnya madu malam pengantin untuk yang ke sekian kali. Nich tidak membiarkan Gwen beristirahat barang sejenak hingga subuh menjelang, terus mengajak istrinya itu berpetualang menikmati panasnya gelora asmara yang kembali memercik. Cinta di hati Gwen kembali bersemi setelah melewati banyak rintangan dan ujian. Tak pernah menyangka bila dia akan kembali jatuh ke dalam pelukan pria ini lagi. Nicholas Kennedy. Satu nama yang selalu tersemat di hatinya dari dulu hingga detik ini. Gwen merasa bila takdirnya memang hidup bersama seorang Nich, karena sejak awal dia mengenal cinta, hanya nama itu yang terpatri di ingatannya. Sebuah kecupan singkat Gwen berikan di bibir Nich yang masih terlelap di sisinya. Senyumnya terukir ketika memandang wajah menawan yang tak pernah berubah itu. Masih sama. Bah
"Sekarang kedua mempelai dipersilakan untuk saling berciuman." Pastor berkepala plontos itu memberikan izin kepada pasangan pengantin yang baru saja meresmikan pernikahannya. Kesempatan tersebut tentu tak disia-siakan oleh Nich yang hari ini merasa sangat bahagia karena telah mewujudkan keinginannya. Menikahi perempuan yang sangat dia cintai di hadapan semua orang terdekat. Satu lengannya terulur ke pinggang, dan tangannya yang lain memegang tengkuk sang istri yang siang ini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun pengantin warna putih. "Kau siap, Honey?" bisiknya dengan kerlingan jahil.Gwen tersipu, lalu mengangguk malu-malu. Rona bahagia terpancar dari sepasang manik biru itu, meski pandangannya tertutup kabut kesedihan. Ini memang pernikahan impiannya, tetapi kebahagiaan yang dirasa tidak lengkap tanpa kehadiran sosok ayah tercinta. Walaupun sebagian tamu adalah keluarga. Namun, hati Gwen menginginkan sang ayah yang menjadi saksi di hari spesial ini."Aku mencintaimu, Gwen."
Satu bulan yang dinanti akhirnya pun tiba. Hasil tes DNA yang keluar pada hari ini tentu akan menentukan nasib pernikahan Gwen selanjutnya. Apakah akan bertahan atau berakhir seperti keputusannya semula. Gwen ingat sekali dengan perkataan Nich tempo hari yang akan meresmikan pernikahan mereka di sebuah gereja bila anak Valerie dinyatakan bukanlah darah dagingnya.Pernikahan impian yang selama ini dia inginkan akan diwujudkan oleh Nich. Akan tetapi, Gwen sudah tidak menginginkan hal tersebut. Tidak karena sosok yang menjadi saksi pernikahannya sudah tidak berada di sisi. Semuanya hanya sia-sia."Honey," panggil Nich yang baru saja masuk ke kamarnya. Aura di wajahnya nampak berbeda.Gwen meletakkan buku bacaan yang sedang dibaca pada meja nakas, lalu menatap Nich yang berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah amplop warna putih berukuran sedang. Pikiran Gwen langsung mengarah pada hasil tes DNA."Honey." Tiba-tiba saja Nich mengangkat tubuh Gwen ke gendongan, lalu memutar-mutarnya bebe
Acara spesial yang dikatakan Nich, rupanya hal yang tidak pernah diduga Gwen sebelumnya. Bertemu dengan banyak orang, kemudian diperkenalkan sebagai istri, sungguh tidak pernah ada dalam angan Gwen. Pesta meriah ini sebenarnya acara rutinan yang dilaksanakan di perusahaan Nich. Ada banyak sekali orang-orang berpengaruh yang terlibat dalam kerjasama besar tersebut. Gwen cukup terkesan dengan kejutan dari suaminya itu. Merasa begitu dianggap meski kondisi rumah tangganya sedang berantakan.Di ballroom mewah dengan penataan yang sangat luar biasa Gwen tidak pernah merasa sendiri karena Nich terus berada di sampingnya tanpa melepas genggaman tangannya. Suasana pesta yang dihadiri berkisar ratusan orang itu begitu meriah dengan lantunan lagu yang dibawakan oleh penyanyi di atas panggung. Musik mengalun dengan lirih tetapi terdengar sangat merdu mendukung suasana malam ini.Kekesalan yang sempat menyesakki hati perlahan berganti dengan rasa bahagia. Ya, bolehkah Gwen merasakan bahagia sebe
'Jika ingin pergi setidaknya tunggu sampai anak itu lahir. Nanti setelah aku tahu hasilnya kau bebas mengambil keputusan. Ingin tetap pergi atau ingin bertahan di sisiku.'Gwen merasa sesak tiap kali mengingat perkataan Nich yang sangat-sangat egois menurutnya. Tidak membiarkan Gwen pergi begitu saja dan justru semakin tidak masuk akal. Selama hampir dua bulan ini dia berada di dalam apartment dengan satu maid dan dua pengawal pribadi untuk berjaga-jaga.Tidak sekali pun Nich membiarkan Gwen keluar dari sana. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh Nich. Namun tidak dengan permintaannya yang ingin kembali ke rumah lamanya yakni di Birmingham. Padahal, Gwen sudah muak dengan segala macam peraturan baru dari Nich.Tinggal di dalam sini sama saja dengan tinggal di dalam sangkar emas. Tidak bisa bergerak bebas semaunya. Kalau bisa, Gwen tidak menginginkan semua ini. Bertahan di sisi Nich dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, itu sama saja dengan mati pelan-pelan.Semakin hari, Nich semakin po
"Apa! Valerie hamil anaknya Kak Nich? Kau serius, Gwen?" Pekikan Olivia menggema di kamar rawat Gwen setelah dia mendengar kabar kehamilan Valerie. Gadis itu nampak terkejut sekaligus tidak percaya, sampai-sampai bola matanya tidak berkedip dengan mulut ternganga."Aku serius, Oliv. Untuk apa aku mengarang cerita sementara aku sudah melihat buktinya. Perut Valerie nampak membuncit. Perkiraanku kehamilannya sekitar tiga atau empat bulan." Gwen menghela napas panjang, pandangannya perlahan turun ke perutnya yang kini rata.Sesak bukan main jika mengingat apa yang dialaminya. Kehamilannya tidak cukup kuat untuk mendengar berita menyakitkan yang meluluhlantakkan semua mimpi-mimpinya dalam sekejap. Gwen sangat merasa kehilangan calon anak laki-lakinya."... Aku pun berharap jika kehamilan itu tidak benar adanya." Gwen bergumam mengelus perut ratanya di balik baju pasien yang dia kenakan. Setitik cairan bening turun tanpa permisi membasahi punggung tangannya. "Aku sudah gagal lagi. Aku gaga