Birmingham—Inggris.
***
"Gwen Florine!"
Seorang perempuan berpakaian minim bahan yang baru saja masuk ke ruang ganti khusus perempuan itu, memanggil penghuninya.
Merasa dipanggil namanya, Gwen yang masih sibuk memulas riasan di wajahnya pun lantas menjawab, "Ya."
Manik Gwen menatap perempuan bertubuh hampir sama sepertinya dengan seksama, biasanya jika dia ke sini itu berarti ada sesuatu yang penting yang perlu disampaikan.
"Kau diminta ke ruangan VIP oleh Daniel. Ada tamu istimewa yang akan menonton pertunjukanmu malam ini." Perempuan berambut pirang itu berkata dengan logat Inggris yang kental, terdengar seperti sebuah perintah yang harus segera dilaksanakan oleh Gwen saat ini juga.
"Baik. Tapi aku ingin memastikan penampilanku sekali lagi. Kau bisa pergi lebih dulu. Sebelumnya terima kasih, Sam." Gwen tersenyum, yang segera dibalas anggukan oleh perempuan bernama Samantha itu.
"Oke. Kau jangan terlalu lama. Kalau tidak mau Daniel memotong gajimu." Samantha lantas pergi dari ruangan tersebut, setelah melontarkan kalimat peringatan terlebih dahulu.
"Aku bahkan tidak bisa menolak perintah si brengsek itu. Ck!" Gwen terlihat menggerutu, dan bergegas menyelesaikan ritual persiapan sebelum tampil di depan para tamu.
"Tamu istimewa? Apa dia teman Daniel?"
Dengan gerakan cepat, Gwen memoleskan lipstik merah bata ke bibirnya yang penuh, hingga nampak menggiurkan bagi siapa saja yang menatapnya.
"Kapan aku berhenti dari pekerjaan sialan ini? Aku lelah, tetapi aku pun tidak berdaya. Karena Ayah masih membutuhkan pengobatan."
Gwen Florine—seorang penari striptis di sebuah Bar cukup ternama di kota Birmingham—Inggris. Sebuah profesi yang harus dia jalani selama hampir lima tahun terakhir, semenjak dia memutuskan datang ke kota besar ini.
Biaya hidup yang tinggi menjadi salah satu faktor utama dalam keputusan Gwen mengambil langkah ini. Bosan dengan hidup yang serba kekurangan, membuat seorang Gwen jadi berakal sempit. Tak hanya biaya hidup yang harus dia tanggung, Gwen juga harus membiayai biaya pengobatan sang ayah yang terkena sakit kanker paru-paru.
Gwen lelah, tetapi dia sendiri tidak bisa berhenti dari pekerjaan menjanjikan ini. Honor yang dia terima sebagai penari tentu jauh lebih besar dari honor sebagai pelayan pramusaji di Restoran cepat saji.
Gwen berlenggak lenggok di depan cermin berbentuk kotak yang setiap sudutnya terdapat lampu-lampu. Mematut penampilannya sekali lagi sebelum dia memulai aksinya di atas panggung. Tak lupa menyemprotkan parfum favoritnya ke setiap titik sensitifnya. Aroma bunga mawar yang berpadu dengan buah-buahan segar seketika menguar di seluruh ruangan, semakin menambah kepercayaan diri seorang Gwen.
Tak ada satu pun lelaki yang mampu menolak pesona si penari yang sering mendapat julukan Queen Flo itu. Kemolekan tubuhnya menjadi daya tarik tersendiri bagi Gwen untuk mendapatkan keuntungan dari profesinya.
Namun, ada hal yang tidak bisa didapatkan oleh setiap para pria yang menontonnya, yakni mencicipi tubuhnya. Gwen tidak membuka jasa semacam itu, meski tuntutan hidup yang kian menghimpit.
Kaki jenjang Gwen melangkah keluar dari ruang ganti yang hanya dikhususkan untuknya, menuju ke ruang VIP yang berada di lantai atas dengan menggunakan lift khusus.
Gwen menekan tombol angka 4, dan ruang berjalan itu segera membawanya ke tempat di mana dia akan memulai pertunjukan. Sekitar 30 detik pintu lift pun terbuka, Gwen keluar dengan gayanya yang khas, berjalan menyusuri lorong, sampai tiba di sebuah pintu bertuliskan VIP Rooms Class No.1.
Dia masuk lewat pintu belakang, lalu segera disambut oleh Samantha—perempuan yang tadi menemui Gwen di ruang ganti. Samantha yang akan menjadi partner Gwen menari malam ini.
"Apa aku terlambat?" tanya Gwen, yang mendapat gelengan dari Samantha.
"Tidak. Kau tepat waktu. Tamu kita baru saja tiba." Samantha pun segera berdiri, melemaskan otot-otot tubuhnya terlebih dulu, melakukan pemanasan.
Gwen melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Samantha. Perempuan yang rambutnya diikat tinggi dan memakai lingerie model potongan underwear itu, nampak menghela napas lega. "Syukurlah. Jadi Daniel tidak punya alasan untuk memotong gajiku."
Sudut bibir Samantha tertarik ke samping. "Malam ini kita akan menguras kantong temannya Daniel. Kau sudah siap?"
Gwen mengangguk yakin. "Aku selalu siap, Sam."
"Aku dulu yang keluar, baru kau, Gwen."
"Oke."
Samantha keluar terlebih dahulu, melalui pintu yang hanya tertutup tirai berwarna merah darah, seiring musik dari penyanyi ternama Robin Thicke yang berjudul—Sex Therapy seketika mengalun otomatis, menggema di seluruh ruangan yang hanya berhias lampu kelap-kelip.
Aroma minuman berupa whiskey, red wine, dan semacamnya menguar ke seluruh penjuru ruangan. Berbeda dengan ruang pertunjukan yang ada di lantai dasar, ruangan ini cukup privasi, jadi tidak terlalu berisik, dan bebas dari pengunjung yang sering kali bersikap kurang ajar.
Samantha naik ke atas panggung, dan memulai aksinya dengan lihai dan erotis. Ada sekitar delapan pasang mata yang menyaksikan aksinya, salah satunya adalah Daniel—yang tak lain pemilik dari Flight Club' tersebut.
Tiga pria lainnya adalah tamu Daniel yang sengaja diundang ke tempat ini. Mereka cukup menikmati tontonan panas yang disajikan oleh Samantha, setiap pergerakan tubuh perempuan berambut pirang itu seakan membangkitkan sisi lain dari seorang pejantan.
Liukan pinggul seksi Samantha yang bak gitar spanyol sukses menarik perhatian, begitu lincah dan pas dengan alunan musik beritme mendayu. Ini bahkan masih permulaan, belum pada suguhan utama yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap penontonnya.
"Bagaimana, kau suka, Nich?" tanya Daniel, pada teman lamanya yang duduk dalam diam sembari menikmati segelas whiskey di genggaman.
"Lumayan."
"Bagaimana, kau suka, Nich?" tanya Daniel, pada teman lamanya yang duduk dalam diam sembari menikmati segelas whiskey di genggaman."Lumayan."Teman Daniel bernama Nich menjawabnya santai, sembari menikmati pertunjukan penari striptis yang tengah menggesekkan punggungnya pada tiang dengan gerakan sensual. Sebenarnya tontonan seperti ini bukanlah hal baru baginya. Nich pun bertanya sambil menyesap minumannya lagi, "Siapa namanya?""Sam. Lebih tepatnya Samantha Grace," jawab Daniel, mengisi gelas Nich yang sudah kosong dengan Whiskey lagi. "... Cantik dan seksi. Dia penari nomer dua yang paling diminati di sini," lanjut Daniel.Nich langsung mengalihkan pandangannya pada Daniel. "Itu berarti ada yang lebih panas dari Samantha?" tanyanya dengan alis menukik sangat tinggi.Daniel mengangguk. "Tentu. Ada Sam yang cantik, dan ada Queen Flo yang panas." Daniel begitu bangga menyebut nama julukan Gwen. Telunjuknya mengacung ke depan, tepatnya ke atas panggung.Nich mengernyitkan kening, memut
Nich terus mondar-mandir di kamar yang disewanya selama beberapa hari ke depan, dengan pikiran yang sangat kacau. Ingatannya terus terpatri pada sosok perempuan yang dia temui di bar milik Daniel. Bahkan, berkali-kali Nich mencoba mengenyahkan kelebat wajah cantik itu dari memori masa lalu yang kembali berputar.Nich menggeram, mengepalkan tangannya, lalu meninju udara seraya mengumpat. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan Gwen? Kenapa dia bisa menjadi seorang penari? Bukankah keluarganya paling terpandang di London? Tetapi ... Bagaimana bisa?"Benar. Seingat Nich, Gwen terlahir dari keluarga paling terpandang di London. Bahkan, masuk dalam daftar urutan orang terkaya di ibu kota Inggris itu. Lalu, apa yang disaksikan oleh Nich benar-benar di luar dugaan. Seorang Gwen dari keluarga terpandang menari telanjang di sebuah Bar?Bukankah itu hal yang sangat mengejutkan?"Aku harus cari tahu. Kenapa dan bagaimana Gwen bisa menjadi seorang penari. Ya, harus!"Nich lantas menyambar ponselnya y
Aroma roti panggang yang baru saja keluar dari oven, menguar ke sekeliling area dapur yang sangat sederhana dan minimalis. Tak ada barang mewah di sana, seperti perlengkapan masak yang dulu pernah ada. Pun dengan para maid yang dulu sering berseliweran ketika pagi menjelang seperti ini. Sibuk pada tugasnya masing-masing di kediaman Gwen yang dulu.Itu hampir 5 tahun yang lalu, waktu keluarga Stones masih berjaya di puncak kejayaan. Waktu nama mereka dikenal banyak orang bahkan sampai ke luar benua.Kini Gwen dan ayahnya telah terbiasa hidup sederhana, tinggal di rumah yang ukurannya bahkan tak seluas kamar mandi mereka kala itu. Semenjak Tuan Jimy—ayahnya Gwen ditipu oleh rekan bisnisnya dan dibuat bangkrut, tak ada lagi mata yang melirik mereka. Tak ada yang tahu, jika mereka dulu adalah orang terpandang di kota London.Memutuskan untuk pindah ke kota Birmingham, Gwen dan Tuan Jimy memulai semuanya dari nol. Jatuh bangun sudah biasa mereka hadapi selama ini. Sampai dokter memvonis Tu
Sepanjang bersiap-siap, Gwen tak berhenti menggerutu. Bersumpah serapah segala rupa. Bibirnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra, berharap dia bisa berpindah ke dimensi lain agar tidak dipertemukan dengan sosok menyebalkan itu.Ya, bagi Gwen, Nicholas masih sama seperti dulu. Menyebalkan dan arogan. Kalau tidak, untuk apa lelaki itu sudi membuang-buang uang hanya sekadar ingin menemuinya lagi?ck!"Sekarang dia sudah banyak uang, karena itu, dia berubah menjadi si Tuan sombong dan sok! Ck!" gerutunya lagi yang entah sudah ke berapa kali, bila mengingat Nicholas yang dulu dengan yang sekarang. Perbandingan yang cukup signifikan, memang.Lipstik warna merah Gwen sapukan di bibirnya yang sensual, hingga dalam sekejap bibir itu berubah bak kelopak mawar yang merekah nan ranum. Seksi dan nampak menggoda. Lalu, tak lupa dengan parfum favoritnya, Gwen menyemprotkannya ke setiap titik sensitifnya; belakang telinga, pergelangan tangan, dan terakhir tepat di belahan dadanya yang padat da
"Apa kau sedang menggodaku, Gwen?" tanya Nich yang sedang kepayahan menahan gejolak hasrat yang sedari tadi menggulungnya tanpa ampun.Gairahnya semakin memuncak ketika kedua jemari Gwen yang lentik memainkan puncak dadanya sendiri, dengan sorot mata menjerat. Tak memedulikan geraman rendah Nich yang belingsatan menatap lapar, seolah-olah lelaki itu ingin menerkamnya hidup-hidup.'Apa yang sedang kau pikirkan, Nich? Apa kau pikir aku masih Gwen yang dulu? Yang lugu dan naif? Lihat, bagaimana aku akan membuatmu jijik padaku dan tanpa berpikir dua kali kau akan menjauhiku.'Gwen berkata dalam hati, sembari tak henti bergerak sensual, sengaja beraksi demikian, supaya Nich berpikir jika dirinya sudah berubah. Gwen ingin membuat Nich sadar, jika dulu dan sekarang itu sudah sangat berbeda. Gwen bukan lagi gadis polos yang sangat memuja Nich, meskipun pada kenyataannya memang seperti itu."Gwen ..." Nich memejam dengan nada suara sangat rendah dan parau. Dia benar-benar kepanasan dan pusing.
'Lima tahun yang lalu? Itu saat Ayah bangkrut dan kami memutuskan pindah ke sini.' Batin Gwen yang termangu. Dia tidak pernah menyangka jika Nich mencarinya. Atau itu hanya sebuah omong kosong Nich, pikir Gwen.'Tidak mungkin dia mencariku.'Logika dan hati Gwen saat ini bertolak belakang. Inginnya dia mempercayai Nich, akan tetapi rasa sakit akibat ditinggalkan belum sepenuhnya sembuh. Hari-hari yang dijalani Gwen sangat sulit kala itu."Gwen," panggil Nich.Terkesiap, Gwen lantas menatap Nich."Kenapa kau diam?" Mata Nich menyipit, mencoba membaca raut muka Gwen yang tidak berekspresi."Lalu, aku harus bersikap bagaimana? Kau mengharapkan apa?" Raut datar itu berubah menjadi dingin. Gwen tersenyum mengejek. "Kau tiba-tiba menghilang, Nich. Aku berusaha menunggumu. Tetapi, kau tidak pernah datang lagi.""Aku pergi karena suatu alasan," sahut Nich membela diri, supaya Gwen tidak berpikir jika Nich adalah pria yang kejam.Di dalam ruangan temaram yang diiringi alunan musik merdu, suas
Gwen terkejut ketika membuka pintu, kakinya hampir menginjak buket bunga yang tergeletak di bawah. "Buket bunga? Dari siapa?"Gwen lantas mengambilnya, dan urung keluar rumah untuk pergi ke toko. Tadinya dia berniat ingin membeli sesuatu di sana. Kembali masuk dan menutup pintunya lagi, Gwen mengendus kelopak bunga favoritnya itu dengan senyum lebar."Harum."Mawar merah adalah bunga favorit Gwen sejak kecil. Kata ibunya dulu, mawar merah itu melambangkan cinta dan keberanian. Hingga Gwen dewasa pun bunga tersebut masih menjadi favoritnya."Bunga dari siapa, Gwen?" tanya Tuan Jimmy yang baru saja keluar dari kamarnya. "Uhuk-uhuk!" Beliau terbatuk-batuk sambil berjalan menuju meja makan, hendak mengambil segelas air yang selalu tersedia di sana."Ayah!" Gwen seketika panik, dan gegas menghampiri ayahnya ke meja makan. "Biar Gwen yang ambilkan. Ayah duduk saja."Tuan Jimmy menuruti perintah puterinya, lalu duduk dan terus terbatuk, sementara Gwen menaruh buket mawar ke meja, lalu menuan
"Kartunya, Nona." Perawat perempuan menyodorkan kartu debit milik Gwen. "Bagaimana? Kira-kira berapa kurangnya?" tanya Gwen mengambil kartu tersebut. "Kurangnya masih lima belas ribu dolar lagi, Nona. Itu belum dengan biaya kamar dan obat-obatan selama tiga hari ke depan," jawab sang perawat sambil menyodorkan selembar kertas yang berisi rincian biaya yang harus segera dilunasi Gwen. "Apa? Lima belas ribu dolar?" Gwen terbelalak, jantungnya seperti terjun bebas ke dasar perut. Uang sebanyak itu dari mana dia bisa mendapatkannya? pikir Gwen menatap nanar kertas putih di tangannya. Tuhan ... Uang sebanyak ini? A-aku dapat dari mana? Kedua lutut Gwen terasa sangat lemas, bahkan nyaris terhuyung. "Nona?" panggil perawat itu. "Ya?" Gwen menatap perawat tersebut dengan manik berkaca-kaca, sembari berusaha menguatkan pegangan pada meja. "Jika bisa mohon segera lunasi sisanya. Agar Ayah Anda bisa segera dioperasi. Uang Anda tadi tidak cukup." "Apa? Ayah saya belum bisa dioperasi?" G