Sepanjang bersiap-siap, Gwen tak berhenti menggerutu. Bersumpah serapah segala rupa. Bibirnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra, berharap dia bisa berpindah ke dimensi lain agar tidak dipertemukan dengan sosok menyebalkan itu.
Ya, bagi Gwen, Nicholas masih sama seperti dulu. Menyebalkan dan arogan. Kalau tidak, untuk apa lelaki itu sudi membuang-buang uang hanya sekadar ingin menemuinya lagi?
ck!
"Sekarang dia sudah banyak uang, karena itu, dia berubah menjadi si Tuan sombong dan sok! Ck!" gerutunya lagi yang entah sudah ke berapa kali, bila mengingat Nicholas yang dulu dengan yang sekarang. Perbandingan yang cukup signifikan, memang.
Lipstik warna merah Gwen sapukan di bibirnya yang sensual, hingga dalam sekejap bibir itu berubah bak kelopak mawar yang merekah nan ranum. Seksi dan nampak menggoda. Lalu, tak lupa dengan parfum favoritnya, Gwen menyemprotkannya ke setiap titik sensitifnya; belakang telinga, pergelangan tangan, dan terakhir tepat di belahan dadanya yang padat dan membusung.
Sebelum menemui tamu VIP yang katanya sudah membayarnya sangat tinggi, Gwen lebih dulu memastikan lagi penampilannya. Lingerie potongan berwarna hitam metalik, yang hanya menutupi sebagian dada dan inti tubuhnya itu semakin menambah kesan seksi. Kaki jenjangnya tertutup stoking jaring dan Stiletto bertali menyilang sampai sebatas betisnya yang ramping. Berwarna senada dengan kostumnya.
Bulatan dan tonjolan depan belakang, yang terpampang jelas begitu memanjakan mata yang memandang. Terlihat menggairahkan dan sangat menggoda. Lekukan pinggul itu, rambut bergelombang yang diikat tinggi itu, dan kulit seputih salju itu adalah ciri khas dari seorang Gwen atau yang biasa dijuluki Queen Flo.
Senyum Gwen terbit saat sudut matanya menangkap topeng mirip kepala kelinci yang ada di meja riasnya. Pasti akan sangat menarik, pikir Gwen sambil meraih benda itu, lalu memasangnya di wajah, yang hanya menutupi sampai batas hidungnya.
"Hmm …."
Telunjuk Gwen menyentuh topeng yang telah terpasang sempurna di wajahnya, menyusurinya pelan, lalu turun tepat di lekukan lehernya yang jenjang.
Gwen bergumam, "Kau penasaran denganku, bukan? Kita lihat, apa setelah ini kau masih mau mengejarku? Atau kau akan merasa jijik padaku."
Di ruangan yang sudah dibooking secara khusus itu, Nich tengah menunggu dengan tidak sabar. Malam ini dia akan menikmati pertunjukan hanya seorang diri tanpa diganggu oleh siapa pun. Gelas berisi red wine di tangan dia taruh ke meja, lalu merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel. Nich ingin menghubungi Daniel, dan menanyakan, kenapa Gwen tak kunjung muncul.
Sebelum niat Nich terealisasikan, suara ketukan ujung heels menggema di ruangan minim cahaya tersebut. Menarik perhatian seorang Nich yang seketika terhipnotis pada siluet bayangan di balik tirai. Itu bahkan baru bayangannya saja. Namun, berhasil memukau mata Nich hingga menyipit seraya menegakkan punggung.
Jantungnya memacu dengan cepat, tak sabar ingin melihat perempuan yang pernah mengisi hatinya itu.
Ketika sorot lampu menyala, tirai berwarna merah itu perlahan terbuka, seiring musik pembuka yang seringkali diputar mulai terdengar mengalun merdu di telinga. Nich semakin menajamkan tatapannya, seakan-akan jika dia berkedip maka Gwen akan hilang dalam pandangannya.
"So hot, Gwen." Bahkan, mulutnya secara sadar menggumamkan kata pujian itu. Nich seperti melihat seorang Gwen yang sangat berbeda dari ingatannya di masa lalu.
Tentu jelas berbeda. Gwen yang dulu dia kenal masih sangat lugu dan naif. Meskipun, kala itu Gwen terlahir dari keluarga kaya dan terpandang, tetapi kepribadiannya sangatlah tertutup. Lalu sekarang, Gwen telah menjelma menjadi wanita dewasa yang sangat cantik dan berani.
Menjadi seorang penari telanjang diperlukan nyali yang cukup besar, dan muka tebal. Setiap harinya akan ada banyak pasang mata hidung belang yang menatap lapar tubuh telanjangnya, atau mungkin saja berminat untuk mencicipi.
Dari atas panggung, Gwen bisa melihat dengan jelas wajah Nich yang tak berkedip. Seraya meliukkan tubuhnya pada tiang yang menjulang, Gwen tetap berkonsentrasi dengan tariannya. Pesona seorang Nich masih sama seperti dulu. Bahkan, bertambah berkali-kali lipat.
Memang, uang itu sangat ajaib. Bisa merubah kepribadian seseorang sekaligus. Nich yang sudah tampan dari lahir, semakin memukau dengan balutan jas mahal yang Gwen taksir harganya tidak murah. Mungkin dengan gajinya satu pekan, Gwen tidak akan mampu membelinya.
'Ck, kenapa kau repot-repot memikirkan itu, Gwen? Ayo cepat selesaikan ini, dan kau tidak perlu repot-repot melihat wajahnya lagi.' Batin Gwen di sela tariannya.
Selang beberapa menit, musik pun berganti. Gwen lantas berpindah tempat, dia turun dari panggung dengan gaya seperti biasa. Jarak antara panggung dan meja hanya beberapa meter. Hanya lima langkah, Gwen sudah berada tepat di depan muka Nich.
Jakun Nich naik turun, tatapannya tak sedetikpun berpindah dari pemandangan panas dan indah tersebut. Wangi perpaduan buah dan bunga langsung tercium di penciuman Nich, saat Gwen melewatinya.
Parfum yang sama, pikir Nich.
Musik terus mengalun, Gwen memutari meja Nich sambil mengulurkan tangannya. Menyentuh kain yang melapisi pundak lebar Nich, dan menyusuri dengan telunjuknya sampai lengan kokoh sang lelaki.
Manik Gwen menatap Nich, seraya membungkuk. Lantas, memindahkan telunjuknya di rahang Nich yang menatapnya tanpa berkedip. Bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang tegas Nich terasa menggelitik permukaan kulit telunjuk Gwen yang bermain-main dengan nakal.
Nich menarik sudut bibirnya ke samping, merasa bila saat ini Gwen tengah menggodanya. Inginnya dia membalas sentuhan itu, akan tetapi ini belum saatnya. Masih ada waktu untuk menghabiskan malam ini. Karena itu, untuk apa dia tergesa-gesa?
Lampu-lampu berkelip, berganti-ganti warna menyesuaikan ritme musik yang mengalun. Gwen menyudahi menggoda Nich, menegakkan badan, kemudian mengangkat tungkai kirinya, menaruhnya tepat di paha Nich yang seketika menurunkan pandangan ke kaki ramping berlapiskan stoking tersebut.
Tak mau pasif, Nich berinisiatif mengangkat tangannya, memegang betis Gwen yang sangat cantik, lalu mengelusnya naik turun. Nich bebas melakukannya, bukan?
Ini benar-benar menantang adrenalin Nich. Jiwa kelelakiannya seolah tengah diuji. Gwen yang tak menyia-nyiakan kesempatan, lantas membungkuk lagi, hingga Nich bisa dengan puas menatap belahan dada yang mengintip.
Beringsut maju, Gwen menampilkan seringai di depan muka Nich yang sudah memerah. Dia yakin seratus persen, jika lelaki itu pasti sedang berpikiran mesum. Terbukti dari sorot matanya yang sayu saat menatap tungkai Gwen dan mengelusnya.
"Apa kabar, Gwen?" tanya Nich serak sembari tangannya tak berhenti mengelus hamparan stoking yang menutupi tungkai Gwen.
"Apa kita saling kenal, Tuan?"
Jawaban Gwen melunturkan senyum Nich seketika.
"Kau tidak ingat, atau pura-pura tidak mengingat?" Sebelah alis Nich terangkat.
"Maaf, terlalu banyak pria yang datang, jadi saya tidak bisa mengingat dengan jelas satu persatu pria mana saja. Termasuk Anda."
Gwen tetap berkelit, tak ingin membuat Nich besar kepala dengan sama-sama mengingatnya. Bukankah, itu sudah sangat lama? Waktu sepuluh tahun terakhir dia bertemu dengan Nich.
"Oh, begitu rupanya? Jadi, perlukah saya memperkenalkan diri saya lagi, Nona?" Nich tersenyum kecut, merasa bila saat ini Gwen tengah mengujinya. Padahal, sudah jelas-jelas kemarin dia sangat syok waktu pertama kali Nich menyebut namanya.
"Silakan," ucap Gwen, sembari menarik mundur wajahnya, dan menegakkan punggung. Dia juga menarik tungkainya dari paha Nich, lalu meraih gelas yang ada di meja.
Nich memerhatikan Gwen yang sedang menuangkan red wine ke dalam gelas bekasnya tadi. Lalu, menyodorkan gelas tersebut kepada Nich.
"Minumlah," pinta Gwen dan segera disambut baik oleh Nich.
"Manis." Nich menelan cairan berwarna merah itu, merasakan sensasi yang ditimbulkan tiap detiknya. Kerongkongannya terasa panas, sepanas Gwen yang sedang membuka penutup dadanya.
sial!
Kamar tempat menginap Nich dan Gwen sudah tak berbentuk lagi. Di lantai ada beberapa helai kain yang berserak asal serta kelopak mawar merah, setelah semalaman kedua insan yang baru saja mereguk manisnya madu malam pengantin untuk yang ke sekian kali. Nich tidak membiarkan Gwen beristirahat barang sejenak hingga subuh menjelang, terus mengajak istrinya itu berpetualang menikmati panasnya gelora asmara yang kembali memercik. Cinta di hati Gwen kembali bersemi setelah melewati banyak rintangan dan ujian. Tak pernah menyangka bila dia akan kembali jatuh ke dalam pelukan pria ini lagi. Nicholas Kennedy. Satu nama yang selalu tersemat di hatinya dari dulu hingga detik ini. Gwen merasa bila takdirnya memang hidup bersama seorang Nich, karena sejak awal dia mengenal cinta, hanya nama itu yang terpatri di ingatannya. Sebuah kecupan singkat Gwen berikan di bibir Nich yang masih terlelap di sisinya. Senyumnya terukir ketika memandang wajah menawan yang tak pernah berubah itu. Masih sama. Bah
"Sekarang kedua mempelai dipersilakan untuk saling berciuman." Pastor berkepala plontos itu memberikan izin kepada pasangan pengantin yang baru saja meresmikan pernikahannya. Kesempatan tersebut tentu tak disia-siakan oleh Nich yang hari ini merasa sangat bahagia karena telah mewujudkan keinginannya. Menikahi perempuan yang sangat dia cintai di hadapan semua orang terdekat. Satu lengannya terulur ke pinggang, dan tangannya yang lain memegang tengkuk sang istri yang siang ini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun pengantin warna putih. "Kau siap, Honey?" bisiknya dengan kerlingan jahil.Gwen tersipu, lalu mengangguk malu-malu. Rona bahagia terpancar dari sepasang manik biru itu, meski pandangannya tertutup kabut kesedihan. Ini memang pernikahan impiannya, tetapi kebahagiaan yang dirasa tidak lengkap tanpa kehadiran sosok ayah tercinta. Walaupun sebagian tamu adalah keluarga. Namun, hati Gwen menginginkan sang ayah yang menjadi saksi di hari spesial ini."Aku mencintaimu, Gwen."
Satu bulan yang dinanti akhirnya pun tiba. Hasil tes DNA yang keluar pada hari ini tentu akan menentukan nasib pernikahan Gwen selanjutnya. Apakah akan bertahan atau berakhir seperti keputusannya semula. Gwen ingat sekali dengan perkataan Nich tempo hari yang akan meresmikan pernikahan mereka di sebuah gereja bila anak Valerie dinyatakan bukanlah darah dagingnya.Pernikahan impian yang selama ini dia inginkan akan diwujudkan oleh Nich. Akan tetapi, Gwen sudah tidak menginginkan hal tersebut. Tidak karena sosok yang menjadi saksi pernikahannya sudah tidak berada di sisi. Semuanya hanya sia-sia."Honey," panggil Nich yang baru saja masuk ke kamarnya. Aura di wajahnya nampak berbeda.Gwen meletakkan buku bacaan yang sedang dibaca pada meja nakas, lalu menatap Nich yang berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah amplop warna putih berukuran sedang. Pikiran Gwen langsung mengarah pada hasil tes DNA."Honey." Tiba-tiba saja Nich mengangkat tubuh Gwen ke gendongan, lalu memutar-mutarnya bebe
Acara spesial yang dikatakan Nich, rupanya hal yang tidak pernah diduga Gwen sebelumnya. Bertemu dengan banyak orang, kemudian diperkenalkan sebagai istri, sungguh tidak pernah ada dalam angan Gwen. Pesta meriah ini sebenarnya acara rutinan yang dilaksanakan di perusahaan Nich. Ada banyak sekali orang-orang berpengaruh yang terlibat dalam kerjasama besar tersebut. Gwen cukup terkesan dengan kejutan dari suaminya itu. Merasa begitu dianggap meski kondisi rumah tangganya sedang berantakan.Di ballroom mewah dengan penataan yang sangat luar biasa Gwen tidak pernah merasa sendiri karena Nich terus berada di sampingnya tanpa melepas genggaman tangannya. Suasana pesta yang dihadiri berkisar ratusan orang itu begitu meriah dengan lantunan lagu yang dibawakan oleh penyanyi di atas panggung. Musik mengalun dengan lirih tetapi terdengar sangat merdu mendukung suasana malam ini.Kekesalan yang sempat menyesakki hati perlahan berganti dengan rasa bahagia. Ya, bolehkah Gwen merasakan bahagia sebe
'Jika ingin pergi setidaknya tunggu sampai anak itu lahir. Nanti setelah aku tahu hasilnya kau bebas mengambil keputusan. Ingin tetap pergi atau ingin bertahan di sisiku.'Gwen merasa sesak tiap kali mengingat perkataan Nich yang sangat-sangat egois menurutnya. Tidak membiarkan Gwen pergi begitu saja dan justru semakin tidak masuk akal. Selama hampir dua bulan ini dia berada di dalam apartment dengan satu maid dan dua pengawal pribadi untuk berjaga-jaga.Tidak sekali pun Nich membiarkan Gwen keluar dari sana. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh Nich. Namun tidak dengan permintaannya yang ingin kembali ke rumah lamanya yakni di Birmingham. Padahal, Gwen sudah muak dengan segala macam peraturan baru dari Nich.Tinggal di dalam sini sama saja dengan tinggal di dalam sangkar emas. Tidak bisa bergerak bebas semaunya. Kalau bisa, Gwen tidak menginginkan semua ini. Bertahan di sisi Nich dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, itu sama saja dengan mati pelan-pelan.Semakin hari, Nich semakin po
"Apa! Valerie hamil anaknya Kak Nich? Kau serius, Gwen?" Pekikan Olivia menggema di kamar rawat Gwen setelah dia mendengar kabar kehamilan Valerie. Gadis itu nampak terkejut sekaligus tidak percaya, sampai-sampai bola matanya tidak berkedip dengan mulut ternganga."Aku serius, Oliv. Untuk apa aku mengarang cerita sementara aku sudah melihat buktinya. Perut Valerie nampak membuncit. Perkiraanku kehamilannya sekitar tiga atau empat bulan." Gwen menghela napas panjang, pandangannya perlahan turun ke perutnya yang kini rata.Sesak bukan main jika mengingat apa yang dialaminya. Kehamilannya tidak cukup kuat untuk mendengar berita menyakitkan yang meluluhlantakkan semua mimpi-mimpinya dalam sekejap. Gwen sangat merasa kehilangan calon anak laki-lakinya."... Aku pun berharap jika kehamilan itu tidak benar adanya." Gwen bergumam mengelus perut ratanya di balik baju pasien yang dia kenakan. Setitik cairan bening turun tanpa permisi membasahi punggung tangannya. "Aku sudah gagal lagi. Aku gaga