Share

Part 6—Pembicaraan~

"Apa kau sedang menggodaku, Gwen?" tanya Nich yang sedang kepayahan menahan gejolak hasrat yang sedari tadi menggulungnya tanpa ampun.

Gairahnya semakin memuncak ketika kedua jemari Gwen yang lentik memainkan puncak dadanya sendiri, dengan sorot mata menjerat. Tak memedulikan geraman rendah Nich yang belingsatan menatap lapar, seolah-olah lelaki itu ingin menerkamnya hidup-hidup.

'Apa yang sedang kau pikirkan, Nich? Apa kau pikir aku masih Gwen yang dulu? Yang lugu dan naif? Lihat, bagaimana aku akan membuatmu jijik padaku dan tanpa berpikir dua kali kau akan menjauhiku.'

Gwen berkata dalam hati, sembari tak henti bergerak sensual, sengaja beraksi demikian, supaya Nich berpikir jika dirinya sudah berubah. Gwen ingin membuat Nich sadar, jika dulu dan sekarang itu sudah sangat berbeda. Gwen bukan lagi gadis polos yang sangat memuja Nich, meskipun pada kenyataannya memang seperti itu.

"Gwen ..." Nich memejam dengan nada suara sangat rendah dan parau. Dia benar-benar kepanasan dan pusing. Pusing akibat gairah yang meminta untuk segera disalurkan. Sesuatu di balik celana bahannya semakin mendesak, dan mengetat.

Oh, Shit!

Kedua telapak tangan Nich mengepal erat di sisi stoolbar, sementara dadanya terlihat naik turun karena embusan kasar napasnya. Matanya terbuka lebar-lebar, dan pada saat yang bersamaan Gwen menurunkan kain penutup terakhir yang masih melekat di inti tubuhnya.

"Gwen, stop! Aku bilang berhenti!" sergah Nich tegas, seraya menggeleng kecil.

"Why, Nich? Kenapa kau menghentikanku?" tanya Gwen bingung. Dia menaikkan penutup inti tubuhnya lagi, lalu mendekati Nich. "Kenapa? Kau tidak suka? Bukankah ini tujuanmu, membayarku lima kali lipat lebih tinggi? Kau ingin menontonku, bukan? Dan, sekarang nikmatilah tontonan ini."

Tangan Gwen hendak menarik turun kain segitiga berwarna hitam metalik itu, tetapi Nich langsung menahannya.

"No!" Nich menggeleng cepat, menatap Gwen dengan tatapan tak suka.

Alis Gwen menaut di balik topengnya. Dengan jarak sedekat ini dia tentu dapat melihat dengan jelas wajah Nich yang sudah sangat memerah. "Biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku, Nich. Dan, setelah itu aku akan pergi," tukasnya, terdengar sangat memohon.

Namun, di pendengaran Nich, suara Gwen lebih terdengar seperti sebuah sifat arogansi seorang perempuan yang sedang mempertahankan harga dirinya. Marah bercampur benci kentara sekali di manik sebiru lautan itu. Napas Gwen juga memburu, seolah dia ingin marah tetapi tertahan oleh situasi dan keadaan.

Entah itu benar atau hanya perkiraan Nich saja.

Perkataan Gwen memang tidak ada yang salah. Niatnya membayar mahal memang untuk menonton Gwen dalam aksinya menari. Merogoh kocek dalam-dalam agar bisa bertemu lagi dengan perempuan berkulit putih itu.

Perlahan tapi pasti, tangan Nich yang masih menggenggam pergelangan tangan Gwen, bergerak. Maju sedikit demi sedikit, dan tanpa disadari sang empunya tak ada lagi jarak di antara mereka.

"Nich, kau tidak boleh menyentuhku. Kau tidak lupa aturan mainnya, bukan?" Suara yang mulanya tegas berubah menjadi sedikit gemetar, ketika embusan napas hangat Nich menyentuh tengkuknya. Kini, giliran sekujur tubuh Gwen yang menegang. Dadanya hampir meledak saat Nich mencium tengkuknya tanpa permisi. "Nich …." desah Gwen.

Desahan Gwen terdengar merdu di telinga Nich. "Aku sudah membayarmu, Gwen. Jadi aku bebas ingin melakukan apa pun kepadamu," bisik Nich yang semakin membuat Gwen meremang. Dia sama sekali tidak berniat melepas tangan Gwen.

Sayang sekali, Nich tidak bisa melihat keseluruhan wajah Gwen karena tertutup topeng. Pasti saat ini wajah itu sudah memanas dan memerah, pikir Nich.

"Tapi, bukan berarti kau bisa menciumku seenaknya. Kau lancang." Gwen melotot, tetapi hal itu tidak membuat Nich gentar. "Lepas, Nich!" Dia berusaha menarik tangannya dari genggaman Nich, tetapi hanya sia-sia saja.

Bibir Nich menyeringai, menyaksikan Gwen yang marah dan kesal padanya. Namun, Gwen malah semakin terlihat cantik dan seksi. Apalagi, Nich dapat dengan leluasa memandang dada polos Gwen yang tak berpenutup, yang ujungnya berwarna merah muda dan mengacung menantang.

"Sejak kapan kau berubah?" Nich mulai mengendurkan genggaman tangannya, dan menuntun Gwen duduk di sampingnya. "Duduklah, Gwen."

"Tidak. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku." Gwen menggeleng cepat. "Pekerjaanku menari, bukan menemani minum."

"Kau tadi sudah menari dengan sangat baik," sahut Nich, melepas pergelangan tangan Gwen lalu meloloskan jas yang dipakainya. "Pakailah ini. Kau akan masuk angin kalau terlalu lama bertelanjang dada."

'Apa ini? Kenapa Nich bersikap seolah-olah dia peduli padaku?'

Kendati Gwen bingung dan bertanya-tanya dalam hati, tetapi dia tak menolak sama sekali perlakuan manis Nich. Lelaki itu dengan sabar memakaikan jas mahalnya di tubuh telanjang Gwen.

"... Duduklah. Kau tidak perlu menari lagi." pinta Nich untuk yang ke sekian kali.

Gwen menurut, karena Nich memintanya dengan lembut. Mendaratkan bokongnya ke stoolbar, Gwen lantas bertanya, "Apa?"

"Bisakah kau buka dulu topengmu? Rasanya sangat aneh bicara sedekat ini tapi tidak bisa menatap wajahmu."

"Kenapa kau sangat banyak mau?" Meski kesal karena Nich menuntut ini itu, tetapi tak urung Gwen melepas topeng dari wajahnya. "Sudah. Kau puas?" dengus Gwen sambil menaruh topeng tersebut di meja.

Nich mengangguk, mengulum senyumnya yang menawan. "Nah, kalau seperti ini wajahmu yang cantik tidak tersembunyi lagi," ucapnya disertai kekehan.

"Ck!" Gwen berdecak, lalu melipat tangannya di dada. "Kau semakin menyebalkan!" cibirnya.

"Benarkah?" satu alis Nich terangkat, tak percaya Gwen mencibirnya demikian. "Itu artinya kau masih mengingatku, bukan? Kalau tidak, kau tidak akan berkata seperti itu," tebak Nich.

Bisa duduk berhadapan lagi dengan Gwen sesuatu yang selalu diharapkan Nich. Masa-masa itu tak pelak kembali hadir di ingatannya. Saat di mana Gwen dan dirinya pernah sedekat ini. Berbicara dalam keintiman.

"Lupakan masa lalu, Nich. Kita bukan lagi anak remaja yang naif. Kau lihat sendiri, aku sudah berubah. Tak ada lagi Gwen yang polos dan malu-malu. Di hadapanmu sekarang hanya ada Gwen seorang penari telanjang. Kau bisa membedakannya, bukan?"

"Kau benar." Nich mengangguk. Lantas mengisi gelas kosong dengan minuman lagi. "Gwen yang kukenal dulu belum seseksi dan sepanas ini. Bahkan aku masih mengingat dengan jelas desahanmu ketika pertama kali kita mendaki puncak kenikmatan. Kau masih—"

"Cukup, Nich! Kau tidak perlu membahas kejadian sialan itu!" sergah Gwen dengan kilat marah dan raut datar. "Lebih baik aku pergi, jika kau masih membahasnya."

Gwen hendak turun dari stoolbar, tetapi Nich segera menahan lengannya. "Oke. Aku tidak akan membahasnya. Tetaplah di sini."

Gwen menghela, dan mengurungkan niatnya. "Semua tidak akan kembali, meski kau terus membahas dan mengingatnya," kata Gwen, memalingkan wajahnya dari pandangan Nich.

Nich paham sekali, bagaimana perasaan Gwen saat itu. Salah Nich juga yang pergi tanpa pamit. "Sorry, Gwen. Aku benar-benar menyesal."

Gwen bungkam, enggan melihat wajah Nich yang memiliki daya tarik berkali-kali lipat dari sebelumnya.

'Apa dia pikir dengan meminta maaf, semuanya akan berubah?' pikir Gwen.

"... Gwen, maksudku melakukan semua ini agar aku bisa meminta maaf padamu. Aku menganggap pertemuan kita ini suatu takdir dari Tuhan," lanjut Nich, rasa bersalah amat kentara di sorot matanya.

"Bagimu mungkin iya. Tapi bagiku tidak." Gwen menyahut dingin.

'Dia bahkan tidak tau, bagaimana dulu aku menjalani hari-hari tanpanya.' Lanjut Gwen dalam hati.

"Kau tidak senang bertemu denganku lagi, Gwen?" Kecewa sudah pasti mendengar pernyataan Gwen yang tak pernah disangka Nich.

"Menurutmu?" Gwen menoleh, dan Nich langsung bisa melihat kesedihan di bola mata yang berkilau akibat tertutup cairan bening.

Gwen menangis?

Rasa bersalah semakin menyeruak dalam dada Nich. "Aku mencarimu, Gwen. Aku mendatangi rumahmu tapi rumah itu sudah dijual ke pemilik yang baru."

"Oh, iya? Kapan?" Gwen bertanya sengau, akibat tenggorokannya tersekat rasa sesak. Dia bersusah payah untuk tidak terlihat menyedihkan di depan Nich, meski saat ini pandangannya kian mengabur tertutup cairan bening.

'Please ... jangan menangis, Gwen. Paling tidak untuk saat ini.' Seru Gwen dalam hati berusaha menguatkan diri.

Nich menghela panjang, kemudian menjawab, "Lima tahun yang lalu."

***

bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status